“Amerika tidak punya kawan atau lawan abadi, hanya kepentingan,” begitu tutur mantan Menlu AS Henry Kissinger. Sinisme semacam ini adalah santapan sehari-hari dalam koridor-koridor kekuasaan. Yang kemarin lawan, esok hari jadi kawan. Yang tempo hari saling maki cebong & kampret, hari ini setelah pemilu usai berjabat tangan untuk berbagi kue kekuasaan. Demikianlah babak penutup dari Pemilu 2019 kemarin.
Kita tentunya akan tersenyum puas melihat dua bocah yang sebelumnya bertengkar di perkarangan sekolah akhirnya berjabat tangan dan bermain bersama, bisa berbagi bersama ayunan yang sebelumnya jadi sumber percekcokan. Tetapi mereka yang tengah rujuk hari ini bukanlah dua bocah ingusan, dan tempat pertengkaran mereka bukanlah di perkarangan sekolah yang sempit, tapi medan politik bangsa yang melibatkan ratusan juta rakyat. Rakyat pekerja dijadikan pion-pion untuk dibenturkan satu sama lain, yang setelah dua bocah kita ini rujuk tidak akan kebagian giliran ayunan.
Oleh banyak pengamat dan politisi, rekonsiliasi ini disanjung sebagai sifat kenegerawanan dari kedua capres ini. “Pak Jokowi dan Pak Prabowo, mereka berdua adalah negarawan, tahu saatnya berkompetisi dan saatnya berangkulan seiring sejalan,” tutur Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Gus Yaqut.
“Pertemuan yang indah!” sanjung Ketua PBNU, Robikin Emhas, “semua kembali bersatu dan bahu membahu untuk Indonesia yang lebih baik.”
Prabowo tidak hanya bertemu dengan Jokowi, tetapi juga dengan Megawati setelahnya. Dengan pertemuan yang belakangan ini rumor rencana masuknya Gerindra ke dalam koalisi pemerintahan Jokowi pun menjadi semakin santer.
Amien Rais yang sebelumnya terkejut dengan Prabowo yang “nyelonong” bertemu dengan Jokowi kini menuntut pembagian kue kekuasaan 55:45, yakni 45 persen kursi untuk kubu Prabowo sesuai dengan persentase perolehan pilpres. Amien Rais, bunglon dari semua bunglon politik, penggagas “people power” yang terus membakar isu kecurangan pemilu, kini legowo menerima masuk ke koalisi pendukung pemerintah. Sekjen PAN Eddy Soeparno memberi indikasi mengapa ada pergantian hati ini. Eddy mengaku, “Selama 10 bulan kami di luar pemerintahan [setelah sebelumnya mendukung Prabowo pada pilpres 2014 tetapi lalu masuk ke Koalisi Indonesia Hebatnya Jokowi], ya pandangan pribadi saya, sesak nafas.” Dia tidak merinci apa yang dimaksud dengan “sesak nafas” tetapi kita tahu apa artinya itu: tidak kebagian jatah kue kekuasaan memang bisa membuat seorang “sesak nafas.”
Antara Jokowi, Prabowo dan Megawati, mereka semua terikat satu benang merah. Jubir Prabowo, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengomentari pertemuan Prabowo dengan Megawati, mengungkapkan benang merah ini: “Silaturahmi berlangsung empat mata antara dua tokoh bangsa yang pernah berpasangan sebagai capres dan cawapres, beliau berdua juga dua tokoh utama yang membawa Presiden Joko Widodo ke pentas politik nasional.” Inilah mengapa akan menjadi usaha yang sia-sia untuk memilah-milah mereka semua, mana yang sisa Orba, mana yang progresif.
Selain tentunya ada kepentingan sempit dari kubu pendukung Prabowo untuk bisa mencicipi kue kekuasaan, agar tidak “sesak nafas” bila di luar koridor kekuasaan, ada satu lagi faktor yang mendorong usaha rekonsiliasi ini. Di tengah iklim perekonomian dunia yang tidak stabil, yang terus mengancam prospek ekonomi Indonesia, ada dorongan dari kelas pemilik modal agar para perwakilan politik mereka bisa bersatu guna menciptakan iklim politik yang lebih stabil. Gonjang-ganjing kampanye pilpres yang berujung-ujung pada kerusuhan berdarah pasca-pilpres bukanlah sesuatu yang kondusif untuk bisnis dan investasi. Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian Apindo Drajad Wibowo mengekspresikan sentimen kelas kapitalis ini dengan keluhannya: “Yang rugi semua jadi chaos … Ini sudah demokrasi cukup jauh. Rakyatnya sudah lebih matang elitenya bikin kesel. Ada perbedaan pandangan rakyat oke. Rakyatnya sebenarnya adem ayem tapi elite yang bikin nafsu.”
Kelas kapitalis kali ini membutuhkan sebuah pemerintahan yang solid, yang dapat mengantarkan perubahan-perubahan yang diperlukan untuk memuluskan laju investasi atau kapital. Seperti yang disampaikan oleh pidato perdana Jokowi: “Kalau ada yang hambat investasi, saya hajar kalau perlu!” Undang-undang ketenagakerjaan adalah salah satu hambatan tersebut dan oleh karenanya UUK ini akan dihajar, dan bersamaan dengan itu gerakan buruh yang menentang revisi UUK akan jadi kena hajar pula. Untuk masalah hajar-menghajar ini, idealnya dibutuhkan pemerintahan yang tidak terpecah belah. Seperti yang dikatakan oleh Wakil Ketua Dewan Kehormatan PAN Drajad Wibowo: “55 ditambah 45 sama dengan 100 persen. Itu bersama-sama membantu Pak Jokowi dan Pak Ma’ruf sebagai Presiden dan Wapres,” dalam kata lain membantu “menghajar” apapun yang jadi hambatan kepentingan modal.
Tetapi tidak semua pihak tentunya setuju dengan rekonsiliasi. Dari kubu Prabowo, ada yang lebih memilih menjadi oposisi di luar pemerintahan. Klaim mereka adalah ini demi demokrasi, demi “check and balance” dan “accountability” pemerintah. Tetapi sesungguhnya perhitungannya adalah mereka tidak ingin bertanggung jawab atas kebijakan-kebijakan rezim yang tidak populer, dan dengan demikian di hari depan bisa memetik kapital politik dari menjadi oposisi. Sementara dari kubu Jokowi yang menolak ataupun ragu dengan rekonsiliasi ini, mereka melihatnya dari jatah kue kekuasaan mereka yang akan menjadi lebih kecil kalau harus menaungi kubu Prabowo. Megawati pun sudah memberi isyarat di pidato pembukaan Kongres PDI Perjuangan, bahwa PDI-P harus dapat jatah menteri terbanyak. Satu hal yang pasti, tarik ulur negosiasi rekonsiliasi ini tidak melibatkan suara rakyat pekerja sama sekali.
Apapun hasil akhir dari drama rekonsiliasi ini, entah Gerindra di luar atau di dalam koalisi, serangan-serangan akan — dan telah — diluncurkan melawan rakyat pekerja. Kubu 01 dan 02 akan seiya sekata dalam hal membela kepentingan pemilik modal.
Rakyat pekerja menuntut rekonsiliasi, tetapi bukan rekonsiliasi elit yang berdasarkan politik dagang sapi. Rakyat pekerja menuntut rekonsiliasi atau persatuan di antara diri mereka sendiri yang telah dipecah-belah selama kampanye pilpres ini. Persatuan yang kita inginkan adalah persatuan rakyat pekerja yang sebelumnya mendukung Jokowi atau Prabowo, persatuan kelas untuk pecah dari mereka, persatuan yang berdasarkan perlunya membangun kemandirian politik dari partai-partai kelas penguasa yang ada, persatuan yang berdasarkan perjuangan melawan revisi UUK, PP78, penyerobotan tanah kaum tani, penggusuran kaum miskin kota, dan semua usaha untuk “menghajar” rakyat pekerja demi investasi.