Bagi kaum Marxis, akar masalah dari segala bentuk penindasan terdiri dalam pembagian masyarakat ke dalam kelas. Tapi penindasan dapat mengambil banyak bentuk. Di samping penindasan kelas, kita menemukan penindasan satu bangsa di atas yang lain, penindasan rasial, dan penindasan terhadap perempuan.
Perkembangan industrialisasi abad 17 dan 18 secara radikal telah mengubah tatanan lama di dalam hubungan keluarga. Dulu kala, sebelum munculnya kepemilikan atas alat produksi dan pembagian masyarakat kelas, perempuan dan laki-laki terlibat dalam proses produksi secara setara, dan punya hak yang sama. Namun, akibat kepemilikan pribadi-lah perempuan terlempar pada kerja rumah tangga dan berkutat di dalamnya.
Memasuki epos kapitalisme yang barbar ini, “kodrat” perempuan yang semula berkisar antara kasur-dapur-sumur, menjadi seorang putri-istri-ibu, lengkap beserta kerja domestiknya, saat ini perannya mulai diperluas untuk menempati barak-barak pabrik, berjejer menjadi cadangan tenaga kerja, bekerja sebagai buruh upahan meski upahnya tidak lebih tinggi daripada laki-laki meskipun porsi kerjanya bisa dibilang sama. Dalam logika kapitalisme, pada saat yang sama ini mengembalikan kaum perempuan ke dalam proses produksi sekaligus mengungkung mereka dalam batasan keluarga tradisional, yakni bertugas menyiapkan buruh-buruh yang prima, generasi penerus yang menjadi cadangan tenaga murah di masa depan.
Sebagaimana di belahan dunia yang lain, masyarakat meletakkan perempuan sebagai warga kelas dua. Pun di dalam gerakan, kaum perempuan sering kali dipandang sebagai elemen terbelakang yang kesadarannya begitu susah untuk terdorong ke depan, lemah berpikir, dan mengedepankan perasaan daripada otak. Begitulah penilaian atas kaum perempuan, jika kita menggunakan akal sehat. Namun sebagai kaum Marxis, kita tidak menggunakan akal sehat, kita menggunakan dialektika. Akal sehat (logika formal) tidak mampu memahami hal-hal yang sifatnya kompleks.
Dengan dialektika, kita tahu bahwa setiap hal selalu mengandung benih dari hal lain yang menjadi lawannya. Gampangnya: setiap kemunduran selalu mengandung potensi untuk terjadinya kemajuan, tiap kelemahan dapat dibalik menjadi kekuatan, tiap kekuatan dapat menjadi titik lemah yang mematikan, tiap kelahiran akan membawa kematian dan tiap kematian adalah bahan bakar bagi sebuah kelahiran baru. Dialektika bekerja tanpa kasat mata. Ia adalah proses yang terus berlangsung dan tanpa henti. Tidak melulu berjalan lurus, kadang zig-zag, mengalami proses yang gradual, stagnasi dan kemunduran, bahkan mengalami lompatan-lompatan. Trotsky menyebutnya, proses molekular dalam revolusi.
Kaum Marxis berjuang melawan penindasan dan diskriminasi dalam segala bentuk, sembari menunjukkan bahwa hanya transformasi yang radikal (baca:revolusi) dari masyarakat dan penghapusan perbudakan kelas-lah yang mampu menciptakan penghapusan perbudakan dalam segala manifestasinya dan pembentukan masyarakat sosial yang berbasis pada kemanusiaan, kesetaraan dan kebebasan. Dalam konteks pembebasan perempuan, penindasan terhadap perempuan berusia sama tuanya dengan saat masyarakat kelas, kepemilikan pribadi, dan negara, mulai terbentuk. Penghapusannya pun tergantung pada penghapusan kelas, yakni revolusi sosialis.
Namun, ini tidak berarti bahwa penindasan terhadap perempuan akan lenyap begitu saja saat kekuatan proletar mengambil alih kekuasaan. Warisan psikologis dari kelas yang barbar pada akhirnya akan dapat diatasi secara menyeluruh ketika kondisi sosial diciptakan untuk pembentukan hubungan yang nyata antara laki-laki dan perempuan. Pembebasan sejati kaum perempuan, hanya bisa dilakukan saat proletar menggulingkan kapitalisme dan meletakkan syarat-syarat kondisi untuk pencapaian masyarakat tanpa kelas.
Tidak berarti pula, bahwa perempuan harus menunggu datangnya revolusi sosialis untuk memecahkan masalah-masalah mereka, dan sementara itu berserah diri pada diskriminasi, penghinaan dan dominasi laki-laki. Sebaliknya, tanpa perjuangan sehari-hari di bawah masyarakat sosial hari ini, sebuah perjuangan untuk revolusi sosialis tidak akan pernah terpikirkan. Justru melalui perjuangan untuk reforma-reforma lah kelas pekerja secara keseluruhan akan belajar, mengembangkan kesadarannya, memperoleh kekuatan sendiri, dan akan meningkatkan level dirinya ke tingkat yang dituntut oleh tugas sejarah yang lebih besar.
Banyak perempuan-perempuan muda pertama kali menyadari kebutuhan untuk mengubah masyarakat melalui perjuangan hak-hak perempuan. Mereka termotivasi oleh rasa amarah yang disebabkan ketidakadilan dan perlakuan biadab terhadap perempuan oleh masyarakat yang munafik, yang mengklaim tunduk pada kepatuhan atas demokrasi dan kebebasan.
Kebutuhan Akan Revolusi
Ada banyak tuntutan yang kita bisa dan harus perjuangkan sekarang: segala bentuk diskriminasi di masyarakat dan tempat kerja; pembayaran yang sama atas pekerjaan yang sama nilainya; hak perceraian; perlindungan perempuan atas kekerasan laki-laki; pelecehan seksual, perkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga; perlindungan anak yang berkualitas; dan sebagainya. Semua hal tadi benar-benar dibutuhkan.
Tetapi, perjuangan untuk pembebasan perempuan tidak pernah dapat sepenuhnya terwujud atas dasar suatu masyarakat, di mana yang mayoritas justru didominasi, dikendalikan dan dimanfaatkan oleh para bankir dan kapitalis. Untuk mengakhiri penindasan perempuan, maka perlu mengakhiri penindasan kelas itu sendiri. Perjuangan untuk pembebasan perempuan, karena itu organik terkait dengan perjuangan untuk sosialisme.
Dalam rangka menghadirkan revolusi sosialis, perlu untuk menyatukan kelas pekerja dan organisasi-organisasinya, memotong di semua lini bahasa, kebangsaan, ras, agama dan jenis kelamin. Ini berarti, di satu sisi, bahwa kelas pekerja harus mengambil ke atas dirinya sendiri tugas memerangi segala bentuk penindasan dan eksploitasi, dan menempatkan dirinya di kepala semua lapisan masyarakat tertindas, dan di sisi lain, harus tegas menolak semua upaya untuk membaginya dengan para borjuasi — bahkan ketika upaya ini dibuat oleh bagian yang tertindas sendiri.
Ada hubungan paralel yang cukup tepat antara posisi Marxis terhadap perempuan dan posisi Marxis pada persoalan nasional. Kita punya kewajiban untuk melawan segala bentuk penindasan nasional. Tapi apakah ini berarti bahwa kita mendukung nasionalisme? Jawabannya adalah tidak. Marxisme adalah internasionalisme. Tujuan kita bukan untuk mendirikan batas baru tapi untuk melarutkan semua perbatasan di atas federasi sosialis dunia.
Borjuis dan kaum nasionalis borjuis kecil memainkan peran merusak dalam membagi kelas pekerja pada garis nasionalis, bermain-main di wilayah perasaan yang diliputi ketidakmengertian dan kebencian yang disebabkan oleh bertahun-tahun diskriminasi dan penindasan di tangan para penindas. Lenin dan kaum Marxis Rusia melancarkan perjuangan yang teguh di satu sisi melawan segala bentuk penindasan nasional, tapi juga di sisi lain terhadap upaya borjuis dan borjuis nasionalis untuk memanfaatkan masalah nasional untuk tujuan demagog. Lenin menegaskan, bahwa perjuangan untuk mengakhiri kapitalisme adalah dengan menyatukan kelas pekerja dari semua bangsa, dan ini sebagai satu-satunya jaminan nyata untuk menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan (masalah nasional) di bawah panji federasi sosialis.
Dengan kata lain, kaum Marxis mendekati persoalan nasional secara eksklusif dari sudut pandang kelas. Hal ini sama dengan sikap Marxis terhadap penindasan perempuan. Saat berperang melawan segala bentuk diskriminasi dan penindasan, kita harus tegas menolak setiap upaya untuk menyajikan masalah sebagai konflik antara laki-laki dan perempuan. Setiap pembagian antara berbagai kelompok pekerja: perempuan terhadap laki-laki, kulit hitam terhadap kulit putih, Katolik terhadap Protestan, Sunni melawan Syiah, hanya dapat merugikan dan membantu melanggengkan perbudakan kelas.
Revolusi Oktober, Bolshevik dan Agenda Pembebasan Perempuan
Revolusi Oktober 1917, diakui atau tidak, masihlah menjadi revolusi paling megah yang membuktikan heroisme kaum buruh modern (didukung oleh kaum tani) di gelanggang panggung sejarah. Revolusi ini membawa seluruh beban di pundaknya, yakni tugas-tugas borjuis demokratik yang tidak mampu diemban oleh borjuis nasional Rusia. Dalam tempo 10 tahun pasca revolusi, ekonomi terencana dan pembangunan negara buruh pertama ter-realisasi dalam pencapaian ekonomi, termanifestasikan dalam bahasa mesin-baja-listrik, bukan hanya dalam bahasa dialektik. Revolusi ini juga merupakan peristiwa penting, yang menjadi rujukan dalam memahami perjuangan emansipasi perempuan dalam sejarah Rusia, dan evolusi gerakan pembebasan perempuan hingga hari ini.
Perempuan kelas pekerja Rusia menunjukkan perannya yang begitu besar pada Februari 1917. Dipandu oleh naluri kelas proletar, mereka menyingkirkan semua hambatan dan memulai revolusi. Penembakan yang dilakukan oleh pasukan tentara dan polisi Tsar terhadap 128.000 buruh yang terlibat dalam demonstrasi Hari Perempuan Internasional itu merupakan bendera start bagi sebuah gelombang revolusioner yang mampu memaksa salah satu kekaisaran yang paling kolot di Eropa untuk turun tahta. Di tahun yang sama, revolusi kembali pecah di bulan Oktober, sebagai kelanjutan dari revolusi sebelumnya. Revolusi itu, adalah Revolusi Oktober. Perempuan seperti Alexandra Kollontai memainkan peran yang penting dalam momen itu.
Revolusi Oktober memberi kaum perempuan hak yang sebelumnya tidak pernah dimiliki, hak yang jauh lebih besar daripada yang bisa diberikan di negara kapitalis manapun. Bolshevik berdiri untuk pembebasan perempuan dan transformasi keluarga. Rezim patriarkal kuno telah ada di desa-desa sejak jaman dulu. Penghambaan dan penindasan adalah satu-satunya hal yang diketahui oleh para petani perempuan. Sebelum revolusi, adalah suatu yang legal bila suami memukul istrinya. Revolusi Oktober memberikan perempuan status hukum yang sama dengan laki-laki melalui Kode Perkawinan, Keluarga dan Perwalian yang disahkan pada bulan Oktober 1918, setahun setelah revolusi. Anak-anak yang lahir di luar nikah diberi hak yang sama seperti mereka yang lahir dalam keluarga yang sudah menikah.
Prinsip upah yang sama untuk kerja yang sama dikodifikasi di dalam hukum. Detasemen perempuan Bolshevik meluaskan berita tentang revolusi di kalangan perempuan, mengatur pendidikan dan keaksaraan kelas politik kelas pekerja dan petani perempuan dan berjuang untuk penghapusan prostitusi.
Sekitar 50.000 sampai 70.000 perempuan secara sukarela telah bergabung ke dalam Tentara Merah sampai tahun 1920, meskipun mereka tidak diwajibkan melakukannya. Ini menunjukkan tingkat dukungan kaum Bolshevik terhadap partisipasi perempuan.
Lenin menekankan pentingnya emansipasi perempuan dan perlunya meringankan pekerjaan rumah tangga perempuan sehingga mereka bisa berpartisipasi lebih lengkap dalam menjalankan masyarakat. Namun, kemampuan Bolshevik untuk memecahkan berbagai masalah utama kehidupan sangat dibatasi oleh rendahnya tingkat perkembangan kekuatan produktif.
Emansipasi nyata perempuan hanya mungkin bila kelas pekerja sedunia secara keseluruhan terlibat dalam emansipasi itu sendiri. Sosialisme akan mengizinkan pengembangan bebas dari kepribadian manusia dan pembentukan hubungan manusia yang sejati antara perempuan dan laki-laki, bebas dari tekanan eksternal yang brutal, baik sosial, ekonomi atau agama. Namun, masyarakat seperti ini, mengandaikan tingkat perkembangan ekonomi dan budaya yang ada di tingkat yang lebih tinggi dari negara-negara kapitalis yang paling maju.
Di Rusia, pada bulan Oktober 1917, fondasi seperti ini tidak ada, mengingat keterbelakangan ekonomi dan kebudayaan masyarakat Rusia saat itu. Oleh karena itu, meskipun kemajuan besar dimungkinkan oleh revolusi, posisi perempuan di Rusia dilemparkan kembali ke awal, pertama oleh Stalinisme dan terlebih lagi oleh restorasi kapitalisme. Posisi perempuan di Rusia dan Eropa Timur saat ini jauh lebih buruk dari sebelumnya. Ini tidak boleh mengejutkan siapa pun. Atas dasar kapitalisme, tidak akan pernah ada jalan ke depan, di Rusia atau di manapun.