Pada hari Senin (18/8) kapal KM Sinar Bangun yang mengangkut penumpang dari Samosir ke Simalungun, Danau Toba tenggelam. Menurut informasi sementara ada 3 korban yang meninggal dan 193 lainnya belum ditemukan. Sampai Kamis (21/6) total korban yang tercatat sesuai manifes yang diserahkan keluarga korban ada 193 orang. Cuaca yang buruk, serta ketiadaan manifes membuat pihak berwajib sulit mengindentifikasi berapa jumlah korban sebenarnya.
Kapal ini membawa penumpang dan kendaraan yang melebihi muatan kapal. Menurut sertifikat, kapal ini hanya bisa menampung 40 orang atau sekitar 17 gross ton.Tapi pada saat kapal ini tenggelam muatan 2 kali lipat dari yang seharusnya atau sekitar 35 gross ton. Bila dibandingkan dengan jumlah korban yang belum ditemukan, yakni 193 orang, maka kapal ini memuat lima kali lipat penumpang dari yang seharusnya.
Dalam konferensi pers Marsekal TNI Madya Syaugi dari Kementrian Perhubungan menyebutkan bahwa cuaca dan kesalahan manusia jadi faktor utama kecelakaan ini. Faktor pertama adalah hal biasa yang terjadi di alam yang seharusnya bisa diperkirakan sebelumnya. Kendati demikian yang sering luput dari perhatian utama adalah kelalaian yang diakibatkan oleh kesalahan manusia (human error). Fakta ini dipertegas dengan tidak adanya jadwal pelayaran yang jelas, tidak adanya retribusi atau karcis, serta tidak ada rompi keselamatan yang mencukupi. Bahkan menurut Siswanto Rusdi, dari lembaga Nasional Maritime Institute,setelah mengkaji peristiwa in, ia menyimpulkan bahwa kapal-kapal ini secara hukum ilegal.
Tenggelamnya KM Sinar Bangun merupakan akumulasi buruknya transportasi air Indonesia. Menurut catatan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) moda transportasi air adalah penyumbang kecelakaan tertinggi di Indonesia. Pengawasan yang kurang serta standar kelayakan dan keselamatan yang lemah membuat kejadian seperti ini sering terulang. Sepanjang tahun 2012-2017, sumber yang sama menyebutkan bahwa korban meninggal mencapai 930 dan korban luka-luka 631 orang. Bila kita akumulasikan peristiwa ini tahun demi tahun, akan ada ribuan orang yang meninggal sia-sia dalam perjalanan yang tidak aman.
Pihak-pihak yang terkait selalu saling lempar tanggung-jawab. Yang satu mengatakan bahwa ini adalah salahnya syahbandar, dan yang lain mengatakan bahwa ini adalah salahnya Dinas Perhubungan dan Pemda setempat. Semua masalah berputar tanpa ada solusi kongkret. Namun, entah karena jujur atau keceplosan, menurut Siswanto Rusdi dari Lembaga Nasional Maritime Institute: “Lagipula keselamatan kan negara yang menjamin. Di dalam aturannya, keamanan harusnya Dirjen Perhubungan Laut. Jangan lagi disalahkan Pemda. Pemda itu kan dia kebagian pelimpahan saja. Kemenhub ini hal remeh-temeh dikasih ke Pemda yang ada duitnya dia kangkangin. Ini kan enggak fair.” Meskipun mengetahui sebelumnya bahwa ada standar kelayakan dan keselamatan yang tidak sesuai, asal ada uang semua bisa selesai. Dalam masyarakat kita uang adalah segalanya, bahkan bila itu bisa membawa petaka bagi orang lain. Inilah moralitas masyarakat kita, masyarakat kapitalis.
Nahasnya, selalu rakyat jelata yang menjadi korban atas kelalaian ini. Mereka harus berjubel-jubel penuh sesak menggunakan transportasi yang tidak aman. Sedangkan di sisi lain, segelintir orang kaya dalam masyarakat kita bisa mendapatkan akses terhadap transportasi yang aman, tanpa penuh sesak dan kepanasan. Selama ketimpangan ini masih dipertahankan akan selalu ada kecelakaan-kecelakaan seperti ini. Akan selalu ada moralitas “uang” dalam kepala manusia. Untuk mengakhirinya adalah perlu menghancurkan akar dari moralitas ini yakni: kapitalisme!