Lebih dari seminggu ratusan massa tumpah ruah ke jalan dalam aksi demonstrasi menentang kebijakan Parlemen Nasional Timor-Leste (RDTL) yang berencana untuk membeli mobil mewah Pajero Sport dan laptop untuk anggota parlemen. Aksi ini diinisiasi oleh pemuda, buruh, petani, dan mahasiswa yang tersatukan dalam sebuah aliansi yang dinamakan Aliansi Maubere Nasional (AMN). Aksi ini dimulai pada 7 November. Massa aksi direpresi dengan brutal oleh polisi. Banyak demonstran juga ditangkapi. Sudah ada 39 demonstran ditangkap bahkan sebagian di antaranya adalah penyandang disabilitas. Menurut keterangan dari salah satu juru bicara AMN, aksi ini akan terus berlanjut hingga suara dari demonstran ini didengarkan.
Dalam demonstrasi tersebut para demonstran mengutuk kebijakan para pejabat negara yang lebih mengutamakan kemewahan untuk diri mereka daripada mayoritas rakyat yang masih hidup dalam kemelaratan. Slogan-slogan seperti “Bubarkan sarang korupsi!”, “Hancurkan demokrasi minoritas atas mayoritas rakyat!” begitu terdengar keras dari para demonstran. Para demonstran ini memprotes dan meminta kepada para anggota parlemen untuk menghentikan rencana untuk membeli mobil dan laptop tersebut dan mengalokasikan dana tersebut ke sektor-sektor yang lebih produktif seperti sektor pendidikan, kesehatan, dan menggunakan anggaran negara untuk menciptakan lapangan pekerjaan.
Dalam menanggapi tuntutan-tuntutan tersebut, Wakil Presiden Parlemen Maria Angelina Sarmento mengatakan bahwa rencana membeli mobil untuk anggota parlemen adalah sebuah keharusan sesuai mandat konstitusi. Presiden Parlemen Aniceto Guterres mencoba menenangkan massa dengan mengatakan: “Saya sepakat dengan para mahasiswa dan pemuda yang lagi berdemonstrasi itu tapi kembali lagi ke masing-masing anggota parlemen.” Tanggapan dari kedua pemimpin parlemen tersebut tampaknya berbeda tetapi sebenarnya pendapat mereka itu bagaikan dua sisi dari koin yang sama, yakni sama-sama tidak menggubris aspirasi rakyat.
Seorang anggota parlemen dari faksi Uniaun Demokratiku Timorense (UDT) dengan bodoh berkeberatan bahwa parlemen dianggap sebagai sarang korupsi oleh para demonstran. Menurut dia, hanya pengadilan yang bisa memutuskan seseorang itu koruptor atau tidak. Tapi semua orang tahu tanpa harus lewat pengadilan bahwa parlemen dan semua institusi negara adalah sarang korupsi. Rakyat telah melihat begitu banyak kemewahan dari para penjabat di tengah-tengah penderitaan yang mereka alami. Mereka tidak perlu lulus sarjana hukum untuk melihat kenyataan yang begitu mencolok. Negara dan semua aparatusnya telah busuk dari cabang sampai ke akar-akarnya.
Sudah dua dekade lebih Timor-Leste berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka, namun rakyat pekerjanya sesungguhnya belum merdeka dari kemiskinan dan kemelaratan. Dalam setiap pilpres maupun pileg, setiap partai dan anggota-anggotanya selalu berjanji memperbaiki kehidupan rakyat secara umum. Namun setelah mereka terpilih, mereka segera menunjukkan keserakahan untuk memperkaya diri dan kroni-kroni mereka. Semua kenyataan tersebut membuat kepercayaan rakyat semakin turun pada lembaga negara dan sistem yang ada. Rakyat mulai tiba pada kesimpulan bahwa parlemen adalah sarang korupsi. Kemerdekaan Timor Leste hanya memerdekakan kaum kapitalis dan para politisi untuk meraup kekayaan besar.
Suara-suara kritis terhadap pemerintahan semakin berkembang luas di antara rakyat Timor Leste. Gabriel Fonsiano de Souza dari Asosiasi Disabilitas Mata Timor Leste (ADMTL) dalam intervensi di aksi tersebut mengatakan, “kita tidak mau uang negara dikorupsi sama mereka, mereka tidak mewakili kepentingan rakyat sama sekali”. Hari ini rakyat semakin kritis terhadap institusi-institusi politik negara. Rakyat telah mulai menyadari bahwa institusi politik seperti parlemen tidak mewakili kepentingan rakyat sama sekali. Mereka hanya berkepentingan memperkaya diri mereka sendiri dengan menjarah kekayaan negara.
Di hari-hari normal rakyat mungkin bisa menoleransi ketidakbecusan bahkan bisa menerima pemerintahan yang korup. Tapi di masa-masa krisis semua ini bisa memicu protes dan ledakan sosial. Kondisi inilah yang melatarbelakangi protes saat ini. Kelas penguasa hari ini sudah tidak bisa lagi menjamin syarat bagi berlanjutnya sistem mereka, dan kelas-kelas di bawahnya sedang mempertanyakan kondisi tersebut. Meskipun protes ini masih kecil dalam skala dan cakupannya, tapi ini hanya masalah waktu. Demonstrasi ini hanyalah gejala kecil dari proses-proses molekular revolusi yang tengah berlangsung di bawah permukaan. Cepat atau lambat Timor Leste akan mengikuti skala protes seperti halnya di Sri Lanka maupun Iran.