Virus Corona telah meluas di seluruh penjuru dunia dan mengguncang masyarakat dari atas hingga bawah. Di atas segalanya, epidemi Covid-19 ini telah mengungkapkan semua kebobrokan sistem kapitalisme yang ada, membuatnya terpampang dengan jelas di hadapan seluruh rakyat pekerja. Kontradiksi antara profit versus nyawa manusia terpapar jelas dan membuat geram rakyat pekerja.
Dua bulan setelah virus ini mulai menyebar, pemerintah Indonesia masih membatasi informasi jumlah data orang yang terinfeksi, dengan dalih mencegah kepanikan. Namun yang sesungguhnya dikhawatirkan oleh pemerintah adalah terganggunya arus investasi kapital ke dalam Indonesia, sehingga rejim mencoba melakukan segalanya untuk mengabaikan seriusnya situasi yang ada, untuk menciptakan ketenangan di antara investor. Bahkan sebelumnya pemerintah mencoba menggalakkan industri pariwisata, yang jelas-jelas berarti mengakomodasi menyebarnya virus Corona.
Setelah data dirilis – dan data inipun akurasinya dipertanyakan – upaya serius untuk menanggulangi ini masih belum juga dilakukan. Upaya lockdown masih tarik ulur. Tes massal untuk mendeteksi jumlah orang yang terinfeksi belum juga dilakukan. Berdasarkan satu perhitungan, ada kemungkinan Indonesia bisa menghadapi 70 ribu kasus Covid-19 pada akhir April.
Langkah-langkah menjaga kebersihan diri, isolasi diri dan social distancing diserukan, tapi ini hanya bisa dilakukan oleh lapisan tertentu masyarakat. Jubir pemerintah terkait penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan individu yang dinyatakan positif harus melakukan isolasi mandiri di kediaman masing-masing. “Belum tentu hasil yang positif ini membutuhkan rawatan di rumah sakit. Prinsipnya adalah isolasi,” kata Yurianto (21/3/2020).
Kata-kata ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Para pejabat kita yang terhormat ini entah pura-pura bodoh atau memang sungguh tidak memahami kondisi kehidupan rakyat kecil. Kenyataannya lapisan pekerja miskin di perkotaan, yang tinggal di petak-petak rumah kecil, tidak mudah menerapkan aturan seperti ini. Mobilitas yang tinggi, berdesak-desakan di transportasi publik, di pabrik-pabrik maupun di rumah-rumah, akan membuat virus dengan cepat menyebar. Bila virus sudah menyentuh wilayah padat penduduk dan wilayah industri, ini akan menyebar dengan cepat dan sulit diatasi. Cara pemerintah yang membuang-buang waktu untuk mengatasi virus hanya akan menyiapkan kuburan bagi jutaan rakyat miskin.
Alih-alih membangun sistem kesehatan yang bisa diakses semua orang dan mengatasi masalah ini dengan cepat, kata-kata dari pemerintah hanya menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki kepentingan terhadap kesehatan rakyat pekerja. Orang-orang kaya dapat dengan mudah melakukan isolasi. Mereka dapat mengakses rumah sakit swasta tanpa antrean. Sementara lapisan luas rakyat pekerja dan tertindas akan membusuk sebelum mereka tahu mendapati dirinya terkena virus.
Semua lapisan sosial cemas. Banyak wawancara tenaga medis di televisi-televisi menunjukkan kegeraman mereka terhadap ketidakkompetenan pemerintah dan kurang memadainya penyediaan sarana-sarana kesehatan. Banyak tenaga medis mengaku telah mengalami kesulitan menangani penyebaran virus ini. Selain cepatnya penyebaran virus karena kebijakan pemerintah yang kacam balau, banyak tenaga medis yang masih kekurangan Alat Pelindung Diri (APD).
“APD menjadi isu strategis dan kami sangat concern membahas itu. Tenaga kesehatan di lapangan sudah teriak-teriak kurang (APD),” ujar Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Faqih (16/3).
Hal senada disampaikan juga oleh banyak rumah sakit lainnya. Nily Setyorini, jubir Rumah Sakit Airlangga Surabaya menjelaskan bahwa rumah sakit begitu cepat kehabisan masker wajah dan baju karena masuknya baru-baru ini pasien-pasien Covid-19. Dari Rumah Sakit Adam Malik di Medan, jubir Rosaria memohon: “Kami membutuhkan 100 set alat kesehatan pelindung per hari. Tolong bantu kami – peralatan kesehatan pelindung sangat dibutuhkan untuk tim medis kami yang telah merawat pasien Covid-19.”
Kabar yang beredar, sudah banyak tenaga kesehatan menyiasati kurangnya APD dengan menggunakan plastik seadanya, termasuk jas hujan plastik yang dimodifikasi hingga mereka hanya memakai masker biasa. Bila semua faktor antara kecepatan penyebaran virus dan kemampuan fasilitas kesehatan ini digabungkan, maka ini adalah resep menuju bencana. Mayoritas rakyat pekerjalah yang akan menjadi korban dari bencana ini.
Langkah-langkah serius harus segera dilakukan. Upaya preventif yang radikal, terencana dan menyeluruh harus dilakukan. Tetapi jelas, ini bukan tugas yang bisa dipenuhi oleh rejim kapitalis. Mereka tidak kompeten, dan terlebih lagi, memiliki prioritas yang berbeda, yaitu menjaga kepentingan ekonomi para pemilik modal. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia, langkah pertama yang dilakukan semua rejim kapitalis adalah memompa ratusan miliar dolar untuk kapitalis, untuk menjaga agar bursa saham tidak anjlok lebih lanjut.
Sistem pasar bebas kapitalisme telah terbukti tidak mampu melindungi rakyat pekerja dari epidemi Covid-19. Ini karena kapitalisme dirancang bukan untuk memenuhi kebutuhan manusia tetapi untuk meraup profit. Yang dibutuhkan sekarang adalah sistem perencanaan ekonomi yang terpusat dan demokratik, demi kebutuhan manusia.
Untuk layanan kesehatan misalnya, sudah ada kasus-kasus dimana rumah sakit menolak pasien Covid-19 dengan dalih bisa menurunkan kredibilitas rumah sakit tersebut, sehingga akan dijauhi pasien (atau konsumen tepatnya). Pada akhirnya ini menempatkan masalah kapasitas kesehatan dan kontrol atas kesehatan yang tidak bisa diserahkan di tangan segelintir perusahaan-perusahaan swasta. Rumah-rumah sakit swasta ini harus segera dinasionalisasi dan dikerahkan sebagai bagian dari perencanaan kesehatan nasional untuk memerangi epidemi Covid. Tidak ada satupun RS yang diperbolehkan untuk meraup profit dari situasi krisis kesehatan ini.
Untuk pengadaan suplai medis (masker, APD, hand sanitizer, alat tes, alat ventilator, obat-obatan), seluruh industri ini – dari hulu hingga hilir – harus segera diambil alih. Para kapitalis kini menggunakan kesempatan ini untuk meraup profit, dengan menjual ke pihak yang mampu membayar harga yang tertinggi, sesuai dengan hukum pasar bebas. Tidak boleh ada profit untuk pengadaan barang yang begitu dibutuhkan. Seluruh industri produk-produk kesehatan harus dinasionalisasi, dan produksi serta distribusinya direncanakan untuk keperluan rakyat dalam memerangi Covid-19. Dengan demikian semua rumah sakit bisa langsung disuplai dengan peralatan-peralatan medis, yang dapat menjamin kesehatan para pekerja medis dan dengan demikian mereka punya kepercayaan diri untuk memberikan pelayanan kesehatan pada para pasien Covid.
Meningkatnya jumlah orang yang terinfeksi akan membuat pasien memenuhi rumah sakit-rumah sakit dan ini menempatkan resiko yang besar pada pekerja medis yang berhubungan langsung dengan pasien terjangkit. Bila rumah sakit tidak lagi bisa menampung pasien, semua gedung, hotel, dan rumah-rumah kosong yang selama ini menjadi bisnis properti harus diambil alih dan dialih-fungsikan untuk tempat isolasi pasien.
Satu lagi kebijakan penting adalah memperluas lockdown ini dengan menutup perusahaan-perusahaan non-esensial, dengan jaminan gaji buruh dibayar selama lockdown. Selama jutaan pekerja masih harus berangkat kerja, berdesakan di bis-bis dan kereta-kereta, di pabrik-pabrik dan kantor-kantor, maka semua usaha untuk mencegah penyebaran virus Corona tidak ada gunanya. Kebijakan lockdown dan isolasi tidak bisa dilakukan setengah-setengah. Lockdown ini tidak bisa diserahkan kepada tiap-tiap pengusaha, tetapi harus dilakukan serentak di seluruh Indonesia. Bila pengusaha tidak bisa menjamin pembayaran upah bagi buruh yang dirumahkan, maka perusahaan dan rekening bank pemilik modal harus disita untuk menanggung upah buruh.
Pekerja di sektor-sektor esensial bisa terus bekerja dengan jaminan akan keamanan kesehatan mereka. Tempat-tempat kerja harus direorganisasi untuk menerapkan protokol kesehatan yang ketat, dan ini harus dilakukan oleh pekerja sendiri. Sesuatu yang penting seperti ini tidak bisa diserahkan ke pengusaha, yang jelas sejak awal tidak punya niat melindungi keamanan dan kesehatan pekerja, dan hanya memikirkan profit. Reorganisasi tempat kerja ini bisa dilakukan oleh serikat buruh. Bila tidak ada serikat – atau serikat yang ada melempem dan tidak efektif – maka pekerja harus membentuk komite mereka sendiri untuk menerapkan protokol kesehatan dan mengatur pekerjaan mereka.
Lonjakan harga merupakan hal yang tidak terelakkan selama ekonomi masih dijalankan dengan metode pasar bebas dan bermotif laba. Untuk mencegah lonjakan harga, spekulasi dan penimbunan barang-barang kebutuhan pokok, maka seluruh industri bahan-bahan kebutuhan pokok (dari produksi, distribusi hingga penjualan) harus diambil alih dari tangan kapitalis. Dengan koordinasi terpadu, harga harus dikontrol. Untuk jutaan rakyat miskin yang akan kehilangan pendapatan mereka selama lockdown dan isolasi, barang-barang kebutuhan pokok disalurkan langsung ke mereka. Rakyat pekerja dapat membentuk komite-komite lingkungan untuk mengatur distribusi ini, agar tidak dikorupsi dan diselewengkan oleh pejabat-pejabat setempat.
Kelas pekerja mempunyai kepentingan langsung atas hidup ini, karena kelas pekerja adalah mayoritas yang menghuni planet ini. Jelas pemerintahan hari ini lebih takut pada ancaman runtuhnya ekonomi dan profit mereka daripada kehidupan jutaan orang. Sementara kelas pekerja dan rakyat tertindas melihat satu kematian sebagai tragedi, kelas penguasa melihat jutaan kematian hanya masalah statistik. Nasib jutaan rakyat pekerja tidak bisa dikorbankan atas nama profit. Pilihannya adalah: kapitalisme yang mengubur kita atau kita yang mengubur kapitalisme. Untuk mengakhiri pandemi ini, kelas pekerja harus segera meraih kontrol atas tuas-tuas ekonomi penting dan merencanakannya secara harmonis. Ini adalah tugas yang hanya bisa dilakukan oleh rakyat pekerja: buruh, tani, nelayan, dan kaum miskin kota. Kita tidak bisa lagi menggantungkan harapan kita pada pemerintahan yang ada dan sistem kapitalisme yang berkuasa. Mereka telah terbukti gagal.