Sejak diumumkan pendiriannya pada 2021 kemarin, Partai Buruh terus mengumandangkan slogan “We are the working class”. Para pemimpinnya terus menekankan bahwa ini adalah partainya kelas pekerja. Tetapi, bila kita perhatikan lebih dekat, kita akan temui disclaimer yang tidak disebutkan secara terbuka oleh para pemimpin ini, yakni “we are the working class … yang siap berkolaborasi dengan kelas kapitalis”. Tambahan yang belakangan ini membuat pernyataan “we are the working class” menjadi tidak berguna sama sekali, dan bahkan bertentangan dengan semangat yang sesungguhnya.
Dalam konferensi pers menyusul pengundian nomor pemilu, ketua Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, salah satu pilar program Negara Kesejahteraan Partai Buruh adalah kesetaraan kesempatan, yang dia ringkas sebagai “Kalian [kapitalis] boleh saja kaya, tetapi jangan miskinkan kami.” Yang dimaksud di sini oleh Said Iqbal adalah semua kelas, buruh dan modal, bisa sama-sama makmur bila saja ada kerja sama yang baik antara semua pihak. Cara berpikir seperti ini bukanlah pertama kalinya diutarakan oleh kepemimpinan reformis gerakan buruh. Keseluruhan cara pandang dan kerja reformis adalah membina hubungan harmonis antara buruh dan modal. Namun, cara pandang ini bertentangan dengan realitas yang ada.
Sejarah dari semua masyarakat manusia sampai hari ini adalah sejarah perjuangan kelas. Kita hidup di dalam masyarakat yang terbagi ke dalam kelas-kelas dengan kepentingan antagonistik yang tak terdamaikan. Di satu sisi adalah kelas penghisap, yakni kelas kapitalis dalam masyarakat hari ini. Di sisi lain adalah kelas yang terhisap, yaitu kelas buruh dan tani. Dari masa ke masa, penghisapan ini mengambil bentuk yang berbeda, tetapi intinya tetap sama: mayoritas kelas terhisap adalah kelas yang bekerja dan menghasilkan nilai lebih, sementara minoritas kelas penghisap yang tidak bekerja merebut nilai lebih tersebut. Kedua kelas ini oleh karenanya memiliki kepentingan yang tak terdamaikan, dan terus berbenturan. Budak melawan pemilik budak; tani melawan tuan tanah feodal; dan hari ini buruh melawan kapitalis; demikianlah perjuangan kelas yang terus bergulir dari masa ke masa.
Untuk melanggengkan kekuasaan mereka, kelas penguasa berusaha mengaburkan adanya pertentangan kelas. Cara pertama: dengan menyangkal adanya kelas-kelas dalam masyarakat. Kita diberitahu bahwa semua adalah warga negara sebuah bangsa dengan hak dan kewajiban yang sama, bahwa semua disatukan oleh kebangsaan dan tanah air. Inilah tujuan utama dari nasionalisme dan patriotisme. Cara kedua: walaupun mengakui adanya kelas-kelas dengan kepentingan yang berbeda, tetapi kelas-kelas yang berbeda ini bisa berkolaborasi membangun hubungan yang harmonis. Memang ada dua kelas yang bertentangan, tetapi hanya dalam pengertian bahwa buruh adalah penjual tenaga kerja dan kapitalis adalah pembeli; yaitu pada dasarnya konflik antara penjual dan pembeli. Ini mendasari cara berpikir dan bertindak banyak pemimpin reformis serikat buruh. Mereka melihat serikat tidak lebih dari organisasi untuk melakukan negosiasi ekonomi bagi penjual (buruh) dengan pembeli (majikan). Alih-alih melakukan negosiasi jual-beli secara individual, serikat dilihat sebagai cara untuk menjual tenaga kerja secara borongan, sehingga meningkatkan daya tawar. Sehingga, bila pun serikat terdorong untuk mogok, pemogokan ini — dan biasanya hanya berhenti di ancaman saja — dianggap sebagai penekan untuk mendapatkan perjanjian yang lebih baik.
Tetapi hubungan antara buruh dan kapitalis bukanlah seperti antara penjual dan pembeli yang setara. Buruh tidak memiliki pilihan lain selain menjual daya kerjanya (labour power) kepada kapitalis yang menguasai dan memiliki sarana produksi. Situasi ini, dimana buruh tidak memiliki akses ke sarana produksi dan kelas kapitalis memonopolinya, membuat kedua kelas ini tidak setara. Bahkan bila kapitalis mengupah buruh dengan seadil-adilnya, tanpa 1001 cara yang biasa digunakan majikan untuk menipu buruh, hubungan eksploitatif tetap berlaku. Buruh memproduksi nilai lebih yang melampaui nilai upah mereka, dan nilai lebih inilah yang dirampas oleh kapitalis dalam bentuk profit. Tanpa perlu bekerja, dan mengandalkan klaim kepemilikan pribadi atas alat produksi, kapitalis memperoleh nilai lebih dari buruh. Inilah penghisapan yang terjadi, yang membuat dua kelas ini bertentangan.
Kapitalis hanya bisa meraup profit dengan menekan upah. Semakin besar profit kapitalis, maka semakin rendah upah buruh, dan begitu juga sebaliknya. Seluruh keberadaan kapitalis didikte oleh usaha mereka untuk terus meningkatkan laba. Ini hukum ekonomi yang tidak bisa diganggu gugat dengan memohon “Jangan miskinkan kami”. Faktanya tidak bisa dibantah, bahwa hari ini jurang antara yang kaya dan miskin di seluruh dunia telah mencapai tingkatan tanpa preseden.
Kebijakan kolaborasi kelas para pemimpin Partai Buruh hari ini terungkap lagi dengan jelasnya selama rakernas PB kemarin pada 14-18 Januari 2023. PB menemukan dirinya mendukung capres-cawapres borjuis, dan sungguh slogan “We are the working class” jadi lelucon yang tidak lucu. 15 dari 38 cabang provinsi PB mengusulkan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, politisi borjuis dari PDI-P yang beberapa kali pernah diperiksa oleh KPK, terakhir mengenai kasus korupsi e-KTP. Sementara, 6 cabang merekomendasikan Anies Baswedan, seorang politisi borjuis yang siap sedia berkolaborasi dengan elemen-elemen reaksioner dan bigot. Sementara untuk cawapres, 21 provinsi mengusulkan Arsjad Rasjid, seorang kapitalis besar dan ketua umum Kamar Dagang Indonesia (KADIN). Berlaga saja belum, mendapatkan kursi saja belum, tetapi para pemimpin PB sudah melakukan politik dagang sapi di belakang layar.
Said Iqbal mencoba membenarkan ini, dengan mengatakan: “Kami butuh pengusaha yang baik, Jangan berhadap-hadapan walaupun kami kelas pekerja. Seperti Lula, dia sayap Kiri tengah, tetapi wakil presidennya adalah sayap kanan. Lula berkompromi juga. Tapi [dengan kapitalis] yang baik, yang bukan pro outsourcing, yang bukan pro upah murah, … yang bukan perampas tanah tani, bukan koruptor.” Tidak ada kapitalis yang baik. Ini hanya ada di film saja, fantasi belaka. Terlebih, bahkan bila memang para pemimpin ini menginginkan kapitalis yang baik, yang bukan pro upah murah, tentunya ketua KADIN bukan model yang baik.
Said Iqbal kerap menggunakan Partai Buruh Brasil (PT) dan Lula sebagai contoh. Tetapi justru kebijakan kolaborasi kelas Lula dan para petinggi PT yang lalu membuka jalan bagi kemenangan Bolsonaro pada 2018. Setelah berkuasa, para politisi PT bertingkah tidak berbeda dari para politisi borjuasi yang korup dan busuk. Di tengah krisis kapitalisme, mereka menjadi pengelola krisis ini dengan meluncurkan serangan-serangan austerity terhadap rakyat pekerja. Ini sama sekali bukan contoh yang baik. Lula dan PT bisa menang kembali pada 2022 karena rakyat mencari jalan keluar dari pemerintahan reaksioner Bolsonaro, dan terdorong untuk memilih Lula dan PT demi mengalahkan Bolsonaro. Bolsonaro sudah dikalahkan, tetapi Bolsonaro-isme, yaitu kondisi-kondisi krisis kapitalisme yang melahirkan Bolsonaro, masih hidup. Kebijakan kolaborasi kelas dan pro-kapitalis pemerintahan Lula hanya akan menciptakan kekecewaan dan pada akhirnya akan membuka jalan bagi kemenangan Bolsonaro — atau figur-figur sepertinya.
Dengan kebijakan kolaborasi kelas seperti ini, jangan heran kalau Partai Buruh akan melempem nantinya. Rakyat pekerja luas tidaklah bodoh. Mereka bisa melihat kalau PB hanya memainkan politik kongkalikong yang sama seperti parpol-parpol lainnya. Bila PB hari ini bisa lolos verifikasi pemilu, ini bukanlah karena adanya massa luas yang terlibat di dalamnya dan terinspirasi oleh programnya. Ini hanya berkat jaringan organisasi serikat-serikat massa yang ada di dalamnya, yang dengan kemampuan logistiknya mampu memenuhi syarat KPU. Maka dari itu, PB diisi oleh birokrat dan reformis yang sama, yang telah bertanggung jawab atas kekalahan demi kekalahan gerakan buruh selama 10 tahun terakhir. PB hari ini tidak lebih dari kelanjutan dari kebijakan kolaborasi kelas para pemimpin tersebut.
Di masa ketika kapitalisme telah memasuki krisisnya yang paling dalam, ketika semakin banyak rakyat mempertanyakan tatanan yang ada, kita justru memiliki para pemimpin buruh yang siap sedia berkolaborasi dengan kelas kapitalis. Para pemimpin reformis ini membayangkan bahwa kapitalisme akan dapat memberikan reforma (“negara kesejahteraan”) bagi rakyat pekerja bila saja mereka membangun hubungan yang harmonis dengan kapitalis. Tetapi masalahnya, krisis kapitalisme sudah tidak memungkinkan reforma yang berarti. Krisis kapitalisme berarti krisis reformisme, karena apa artinya reformisme yang tidak mampu menghantarkan reforma. Sebaliknya, para pemimpin reformis, ketika mereka berkuasa, justru menjadi pengusung kontra-reforma.
Kelas buruh membutuhkan partainya sendiri, tetapi partai yang memperjuangkan kemandirian kelas. “We are the working class” jadi slogan hampa tanpa kemandirian kelas. Rakyat pekerja sudah muak dengan politik dagang sapi, dimana suara mereka diperjual belikan. Dari apa yang telah kita lihat, para petinggi PB jelas hanya menggunakan partai ini sebagai sarana negosiasi parlementer. Bukan partai politik seperti ini yang dibutuhkan kelas buruh, dan bukan pemimpin demikian yang mereka butuhkan pula. Kelas buruh membutuhkan pemimpin dan partai yang berjuang secara prinsipil dan mandiri melawan kapitalisme, yang bersandar pada kekuatan aksi massa dan bukan parlementerisme yang sempit.