Gagasan bahwa kelas buruh telah dibeli dan terlalu konservatif untuk memenangkan revolusi sosialis sudah mengakar di antara kaum intelektual kiri dan para pemimpinnya sejak dulu kala. Intelektual kiri seperti ini memberitahu kita bahwa revolusi sosialis tidaklah realistis, sudah dicoba sebelumnya, atau bahkan lebih parah lagi, buruh terlalu sibuk dengan hal-hal duniawi untuk mengorganisir revolusi. Argumen ini selalu disajikan sebagai sesuatu yang baru. Pada kenyataannya, gagasan ini telah didaur-ulang berkali-kali oleh kaum intelektual borjuis-kecil dari masa ke masa. Mereka yang ingin membenarkan oportunisme politik mereka selalu menemukan cara untuk menyalahkan kelas buruh.
Mazhab Frankfurt, atau Institut für Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial), telah menyebarluaskan gagasan bangkrut seperti ini dan memberinya penampilan kredibilitas intelektual. Pemikir-pemikir kuncinya – Adorno, Horkheimer dan Marcuse – sering kali dianggap “Marxis”, dan bahkan, bila Anda dapat percaya, Marxis Abad ke-20 yang paling inovatif. Kaum “Marxis” ini sesungguhnya menyediakan tabir quasi-intelektual bagi kaum pseudo-intelektual kiri yang telah mencampakkan radikalisme mereka dan telah menyesuaikan diri mereka dengan masyarakat borjuis.
Para pendukung Mazhab Frankfurt berargumen: kapitalisme masih berjaya, kapitalisme telah berubah banyak sejak jamannya Marx, dan oleh karenanya, tentunya Marxisme perlu diperbaharui. Mereka menekankan bahwa kelas buruh telah kehilangan sebagian ‘agensi’ revolusioner mereka, dan ini disebabkan oleh peran kultur massa yang semakin menguat, yang menurut mereka tidak dipertimbangkan oleh Marx. Mereka mengklaim bahwa ‘superstruktur’ ideologi dan kultur telah meraih otonomi yang besar dari basis ekonomi, berkebalikan dengan yang dijelaskan oleh Marx.
Untuk menjawab para pemikir Frankfurt ini, kita harus memulai dengan membandingkan fondasi-fondasi filsafat Marxis dengan Mazhab Frankfurt. Ini bukanlah tugas yang mudah, karena seperti semua filsuf borjuis-kecil abad ke-20, mereka tampaknya alergi untuk memaparkan gagasan mereka dengan jelas.
Materialisme Historis
Marxisme pertama-tama adalah filsafat materialis. Hanya ada satu jagat raya, yang terdiri dari materi. Kesadaran tidak eksis secara independen dari materi, tetapi adalah ekspresi dari materi yang terorganisir dalam cara tertentu, yakni produk dari sistem saraf yang material.
Materialisme yang diterapkan untuk mempelajari masyarakat dikenal dengan nama materialisme historis. Seperti yang dijelaskan oleh Marx dan Engels dalam Ideologi Jerman:
“Manusia harus terlebih dahulu bisa hidup untuk bisa ‘membuat sejarah’. Tetapi, di atas segalanya, kehidupan melibatkan sandang, pangan, papan, dan banyak hal lainnya. Tindakan historis pertama oleh karena itu adalah produksi sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, yakni produksi kehidupan material itu sendiri. Dan sungguh ini adalah tindakan historis, syarat fundamental bagi semua sejarah, yang hari ini, seperti ribuan tahun yang lalu, harus dipenuhi setiap harinya dan setiap jamnya hanya untuk mempertahankan kehidupan manusia.”[1] (Karl Marx, Ideologi Jerman)
‘Produksi kehidupan material’ menuntut manusia untuk mengembangkan alat-alat produksi dan memasuki relasi tertentu, yaitu “relasi produksi” seperti yang dijelaskan oleh Marx, yang independen dari kehendak bebas kita. Dalam kondisi seperti ini, bentuk masyarakat tidak ditentukan oleh kehendak sadar kita, atau oleh ide-ide yang kita miliki, tetapi pada akhirnya oleh perkembangan kekuatan produksi pada tingkatan tertentu. Dari landasan material inilah muncul berbagai bentuk kesadaran. Oleh karenanya, “Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, tetapi keberadaan sosial mereka yang menentukan kesadaran mereka.”[2] (K Marx, Preface to A Contribution to the Critique of Political Economy.)
Dalam kata lain, kelas-kelas muncul bukan dari buah pikiran kita, tetapi dari perkembangan kekuatan produksi. Dalam masyarakat pra-kapitalis, ada patrician, plebian, budak, tuan tanah, vasal, dan hamba. Di bawah kapitalisme, masyarakat terbagi ke dalam dua kelas yang bertentangan: kelas kapitalis, yang memiliki alat-alat produksi, dan kelas buruh, yang memproduksi semua kekayaan tetapi tidak memiliki apapun. Untuk bisa bertahan hidup, buruh harus menjual daya kerja (labour power) mereka kepada kaum kapitalis.
Pada analisa terakhir, kesadaran kelas buruh ditentukan oleh relasi properti di dalam masyarakat kapitalis. Ini bukan berarti ideologi tidak memiliki peran dan tidak layak dipertimbangkan, tetapi hanya berarti bahwa karakteristik ideologi dalam sebuah masyarakat tertentu hanya dapat dijelaskan pada analisa terakhir oleh struktur ekonomi masyarakat tersebut.
Pencerahan adalah kesalahan
Kaum ‘Marxis’ Mazhab Frankfurt meyakini bahwa penjelasan demikian terlalu simplistik, “mekanis”, dan reduksionis. Menurut mereka, Marx dan Engels gagal mempertimbangkan dampak kultur dan ideologi borjuis, yang mereka percaya membatalkan kepentingan kelas kaum buruh, dan mengubah kelas buruh menjadi kelas yang secara inheren menghamba pada kepentingan kapitalisme.
Mazhab Frankfurt ingin menggambarkan diri mereka sebagai kaum intelektual yang menolak menerima apapun yang tampak di permukaan. Sebaliknya, mereka dengan tanpa belas kasihan mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi untuk menunjukkan sesuatu yang sepenuhnya berbeda. Inilah mengapa mereka menyebut Mazhab mereka sebagai ‘teori kritis’. Mereka dan pengikut mereka membayangkan bahwa dengan cara ini mereka telah memperbaiki Marxisme, dengan membebaskannya dari dogmatisme. Fokus mereka pada kultur dan elemen-elemen “superstruktur” lainnya dimaksudkan sebagai usaha untuk memperbarui Marxisme untuk abad ke-20, yang menyaksikan lahirnya kultur massa lewat radio dan televisi. Pertanyaannya: apakah Mazhab Frankfurt memperbarui dan memperbaiki Marxisme guna menjelaskan dengan lebih baik epos baru kultur, entertainment, dan propaganda massa ini, atau mereka justru mencampakkan Marxisme sepenuhnya?
Dalam Dialectic of Enlightment (Dialektik Pencerahan), yang mungkin merupakan buku terpenting Mazhab Frankfurt, Adorno dan Horkheimer menjelaskan alternatif mereka untuk materialisme historis. Bagi Mazhab Frankfurt, dalam masyarakat modern hari ini sistem kapitalisme mendominasi secara absolut massa rakyat. Menurut mereka, peningkatan taraf hidup di Barat selama periode pasca-perang hanya menghasilkan bentuk dominasi baru yang lebih keji. Kemewahan kehidupan modern, dan kultur massa yang dipropagasi oleh kemewahan ini, menurut mereka telah berhasil menciptakan konformisme tanpa paralel, dan buruh semakin sulit untuk bebas dari konformisme ini. Dalam kata lain, kelas buruh telah dicuci otaknya oleh kultur massa dan oleh karenanya telah beradaptasi pada sistem yang mendominasi, dan sebagian besar telah menjadi bagian dari sistem. Sebagai akibatnya, ini berarti revolusi sosialis tidak akan mungkin lagi terjadi, dan bila revolusi sosialis terjadi, ini hanya dapat mengarah ke kelanjutan represi yang sama.
Pada level yang fundamental, bagi Adorno dan Horkheimer, konformisme dan represi dalam masyarakat bukanlah produk kapitalisme, tetapi dosa awal periode Pencerahan – yakni epos perkembangan pesat dalam seni, sains dan filsafat pada masa-masa awal masyarakat borjuis – atau lebih spesifiknya, ‘pemikiran pencerahan’. Seperti yang mereka jelaskan:
“Kami yakin – dan di sinilah terletak petitio pricipii kami – bahwa kebebasan dalam masyarakat tidak bisa dipisahkan dari pemikiran pencerahan. Namun, kami yakin kami telah memahaminya dengan kejelasan yang sama, bahwa konsep pemikiran pencerahan itu sendiri, tidak kurangnya dari bentuk sejarah yang konkret, institusi-institusi masyarakat yang terjalin dengan pemikiran ini, sudah mengandung benih regresi yang tengah berlangsung di mana-mana saat ini.”[3]
Tetapi, kita bisa bertanya, ada apa sesungguhnya dengan ‘pemikiran pencerahan’ ini yang telah menjerat masyarakat dengan konsekuensi buruk seperti itu? Kita hanya diberitahu bahwa “Pencerahan adalah totaliter”.[4] Lagi menurut mereka, “Pencerahan berperilaku terhadap hal-ihwal selayaknya diktator terhadap manusia.”[5] “Karena pencerahan sama totaliternya dengan sistem apa pun.”[6]
Kendati gaya penulisan yang berbelit belit dan cara berpikirnya yang berputar-putar dalam buku ini, kita harus menghargai Adorno dan Horkheimer karena mereka sangatlah jelas dalam satu poin ini. Mereka telah sepenuhnya mencampakkan materialisme historis, dan menggantikannya dengan idealisme blak-blakan. Menurut cara pandang mereka, sejarah diatur oleh sebuah ide yang maha kuasa dan totaliter. Ide ini tidak mengekspresikan kepentingan kelas tertentu, tetapi eksis untuk dirinya sendiri dan memiliki kekuatan untuk menindas masyarakat. Kita diberitahu, ciri-ciri khas ide ini adalah keinginannya untuk mendominasi, untuk secara sistematis mengendalikan dan memerintah semua objek di dunia eksternal.
Jelas, yang dimaksud dengan ‘pemikiran pencerahan’ adalah pemikiran sistematis dan ilmiah, atau yang disebut ‘nalar’ dalam kosa kata filsafat Pencerahan. Maka dari itu, bagi Mazhab Frankfurt, nalar atau pemikiran ilmiah adalah sumber dominasi totalitarian, dan bukannya kontradiksi moda produksi kapitalis. Bagi Adorno dan Horkheimer, nalar bukanlah produk dari masyarakat pada tahapan tertentu dalam sejarah, tetapi adalah kekuatan supra-historis dengan kekuatan spesial, sesuatu yang keberadaannya ada di luar masyarakat dan waktu.
Jelas sekali ini adalah titik pandang yang secara fundamental idealis, yang kesimpulannya ini: semua yang buruk dengan kapitalisme, dan alasan mengapa sosialisme tidak akan dapat membebaskan umat manusia, disebabkan oleh karakter pemikiran ilmiah yang totaliter.
Pertanyaan yang tidak bisa mereka jawab: dari mana datangnya ide yang maha-kuasa ini? Kapan, dan mengapa, ide ini muncul dan memperbudak umat manusia? Mereka tidak memberikan jawaban apapun pada pertanyaan yang menentukan ini, karena mereka tidak menganggapnya penting. Kemungkinan besar, sejauh yang mereka ketahui, bahkan mengajukan pertanyaan semacam ini adalah dosa ‘pemikiran pencerahan’ – yakni, usaha untuk menjelaskan hal-ihwal secara rasional dan ilmiah.
Menurut mereka, Pencerahan ingin mendominasi benda, dengan mengklasifikasi pengetahuan secara ilmiah. Tetapi mengapa dominasi benda mengarah ke dominasi manusia oleh manusia, seperti yang mereka klaim? Adorno dan Horkheimer hanya menegaskan bahwa “apa yang ingin dipelajari manusia dari alam adalah bagaimana menggunakan alam guna sepenuhnya mendominasi alam dan manusia lain. Inilah satu-satunya tujuannya … Kekuasaan dan pengetahuan adalah sinonim.”[7]
Ini ditegaskan tanpa bukti sama sekali, bahwa Pencerahan ‘mendominasi’ benda, dan oleh karenanya, ini niscaya membawa kita ke masyarakat dimana manusia didominasi. Tentu saja, mereka tidak pernah menjelaskan orang mana yang mendominasi orang mana. Mengapa ada orang yang berhasil menggunakan kekuatan Pencerahan ini, dan yang lainnya tidak? Tipikal idealisme, ‘teori’ mereka sepenuhnya abstrak, kabur, dan arbiter. Setelah mencampakkan materialisme, mereka tidak mengkaji kelas-kelas konkret yang mengeksploitasi kelas-kelas lainnya di bawah kondisi-kondisi tertentu yang dikondisikan oleh sejarah. Tidak ada buruh dan kapitalis, tidak ada kaum hamba dan bangsawan feodal, tidak ada budak dan pemilik budak; yang ada hanyalah ‘manusia’ abstrak yang mendominasi ‘manusia’ abstrak lainnya, dan semua ini berkat kekuatan ajaib dari ‘nalar’ abstrak.
Pencerahan
Pada kenyataan, Pencerahan adalah salah satu kemajuan terbesar dalam sejarah umat manusia, secara intelektual, politik, dan seni. Jauh dari membuka pintu ke opresi yang tak terbayangkan, Pencerahan memulai proses untuk menghancurkan penghambaan, dogmatisme, dan obskurantisme religius dalam masyarakat feodal dan Gereja. Tokoh-tokoh pemikir dan seniman besar melangkah maju untuk mengembangkan sains dan seni sampai pada tingkatan tanpa-preseden dan menantang prasangka dan privilese. Kaum materialis awal masa Pencerahan tidaklah terobsesi dengan ‘dominasi’, tetapi adalah ensiklopedis yang pikirannya terbuka, yang berusaha membebaskan umat manusia dari takhayul.
Marx dan Engels tidak menganggap Pencerahan sebagai ancaman bagi kelas buruh. Sebaliknya, mereka merayakan kebangkitan pemikiran rasional ini, dan perkembangan sains dan teknik selama tahapan awal kapitalisme, sebagai satu langkah maju bagi umat manusia secara kualitatif. Persis di sinilah kita temui karakter progresif kapitalisme, karena dengan mengembangkan kekuatan produktif kapitalisme tengah membangun landasan bagi sosialisme. Tanpa pemikiran ilmiah, sosialisme menjadi mustahil. Oposisi Mazhab Frankfurt terhadap kemajuan historis ini berarti membela keterbelakangan, kebodohan, dan obskurantisme yang dipertahankan oleh Gereja selama masa Pencerahan.
Memang benar bahwa cita-cita kebebasan dan rasionalitas Masa Pencerahan tidak dapat direalisasikan pada saat itu. Ada kontradiksi antara cita-cita besar para pemikir besar pada saat itu, dan realitas material masyarakat kapitalisme yang mereka bantu hantarkan. Di tangan kelas borjuasi, sains dan nalar digunakan untuk profit, dan oleh karenanya untuk mengeksploitasi. Pemahaman ini selalu integral dalam pemikiran Marx dan Engels. Seperti yang dijelaskan oleh Engels dalam Sosialisme Utopis dan Ilmiah:
“Hari ini kita tahu bahwa kerajaan nalar ini tidaklah lebih dari kerajaan borjuasi yang diidealkan … bahwa kesetaraan ini mereduksi dirinya menjadi kesetaraan borjuis di mata hukum … bahwa pemerintahan nalar, Kontrak Sosialnya Rousseau, lahir, dan hanya dapat lahir, sebagai republik borjuis demokratik. Para pemikir besar abad ke-18, seperti halnya para pendahulu mereka, tidak dapat melampaui batas-batas yang dipaksakan oleh epos mereka.”[8]
Tidak ada yang orisinal dalam pemahaman Mazhab Frankfurt bahwa ‘Pencerahan’ gagal dalam membebaskan umat manusia dari eksploitasi dan opresi. Sementara Marx dan Engels memahami bahwa basis sesungguhnya dari kegagalan ini dapat ditemui dalam karakter kelas masyarakat pada saat itu, Adorno dan Horkheimer tidak memahami ini sama sekali. Mereka percaya bahwa ‘nalar’ adalah sesuatu yang secara inheren dimiliki oleh semua manusia, dan oleh karenanya, secara prinsipil, gagasan-gagasan Pencerahan dapat dikembangkan kapan pun dalam sejarah. Mazhab Frankfurt melihat ‘nalar’ sebagai sebuah kekuatan yang independen dari sejarah dan superior di atas sejarah. Tetapi, tidak seperti para pemikir Pencerahan yang optimis, para pemikir Mazhab Frankfurt melihat dalam nalar hanya dominasi dan kematian.
Walaupun gagasan-gagasan Frankfurt ini abstrak, tidak terlalu sulit untuk memahami apa yang bersembunyi di belakangnya. Gagasan-gagasan ini mencerminkan demoralisasi kaum intelektual borjuis kecil, yang menganggap perkembangan kapitalisme tidaklah lebih dari penindasan dan bencana. Adorno meringkas cara pandangnya seperti ini: “Tidak ada sejarah universal yang mengarah dari kebiadaban ke humanitarianisme, tetapi ada sejarah yang bergerak dari katapel ke bom megaton [senjata nuklir]. Ini berakhir ke bahaya total, yang diajukan oleh umat manusia yang terorganisir kepada manusia yang terorganisir … roh dunia, sebuah objek definisi yang layak, harus didefinisikan sebagai malapetaka permanen.”[9]
Dalam karya-karya mereka, mereka selalu mengingat kembali ke epos awal kebebasan borjuis-kecil, yang mereka sebut epos ‘otonomi individual’. Kaum borjuis kecil ini takut pada produksi skala-besar yang terorganisir secara ilmiah. Mereka juga takut pada kultur massa. Bagi mereka, pemikiran ilmiah bertanggung jawab merusak masyarakat, bukannya kelas kapitalis.
Intelektual borjuis-kecil semacam ini impoten. Mereka tidak memiliki kendali atas masyarakat kapitalis, tetapi mereka pikir mereka seharusnya memiliki kendali atasnya, mengingat betapa terpelajarnya mereka. Namun pada saat yang sama, mereka enggan untuk melayani satu-satunya alternatif bagi modal besar: kelas buruh yang terorganisir. Potensi kekuatan kelas buruh sangat menakutkan di mata mereka. Buruh tampak sebagai orang bodoh yang tidak terdidik dan pasrah. Mereka memandang rendah kelas buruh, yang mereka anggap terlibat dalam kejahatan kapitalisme karena “konformisme” naif mereka pada kultur modal besar yang diproduksi secara massal. Mereka berasumsi bahwa, seandainya buruh mengambil kekuasaan, ini hanya akan melanjutkan bentuk masyarakat hari ini, yang opresif dan terorganisir secara birokratik — ini semua karena buruh telah terjebak dalam mentalitas konformisme yang dikembangbiakkan oleh metode produksi ilmiah dan kultur massa.
Pada kenyataannya, yang dicerminkan oleh para intelektual ini adalah cara pandang kelas borjuasi kecil, sebuah kelas yang secara historis sudah dalam jalan buntu, yang terjepit di antara kelas borjuasi besar dan kelas buruh. Salah satu rekan Mazhab Frankfurt Walter Benjamin mengakui ini secara terus terang: “Cepat atau lambat, dengan kelas menengah yang digiling sampai hancur lebur oleh perjuangan antara modal dan buruh, para penulis ‘lepas’ juga harus menghilang.” Ini yang membuat para tuan-tuan ini paling takut!
‘Rasionalitas Teknologi’ Marcuse
Mazhab Frankfurt, dan Marcuse khususnya, menjadi terkenal selama periode pasca perang. Ini adalah ‘masa keemasan’ kapitalisme, periode pertumbuhan tanpa preseden ketika ekonomi-ekonomi kapitalis maju membangun ulang perekonomian mereka setelah kehancuran Perang Dunia Kedua. Pertumbuhan yang panjang ini dimungkinkan tidak hanya oleh kehancuran masif yang disebabkan oleh perang, tetapi juga kondisi-kondisi politik yang unik yang dihasilkan oleh berakhirnya perang. Gelombang revolusioner yang menyapu Eropa Barat dikhianati oleh para pemimpin Stalinis dan Sosial Demokrasi, yang mampu meredam laju kelas buruh. Ini adalah kontra-revolusi dalam bentuk demokratik. Kekalahan ini menyediakan premis politik bagi pemulihan dan ekspansi kapitalisme di Barat.
Kebangkitan imperialisme AS juga mampu memaksakan otoritasnya terhadap Eropa barat. Karena takut pada revolusi sosialis, AS membantu membangun kembali ekonomi Eropa yang hancur lebur karena perang. AS memberlakukan dolar sebagai mata uang dunia dan melucuti tarif-tarif yang sebelumnya diterapkan selama periode antara perang dunia pertama dan kedua, tarif-tarif yang menghambat perdagangan dunia. Sejumlah faktor mengerucut dan menghasilkan pertumbuhan masif.[10]
Pertumbuhan masif pasca perang ini, yang merupakan pertumbuhan terbesar dalam sejarah kapitalisme, menghasilkan sebuah ekuilibrium sosial (yang temporer). Sebagai hasilnya, pemerintah mampu memberikan konsesi-konsesi yang signifikan, seperti negara kesejahteraan, kepada kelas buruh. Reforma-reforma ini bukanlah diberikan karena itikad baik kelas kapitalis, tetapi karena dampak perjuangan kelas dan ketakutan terhadap Uni Soviet.
Konsesi-konsesi ini secara masif memperkuat reformisme, setidaknya di negeri-negeri kapitalis maju, dan oleh karenanya memperkuat ilusi terhadap kapitalisme. Tampaknya kapitalisme telah menyelesaikan kontradiksi-kontradiksinya, dan perjuangan kelas sudah ternegasi atau melunak secara permanen. Teknologi-teknologi produksi paling teranyar, seperti Fordisme (teknik produksi industri yang sangat terorganisir, terencana, dan termekanisasi), bersamaan dengan regulasi negara, tampaknya telah menghapus krisis kapitalisme dan menafikan revolusi. Taraf hidup terus meningkat. Hari ini lebih baik daripada kemarin, dan esok hari bahkan akan lebih baik lagi.
Selama periode ini, kelas penguasa merangkul doktrin Keynesianisme, yang menganjurkan intervensi negara dalam perekonomian guna memuluskan kontradiksi-kontradiksi kapitalisme. Karena kebijakan Keynesian diterapkan bersamaan dengan periode boom ekonomi dan periode perdamaian kelas yang panjang, ini membuat kebijakan Keynesian tampak berhasil dalam menyempurnakan kapitalisme dan menuntaskan kontradiksi internalnya.
Inilah konteks yang melatarbelakangi menyebarnya Mazhab Frankfurt di antara kaum intelektual, dengan gagasan-gagasannya tentang perjuangan kelas yang telah menumpul dan kelas buruh yang telah terbius oleh kapitalisme. Marcuse-lah yang paling eksplisit dalam menghubungkan penolakan Mazhab Frankfurt terhadap materialisme historis pada epos boom kapitalis pasca-perang. Menurutnya, karakter opresif Nalar mengungkapkan dirinya dalam epos pasca-perang sebagai ‘rasionalitas teknologi’: “Alam semesta rasionalitas teknologi yang totaliter adalah transmutasi terbaru dari gagasan Nalar.”[11] Tetapi apa itu ‘rasionalitas teknologi’, dan bagaimana cara kerjanya?
Mengenai ‘rasionalitas teknologi’ yang misterius ini, kita hanya diberitahu bahwa ini bertanggung jawab atas apa yang dijelaskan Marcuse sebagai “ketidakbebasan yang nyaman, halus, masuk akal, demokratik”, yang “berlaku di peradaban industri maju, sebagai tanda kemajuan teknologi” dan “tampaknya semakin mampu memuaskan kebutuhan individu lewat metode organisasinya.”[12] Dalam kata lain, sebuah cara berpikir — yakni ‘rasionalitas teknologi’ — telah menyebabkan boom ekonomi pasca-perang, yang kendati telah meningkatkan taraf hidup kelas buruh dan memperbesar kelas buruh, dia lihat sebagai hal yang negatif.[13]
Kita diberitahu, ‘rasionalitas teknologi’ sebegitu efektifnya sehingga mampu menghapus krisis. Walaupun kita masih ada di bawah kapitalisme, hukum-hukum kapitalisme telah ditumbangkan oleh organisasi rasional yang baru ini, yang mampu memenuhi “janji kehidupan yang semakin hari semakin nyaman bagi semakin banyak orang yang”, sebagai akibatnya. “tidak dapat membayangkan diskursus yang secara kualitatif berbeda.”[14]
Menurut Marcuse, “bila buruh dan majikannya menikmati program televisi yang sama dan mengunjungi tempat wisata yang sama, bila sang sekretaris bisa berdandan menjadi sama cantiknya dengan anak perempuan majikannya, bila orang Negro memiliki mobil mewah Cadillac, bila mereka semua membaca koran yang sama, maka asimilasi ini tidak mengindikasikan menghilangnya kelas-kelas, tetapi mengindikasikan sampai mana kebutuhan dan kepuasan yang melestarikan Tatanan ini dimiliki bersama oleh populasi yang mendasarinya.”[15]
Di sini kita saksikan secara terang-terangan prasangka reaksioner Mazhab Frankfurt. Mereka berasumsi bahwa orang Negro umumnya memiliki mobil Cadillac dan taraf hidupnya sama dengan anggota kelas penguasa, dan bahwa massa buruh ikut terlibat dalam “melestarikan Tatanan yang ada”.
Kekeliruan fundamental Marcuse datang dari asumsi idealisnya bahwa apa yang disebut ideologi ‘rasionalitas teknologi’ telah mengatasi kontradiksi kelas yang material.
Yang sesungguhnya dimaksud dengan ‘rasionalitas teknologi’ adalah ideologi Keynesianisme dan intervensi negara, yang merupakan doktrin ekonomi yang populer di Barat pada saat itu. Seperti semua kaum intelektual borjuis-kecil, Marcuse terkesan oleh tren intelektual pada masanya. Bagi Marcuse, perjuangan kelas adalah sekunder terhadap kekuatan ‘rasionalitas teknologi’ (yakni, kebijakan Keynesian), yang dia asumsikan akan terus memenuhi tujuannya, meningkatkan taraf hidup dan secara permanen menghindari krisis overproduksi berkat rasionalitasnya yang paling unggul.
Dalam hal ini, Marcuse dan Mazhab Frankfurt merangkum gagasan yang diterima oleh orang banyak pada saat itu, bahwa ketersediaan teknologi konsumen maju bagi kelas buruh, seperti mobil Cadillac dan televisi, membius mereka untuk menerima eksploitasi mereka di bawah kapitalisme. Bila kapitalisme dapat membuat barang-barang semacam itu cukup terjangkau, tentunya tidak akan ada orang yang mau menggulingkannya? Implikasinya adalah, setiap buruh yang memiliki televisi – atau iPhone – tentunya puas dengan hidup mereka dan memiliki taraf hidup yang baik.
Setiap kaum Marxis memahami ini, bahwa sebesar apapun boom ekonomi, ini sama sekali tidak menghilangkan kontradiksi kapitalisme dan perjuangan kelas. Pada kenyataannya, di puncak pertumbuhan ekonomi pasca-perang, pada 1968 dan 1969 kelas buruh Prancis dan Italia bangkit dalam gerakan revolusioner yang masif, yang mengejutkan seluruh dunia.
Setiap pertumbuhan pesat ekonomi menyiapkan krisis overproduksi yang besar. Taraf hidup rakyat mustahil terus meningkat selamanya di bawah kapitalisme, karena kapitalisme tidaklah rasional dan memiliki limitnya. Selama kapitalisme eksis, produksi dijalankan demi profit kelas kapitalis, dan bukan untuk secara rasional memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Bahkan bila taraf hidup meningkat, pasar memiliki batasnya karena kelas buruh tidak akan mampu membeli kembali semua nilai yang mereka ciptakan.
Oleh karenanya, pada titik tertentu, pasar akan mencapai batas kemampuannya untuk menyerap semua komoditas baru tersebut. Kapitalis menyiasati kontradiksi ini dengan menginvestasikan kembali nilai lebih yang mereka serap dari kerja-tak-dibayar kelas buruh. Akan tetapi, ini hanya menciptakan kapasitas produksi yang lebih besar dan menghasilkan lebih banyak lagi komoditas. Pada akhirnya, krisis overproduksi akan pecah.
Boom ekonomi pasca-perang yang begitu memukau Marcuse tidaklah berbeda. Ketika boom ekonomi tersebut berakhir, apa yang terjadi dengan ‘rasionalitas teknologinya’ Marcuse? Apa yang terjadi dengan ‘ketidakbebasan yang nyaman dan halus’ dan “kepentingan bersama’ antara kelas-kelas yang antagonistis? Semua ini menguap selama kemerosotan ekonomi 1975-75, ketika kelas kapitalis memulai ofensif besar mereka terhadap kelas buruh.
Benar, kaum buruh masih memiliki televisi dan mobil mereka, tetapi di kebanyakan kasus mereka kehilangan pekerjaan mereka. Pengangguran massal kembali. Apa yang disebut ‘kepentingan bersama’ antara buruh dan kapitalis dalam mempertahankan ‘rasionalitas teknologi’ ternyata adalah ilusi kejam. Kelas kapitalis tidak pernah mempercayai ilusi ini. Ilusi ini hanya dipegang oleh para pemimpin reformis kelas buruh dan selapisan intelektual seperti Marcuse.
Kemerosotan ekonomi global pada 1974 tidak disangka oleh Marcuse, dan kemerosotan ini juga membuat para ekonom Keynesian terkejut. Hanya kaum Marxis yang memahami keniscayaan krisis ini. Krisis ini membuat gagasan Keynesianisme terdiskreditkan dan meyakinkan kelas kapitalis untuk kembali ke kebijakan moneterisme, dan menyerang kembali semua reforma yang telah dimenangkan sebelumnya oleh kelas buruh.
Ini, pada gilirannya, menghasilkan dekade perjuangan kelas yang intens pada 1970an dan 1980an. Kendati TV dan video player mereka, kaum buruh berjuang secara militan untuk melawan usaha kelas penguasa untuk membuat mereka membayar krisis kapitalis. Tentu saja, perbaikan taraf hidup, barang-barang konsumen dan kultur borjuis dapat mempengaruhi, dan untuk sementara waktu, menumpulkan kesadaran kelas. Tetapi ini hanya akan bersifat sementara. Ketika boom ekonomi berakhir dan epos krisis dimulai, seperti pada 1970an, kesadaran kelas kembali menajam.
Sebagai catatan sampingan, selama pemogokan buruh tambang batu bara di Inggris pada 1984-85, intelektual “Marxian” seperti Hobsbawm dan lainnya mengatakan bahwa buruh tambang muda tidak akan pernah mogok karena mereka punya kredit rumah yang harus mereka bayar, punya video, mobil, dll. Akan tetapi, ketika waktunya tiba, mereka semua turun mogok selama 12 bulan untuk mempertahankan pekerjaan mereka dan komunitas mereka, dan ini membuktikan kekeliruan besar para intelektual seperti Hobsbawm dan Marcuse.
Hari ini, setelah puluhan tahun pemangkasan, privatisasi, deregulasi, kesenjangan yang semakin melebar, dan krisis-krisis finansial, belum lagi krisis iklim yang membayangi umat manusia, gagasan Mazhab Frankfurt – bahwa kapitalisme telah mencapai ‘ketidakbebasan yang nyaman dan halus’ dan meraih ‘konsensus rasional’ antar kelas-kelas, dan kapitalisme dapat tumbuh untuk selama-lamanya – telah terbantahkan sepenuhnya.
Memandang rendah kelas buruh
Kita sudah terbiasa mendengar tuduhan dari kaum akademisi ‘kiri’ bahwasanya Marxisme adalah reduksionis ekonomi atau kelas. Yang mereka maksud, Marx dengan berat-sebelah dan secara mekanis mereduksi semua masalah sosial dan politik ke masalah ekonomi, dan mengabaikan peran penting kebudayaan dan ideologi dalam sejarah. Tentu saja, ini adalah karikatur keliru, seperti yang dijelaskan dengan sangat terang benderang oleh Engels:
“Menurut konsepsi materialis tentang sejarah, elemen penentu akhir dalam sejarah adalah produksi dan reproduksi kehidupan nyata. Marx dan saya tidak pernah mengatakan lebih dari itu. Maka dari itu, bila ada orang yang memelintir ini dengan mengatakan bahwa elemen ekonomi adalah satu-satunya elemen penentu, maka orang tersebut mengubah proposisi ini menjadi frasa yang tidak berarti, abstrak, dan tidak masuk akal. Situasi ekonomi adalah landasannya, tetapi berbagai elemen superstruktur – bentuk-bentuk politik perjuangan kelas dan hasilnya, yaitu: konstitusi yang ditegakkan oleh kelas yang memenangkan pertempuran, dll., bentuk-bentuk yuridis, dan bahkan refleks-refleks dari semua perjuangan yang sesungguhnya dalam benak para partisipan, teori-teori politik, yuridis, dan filsafat, pandangan agama dan perkembangan lebih lanjut mereka menjadi sistem dogma – juga mempengaruhi jalannya perjuangan sejarah dan dalam banyak kasus memiliki pengaruh yang lebih besar dalam menentukan bentuk perjuangan sejarah. Ada interaksi dari semua elemen ini di mana, di tengah semua kecelakaan yang tak terhingga jumlahnya (yakni, hal-ihwal dan peristiwa-peristiwa yang interkoneksi internalnya begitu jauh dan sangat tidak mungkin untuk dibuktikan sehingga dapat kita menganggapnya non-eksisten, dapat diabaikan), pergerakan ekonomi pada akhirnya menegaskan dirinya sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Jika tidak, aplikasi teori materialisme historis pada periode sejarah mana pun akan lebih mudah daripada penyelesaian persamaan orde pertama yang sederhana.”[16]
Tetapi tuan nyonya kita di dunia akademi tidak menyukai fakta yang merusak narasi mereka, sehingga mereka memilih mengabaikan pernyataan Engels di atas dan terus menampilkan Marxisme sebagai ‘reduksionisme ekonomi’. Di atas basis karikatur palsu ini, Mazhab Frankfurt lalu dapat merepresentasikan diri mereka sebagai ilmu yang mendobrak ortodoksi Marxisme, dengan pengakuan mereka mengenai semakin pentingnya kultur, ideologi dan propaganda, yang menurut mereka akan memperbaharui Marxisme. Pada kenyataannya, justru sebaliknya yang terjadi: idealisme Mazhab Frankfurt membawa mereka ke determinisme kultural yang kaku. Alih-alih menemukan teori masyarakat yang menyeluruh, mereka fokus secara eksklusif pada analisa kebudayaan, yang tidaklah lebih dari serangan terselubung terhadap kelas buruh.
“Analisa kebudayaan” mereka ternyata hanyalah keluhan bertele-tele mengenai betapa buruk dan membiusnya kultur massa, yang mereka asumsikan telah diterima oleh semua pekerja. Horkheimer mengeluh, “impotensi dan kepatuhan massa tumbuh seiring dengan meningkatnya jumlah komoditas yang mereka konsumsi”[17], bahwa “massa yang terkelabui hari ini terpikat oleh mitos kesuksesan bahkan lebih daripada orang-orang yang sukses. Tak tergoyahkan, mereka bersikeras percaya pada ideologi yang memperbudak mereka.”[18]
Ketika Dialectics of Enlightenment diterbitkan kembali pada 1969, Adorno dan Horkheimer menulis sebuah pengantar baru di mana mereka menyatakan bahwa prognosis utama buku ini – yakni, gagasan bahwa perkembangan kesadaran kelas dan gejolak revolusi sudah menjadi mustahil — “telah sangat terkonfirmasi”! Mereka tampaknya mengabaikan peristiwa di sekitar mereka, tetapi pada Mei 1968 (yakni satu tahun sebelum pengantar di atas diterbitkan), lebih dari 10 juta buruh Prancis mogok, mengambil alih pabrik-pabrik, dan bisa menumbangkan kapitalisme bila saja tidak dikhianati oleh para pemimpin Stalinis Partai Komunis Prancis. Tahun 1968 dan tahun-tahun selanjutnya menyaksikan gelombang gerakan radikal dan revolusioner di seluruh dunia, dan justru pada momen inilah tuan-tuan terpelajar kita menegaskan bahwa ‘telah sangat terkonfirmasi’ bahwa kelas buruh sudah terkorupsi oleh media massa dan taraf hidup yang lebih tinggi.
Yang lebih parah lagi adalah karya awal Horkheimer mengenai kesadaran kelas buruh. Pada 1927, Horkheimer menulis sebuah artikel berjudul Impotensi Kelas Buruh Jerman. Di dalam artikel ini, dia berargumen bahwa kaum buruh Jerman tidak bisa membuat revolusi karena kesadaran mereka terbagi antara buruh yang lebih mapan (dan lebih konservatif), dan buruh yang miskin, revolusioner, tetapi ultra-kiri. Lalu, pada 1929, dia dan Erich Fromm meluncurkan sebuah proyek untuk meneliti apa yang mereka anggap keinginan kelas buruh Jerman untuk didominasi oleh pemimpin otoriter. Mereka berusaha mengkaji kepribadian kelas buruh Jerman dengan memberi mereka tes kepribadian. Tidak mengherankan, studi ini menyimpulkan, buruh Jerman tidak cukup berpikiran mandiri untuk bisa membebaskan diri mereka sendiri.
Yang begitu mencolok adalah kedua artikel ini ditulis kurang dari satu dekade setelah Revolusi Jerman 1918-23, di mana jutaan buruh berjuang seperti harimau untuk menumbangkan kapitalisme. Dan para ‘Marxis’ ini tampaknya sama sekali tidak menyadari peristiwa ini! Kelas buruh dan serdadu menciptakan organ-organ demokrasi langsung mereka, dewan-dewan buruh, yang didirikan dalam jumlah ribuan di seluruh negeri.
Pada kenyataannya, kaum buruh Jerman telah secara spontan melakukan apa yang diperlukan untuk menumbangkan kapitalisme. Kekuasaan ada di tangan mereka berkat inisiatif, organisasi, dan kesadaran revolusioner mereka sendiri. Satu-satunya alasan mengapa kapitalisme masih berdiri tegak adalah pengkhianatan para pemimpin Sosial Demokrasi, dan bukan karena ‘konservatisme’ atau ‘rendahnya kesadaran’ kelas buruh. Inilah alasan mengapa kapitalisme masih eksis di Jerman ketika Mazhab Frankfurt muncul, bukan karena ‘konformisme’ kelas buruh.
Peristiwa-peristiwa besar Revolusi Jerman 1918, pemogokan umum revolusioner melawan putsch Kapp, dan situasi revolusioner 1923, semua ini tentunya merupakan fakta empiris yang dibutuhkan oleh para intelektual “Marxis” ini untuk membuktikan bahwa buruh Jerman memiliki kapasitas kesadaran revolusioner. Tetapi Horkheimer dan Fromm justru mengabaikan peristiwa-peristiwa ini, dan menyatakan kelas buruh sudah mati.
Dalam survei yang mereka lakukan pada 1929 mengenai mentalitas buruh Jerman, Horkheimer dan Fromm menyimpulkan bahwa buruh tidaklah mampu berpikir secara mandiri, dan alih-alih menginginkan didominasi oleh pemimpin otoriter. Ini adalah masa ketika Hitler mulai bangkit, sebuah peristiwa yang dimungkinkan oleh sektarianisme kepemimpinan Partai Komunis Jerman dan teori sosial-fasisme mereka.[19] Tidaklah heran bahwa pada periode tersebut, menyusul kekalahan historis Revolusi Jerman, kelas buruh Jerman terpecah belah dan kebingungan. Tetapi, bagaimana bila survei ini dilakukan pada 1918, 1920, atau 1923, yakni pada puncak gelombang revolusi?
Horkheimer dan Fromm tidaklah mempertimbangkan sama sekali peristiwa-peristiwa ini dan konsekuensi yang menyusulnya. Faktanya, para ‘Marxis’ ini tidak menyebut Revolusi Jerman sama sekali! Ini tidak mungkin karena mereka khilaf. Sesungguhnya, cara pandang mereka adalah cerminan dari kebencian mereka terhadap massa rakyat pekerja. Mereka telah memutuskan untuk diri mereka sendiri bahwasanya buruh Jerman itu terbelakang dan reaksioner.
Sebenarnya, tidak ada bukti bahwa para ‘Marxis’ ini pernah percaya pada cita-cita sosialisme dan perjuangan jelas. Karya-karya dan survei-survei awal mereka tidaklah lebih dari usaha untuk mengumpulkan ‘fakta’ apapun yang dapat mereka gunakan untuk membenarkan posisi mereka.
Ini tidak hanya mengekspos kepalsuan ‘Marxisme’ mereka, tetapi juga mengungkap filsafat mereka yang mekanis dan statis, walaupun mereka mengklaim mencintai ‘dialektika’. Bagi mereka, untuk memahami kelas buruh, tidak perlu belajar sejarah kelas buruh, apalagi berpartisipasi dalam perjuangan buruh. Cukup berikan kuesioner pada buruh dan mengkritik selera budaya mereka. Tidak ada satupun teoretikus Mazhab Frankfurt yang pernah memberikan perhatian pada peristiwa-peristiwa dan aktivitas-aktivitas kelas buruh yang nyata, bahkan ketika peristiwa ini bergulir di depan mata mereka.
Ini tipikal ‘akademisi kiri’, yang selalu menyalahkan kelas buruh, bahwa kesadaran mereka terlalu rendah dan terbelakang. Mereka mengabaikan peristiwa nyata perjuangan kelas yang penuh badai, dan ‘menjelaskan’ kekalahan kelas buruh dengan dalih analisa kebudayaan. Dengan cara ini, mereka membenarkan pengkhianatan para pemimpin Stalinis dan Sosial Demokratik. Inilah fungsi sesungguhnya Mazhab Frankfurt.
Di mata mereka, kemenangan fasisme adalah sesuatu yang tak terelakkan karena menurut Adorno “[fasisme] menggunakan orang sebagaimana adanya: anak-anak lugu yang dibesarkan oleh kultur massa hari ini, yang otonomi dan spontanitasnya telah direnggut.”[20] Kebangkrutan Stalinisme, yang terikat oleh teori sosial fasisme, dan peran Sosial Demokrasi, bagi mereka, ini tidaklah penting sama sekali. Dari Mazhab seperti ini, tidak ada yang bisa kita pelajari.
Yang reduksionis dan kaku bukanlah kaum Marxis. Dengan mengabaikan peristiwa yang nyata dan mencari penjelasan dalam ideologi dan kebudayaan yang abstrak, yang kaku dan reduksionis justru adalah kaum intelektual Mazhab Frankfurt. Mereka menganggap kesadaran buruh tetap sama entah selama revolusi ataupun setelah menderita kekalahan.
Bagi kaum Marxis akademis ini, kita tidak perlu memahami peristiwa-peristiwa kompleks selama periode 1918-33 yang mengarah ke bangkitnya fasisme. Cukup dengan menyatakan bahwa kelas buruh itu bodoh. Ini cukup bagi mereka untuk menjelaskan kengerian fasisme.
Teori-teori Mazhab Frankfurt juga tidak mengarahkan kita ke aktivitas politik yang praktis sama sekali. Menurut teori ini, kelas buruh harus terlebih dahulu menaikkan kesadaran mereka sampai ke level para intelektual Mazhab Frankfurt kita ini dan “non-konformisme” mereka, dan baru setelah itu para intelektual ini siap untuk membantu kelas buruh. Marcuse cukup eksplisit mengenai ini dalam pamfletnya An Essay on Liberation pada 1969: “perpecahan dengan kontinum kebutuhan yang konservatif dan bergerak-sendiri harus mendahului revolusi yang akan mengantarkan masyarakat yang bebas.”[21] Bertentangan sepenuhnya dengan materialismenya Marxisme, Mazhab Frankfurt meyakini bahwa revolusi hanya bisa diluncurkan setelah buruh entah bagaimana telah meningkatkan level spiritual mereka ke level sosialisme.
Bagi Marxisme, tugas terutama adalah membantu meningkatkan kesadaran kelas buruh ke tugas-tugas yang diajukan oleh sejarah dengan berpartisipasi bersama mereka dalam perjuangan. Sebelum terlibat dalam perjuangan, kaum buruh tidak akan memiliki kesempatan untuk meningkatkan kesadaran mereka ke level sosialisme, karena hanya peristiwa yang akan membantu mereka untuk mengembangkan kesadaran tersebut. Namun, bila kita memiliki sikap congkak yang memandang rendah buruh, seperti sikap Mazhab Frankfurt ini, kita tidak akan mungkin bisa membantu kaum buruh.
Ideologi Borjuis Kecil
Dalam latar belakang kelas mereka, kepribadian mereka, dan, yang paling terutama, alasan keberadaan Mazhab Frankfurt itu sendiri, ‘teori kritis’ adalah esensi murni dari kelas borjuis kecil. Mazhab ini didirikan dengan tujuan eksplisit untuk membebaskan kaum intelektualnya dari pengaruh kelas-kelas yang berbenturan dalam masyarakat kapitalis: kelas borjuasi dan kelas proletariat. Bagi para anggota Mazhab ini, mempertahankan kemandirian mereka dari masyarakat adalah prakondisi untuk bisa mengembangkan teori.
Ini meringkas mentalitas kaum intelektual borjuis kecil radikal, yang tidak ingin karier akademiknya terusik oleh rakyat jelata. Di dalam karya-karya mereka, mereka terus terobsesi dengan kehilangan otonomi individual mereka di tangan mayoritas yang konformis (yakni, kelas buruh). Mereka mati-matian ingin mempertahankan kemandirian borjuis-kecil mereka dari gerakan buruh. Stuart Jeffries menulis sebuah buku biografi yang baik mengenai Mazhab Frankfurt, dengan judul Grand Hotel Abyss, yang dengan komprehensif mengekspos cara pandang borjuis kecil mereka. Dia menjelaskan bahwa para pemikir Mazhab Frankfurt “tidak pernah merasa bahwa interaksi personal antara buruh dan intelektual akan berguna bagi keduanya.”[22]
Bagi orang-orang seperti Adorno dan Horkheimer, keterlibatan politik dalam bentuk apapun dianggap sangat memalukan. Hubungan dengan kelas buruh dianggap sebagai pengaruh yang merusak, yang harus dihindari dengan cara apapun. Adorno mengeluh, “sulit untuk bahkan menandatangani seruan-seruan yang mana saya bersimpati dengannya, karena dalam keinginan mereka yang tak terelakkan untuk memiliki dampak politik, mereka selalu mengandung unsur ketidakbenaran.” Dia melanjutkan dengan mengklaim bahwa tidak mendukung pernyataan politik semacam itu adalah masalah moral, “karena ini berarti menegaskan otonomi sudut pandang kita.”[23] Horkheimer mendukung penolakan Adorno untuk mempraktikkan gagasannya: “Apakah aktivisme, khususnya aktivisme politik, satu-satunya cara pemenuhan? Saya ragu … Filsafat tidak boleh diubah menjadi propaganda, bahkan untuk tujuan yang terbaik sekalipun.”[24]
Namun, ada masalah yang mengganggu para pendukung kebebasan intelektual ini. Bagaimana sekelompok intelektual mempertahankan kemandirian penuhnya dari kelas buruh yang konformis dan jorok? Bahkan para intelektual ini pun harus didanai, dan uang ini harus datang dari satu tempat. Jadi, dari mana datangnya dana untuk Mazhab Frankfurt ini?
Sebagai sebuah tren akademik, Mazhab Frankfurt terhubungkan dengan universitas, yang pada gilirannya terhubungkan dengan negara borjuis. Institut für Sozialforschung, yang walaupun terhubungkan dengan University of Frankfurt, berdiri secara otonomi darinya, dan diketuai oleh Horkheimer selama masa jayanya, berkat uang dari seorang jutawan yang bersimpati, Felix Weil.
Pada 1935, ketika Institut ini pergi ke pengasingan ke Amerika Serikat, mereka sangat ingin membangun hubungan otonom dengan sebuah universitas yang terkenal, dalam hal ini Columbia University di New York. Martin Jay, penulis biografi Mazhab Frankfurt yang paling dihormati, menulis: “Jelas bahwa Institut Frankfurt merasa posisinya belum kokoh di Amerika dan berusaha sebisa mungkin menjauhi tindakan-tindakan yang dapat mengancam posisinya.” Ini mereka lakukan dengan, di antara lainnya, mengedit artikel Walter Benjamin “dalam arah yang lebih tidak radikal”, mengubah “kata ‘Komunisme’ dengan ‘kekuatan konstruktif umat manusia’” dan “kata ‘perang imperialis’ diganti menjadi ‘perang modern’”.[25] Selama perang, Horkheimer mendesak agar kata ‘revolusi’ dan ‘Marx’ dihapus dari semua karya yang mereka terbitkan supaya tidak menakut-nakuti sponsor mereka.[26]
Selama periode pasca-perang, Institut Frankfurt menerima masuk generasi akademisi baru. Jelas banyak yang tertarik dengan reputasinya sebagai mazhab ‘Marxis’ atau setidaknya radikal. Salah satunya adalah Jurgen Habermas, yang pada masa mudanya mencoba mengirim karya-karya dengan posisi yang secara eksplisit revolusioner untuk diterbitkan oleh Institut Frankfurt. Horkheimer menolak menerbitkannya, dan jelas sangat terusik oleh kenaifan Habermas yang berpikir Institut Frankfurt akan menerbitkan karya semacam itu: “Jelas tidak mungkin menerima laporan penelitian semacam ini bagi sebuah Institut yang eksis dengan dana publik dalam masyarakat yang membelenggu ini.” Alasan spesifik mengapa mereka tidak diterbitkan bahkan lebih membuka mata kita: saat itu, Institut Frankfurt memiliki kontrak penelitian dengan Kementerian Pertahanan Jerman (!) dan Institut ini tidak ingin membuat donornya kabur![27]
Bekerja untuk lembaga militer negara borjuis tentunya sangat menguntungkan, karena tampaknya ini tema umum bagi Mazhab Frankfurt. Salah satu intelektual awal Mazhab ini, Henryck Grossman, berpartisipasi dalam negosiasi Brest-Litovsk yang mengakhiri keterlibatan Rusia dalam Perang Dunia Pertama. Akan tetapi, dia bukanlah bagian dari tim Trotsky yang membantu negara buruh pertama di dunia dalam perjuangannya melawan imperialisme. Alih-alih, dia mempersiapkan laporan bagi Menteri Luar Negeri Austro-Hungaria Count Czernin dalam usahanya untuk meremukkan Revolusi Rusia. Mungkin kita berpikir dia lalu akan membersihkan dosanya dengan berpartisipasi dalam revolusi yang pecah di Austria setahun kemudian, tetapi “tidak ada bukti dia terlibat” dalam revolusi ini.[28]
Marcuse juga bekerja untuk militer. Selama Perang Dunia Kedua, dia mampu menggunakan reputasinya sebagai kritikus budaya untuk memperoleh pekerjaan sebagai analis intelijen bagi badan intelijen Amerika Serikat, Office of Strategic Services, yang di kemudian hari dikenal sebagai CIA. Walaupun dia mengklaim bahwa ini untuk membantu mengalahkan Nazi, dia terus bekerja untuk Kementerian Luar Negeri AS bahkan setelah perang berakhir, sampai pada 1951. Tidak heran Stuart Jeffries menulis dalam biografinya mengenai Mazhab Frankfurt bahwa “Mazhab Frankfurt bukanlah sebuah institut Marxis, melainkan kemunafikan terorganisir, domba konservatif berbulu serigala radikal.”[29]
Mazhab Frankfurt mengira mereka bisa membebaskan diri mereka dari pengaruh berbagai kelas dalam masyarakat kapitalisme, dan mengkritik semua kelas secara adil. Tetapi semua tindakan dan gagasan mereka membuktikan bahwa ini adalah fantasi borjuis-kecil. Mereka tidak bisa beroperasi dalam vakum. Kelas borjuis kecil terimpit di antara kelas buruh dan kelas borjuasi, dan harus memutuskan kelas mana yang mereka dukung. Dalam praktiknya, Mazhab Frankfurt adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat borjuis, walaupun mereka mengeluh dengan berisik mengenainya. Ini dengan cepat menemukan ekspresinya dalam gagasan mereka, yang tidaklah lebih dari usaha untuk mendiskreditkan dan membingungkan kelas buruh.
Kelas buruh adalah satu-satunya kelas yang berkepentingan untuk memajukan umat manusia, dan persis karena itulah mereka membutuhkan gagasan yang secara objektif tepat. Ilusi dan dusta tidaklah berguna dalam perjuangan untuk menumbangkan kapitalisme, dan inilah mengapa kelas kapitalis mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk menyebarkan kebohongan dan kebingungan.
Salah satu contoh kebingungan yang disebarkan ini adalah kelas sosiologi yang biasanya diajarkan kepada mahasiswa-mahasiswa muda bahwa Mazhab Frankfurt adalah variasi yang sah dari Marxisme. Malangnya, selalu ada selapisan mahasiswa borjuis-kecil yang termakan oleh omong kosong ini, dan sebagai akibatnya menjadi benci pada Marxisme revolusioner yang sejati. Seperti halnya Mazhab Frankfurt, mereka meniti karier akademis, dimana ‘radikalisme’ mereka sebatas ucapan saja. Mereka habiskan hidup mereka di menara gading akademia, dengan memproduksi karya-karya anti-Marxis.
Kembali ke Marxisme sejati
Seperti yang Engels katakan, bukti puding adalah dengan menyantapnya. Teori Marxisme telah mengubah sejarah. Gagasan yang terkandung dalam Manifesto Komunis secara mengejutkan masih akurat hingga hari ini, tidak seperti teori-teori liberal di zaman mereka. Marx dan Engels menjelaskan basis perjuangan kelas yang sesungguhnya dan krisis periodik kapitalisme, dan mengantisipasi perkembangan selanjutnya sistem kapitalisme: bangkitnya kapital monopoli, imperialisme dan globalisasi. Siapapun yang ingin memahami krisis hari ini, kesenjangan yang semakin lebar antar kelas-kelas, polarisasi politik hari ini, dan bahkan kehancuran lingkungan hidup, harus mempelajari gagasan Marx dan Engels. Ini adalah filsafat yang sepenuhnya dialektis dan revolusioner, yang menjelaskan kontradiksi-kontradiksi utama dalam masyarakat. Marx dan Engels tidak serta merta membebek tren-tren pada jamannya, tetapi memahami bagaimana masyarakat akan berkembang di hari depan.
Pengaruh macam apa yang dimiliki ‘teori kritis’? Bagaimana teori ini telah dipraktikkan, dan seakurat apa teori ini dalam menjelaskan perkembangan kapitalisme selanjutnya? ‘Teori kritis’ memulai dengan membuat klaim-klaim besar. Teori ini dengan berani menyatakan bahwa ia akan mengembangkan filsafat dialektika sampai melampaui dogma-dogma ‘kedaluwarsa’ Marxisme, yang akan ‘dikritiknya’ dengan sangat tajam. Tidak puas dengan penampilan, Adorno, Horkheimer dan Marcuse menyatakan akan mengungkapkan watak segala hal-ihwal yang fana dan tidak lengkap. Alih-alih puas dengan hukum-hukum ekonomi, yang katanya semua perkembangan manusia telah direduksi oleh Marxisme ke dalamnya, mereka akan membuka vista teori yang baru, yang pada akhirnya akan membuat terang titik-titik buta Marxisme, seperti kultur dan psikologi massa. ‘Teori kritis’ masyarakat yang komprehensif adalah janji mereka.
Apa hasilnya? Alih-alih teori komprehensif, mereka menunjukkan sikap abai sepenuhnya terhadap hukum-hukum dasar ekonomi kapitalisme dan peristiwa-peristiwa besar dalam perjuangan kelas selama masa hidup mereka. Alih-alih ‘reduksionisme ekonomi’, yang tidak pernah menjadi kekeliruan Marx dan Engels, kita dapati reduksionisme kultural, dimana obsesi personal mereka terhadap budaya mainstream mendominasi ‘teori’ mereka di atas segalanya. Dengan idealisme paling vulgar, ratusan tahun sejarah secara kasar direduksi ke dosa Pencerahan.
Bagi sebuah Mazhab yang menyebut dirinya ‘teori kritis’, gagasan utamanya – bahwa kelas buruh tidak mampu membebaskan dirinya dari masyarakat kelas – bila diperiksa lebih dekat justru sangatlah tidak kritis pada kecenderungan dalam masyarakat hari ini. Secara idealis mereka meninggikan ‘Nalar’ sebagai kekuatan supra-historis yang mengesampingkan perjuangan kelas, dan ini sesungguhnya secara tidak-kritis membebek prasangka kelas-menengah pada saat itu, bahwa Keynesianisme telah menyelesaikan kontradiksi kapitalisme. Mereka tidak memahami kontradiksi-kontradiksi ekonomi yang berkembang dalam masyarakat. Ironisnya, orang-orang yang mengaku ‘ahli dialektika’ ini tidak dapat melihat melampaui kapitalisme versi Keynesian, apalagi kapitalisme secara keseluruhan. ‘Kritis’ dalam ‘teori kritis’ bukanlah kritis yang dialektik, tetapi kritis secara dangkal: mereka kritis dalam artian mereka hanya mengeluh mengenai berbagai aspek masyarakat kapitalis dan kultur modern. Lebih dari segalanya, mereka mengeluh bahwa kelas buruh terlalu konservatif dan konformis dalam selera mereka. ‘Teori kritis’ sangatlah superfisial karena sebagai satu bentuk idealisme teori ini terbatas pada analisis budaya tanpa memahami basis ekonomi dan politik yang melandasi budaya ini, dan juga kefanaan budaya tersebut. Karena tidak memiliki pemahaman sejarah yang serius, teori ini hanya bisa menghasilkan celoteh hampa.
Gagasan bahwa di epos hari ini revolusi sudah menjadi mustahil karena penemuan sarana media terbaru adalah gagasan yang selalu diajukan di setiap masa, seakan-akan ini adalah penemuan baru. Di satu generasi, televisi yang disalahkan. Di generasi lainnya, media sosial. Setiap kali kita diberitahu bahwa ini berarti perjuangan kelas sudah tidak lagi berlaku, bahwa Marxisme sudah usang. Dan setiap kali, perjuangan kelas memunculkan kepalanya kembali. Hari ini, kelas buruh jauh lebih besar dan kuat dibandingkan sebelumnya. Ada generasi baru yang tengah menjadi radikal dan mencari gagasan revolusioner. Kapitalisme dibenci di mana-mana. Apa yang disebut ‘politik tengah’ kini tengah runtuh dan kelas borjuasi mulai kehilangan kendali atas partai-partai tradisional mereka. Akan menjadi pekerjaan sia-sia bagi kita untuk mencari penjelasan ataupun solusi untuk problem hari ini dari Mazhab Frankfurt. Satu-satunya hal yang akan kita temui darinya adalah kebencian sinis terhadap kaum buruh dan muda hari ini.
Sekali lagi, jelas hanya Marxisme yang menyediakan sarana untuk memahami proses-proses ini, dan senjata untuk mengakhiri kesengsaraan kapitalis untuk selama-lamanya. Kelas buruh telah menunjukkan lagi dan lagi bahwa mereka adalah satu-satunya kelas revolusioner dalam masyarakat modern. Hanya kelas buruh yang bisa memimpin masyarakat keluar dari krisis kapitalisme yang dalam hari ini. Tetapi tidak ada ruang bagi sinisme borjuis kecil dalam gerakan buruh. Kelas buruh membutuhkan kepemimpinan yang berani, yang siap membuat pengorbanan dalam perjuangan emansipasi kelas buruh. Kelas buruh membutuhkan kepemimpinan yang telah menyerap pelajaran yang sesungguhnya dari revolusi-revolusi yang kemarin gagal, supaya kita bisa menang di kemudian hari. Mereka membutuhkan Marxisme sejati.
—————–
Catatan kaki:
[1] K Marx, “The German Ideology”, Marx & Engels Collected Works vol. 5, Progress Publishers, 1968, pg 36
[2] K Marx, Preface to A Contribution to the Critique of Political Economy, International Library Publishing, 1904, pg 11
[3] M Horkheimer & T Adorno, Dialectic of Enlightenment, Verso Books, 1997, pg xiii
[4] ibid., pg 6
[5] ibid., pg 7
[6] bid., pg 24
[7] ibid., pg 4
[8] F Engels, “Socialism: Utopian and Scientific”, The Classics of Marxism vol 1, WellRed Books, 2013, pg 39
[9] T Adorno, Negative Dialectics, Continuum Publishing, 2004, pg 320
[10] See T Grant, Will There be a Slump?, 1960
[11] H Marcuse, One Dimensional Man, Routledge and Kegan Paul, 2002, pg 128
[12] ibid., pg 3-4
[13] Marcuse memaparkan ini dengan sangat jelas, kendati bahasanya yang penuh pretensi, bahwa dia meyakini mentalitas ‘rasional’ memiliki semacam kekuatan magis untuk membentuk masyarakat dan dengan demikian menafikan perjuangan kelas: “Rasionalitas ilmiah menghasilkan sebuah organisasi masyarakat tertentu persis karena ia memproyeksikan bentuk belaka [!?]… yang dapat dibentuk untuk memenuhi semua tujuan.” ibid., pg 160.
[14] ibid., pg 26
[15] ibid., pg 10. Sekali lagi, kendati bahasanya yang pretensius, Marcuse percaya bahwa kekuatan pemikiran rasional telah menafikan perjuangan kelas: “perkembangan kapitalisme [yang baru dan rasionalis teknis] telah mengubah struktur dan fungsi kedua kelas ini [borjuasi dan proletariat] dengan cara tertentu sehingga mereka sudah bukan lagi agen transformasi sejarah. Kepentingan utama untuk mempertahankan dan memperbaiki lembaga status quo telah menyatukan kedua kelas yang sebelumnya antagonistis ini di kebanyakan daerah-daerah yang paling maju dalam masyarakat kontemporer.” ibid., pg xliii.
[16] F Engels, “Engels to J. Bloch”, Marx Engels Collected works vol 49, Lawrence and Wishart, 2001, pg 33
[17] M Horkheimer & T Adorno, Dialectic of Enlightenment, Verso Books, 1997, pg xiv-xv
[18] ibid., pg 133-4
[19] See R Sewell, Germany 1918-1933: Socialism or Barbarism, Wellred Books, 2018
[20] T Adorno, The Culture Industry, Routledge, 2001, pg 150
[21] H Marcuse, “An Essay on Liberation”, Zeitschrift für Philosophische Forschung 26 (1), 1972, pg 27
[22] S Jeffries, Grand Hotel Abyss, Verso Books, 2016, pg 292
[23] S Muller-Doohm, Adorno: A Biography, Polity Press, 2008, pg 414
[24] M Horkheimer, The Eclipse of Reason, Oxford University Press, 1947, pg 124
[25] M Jay, The Dialectical Imagination, University of California Press, 1973, pg 205
[26] S Jeffries, Grand Hotel Abyss, Verso Books, 2016, pg 72
[27] ibid.
[28] ibid., pg 54
[29] ibid., pg 78