Pada Agustus kemarin, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Rektor Universitas Lampung (Unila) Karomani dan sejumlah pejabat Unila lainnya. Mereka ditangkap karena telah menggunakan wewenangnya untuk memperkaya diri melalui praktik suap menyuap terkait program Seleksi Mandiri Masuk Unila (Simanila). KPK menyita uang tunai ratusan juta rupiah dengan pecahan seratus ribu dan lima puluhan ribu dari ruang kerja dan ruang tidur Karomani. Kasus suap menyuap ini merupakan puncak gunung es dari masalah korupsi di lembaga pendidikan. Kasus ini dengan sendirinya melambangkan betapa busuknya lembaga pendidikan tinggi yang menjadi pilar kapitalisme.
Menurut Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron “para tersangka meminta kepastian kesanggupan orang tua calon mahasiswa untuk membayarkan sejumlah uang jika anak mereka ingin lulus dalam Simanila.” Mereka mematok tarif beragam, minimal 100 juta sampai 350 juta rupiah kepada orang tua calon mahasiswa yang ingin lolos jalur Simanila.
Praktik suap ini juga sudah berlangsung lama. Ketua pers mahasiswa Unila Ihwana Haulan mengungkapkan, “Kami yakin dan percaya, OTT yang menimpa rektor dan jajarannya ini bukan kasus yang baru. Karena di tahun 2019 kami ada catatan bahwa ada seseorang yang menghubungi kami. Dia mengaku sebagai korban dari kasus-kasus yang dilakukan oleh birokrat kampus.”
Kasus korupsi dan suap menyuap sebenarnya sudah menjadi rahasia umum di universitas, baik negeri maupun swasta. Hanya saja banyak yang belum terekspos. Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Siti Juliantari mengatakan, “ICW telah melakukan pemantauan terhadap korupsi di perguruan tinggi dalam rentang waktu 10 tahun. Sejak tahun 2006 hingga Agustus 2016, tercatat sedikitnya 37 kasus korupsi yang terkait dengan perguruan tinggi. Tren korupsi di perguruan tinggi semakin meningkat, bukannya menurun.”
ICW mencatat, kasus-kasus korupsi ini melibatkan pejabat dan pegawai dari berbagai jajaran: “Rinciannya yaitu 32 orang pegawai dan pejabat struktural di tingkatan fakultas atau universitas, 13 Rektor atau Wakil Rektor, 5 dosen, 2 orang pejabat pemerintah daerah, dan 10 orang dari pihak swasta.” Ini menunjukkan bagaimana akar korupsi ini begitu dalam dan menyebar dalam institusi pendidikan.
Modus korupsi yang paling banyak digunakan adalah pengadaan barang. Tercatat 14 dari 37 kasus yang ditemukan menggunakan modus pengadaan barang dan jasa. Modus ini pernah terjadi di Universitas Airlangga (Unair) pada 2016 lalu, yang menjerat Rektor Unair Fasichul Lisan. Praktik korupsi lainnya yang umum adalah suap atau “jual beli” nilai. Kasus jual beli nilai pernah terbeber pada Oktober 2014 lalu di Universitas Gunadarma. Terungkap ada pegawai universitas yang mengubah nilai dengan harga 250 ribu rupiah per mata kuliah. 300 mahasiswa kala itu terancam gagal wisuda karena terlibat “jual beli” nilai.
Sudah terdapat banyak bukti mengenai maraknya praktik korupsi di lembaga pendidikan, baik dari KPK, aktivis-aktivis mahasiswa anti korupsi, dan organisasi-organisasi anti korupsi lainnya. Namun mengapa sampai hari ini praktik suap menyuap antara birokrat kampus dan orang tua calon mahasiswa belum juga dapat teratasi secara permanen? Meskipun di kelas telah ada mata kuliah dan bahkan seminar-seminar anti korupsi dan berbagai cara lainnya, namun mengapa itu tak cukup untuk menghilangkan kegiatan korupsi dalam lingkungan universitas? Korupsi tidak bisa diakhiri dengan ceramah moral. Korupsi adalah fenomena yang inheren dalam sistem yang berorientasi profit: kapitalisme. Ketika pendidikan berorientasi pasar, maka sistem itu sendiri menciptakan ekses-ekses korupsi bagi pejabat untuk memperkaya dirinya sendiri. Selain itu sistem pendidikan kapitalis yang hierarkis, yang dikontrol dari atas tanpa keterlibatan aktif dari seluruh komunitas, juga menciptakan kesempatan bagi pejabat untuk menyalahgunakan wewenang mereka.
Permasalahan ini sudah sangat mengakar di dunia pendidikan. Oleh karena itu mengakhiri korupsi berarti harus merombak secara revolusioner sistem pendidikan kita. Pendidikan, seperti halnya alat-alat produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak lainnya, harus dimiliki dan dikontrol secara demokratik oleh pekerja. Konkretnya, ini berarti keterlibatan aktif dan demokratik dari seluruh anggota komunitas dalam menjalankan lembaga pendidikan: pelajar, mahasiswa, staf akademik dan non-akademik, serta anggota komunitas luas. Setiap pemangku jabatan (rektor, dekan, dll.) harus dipilih oleh seluruh anggota komunitas pendidikan, yang bisa di-recall setiap saat. Semua anggota komunitas pendidikan, bahkan termasuk keluarga atau orang tua pelajar, terlibat aktif dalam pengambilan keputusan di lembaga pendidikan, serta eksekusi dan evaluasinya. Dengan demikian akan ada transparansi dan akuntabilitas yang sejati. Tidak lagi ada monopoli kekuasaan, seperti yang dimiliki oleh para pejabat kampus yang bisa menentukan siapa yang lulus atau tidak, yang punya kontrol eksklusif atas anggaran belanja universitas, dan privilese lainnya. Hanya dengan cara ini maka kita dapat memerangi korupsi, ketika kekuasaan tidak lagi ada di tangan segelintir orang tetapi ada di tangan seluruh rakyat.