Menyikapi Hari Tani Nasional belum lama ini, sejumlah pengamat politik dan penggiat masalah agraria berlomba-lomba menggambarkan betapa kusutnya keagrarian kita. Dengan semangat yang menggebu-gebu, mereka pun menuntut pemerintah untuk menyelesaikan masalah agraria dengan berbagai skema dan program. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria, Idham Arsyad, berkeluh kesah bahwa “meski sudah berganti abad, masalah-masalah agraria tak kunjung teratasi. Kemiskinan, pengangguran, konflik, dan proletarisasi petani masih terus mewarnai wajah pedesaan kita sampai hari ini.” (Kusutnya Keagrarian Kita, Kompas, 25 September 2012) Yah, sebatas itulah perspektif dari penggiat agraria kita. Arsyad hanya mendiskripsikan ketimpangan-ketimpangan yang terkait dengan persoalan kepertanahan. Sementara solusi fundamental untuk masalah keagrariaan dan analisis mengenai sebab-sebab kekusutan keagrariaan tersebut tidak dimunculkan—atau tidak menjadi poin penting dalam tulisannya.
Deskripsinya mengenai ketimpangan kepemilikan atas tanah dan dampak-dampak yang diakibatkannya belum memberikan makna politik samasekali. Tulisan Arsyad tersebut masih bermakna sentimental. Perspektif yang sentimental seperti itu, tentu, tidak akan mampu membentuk kesadaran kolektif kaum tani untuk mengkonsolidasi perlawanan.
Asumsi dasar Arsyad juga keliru. Ia menganggap bahwa persoalan agraria adalah persoalan yang akan diselesaikan oleh pemerintah melalui kebijakan politik yang pro poor. Ia berharap, dengan deskripsi-deskripsi suguhannya, pemerintah akan tergugah untuk menjalankan land reform, yang ia maknai sebagai inti dari penyelesaian masalah agraria. Ini sama saja seperti menyerahkan penyelesaian masalah kriminal kepada para mafia. Pemikiran yang seperti ini terlihat sekali di dalam tulisan Arsyad. Di akhir tulisannya ia berusaha untuk membuat pengandaian sekaligus tuntutan: “…Kondisi di atas menjadi peringatan bagi pemerintah untuk segera mengakhiri ketimpangan agraria dengan menjalankan reforma agraria.”
Pemerintah tidak akan pernah melakukan reforma agraria dengan sungguh-sungguh dan menyeluruh. Sistem kapitalisme tidak mengijinkan terjadinya ini. Hal ini dibuktikan dengan pemandulan atas Undang-undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) yang merupakan induk dari segala peraturan keagrariaan untuk mengatasi persoalan agraria. Tidak hanya itu, pemandulan dalam skala besar juga tengah disiapkan oleh kapitalisme dunia. Globalisasi kapitalisme terus mendorong sebuah konstruksi politik agraria di mana soal-soal agraria akan masuk ke arena pasar bebas sehingga menghilangkan intervensi negara terhadap masalah agraria.
Persoalan agraria tidak hanya melulu soal akses dan kontrol masyarakat atas tanah; atau diartikan hanya sebagai land reform dengan pengertian “mendistribusikan kembali tanah-tanah”. Land reform harus diartikan secara revolusioner sebagai pembangunan struktur kekuasaan kelas di dalam masyarakat tani. Ia menyentuh masalah perubahan fundamental tatanan sosial tidak hanya di dalam masyarakat desa tetapi juga hubungannya dengan masyarakat kota Karena jika land reform diartikan secara sempit, yakni “pendistribusian kembali atas tanah-tanah”, dan setelah masyarakat—terutama masyarakat tani—mendapatkannya, pertanyaannya, apakah bisa dijamin tidak akan ada lagi ketimpangan di dalam struktur sosial masyarakat tani dan dalam hubungannya dengan masyarakat kota?
Di akhir artikelnya Arsyad menyimpulkan:
“Reforma agraria pada dasarnya tidak hanya meningkatkan taraf hidup kaum tani, tetapi juga untuk menguatkan dasar pembangunan nasional. Sebab, program ini memungkinkan terjadinya pembentukan kapital yang menjadi dasar bagi proses industrialisasi pedesaan. Industrialisasi pedesaan syarat penting bagi kemajuan bangsa dan kemakmuran rakyat.”
Penegasan Arsyad di atas masih sangat normatif dan menyembunyikan segudang pertanyaan-pertanyaan politik. Ia hanya ingin mengajak kita untuk melihat pada masalah ketahanan pangan dan hak-hak untuk mengakses tanah bagi masyarakat tani; atau, masih mendasarkan diri pada aspek ekonomi semata. Ia masih menempatkan petani sebagai produsen bahan pangan yang membutuhkan tanah-tanah sebagai alat produksi; atau, mengabaikan pembangunan peran politik kaum tani.
Dalam kalimat Arsyad yang terakhir, “… program [reforma agraria] ini memungkinkan terjadinya pembentukan kapital yang menjadi dasar bagi proses industrialisasi pedesaan. Industrialiasi pedesaan syarat penting bagi kemajuan bangsa dan kemakmuran rakyat.”, menyuguhkan bahkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih penting. Pembentukan kapital untuk siapa? Industrialisasi pedesaan oleh siapa? Tanpa mengatakan siapa sesungguhnya yang akan memegang kepemilikan kapital dan industri pertanian, kita disajikan dengan status quo: yakni kaum kapitalis yang akan terus berkuasa di pedesaan dengan kepemilikan modal dan industrinya. Lantas “kemajuan bangsa dan kemakmuran rakyat” hanya akan menjadi efek trickling-down dari kemakmuran kelas-kelas kapitalis yang berpunya.
Apapun peraturan agraria yang keluar akan terus diabaikan atau bahkan dianulir oleh kekuatan politik yang sedang berkuasa jika kekuasaan politik masih didominasi oleh borjuasi yang notabene para pemilik modal. Tanah adalah salah satu alat produksi penting bagi kapitalisme. Artinya, tanah-tanah rakyat di mana pun akan dibeli dan dihabisi oleh kekuatan proses modal jika tidak ada kekuatan ekonomi-politik pro rakyat yang mencegahnya. Kita harus jelas dengan apa yang kita maksud dengan kekuatan ekonomi-politik pro rakyat, yakni kekuatan ekonomi-politik yang dibangun atas dasar kekuasaan kaum buruh dan tani.
Kita harus melihat persoalan agraria dalam perspektif politik kelas yang mengintegrasikan kelas-kelas tertindas. Kelas kapitalis, yang hari ini sebagai ruling class, yang berkuasa di bebagai sektor kehidupan, tidak akan begitu saja mempermudah jalannya proses pembaruan agraria; bahkan tidak akan pernah mengijinkan terlaksananya proses itu. Pembaruan agraria harus diperjuangkan oleh integrasi kaum buruh dan tani melalui medan politik: melalui serikat-serikat politik dan kemudian pembentukan organ politik kaum buruh dan tani yang lebih besar. Kita tidak bisa dependen dengan negara, atau mengharapkan kedermawanan dari kelas kapitalis yang hari ini sedang berkuasa.
Benang kusut keagrariaan, kapan terurai? Inilah agenda politik kaum buruh dan tani. Kekusutan keagrariaan kita akan terurai ketika kaum buruh dan tani mampu merebut kekuasaan politik. Ini bukan diskursus politik yang utopis. Diskursus yang utopis adalah ketika kaum tani berharap pada sikap kedermawanan kaum kapitalis dan para birokrat bayaran mereka di pemerintahan. Aksi politik yang dilakukan oleh gerakan tani seharusnya bukan dengan aksi lobi sana-sini; bukan dengan political action di depan DPR atau pemerintah. Tetapi membangun kekuatan yang integral antara kelas-kelas yang tertindas: kelas buruh dan tani.
Marilah kita jadikan Hari Tani Nasional baru-baru ini sebagai momentum untuk membangun gerakan tani revolusioner yang berperspektif politik kelas dan memulai konsolidasi kekuatan gerakan buruh dan tani sebagai kekuatan politik yang akan merebut kekuasaan dari tangan kapitalis. Persoalan agraria tidak bisa diserahkan kepada para penggiat masalah agraria yang takut berbicara mengenai masalah kekuasaan.
Hidup kaum tani!