Di alam demokrasi liberal, idealnya hukum merdeka dari politik. Kendati langit runtuh sekalipun, pro justitia. Demi keadilan. Tapi realitas adalah arena untuk menguji yang ideal. Kenyataannya, hukum sering menjadi cermin dari situasi politik.
Negara adalah pelembagaan kekuasaan satu kelas atas kelas-kelas lainnya dalam suatu masyarakat. Fungsi pokoknya yang pertama adalah mempertahankan dominasi kelas tersebut, suatu dominasi ekonomi-politik yang terkait kepemilikan, kontrol, dan akses terhadap alat-alat produksi.
Untuk memenuhi fungsi pokok ini maka negara juga mengadministrasi kepentingan faksi-faksi dari kelas yang berkuasa itu sendiri. Biasanya faksi-faksi tersebut berhimpun dalam dua kubu yang saling berhadapan: pemerintah borjuis dan oposisi borjuis, yang garis pembatasnya selalu bergerak, tidak statis, saling merasuki, tergantung pada perimbangan kekuatan, negosiasi kepentingan yang bisa diterima dan juga arus perjuangan kelas. Bagi kelas penguasa, tidak ada kawan atau musuh abadi, yang ada hanya kepentingan kelas. Jadi ada koalisi pemerintah, ada koalisi oposisi. Selanjutnya ada oposisi parlementer, ada pula oposisi ekstra parlementer.
Pertarungan antar faksi-faksi kelas penguasa ini tak jauh-jauh dari soal tata kelola ekonomi-politik yang dinilai paling menguntungkan faksi ini atau faksi itu, atau yang dianggap bisa menjaga kepentingan kelas penguasa secara keseluruhan. Mungkin di satu negeri ada faksi republiken atau demokrat, ada konservatif atau liberal, ada yang sekuler atau agamis, ada yang pro-proteksionis atau pro-perdangangan bebas, dan ratusan varian politik lainnya. Pendeknya, kelas penguasa bukan satu blok yang homogen. Dalam konteks kontradiksi antarkelas (antara kelas kapitalis dan kelas proletariat) dan kontradiksi intrakelas (antar faksi-faksi kelas kapitalis) yang menubuh dalam negara inilah kita menilai idealisme tentang independensi hukum dan realitasnya dalam demokrasi liberal.
Vonis majelis hakim bahwa Ahok bersalah (atas dakwaan penistaan agama) dan harus menjalani hukuman penjara selama 2 tahun, telah membuat prihatin banyak orang yang “berkehendak baik.” Vonis tersebut dinilai telah menafikan akal sehat, hati nurani, dan keadilan sebagai fairness. Tak heran bila orang-orang yang berkehendak baik ini, yang terutama berasal dari “kelas menengah”, menggelar sejumlah aksi keprihatinan.
Sudah barang tentu kita harus mengedepankan suara hati dan menjunjung tinggi asas keadilan. Tapi barangkali terlalu naif bila kita mengabaikan konflik intrakelas yang menjadi bingkai proses hukum yang dijalani Ahok – bahkan kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI kemarin.
Faksi-faksi borjuis yang berhimpun di sekitar Jokowi sedang bertarung dengan faksi-faksi borjuis yang berhimpun di sekitar oposisi parlementer dan ekstra-parlementer. Mereka berselisih soal tata kelola ekonomi-politik Republik di tengah kapitalisme dunia yang limbung sejak krisis 2008. Mereka juga tentunya berseteru bagaimana membagi-bagi privilese dan kue jarahan hasil keringat rakyat pekerja, demi kepentingan sempit dari tiap-tiap faksi kelas penguasa. Secara sederhana, kita temui faksi-faksi “nasionalis” berhadap-hadapan dengan faksi-faksi “komprador”. Yang satu ingin menegakkan kedaulatan ekonomi-politik nasional atas sejengkal tanah dengan kekayaan alam dan penduduknya, yang lain ingin melanjutkan peran sebagai komprador yang berbagi hasil rampokan dengan imperialisme. Tetapi kenyataan – apalagi kenyataan politik – tidak pernah sesederhana itu, karena kedua faksi ini, “nasionalis” dan “komprador”, terus bertukar tempat, saling merasuki, saling bersandar satu sama lain walau tampak berseteru sengit. Inilah mengapa kendati retorika berdikari dari rejim/faksi Jokowi, faksi “nasionalis” ini pada akhirnya harus berlanglang buana menjajakan Indonesia ke investor-investor asing. Sementara, faksi “komprador” tidak bisa tidak menggunakan retorika-retorika NKRI untuk bisa mendapatkan legitimasi dari rakyat. Dua faksi kapitalisme ini sedang bertarung, yang secara ironis meneguhkan kebenaran teori Marxis tentang “perkembangan yang tidak merata dan terpadu” dari kapitalisme dunia, yakni ketidakmampuan kelas borjuasi Indonesia secara keseluruhan untuk berhadapan secara tegas melawan kekuatan imperialisme, dan ketertundukannya pada kapital asing.
Pertarungan tersebut kelihatan sebagai pertarungan hidup dan mati sesudah faksi-faksi oposisi mengusung agama, sebuah jualan yang masih laris-manis di sebuah negeri yang kelas borjuisnya gagal mencerdaskan kehidupan bangsa. Oposisi menabur ilusi bahwa pertarungan yang sedang terjadi adalah pertarungan antara kaum beriman versus pemerintahan kafir. Padahal di balik kedok agama itu, ada begitu banyak kafir yang turut serta. Di lain pihak, pemerintah yang “lebih jujur” menampilkan pertarungan tersebut sebagai pertarungan antara pihak yang pro-NKRI dan yang anti-NKRI, yang pro-bhineka tunggal ika versus yang anti. Massa rakyat pekerja diajak untuk mengambil posisi keberpihakan: kaum beriman vs kafir atau pro-NKRI vs anti-NKRI, dimana tidak ada satupun posisi tersebut yang sesungguhnya berpihak pada kepentingan kelas pekerja.
Sementara pertarungan intrakelas semakin panas, kedua belah pihak melihat ada yang perlu dikorbankan. Oposisi yang ingin mengambilalih kekuasaan dari pemerintah demi memenangkan tata kelola kapitalis yang berwatak komprador, koruptif, dan semu, menggunakan Ahok dengan kasus yang direkayasa sebagai penistaan agama, sebagai batu loncatan untuk menggempur pemerintah. Di lain pihak, pemerintah perlu menggunakan Ahok untuk bisa mengatur langkah untuk memukul balik oposisi yang kelihatan semakin berbahaya. Realpolitik ini bermuara pada Scapegoat Mechanism, mekanisme kambing hitam. Ahok pun divonis bersalah dan diganjar dua tahun penjara. Kedua belah pihak dari faksi-faksi borjuis, baik oposisi maupun pemerintah, “sepakat” untuk menumbalkan Ahok demi kepentingan masing-masing yang saling berkontradiksi. Inilah mengapa Jokowi – serta PDIP dan kekuatan-kekuatan politik yang sebelumnya di belakang Ahok – tidak melakukan apapun, dan mereka serempak hanya merilis pernyataan yang sinis: “Apapun hasilnya proses hukum harus dihormati”.
Realpolitik ini sudah barang tentu menafikan akal sehat, suara hati, dan keadilan sebagai fairness. Tetapi dalam masyarakat kelas, akal sehat, suara hati dan asas keadilan tercabik-cabik, terjungkirbalikkan, dan jadi bulan-bulanan yang tidak berpijak di bumi karena memang selalu di awang-awang. Orang-orang berkehendak baik, kelas menengah itu, pun bereaksi. Prihatin. Oposisi tentu tidak tinggal diam. Dikerahkanlah lumpenproletariat yang masih hidup dalam kabut pekat fideisme (doktrin keagamaan dan moral) untuk melakukan aksi tandingan.
Lantas bagaimana? Apakah kelas menengah yang mengidentifikasikan diri dengan nasionalisme, NKRI, bhinneka tunggal ika, akal sehat, hati nurani, dan fairness itu dapat secara total membela Ahok? Secara historis, kelas menengah – yang terdiri dari pedagang kecil dan menengah, pengacara, para profesor, kaum intelektual – adalah kelas yang selalu bimbang. Mereka gelisah dengan kesemrawutan masyarakat. Mereka kritisi 1001 problematika kapitalisme, tetapi mereka tidak mampu menolak kapitalisme yang adalah akar dari semua keprihatinan mereka. Mereka tidak punya daya dan ketegasan untuk menarik semua kesimpulan yang diperlukan, sehingga kritik mereka seperti tong kosong nyaring bunyinya. Dari sini, mengalir pula metode perlawanan mereka yang mandul dan ragu-ragu: karangan bunga, paduan suara, penyalaan lilin. Sementara Ahok sendiri mencoba sebisa mungkin membubarkan aksi-aksi demo untuk dirinya: “Saya mengimbau teman-teman yang dukung saya untuk bubarkan diri.”
Dalam pada itu, ada suatu kelas yang sebenarnya memiliki takdir historis untuk menyelesaikan benang kusut ini. Kelas itu tak lain adalah kelas buruh, proletariat. Kelas tersebut sudah mulai menggeliat, kendati coba terus dikekang dan dininabobokan oleh kaki tangan borjuasi. Apabila kelas tersebut sudah berhasil membebaskan diri dari kekangan dan pembiusan yang dilakukan oleh lapisan aristokrasi mereka sendiri, mereka akan sanggup memimpin rakyat untuk mengatasi kemelut politik borjuasi ini.
Di tengah tontonan politik ini, kelas proletariat akan menarik satu kesimpulan, dan hanya satu kesimpulan, bahwa demikianlah kebusukan dari demokrasi borjuasi. Politik borjuasi dengan drama-drama kotornya, kemunafikannya, segala tipu dayanya, berbagai jebakannya, semua ini harus dibuang ke tong sampah sejarah.
Saat ini mungkin kelas tersebut masih cenderung ada dalam modus eksistensi “class-in-itself” (kelas dalam dirinya sendiri), belum tiba pada “class-for-itself” (kelas untuk dirinya sendiri) sepenuhnya. Tetapi tidak untuk selamanya. Tugas besar ada di hadapan kaum revolusioner untuk mengantar kelas ini pada modus eksistensi “class-for-itself”, untuk menjadi sadar akan eksistensi revolusionernya sebagai pencipta sejarah masyarakat yang baru!
Tugas besar menanti kita!