Pertarungan hukum-politik antara Budi Gunawan (BG), calon Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) pilihan Presiden Jokowi, dan Bambang Widjojanto, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedang dijadikan tontonan oleh rakyat—tidak hanya oleh warga kota terpelajar saja, tetapi juga warga kampung yang cenderung buta politik.
Terhadap pertarungan BG dan BW, lebih jauh Polri-KPK, saya terpaksa membuat sebuah persamaan ekstrem, sebagai tanda bahwa drama politik yang sedang dimainkan oleh borjuasi sedang berada pada fase tegang. Saya menyamakan kisruh antar geng politik yang sedang terjadi di negeri ini mirip dengan pertarungan antar geng narkoba yang sering terjadi di beberapa negeri Amerika Latin; pertarungan antar anggota atau antar kelompok geng narkoba di bawah kendali kartel besar: mereka saling menjegal, menjebak, mengekspos, melaporkan, bahkan saling membunuh. Dalam film yang berjudul “City of God”, misalnya, film tentang geng narkoba buatan sekitar tahun 2002, yang diadaptasi dari kisah nyata, telah memberi gambaran jelas tentang bagaimana proses akumulasi kapital di sektor perdagangan obat terlarang mampu menciptakan karakter brutal bagi siapapun yang terlibat di dalamnya. Penciptaan karakter brutal yang lain dalam rangka akumulasi kapital, hari ini, sedang kita dapati di dalam “medium suci” yang bernama Negara. Negara sudah dikuasai oleh para perampok dan penjarah untuk kepentingan suatu kelas. Trotsky pernah menulis: “Negara bukanlah sebuah tujuan akhir di dalam dirinya sendiri. Negara hanyalah sebuah alat di tangan kekuatan sosial yang mendominasi…. Kekuatan pendorong Negara adalah kepentingan kelas … kepentingann-kepentingan kelas yang direpresentasikan sebagai kehendak Tuhan atau kehendak bangsa.”
BG dan BW, sebagai representasi dari Polri dan KPK, dilihat dari kacamata Marxis, nampak sama buruknya; keduanya adalah institusi eksekutor milik negara borjuis ini: Indonesia. Eksekusi-eksekusi yang dilakukan oleh dua institusi ini, di dalam prakteknya, dan ini sudah menjadi niscaya, dikendalikan oleh kepentingan kelas. Dan dalam kaitannya dengan kisruh Polri-KPK, sebenarnya, kedua institusi tersebut sedang dikendalikan oleh kekuatan kelas yang sama dalam kelompok-kelompok yang berbeda.
Penguasa negeri ini bukanlah Presiden Jokowi dan pengikutnya, bukan pula mantan calon presiden Prabowo dan kelompoknya; sang penguasa sejati adalah para pemilik kapital besar, lokal dan asing. Pemilik kapital besar lokal membangun otoritas politiknya di semua institusi Negara, di dalam negeri; sedangkan pemilik kapital besar asing melalui negara-negara raksasa yang sering disebut sebagai “polisi dunia”.
Kisruh terbuka ini akan segera mereda (bukan menghilang) setelah masing-masing kepentingan sudah terpenuhi kebutuhannya; atau sebaliknya, semakin menajam ketika masing-masing tujuan belum terfasilitasi. Di sinilah kita akan melihat problem prinsipal dari relasi politik di negara liberal borjuis. Jika di negara otoriter, seperti pada Orde Baru, kapitalis hanya memiliki ruang sempit dalam membangun dominasinya, yakni, mau tak mau, hanya dapat membangun kekuatannya pada rejim otoriter yang sedang berkuasa; pada konteks negara liberal borjuis, sebagai bangunan negara modern, kapitalis memiliki ruang yang luas, bahkan sangat luas, dapat membangun kekuatannya di berbagai lini; dan yang terpenting bagi mereka, dapat mengendalikan semua institusi politik di sebuah negara.
Konflik terbuka antar institusi negara di bawah struktur politik negara liberal borjuis akan menjadi sebuah keniscayaan. Dan konstruksi politik seperti inilah yang memang dikehendaki oleh kapitalis dunia. Mereka akan bebas bertarung antar kelas mereka sendiri—tanpa wasit. Mereka ingin melihat dirinya tampil di ring pertarungan seperti pada acara smackdownyang pernah ditampilkan di televisi-televisi Barat. Dan sudah pasti, siapa yang berbadan kekar dan berotot besar, dialah yang akan menang.
Bagi seorang Marxis, seorang Sosialis dan seorang Komunis yang cerdas, melihat fakta politik yang sedang terjadi, yang sering dianggap sebagai era politik paling demokratis dan bebas, tidak menganggapnya sebagai progres; tetapi sebaliknya, menganggapnya sebagai era paling determated: sebuah era di mana segalanya sudah ditentukan oleh kelas yang paling kuat dan dominan dengan cara-cara brutal. Mereka akan menciptakan kondisi di mana para kacungnya yang bergaya preman pasar saling mencurigai, saling berebut karir, saling memata-matai, saling menangkap, dan akhirnya, saling menikam.
Dari sini, dan ini tak dapat dibantah lagi, sangat relevan jika kita berbicara tentang konsolidasi kekuatan sosial dari kelas yang berbeda, yakni proletariat, dalam wadah partai revolusioner. Kelas proletarlah yang akan menyudahi drama politik komedi super lucu yang sedang dimainkan oleh kelompok-kelompok borjuasi. Kita tidak bisa berharap pada kelas borjuis kecil kota yang penuh prasangka dan banyak mengeluh di media sosial; kaum tani yang tidak memiliki inisiatif politik; kaum intelektual yang sedang bingung dengan intelektualitasnya sendiri; atau pada kaum borjuis menengah yang sedang menunggu dengan resah datangnya Ratu Adil di kafe-kafe dan restoran-restoran cepat saji. Ya, hanya pada proletariatlah kita akan berharap; dan hanya pada partai Marxis-lah kita akan membangun kekuatan untuk menumbangkan lelucon kapitalisme!