Seperempat abad yang lalu, pada 21 Mei, 1998, Jendral Suharto, yang begitu dibenci oleh banyak orang, ditumbangkan oleh pemberontakan massa revolusioner. Walaupun momen ini dikenal luas dengan nama Reformasi, ini sesungguhnya adalah Revolusi. Massa yang sebelumnya dipaksa tidur selama puluhan tahun, yang “mengambang”, terbangunkan ke dalam kehidupan politik dan menggedor dengan keras pintu kekuasaan. Rejim Orde Baru yang telah berkuasa dengan nyaman dan aman selama 32 tahun, yang tampak kokoh tak tergoyahkan, runtuh seperti rumah kartu ketika berhadapan dengan pemberontakan massa muda dan buruh.
Satu generasi penuh telah berlalu sejak itu. Menjadi penting bagi generasi muda revolusioner untuk mengunjungi kembali periode Revolusi 1998. Bukan untuk nostalgia semata, seperti yang biasa dilakukan oleh banyak aktivis 98 yang entah kini sudah hidup nyaman dengan posisi empuk dalam pemerintah atau NGO, atau yang sudah demor dan sepenuhnya meninggalkan gerakan. Mereka mengenang 1998 sebagai masa keemasan mereka, masa-masa ketika mereka masih muda dan berani, dengan kata revolusi senantiasa di bibir mereka. Hari ini mereka telah menjadi lebih “bijak”, lebih “realistis” dalam cara pandangnya, dan mencibir kenaifan masa muda mereka. Kita tidak membutuhkan nostalgia menyedihkan semacam itu. Bagi generasi buruh dan muda revolusioner hari ini, 1998 adalah momen sejarah yang tak ternilai harganya. Terkandung di dalamnya adalah pelajaran penting untuk kemenangan revolusi mendatang.
Lahirnya Orde Baru
Untuk mengapresiasi signifikansi Revolusi 1998, kita harus terlebih dahulu memahami karakter rejim Orde Baru dan bagaimana rejim ini lahir. Rejim ini merupakan produk kontra-revolusi yang meluluhlantakkan seluruh gerakan proletariat. Kekalahan telak Revolusi Indonesia, yang dibaptis dengan lumuran darah, menjadi basis dari 32 tahun kediktatoran militer.
Pada paruh pertama 1960an, Indonesia ada dalam periode revolusioner. Partai Komunis Indonesia telah menjadi partai komunis terbesar di luar Uni Soviet dan China, dengan 3 juta anggota dan lebih dari 10 juta pendukung dalam organisasi-organisasi massa yang dipimpinnya. Lapisan luas rakyat pekerja termobilisasi secara politik. Hampir semua ahli strategi borjuis meramalkan dengan penuh rasa cemas dan bahkan putus asa bahwa dalam waktu dekat Indonesia akan menjadi komunis sepenuhnya.
Namun, kepemimpinan PKI tidak memiliki perspektif untuk memimpin proletariat ke perebutan kekuasaan, untuk mengakhiri kapitalisme dan pertuantanahan, dan membawa bumi Indonesia ke gerbang sosialisme. Sebaliknya, PKI mendukung pemerintahan borjuis Soekarno.
Sukarno adalah seorang nasionalis borjuis yang memasuki imajinasi rakyat karena perannya sebagai proklamator kemerdekaan Indonesia. Ada mitos yang dibangun di sekelilingnya, di mana Sukarno dicitrakan sebagai pemimpin anti-imperialis yang tak kenal rasa takut. Tetapi pada kenyataannya, dia adalah perwakilan tipikal dari borjuasi dunia kolonial yang lemah dan pengecut. Selama penjajahan Jepang, Sukarno secara patuh bekerja sama dengan imperialisme Jepang, menjadi bonekanya untuk menjinakkan massa dan membantu “merekrut” jutaan romusha untuk keperluan perang Jepang. Kepengecutan Sukarno bersinar saat dia takut memproklamasikan kemerdekaan Indonesia bahkan setelah Jepang telah menyerah tanpa syarat. Hanya setelah diculik dan dipaksa oleh sekelompok pemuda militan dia akhirnya dengan perasaan terpaksa menyatakan kemerdekaan. Selama perang kemerdekaan melawan Belanda (1945-49), di setiap langkah pemerintahannya berusaha berkompromi dengan imperialis. Pada akhir peperangan, Sukarno setuju mengembalikan semua properti Belanda dan membayar ganti rugi perang, dan dengan begitu menundukkan ekonomi Indonesia pada kepentingan imperialis.
Dalam gelombang revolusi kolonial selanjutnya pada 1950-60an, Sukarno berhasil mencitrakan dirinya sebagai tokoh anti-imperialis, yang memadukan retorika yang terdengar seperti Marxisme dengan nasionalisme borjuis-kecil versinya. Tetapi pada kenyataannya, sang bonapartis Sukarno tengah dengan hati-hati menyeimbangkan kepentingan antara kelas-kelas yang berbeda. Walaupun dia mengumbar ungkapan-ungkapan revolusioner, pada analisa terakhir pemerintahannya membela kepentingan kelas kapitalis. Namun, ilusi terhadap Sukarno dapat mencengkeram massa karena kebijakan Menshevik kepemimpinan PKI. Alih-alih menyingkap radikalisme hampanya Sukarno, dan mempertentangkannya dengan ide dan program Marxisme, kepemimpinan PKI berusaha ada di sisi baik Sukarno, sampai-sampai secara terbuka mengadopsi Sukarnoisme sebagai asa partai.
Seturut dengan teori revolusi dua-tahap Stalinis yang dianutnya, kepemimpinan PKi menganggap Sukarno adalah borjuasi progresif yang harus didukung oleh proletariat dengan cara apapun, dan Indonesia belumlah siap untuk revolusi sosialis. Revolusi Indonesia dibatasi pada tugas-tugas revolusi demokratik nasional (bebas dari imperialisme dan feodalisme). Tetapi sesungguhnya, hanya dengan pecah sepenuhnya dari borjuasi dan melangkah ke sosialisme maka tugas-tugas demokratik nasional bisa dituntaskan; dan satu-satunya kelas yang bisa menuntaskan tugas-tugas ini adalah proletariat yang memimpin kelas tani dan lapisan rakyat pekerja lainnya. Alih-alih, Aidit mengekor dengan setia pada borjuasi dan menunda sosialisme untuk masa depan yang jauh.
Dengan kebijakan demikian, PKI secara ideologis melucuti buruh dan tani selama masa perjuangan kelas yang semakin menajam ini. Aidit dan pemimpin PKI lainnya menerima sepenuhnya Nasakom (aliansi lintas-kelas antara kekuatan nasionalis, agama, dan komunis) dan Demokrasi Terpimpinnya (kebijakan Bonapartis untuk menyeimbangkan kelas-kelas) Soekarno, yang tidak lain adalah politik kolaborasi kelas untuk melumpuhkan buruh dan tani. Dengan demikian, kepentingan rakyat pekerja ditundukkan di bawah kepentingan kelas borjuasi. Kepemimpinan Stalinis PKI secara aktif mengerem laju perjuangan kelas yang tengah berkembang, semua demi menjaga persatuan nasional dengan borjuasi “progresif”.
Pada kenyataannya, tidak ada borjuasi progresif. Borjuasi tidak mendambakan persatuan nasional dengan buruh dan tani. Mereka mengumbar persatuan nasional guna menipu buruh dan tani, melemahkan kewaspadaan kelas mereka, dan akhirnya meremukkan mereka. Dengan kelas buruh dan tani yang sudah dilucuti ini, kelas penguasa meluncurkan kontra-revolusi mereka yang berdarah-darah, dengan dalih melawan usaha kudeta PKI. Buruh dan tani yang sudah dininabobokan untuk percaya pada pemerintahan Sukarno tidak melawan sama sekali ketika dihadapkan dengan reaksi. Jutaan melayang nyawanya tanpa perlawanan dalam pembantaian 1965-66. Gerakan proletariat luluh lantak sepenuhnya, secara fisik dan juga moral. Kekeliruan teori revolusi dua-tahap, yang pada dasarnya kolaborasionis-kelas, membuka jalan bagi kediktatoran militer Orde Baru. Kita akan lihat bagaimana kesalahan yang sama diulang pada 1998, dengan kiri, bahkan yang mengklaim Marxis, memberikan dukungan mereka pada kaum liberal borjuis.
Indonesia di bawah epos Imperialisme
Setelah Perang Dunia ke-2, banyak negara kolonial seperti Indonesia yang meraih kemerdekaan. Tetapi kemerdekaan ini bersifat semu. Perekonomian negara-negara ini sampai hari ini masih berada di bawah jempol imperialis lewat mekanisme pasar dunia. Justru, lewat pasar dunia, eksploitasi dan dominasi terhadap negeri-negeri bekas-jajahan menjadi semakin intens dan pasti, dan dengan demikian membelenggu perkembangan kekuatan produktif mereka.
Dominasi imperialis atas negeri-negeri eks-kolonial menciptakan kondisi eksploitasi yang mengerikan demi memastikan super-profit bagi perusahaan multinasional. Buruh bekerja dengan upah murah dan kondisi kerja buruk. Seluruh kekayaan alam dikeruk ke bursa saham New York, Tokyo dan London. Influks barang-barang murah dari luar negeri menghancurkan lapisan pedagang dan produsen kecil yang tidak mampu bersaing. Masuknya relasi uang dan kapital ke dalam pertanian dan pedesaan mendorong petani-petani kecil ke ambang kehancuran. Tanah kian terkonsentrasikan ke tangan segelintir tuan tanah; harga tanah dan sewa tanah semakin melambung seiring dengannya. Perekonomian desa mengalami kehancuran lebih cepat daripada kemampuan kota untuk menyerap rakyat desa yang membanjiri kota-kota, dan dengan demikian menciptakan lapisan besar kaum miskin kota permanen.
Masalah kelas, tanah, dan kebangsaan bertemu di satu titik dan menciptakan situasi sosial dan politik yang meledak-ledak. Ada kebuntuan dalam masyarakat. Tetapi kelas borjuasi tidak mampu memimpin masyarakat keluar dari kebuntuan ini karena mereka terikat oleh seribu benang pada imperialisme dan juga pertuantanahan. Satu-satunya jalan keluar adalah pecah secara revolusioner dari belenggu imperialisme, yang juga berarti dari belenggu kapitalisme, dan satu-satunya kelas yang bisa melakukan ini adalah proletariat.
Di bawah kondisi inilah ketegangan sosial di negeri-negeri eks-kolonial mencapai titik ekstrem. Kelas penguasa negeri eks-kolonial yang lemah tidak bisa memerintah dengan metode demokrasi borjuis yang sama seperti yang biasa dipraktikkan di negeri-negeri kapitalis maju. Untuk bisa memastikan kekuasaan properti, kelas kapitalis dan tuan tanah mesti menegakkan rejim otoriter. Mereka harus memerintah dengan pedang. Di bawah epos imperialisme, rejim demokratik adalah pengecualian di negeri-negeri eks-kolonial. Inilah mengapa, bila kita tengok kebanyakan negeri eks-kolonial, sejarah mereka adalah sejarah kediktatoran militer, sejarah rejim Bonapartis.
Rejim Bonapartis muncul dari masyarakat yang tenggelam dalam krisis yang permanen dan intens, di mana kelas borjuasi terlalu lemah untuk menegakkan ketertibannya, tetapi kelas buruh belum siap untuk merebut kekuasaan. Dalam situasi ini, negara dapat bangkit naik ke atas seluruh masyarakat, bahkan ke atas kelas yang mendasarinya. Sang diktator bonarpartis, secara langsung atau tidak langsung mendasarkan dirinya pada badan khusus orang bersenjata, menjadi penengah akhir, dengan pedang di tangannya. Ada ilusi yang tercipta, kekuasaan negara berdiri di atas masyarakat demi kepentingan nasional bersama, tetapi sesungguhnya ini adalah kekuasaan yang mewakili kelas-kelas berproperti.
Bagaimana rejim Orde Baru mulai goyah
Kapitalisme Indonesia hanya dapat berjalan sebagaimana mestinya di bawah rejim kediktatoran militer Orde Baru. Dengan dihancurkannya organisasi buruh dan tani secara total, eksploitasi terhadap buruh dan tani bisa dilaksanakan dengan bebas, tanpa perlu khawatir adanya keluhan dari pihak yang tertindas. Ketertiban ditegakkan bagi kapital untuk bisa meraup profit. Perdagangan dan industri tumbuh dengan begitu rakusnya. Di tengah kemelaratan rakyat pekerja, OKB-OKB mempertontonkan kemewahan mereka dengan tanpa malu. Dan sungguh ini adalah bisnis yang menguntungkan bagi semua pihak yang punya kuasa, bagi modal asing AS dan Jepang khususnya, dan tak terkecuali bagi Soeharto dan kroni-kroninya.
Selama 32 tahun Soeharto berkuasa, ia telah menjual seluruh Indonesia ke pembayar tertinggi. Dalam prosesnya, Soeharto tentunya mendapat komisi besar dan memperkaya dirinya dan keluarganya. Tentara hadir di mana-mana untuk memastikan ketertundukan rakyat pekerja, dari gedung parlemen sampai ke pabrik-pabrik untuk menertibkan buruh dengan moncong senjatanya, sampai ke pelosok-pelosok desa untuk mengawal penyerobotan tanah. Walaupun kelas borjuasi kehilangan hak politik mereka, mereka dibebaskan dari kekhawatiran politik karena mereka telah menyerahkan politik pada bayonet tentara. Pada kenyataannya, kelas kapitalis tidak membutuhkan demokrasi, bahkan bagi dirinya sendiri, untuk operasi kapitalnya.
Dalam bentuk yang bahkan lebih jelas, negara, yaitu badan khusus orang-orang bersenjata, dalam hal ini ABRI, memisahkan dirinya dari masyarakat, dan dengan demikian juga menjadi titik acuan dari semua kebusukan masyarakat borjuasi. Negara menjadi sarang korupsi, dan sumber dari semua yang jahat. Melalui Negara, semua kebusukan masyarakat borjuasi terungkap. Maka dari itu, perjuangan melawan kapitalisme terkonsentrasikan menjadi perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru. Sebagai konsekuensinya, bahkan perjuangan untuk hak-hak demokrasi yang paling mendasar sekalipun, perjuangan melawan pemberangusan hak demokrasi oleh Orde Baru, menjadi perjuangan yang berdimensi revolusioner. Perjuangan untuk demokrasi menjadi tidak mungkin tanpa revolusi, seperti yang dibuktikan dengan Revolusi 1998 yang mengakhiri Orde Baru.
Dimulai dari akhir 1980an, perekonomian Indonesia bergeser dari ekspor migas ke ekspor produk manufaktur. Ini menciptakan batalion proletar yang besar. Buruh manufaktur melompat dari 10,6 juta pada 1976 menjadi 28,4 juta pada 1997. Begitu juga buruh sektor komunikasi, transportasi, dan tambang, yang dalam periode yang sama meningkat tiga kali lipat menjadi 12 juta. Lapisan proletariat yang baru ini menjadi kekuatan yang mengguncang rejim Soeharto. Jumlah pemogokan meningkat pesat pada 1990an. Jumlah pemogokan yang resmi tercatat oleh Kemenaker melompat dari 61 pada 1990, yang melibatkan 31 ribu buruh, menjadi 360 pada 1996, yang melibatkan 220 ribu buruh. Satu estimasi bahkan mencatat ada lebih dari 1000 pemogokan pada 1994.
Perjuangan buruh kian hari kian militan, yang direspons juga dengan represi yang lebih brutal lagi. Tetapi represi tidak menyurutkan perlawanan buruh. Kisah perjuangan dan pengorbanan Marsinah menjadi contoh kepahlawanan buruh dalam melawan rejim selama periode kebangkitan buruh ini.
Pada 3-4 Mei 1993, ratusan buruh pabrik jam di Sidoarjo melakukan pemogokan untuk upah. Tentara pun langsung mengintervensi dan menangkapi para buruh yang dianggap penghasut. Marsinah yang memimpin pemogokan ini diculik dan dibunuh secara kejam oleh tentara. Tetapi ini tidak membuat buruh takut. Waspadalah hai penguasa bila rakyat sudah tidak lagi takut. Aksi-aksi buruh sebaliknya terus meluas. Buruh lewat pengalaman mereka sendiri menyaksikan bagaimana perjuangan ekonomi mereka berkait kelindan dengan perjuangan demokrasi, dan kian hari aksi buruh menjadi semakin politis.
Konflik tanah semakin merebak dan menajam pada awal 1990an. Petani kecil tidak hanya kehilangan tanah mereka karena himpitan kompetisi kapitalis, tetapi juga lewat perampasan langsung oleh pemodal dan negara. Tanah mereka “dibebaskan” untuk lapangan golf, proyek pemerintah, perkebunan besar dan pertambangan. Dengan moncong senjata, rejim Orde Baru mempercepat penyingkiran kaum tani dari sumber penghidupan mereka dan mempercepat proses konsentrasi tanah ke tangan pemodal. Gambaran Soeharto membagi-bagikan cangkul kepada petani menjadi lelucon yang tidak lucu ketika petani tidak lagi memiliki tanah untuk dicangkul; ketika justru cangkul, alat kerja primitif untuk pertanian skala-kecil yang tidak bisa bersaing dengan traktor para tuan tanah besar, adalah alasan kenapa petani kehilangan tanahnya. Pemerintah pun menjadi titik konsentrasi dari semua kegeraman pedesaan. Gerakan protes petani menjadi semakin berani setiap harinya, sampai menyerang dan membakar kantor polisi dan instansi pemerintah. Demikianlah dengan semua rejim Bonapartis, yang mengkonsentrasikan kekuasaan di tangannya, tetapi dengan demikian juga mengkonsentrasikan semua kekecewaan dan kemarahan rakyat pada dirinya.
Kaum muda, terutama mahasiswa, berdiri di barisan depan dalam melawan Orde Baru. Kampus menjadi sentra perlawanan. Yang paling berani dan paling maju di antara mereka berhimpun dalam PRD. Ini tidak mengherankan. Kaum intelektual muda sering kali menjadi barometer sensitif kondisi masyarakat. Mereka-lah yang biasanya pertama kali bergerak. Partai Bolshevik pun awalnya terdiri dari lapisan intelektual muda, dan bahkan sering dicemooh sebagai partai anak bau kencur. Tetapi, Partai Bolshevik mendasarkan ideologi, program dan metode perjuangan mereka pada kelas proletariat, dan inilah yang menjamin keberhasilan mereka. Walaupun kaum muda memiliki energi dan keberanian revolusioner, mereka sendiri saja bukanlah lapisan yang dapat memenangkan revolusi untuk mengakhiri kapitalisme.
Kegeraman massa rakyat yang sudah terakumulasi selama puluhan tahun juga meledak menjadi berbagai insiden kerusuhan massal. Ini dimulai dengan kerusuhan Situbondo pada Oktober 1996, dan disusul dengan kerusuhan Tasikmalaya dan Sanggau Ledo pada Desember 1996, dan rangkaian kerusuhan lainnya pada 1997. “Kenapa massa gampang mengamuk?” begitu tajuk utama cover majalah Gatra pada Mei 1997. Karena tidak memiliki saluran resmi, yang diblokir oleh kediktatoran militer, dan juga ketiadaan kepemimpinan revolusioner yang bisa memberikan ekspresi politik bagi keresahan rakyat, kegeraman rakyat akan ketimpangan, kronisme, dan otoritarianisme rejim terekspresikan dalam ledakan-ledakan kekerasan ini.
Periode 1996-97 yang penuh gejolak menjadi petanda bahwa rejim Orde Baru yang kokoh itu sudah mulai goyah. Masyarakat dicabik-cabik oleh kontradiksi-kontradiksi yang tak terpecahkan. Tekanan-tekanan dari bawah sudah mulai tak terbendung. Popor senjata dan sepatu bot sudah tidak lagi mempan karena rakyat sudah kehilangan rasa takut mereka. Pada kenyataannya, rejim Bonapartis, kendati penampilan luarnya yang stabil, adalah rejim yang penuh dengan kontradiksi.
Seperti yang dikatakan oleh Trotsky:
“Rezim totaliter, entah dalam bentuk Stalinis ataupun Fasis, secara hakikatnya hanya dapat menjadi rezim transisional yang sementara. Kediktatoran terbuka dalam sejarah umumnya merupakan produk dan gejala dari krisis sosial yang teramat tajam, dan bukan sama sekali rejim yang stabil. Krisis yang parah tidak bisa menjadi kondisi permanen masyarakat. Negara totaliter dapat meredam kontradiksi-kontradiksi sosial untuk rentang waktu tertentu, tetapi negara ini tidak akan bisa mempertahankan dirinya untuk selama-lamanya.”
Memang demikian. Bom waktu dibangun di bawah fondasi rejim Orde Baru. Hanya butuh satu percikan, dan percikan ini disediakan oleh Krisis Asia 1997.
Krisis Asia 1997-98
Pada Juli 1997, Asia dihantam krisis finansial terbesar. Dimulai dari Thailand, keruntuhan finansial menyebar dengan cepat ke seluruh Asia, dan memukul dengan keras terutama Indonesia dan Korea Selatan. Krisis ini merupakan titik balik penting. Ini adalah geladi resik krisis global 2008.
Setelah keruntuhan Uni Soviet pada 1991, kapitalisme merayakan kemenangan finalnya. Sejarah telah berakhir. Kapitalisme telah menyelesaikan kontradiksinya. Tidak akan ada lagi siklus boom-and-bust. Tidak akan ada lagi revolusi. Mulai hari ini, kapitalisme adalah sistem yang terbaik, dan satu-satunya. There is no alternative. Demikian yang dipercaya oleh para ahli strategi kapital. Krisis Asia 1997 menghancurkan semua harapan dan impian akan kapitalisme yang ajek. Kebangkitan revolusioner di Indonesia mengejutkan semua orang, terutama semua Kiri yang sudah letih, semua eks-Marxis, eks-Stalinis, eks-Maois, yang setelah jatuhnya Uni Soviet telah mencampakkan revolusi. Tetapi ini tidak mengejutkan kaum Marxis Revolusioner sama sekali.
Dimulai pada akhir 80an, modal asing mengalir dengan deras ke negeri-negeri berkembang karena tingkat profit tinggi yang bisa dikeruk dari investasi di sana. Ini sebagian didorong oleh kepercayaan diri berlebihan kapital setelah kejatuhan Uni Soviet. Upah dan tanah murah memberi kepastian laba yang menggiurkan, apalagi bila kepastian ini dibeking oleh bayonet seperti di Indonesia. Ekonomi-ekonomi Asia seperti Thailand, Malaysia, Indonesia, Singapura dan Korea Selatan mengalami pertumbuhan pesat dari akhir 1980an sampai 1990an, mencapai 8-12 persen per tahunnya. Pencapaian ini dirayakan dengan bisingnya oleh IMF dan Bank Dunia, yang menyebutnya sebagai “keajaiban ekonomi Asia.” Semua orang kabarnya akan terangkat dari garis kemiskinan dengan trickle-down economy. Ekonomi dunia kolonial akan mengejar keterbelakangannya, menjadi emerging economy dan meraih semua keuntungan dari kapitalisme global untuk menjadi negeri maju.
Tetapi keajaiban ini raib secepat ia muncul. Kapitalisme ternyata masih dirundung oleh problem yang sama semenjak Marx menulis Manifesto Komunis, yakni krisis overproduksi. Tidak ada mukjizat yang bisa mengatasi kontradiksi inheren ini. Terlebih, pertumbuhan pesat yang dicapai ekonomi-ekonomi dunia ketiga ternyata sebagian besar berdasarkan intensifikasi eksploitasi buruh dan tani, dan bukan perkembangan kekuatan produktif. Spekulasi liar dan kapital fiktif juga mewarnai boom “ajaib” ini. Para pesulap ini akhirnya kehabisan kelinci.
Gelombang PHK menghantam. Rupiah jatuh. Inflasi melejit. Harga kebutuhan pokok melonjak. Untuk menyelamatkan pemerintah dari kebangkrutan, Soeharto menerima pinjaman besar dari IMF yang menuntut penghapusan subsidi sosial dan privatisasi sebagai syaratnya. Harga bensin, minyak tanah, dan listrik naik. Beban krisis digeser ke pundak rakyat miskin. Dengan ini, perjuangan melawan Orde Baru menjadi nasional, tidak hanya melibatkan buruh-buruh terorganisir, petani yang tanahnya dirampas, tetapi meluas ke kaum miskin kota, sopir mikrolet, pemilik warung, pekerja kerah putih, ibu-ibu di pasar, dan pedagang kecil. Rejim Orde Baru, yang pijakannya memang sudah goyah beberapa tahun terakhir, akhirnya roboh dihantam gelombang aksi massa yang tak terbendung.
Revolusi, bukan Reformasi
Bila orang-orang ditanya 10 tahun sebelum 1998, atau bahkan 5 tahun sebelumnya, apakah rejim Orde Baru bisa ditumbangkan, hampir semua orang akan menggelengkan kepala mereka. Terutama kaum liberal demokrat, yang menambatkan harapan mereka pada kerja-kerja LSM dan kemanusiaan, pada perubahan-perubahan kecil, dan tidak memiliki kepercayaan pada kelas buruh dan aksi revolusioner. Mereka melihat pembantaian 1965, dominasi tentara yang tampaknya absolut, pertumbuhan ekonomi yang pesat di bawah Suharto, dan juga keruntuhan Tembok Berlin, sebagai bukti tak-terbantahkan bahwa revolusi adalah kemustahilan, barang antik dari jaman baheula.
Tetapi kontradiksi-kontradiksi tajam dalam masyarakat kapitalis Indonesia tidak bisa dipecahkan dengan perubahan gradual. Hanya aksi massa revolusioner yang dapat menumbangkan rejim Orde Baru, dan 1998 menjadi saksinya. Tentunya mudah untuk mendukung aksi massa revolusioner ketika ini sudah menjadi fakta. Inilah penyakit kaum liberal demokrat: mereka adalah pengekor fakta. Segera setelah aksi massa revolusioner telah menjadi fakta, mereka dengan tergesa-gesa bergabung dengannya, ikut mengibarkan bendera revolusi sementara di setiap langkahnya mencoba memoderasinya, melemahkannya, menumpulkannya, mengarahkannya ke jalur yang aman, mengubahnya menjadi Reformasi. Tetapi sebelumnya, revolusi dan aksi massa adalah hal yang mereka jauhi.
Pada kenyataannya, rejim Orde Baru hanya dapat ditumbangkan oleh revolusi proletariat. Dan inilah yang sesungguhnya terjadi pada 1998. Sedari 1990, rakyat kelas pekerjalah – buruh, tani dan kaum miskin kota – yang pertama menggedor pintu kekuasaan Orde Baru dengan aksi-aksi massa mereka yang kian hari kian militan dan berani.
Ada dua kemungkinan hasil akhir dari Revolusi 1998: perebutan kekuasaan oleh proletariat atau terbentuknya republik demokratik borjuis. Tetapi terbentuknya republik demokratik borjuis tidak akan menjadi buah dari revolusi borjuasi, tetapi aborsi dari revolusi kelas pekerja yang belumlah matang dan terbukti prematur. Ketika kelas proletariat, dan dalam kasus ini pelopor mereka, belum ada dalam posisi untuk memenangkan kekuasaan, maka kelas borjuasi akan memulihkan kekuasaan mereka di atas basis demokrasi borjuasi.
Inilah yang terjadi pada Revolusi 1998. Kelas pekerja telah bergerak dan menjadi motor penggerak Revolusi 1998. Kaum liberal demokrat yang kerap jadi jubir gerakan ini hanya memikirkan agenda reformasi. Tetapi rakyat pekerja berikhtiar mengakhiri semua bentuk penindasan yang mereka derita dan mengubah nasib mereka secara fundamental. Jenderal Wiranto, yang menjabat Panglima Tertinggi ABRI pada saat itu, mengatakan dengan cemas bahwa aksi-aksi massa “cenderung menentang semua dan segalanya.” Ini adalah penilaian yang tepat dari perwakilan terutama rejim. Revolusi 1998 tidak hanya menuntut turunnya Soeharto, tidak hanya menuntut hak-hak demokrasi, tetapi juga menolak seluruh sistem eksploitasi dan penindasan yang ada, yaitu kapitalisme, bahkan bila para partisipannya tidak memahami ini dengan jelas. Tetapi inilah yang dipahami dengan jelas oleh kelas penguasa. Tidaklah keliru untuk mengatakan bahwa kelas kapitalis umumnya memiliki kesadaran kelas yang lebih tinggi daripada kelas pekerja, terutama ketika kelas pekerja tidak memiliki partai revolusioner yang bisa mengartikulasikan kehendak mereka menjadi program yang lengkap dan jadi.
Reformasi yang kita kenal hari ini tidak lain adalah produk sampingan revolusi. Reforma-reforma demokratik yang dicapai adalah kemenangan parsial dari revolusi yang gugur. Maka sudah saatnya kita dengan bangga merayakan gerakan ini sebagai revolusi, dan dengan demikian memahami esensi gerakan ini: bergerak masuknya rakyat secara paksa ke dalam sejarah untuk mengubah nasib mereka sendiri.
Oposisi borjuis liberal
Sedari awal 1990an, ketika aksi massa semakin meningkat, selapisan kelas penguasa, terutama yang berada di pinggiran pusat kekuasaan, telah menuntut reforma politik dari atas. Ini bukan karena mereka adalah pembela demokrasi, tetapi karena mereka bisa merasakan adanya tekanan-tekanan dari bawah yang rentan menjadi ledakan revolusi. Mereka melihat harus ada semacam saluran demokrasi untuk menyalurkan amarah rakyat ke saluran yang aman, kalau tidak seluruh sistem ini akan meledak dan hancur berkeping-keping. Peran oposisi borjuis ini terutama diisi oleh Megawati dan PDI. Reformasi dari atas untuk menghindari revolusi dari bawah. Inilah yang mendasari perpecahan awal ini, yang dimulai dengan kemunculan Megawati sebagai figur yang populer dan ditandai dengan peristiwa Kudatuli Juli 1996, ketika pada 27 Juli 1996 kekuatan pemerintah menyerbu kantor pusat PDI untuk menyingkirkan Megawati dari posisi kepemimpinan PDI.
Lapisan oposisi borjuis ini juga memiliki kepentingan mereka sendiri. Selama puluhan tahun, walaupun mereka adalah bagian dari kelas penguasa dan Orde Baru, tender dan proyek paling basah, suapan terbesar, jabatan paling empuk, semua dinikmati secara eksklusif oleh tentara, Golkar, dan lingkaran Soeharto. Mereka hanya dapat remah kecil. Mereka melihat ada kesempatan dalam reforma ini untuk memperoleh porsi kue kekuasaan yang besar. Lihatlah hari ini partai-partai reformasi PKB, PAN, dan PDI-P; para politisi kini telah hidup dengan jauh lebih makmur dengan cara menjarah negara.
Golkar dan ABRI, di sisi lain, melihat bahaya yang inheren dalam memberikan konsesi pada rakyat pekerja. Dalam hal ini mereka tidak keliru. Setiap konsesi hanya akan memberikan kepercayaan diri yang lebih besar bagi rakyat pekerja, yang tidak akan berhenti pada konsesi saja tetapi akan terus bergerak untuk menuntut perubahan fundamental dalam masyarakat. Seluruh bangunan kapitalisme dapat terancam secara serius, karena penggulingan rejim Orde Baru dapat mengarah ke penggulingan kapitalisme. Mereka masih ingat sejarah 1965, dan momok komunisme terus membuat mereka cemas walaupun PKI sudah dikubur dalam-dalam dengan jutaan bangkai. Bahkan setelah menurunkan Soeharto, gerakan revolusioner tidak surut dan terus memuncak sampai pada mobilisasi November 1998 yang bahkan lebih besar dan militan daripada mobilisasi Mei 1998.
Apa yang terjadi pada 1998 adalah Revolusi. Bila hari ini revolusi ini disebut Reformasi, ini hanya karena kaum borjuasi oposisi berhasil memadamkan api revolusi 1998 dan menyetirnya ke agenda reformasi. Reformasi merupakan produk sampingan Revolusi 1998, produk kekalahannya. Tetapi kekalahan Revolusi 1998 tidak berarti kembali ke status quo. Revolusi ini, walaupun tidak berhasil menghancurkan sepenuhnya Orde Baru dan kapitalisme, tetapi ledakannya begitu dahsyat sehingga membuka ruang-ruang demokrasi secara paksa.
Pada momen penentuan, kelas penguasa mafhum bahwa mereka harus memberikan konsesi reformasi bila mereka tidak ingin kehilangan segalanya. Aparatus kekerasan mereka sudah tidak lagi berguna untuk menghentikan massa. Revolusi telah dimulai. Kelas penguasa yang akan kehilangan segalanya akan memberikan reforma apapun untuk mempertahankan keselamatan keseluruhan sistem mereka. Kesepakatan dibuat dengan oposisi borjuasi liberal, yaitu kaum reformis. Soeharto akan turun, tetapi tidak akan diadili dan kekayaannya tidak akan disentuh. Dwifungsi ABRI akan dihapus hanya secara perlahan guna menjaga tuas-tuas kekuasaan mereka. Konsesi-konsesi demokratik – pemilu bebas, kebebasan berorganisasi, berpendapat – akan diberikan, selama sistem eksploitasi kapitalis tidak disentuh. Transisi damai “Reformasi” akan memastikan agar Revolusi 1998 tidak bergerak melampaui batas-batas kapitalisme
Akan menjadi kesalahan menyebut oposisi borjuis ini sebagai reformis gadungan. Apa yang dilakukan oleh kaum reformis ini, yang terutama diwakili oleh Megawati, Amien dan Gus Dur, adalah reformasi dalam arti sesungguhnya, yaitu mereka jadi perwakilan reforma dari atas untuk membendung arus revolusi dari bawah. Dalam setiap kesempatan, mereka berusaha menghentikan mobilisasi massa dari bawah.
Setelah jatuhnya Soeharto pada 1998, ada karnaval demokrasi yang gegap gempita. Kendati usaha keras kaum reformis untuk menghentikan laju revolusi 1998, tidak ada tanda-tanda revolusi ini akan berhenti. Justru, lengsernya Soeharto membuka pintu dam revolusi.
Pada akhirnya, massa rakyat tidak bisa berada dalam kondisi mobilisasi permanen. Tanpa kepemimpinan dan partai revolusioner yang dapat memberikannya program dan slogan untuk mencapai kemenangan akhir, setelah serangkaian pertempuran, gejolak, perubahan-perubahan tajam, yang memuncak pada November 1998, api Revolusi 1998 akhirnya meredup. Kelas penguasa memadukan represi dengan reforma dengan cerdik: represi untuk menghantam lapisan gerakan yang paling maju; reforma untuk menenangkan lapisan rakyat pekerja yang lebih luas, yang sudah mulai letih, untuk meyakinkan mereka bahwa Indonesia tengah bergerak ke era demokrasi dan semua keluhan dan problem mereka dapat diselesaikan lewat mekanisme demokrasi borjuis.
Sampai pada 1999 dan 2000, kita memang masih saksikan demonstrasi-demonstrasi massa, dengan masuknya lapisan-lapisan baru ke dalam perjuangan yang menggunakan ruang-ruang demokrasi yang telah terbuka ini. Tetapi ini hanyalah gema panjang dari Revolusi 1998, seperti gempa-gempa susulan setelah gempa besar. Secara umum, rejim kembali mengkonsolidasikan pijakan mereka. Kaum reformis telah berhasil menyelamatkan keseluruhan sistem yang ada, dan untuk layanan mereka ini mereka memperoleh porsi besar kekuasaan yang lebih besar, yang mereka manfaatkan sepenuhnya untuk memperkaya diri mereka. Sementara, tidak ada perubahan fundamental dalam kehidupan buruh, tani dan kaum miskin kota, yakni kelas yang menjadi batalion utama dalam Revolusi 1998.
Pelajaran yang perlu dipetik
Energi revolusioner yang dilepaskan oleh massa sungguh luar biasa. Setelah dikekang selama 32 tahun, massa membludak masuk ke panggung sejarah dengan energi yang meledak-ledak. Inilah yang kita sebut revolusi. Tetapi energi besar ini menguap sia-sia karena tidak ada partai revolusioner yang hadir untuk mengarahkannya dengan ide dan program yang tepat. Gerakan massa revolusioner, yang menurut Wiranto “menentang semua dan segalanya”, berakhir dengan hanya mengubah sedikit saja kondisi kehidupan rakyat pekerja. Yang miskin masih miskin; yang kaya masih kaya dan menjadi bahkan lebih kaya; elite politik yang sama masih berkuasa bahkan dengan lebih rakusnya, kini dengan sepuhan demokrasi yang tipis dan semu. Inilah pelajaran paling utama dari Revolusi 1998: perlunya membangun partai revolusioner, yang dipersenjatai dengan ide, program, metode dan tradisi Marxisme.
Partai ini tidak bisa diimprovisasi saat kebangkitan revolusi. Ia harus dibangun dengan cermat dan telaten jauh-jauh hari sebelum revolusi meledak. Kader-kadernya harus dihimpun dengan teliti dan ditempa dengan Marxisme, yaitu intisari sejarah perjuangan proletariat selama 160 tahun terakhir. Proses pembangunan ini membutuhkan kesabaran, sesuatu yang sangat langka hari ini di antara aktivis yang selalu menginginkan hasil segera, karena mereka telah menyerah dalam perjuangan demi sosialisme.
Selama Revolusi 1998, PRD mungkin adalah yang paling dekat yang bisa dikatakan sebagai partai revolusioner. Ia menghimpun dalam barisannya kaum muda yang paling maju dan radikal. Didirikan pada 1996, hanya 2 tahun sebelum revolusi, PRD terlalu muda dan terlalu kecil untuk bisa mengubah arus sejarah. Tetapi apa yang tidak dia miliki dalam ukuran, dia atasi dengan program anti-kapitalis yang radikal. Walaupun kecil, PRD menjadi titik rujukan bagi lapisan paling maju dalam revolusi. Setelah jatuhnya Suharto, ada gelombang radikalisasi dan PRD dengan cepat tumbuh menjadi partai yang cukup besar. Kaum muda yang paling militan tertarik pada program sosialisnya PRD. Akan tetapi, Marxismenya PRD setengah matang, karena partai ini terus mengulang kesalahan yang sama seperti PKI: mendukung kaum liberal borjuis dengan dalih teori dua-tahap. PRD memiliki potensial menjadi sebuah partai massa revolusioner. Tetapi karena gagasannya yang keliru, partai ini mengalami degenerasi menjadi partai nasionalis Sukarnois. Inilah pentingnya memiliki gagasan Marxis yang tepat.
Generasi muda hari ini lahir dan dibesarkan setelah Revolusi 1998. Alih-alih melihat masyarakat demokratik yang tumbuh dinamis seperti yang dijanjikan oleh Reformasi, yang mereka lihat hanyalah proses pembusukan. Praktik KKN terus meluas dan menjadi-jadi seiring dengan melemahnya KPK. Hak-hak demokrasi terus digerus, terakhir dengan disahkannya KUHP baru. Rejim Jokowi yang dijanjikan sebagai pemerintahan perubahan ternyata menjadi penjaga status-quo, yakni penjaga kepentingan modal. Beragam perangkat hukum disahkan oleh rejim ini, yang tak henti-hentinya menekan taraf hidup rakyat demi keberlangsungan profit kapitalis. Kehidupan telah menjadi tak tertanggungkan bagi rakyat pekerja. Inilah potret masyarakat pasca Reformasi: pembusukan di mana-mana.
Tidak ada jalan keluar selain mengakhiri sistem kapitalisme. Reformasi adalah capaian demokratik terbaik yang bisa dicapai di bawah demokrasi borjuasi dalam epos imperialisme, dan pencapaian ini pun tidak abadi dan sejak hari pertama terus digerus. Maka dari itu, tugas kita bukanlah memulihkan ataupun menuntaskan Reformasi. Untuk menegakkan demokrasi yang sejati bagi buruh, tani, dan semua lapisan rakyat pekerja, kelas pekerja harus mengakhiri seluruh sistem kapitalisme. Revolusi 1998 telah menunjukkan kapasitas kelas pekerja untuk merombak masyarakat secara revolusioner. Cepat atau lambat, rakyat pekerja akan kembali menemukan diri mereka dalam jalan menuju revolusi. Krisis kapitalisme yang tak tertanggungkan niscaya mendorong mereka ke jalan ini ketika tidak ada lagi jalan lain yang tersisa. Malang nasib kaum revolusioner bila mereka sekali lagi tertangkap basah tidak siap menghadapi dan memimpin situasi revolusioner. Malang nasib rakyat pekerja bila sekali lagi mereka berjuang tanpa adanya partai revolusioner yang bisa mengantarkan mereka ke kemenangan akhir: transformasi sosialis.