Timor-Leste baru saja melaksanakan pemilihan parlementer pada 21 Mei lalu, yaitu sehari setelah perayaan restorasi kemerdekaan Timor-Leste yang ke-21. Ini adalah pemilu ke-5 setelah negeri ini merdeka. Rakyat Timor-Leste kembali berpartisipasi dalam apa yang disebut “pesta demokrasi”. Namun pemilu kali ini tidak berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, yakni sebagai ajang untuk tukar menukar kekuasaan antar elite politik. Kendati banyak partai yang bermunculan belakangan ini, kekuatan utama tetap ada di tangan Fretilin dan CNRT, dan partai-partai lainnya biasanya mengekor pada kedua kekuatan ini untuk menikmati kue kekuasaan bersama. Rakyat pekerja sementara hanya jadi lumbung suara.
Dalam pemilu ini, drama politik antara kubu petahana (koalisi Fretilin–PLP–KHUNTO) dan kubu oposisi (CNRT dan PD) semakin memanas. Media sosial menjadi jadi tempat baku-hantam antar pendukung masing-masing partai, mulai dari pengamat borjuis yang mengeluarkan jurus-jurus pamungkas mereka untuk menunjukkan partai yang satu lebih baik dari yang lainnya, sampai saling melemparkan cacian dan hinaan antar pendukung partai.
Kubu petahana, yang dipimpin oleh Mari Alkatiri, tokoh pejuang kemerdekaan Timor Leste, mencoba mempertahankan kekuasaan mereka di tengah kondisi pengangguran yang sangat tinggi di negeri tersebut. Fretilin menjanjikan subsidi 200 dolar per keluarga setiap akhir tahun, yang sesungguhnya tidak menyentuh akar permasalahan kemiskinan yang ada. Di lain pihak, kubu oposisi yang dipimpin Xanana Gusmao, juga tokoh kemerdekaan, tidak lebih baik dari partai penguasa. Mereka memainkan isu-isu yang sama, pengangguran dan kemiskinan, sebagai bahan kampanye untuk memperoleh suara. Mereka mengkritik kubu penguasa yang telah mengabaikan rakyat selama masa kekuasaannya, tidak peduli bila CNRT pun ketika berkuasa sebelumnya juga mengabaikan rakyat dan, seperti para pejabat Fretilin mereka pun menggunakan posisi mereka untuk memperkaya diri mereka sendiri (baca Timor Leste: Parlemen adalah Sarang Korupsi).
Pemilihan kali ini diikuti 17 partai, namun hanya lima partai yang lolos ke parlemen, di antaranya adalah CNRT, FRETILIN, PLP, KHUNTO, dan PD. Dari 79 persen pemilih yang ikut berpartisipasi dalam pemilihan kali ini, CNRT yang di periode sebelumnya mendapatkan 22 kursi (29,7%) kini menempati urutan pertama dengan 31 kursi dan suara terbanyak, 41,6%. Fretilin, yang di periode sebelumnya mendapatkan kursi terbanyak dengan perolehan 23 kursi, kali ini hanya mendapatkan 19 kursi dengan perolehan suara sebanyak 25,8%. PD mendapatkan 6 kursi dengan suara 9,3%, KHUNTO 5 kursi (7,5%), dan PLP 4 kursi (5,9%). Hasil ini menunjukkan bahwa CNRT membutuhkan 2 kursi lagi untuk memenuhi syarat mayoritas parlementer (33 kursi) untuk membentuk pemerintahan baru. Artinya mereka harus berkoalisi dan kemungkinan besar mereka akan memanggil PD ataupun PLP untuk membentuk pemerintahan berikutnya. Berita terakhir mengabarkan bahwa CNRT akan berkoalisi dengan PD.
Kekalahan Fretilin bukan sesuatu yang terjadi tanpa sebab. Ini adalah konsekuensi logis dari ketidakbecusan pemerintahan dalam menghadapi krisis ekonomi selama 3 tahun terakhir, terutama krisis Covid-19. Kemenangan CNRT adalah bentuk kekecewaan rakyat terhadap pemerintahan saat ini, sehinga kekecewaan ini terekspresi lewat suara yang diberikan kepada kubu oposisi seperti CNRT dan PD. Selain itu juga kenaikan suara CNRT tidak terlepas dari kampanye pencitraan Xanana yang blusukan selama bencana banjir maupun ketika rakyat mengalami kesusahan. Namun apakah setelah mendapatkan kepercayaan dari rakyat dengan mendapatkan suara terbanyak, akankah CNRT akan membuktikan keberpihakannya pada rakyat miskin lewat pemerintahan mereka nanti? Kita diingatkan pada 2012 ketika CNRT meraih suara terbanyak dan Xanana naik jadi perdana menteri; pemerintahannya hanya menuai kekecewaan, penuh dengan korupsi, dan akhirnya dikalahkan oleh Fretilin pada pemilu selanjutnya pada 2017. Satu hal yang pasti, pemerintahan berikutnya kita akan tetap menyaksikan krisis mendalam dalam masyarakat Timor Leste dan kontradiksi kapitalisme yang tak berkesudahan.
Sudah lebih dari 20 tahun sejak Timor Leste meraih kembali kemerdekaannya. Banyak pemimpin yang bergantian memimpin negara ini, tetapi rakyat pekerja Timor-Leste masih di antara yang termiskin di dunia. Masalah pengangguran, buta huruf, dan kemiskinan tidak pernah terselesaikan. Di tengah-tengah kondisi miris yang dialami rakyatnya, para pejabat bergelimang harta dengan korupsi dan kronisme besar-besaran. Sumber pendapatan dari migas selama dekade terakhir kebanyakan dinikmati oleh kapitalis, elite politik, dan perusahaan asing; sumber migas ini pun sudah hampir habis dan ini sungguh mengancam ekonomi Timor Leste yang hampir sepenuhnya tergantung pada migas. Mayoritas rakyat pekerja masih hidup dalam kemiskinan, dengan 40 persen hidup di bawah garis kemiskinan. Jurang antara yang kaya dan miskin semakin melebar. Biaya hidup yang semakin tinggi dari waktu ke waktu memaksa puluhan ribu warganya jadi buruh migran ke negara-negara lain dengan upah murah. Pendapatan buruh migran ini kini menjadi sumber pemasukan negara terbesar kedua setelah migas.
Timor Leste telah merdeka secara politik, namun sumber kekayaannya masih dijarah oleh kekuatan-kekuatan imperialis seperti China, Australia, AS, dan lainnya, dan kondisi ini diaminkan dan dimanfaatkan oleh kelas penguasanya yang bergantian memimpin untuk memperkaya diri mereka. Apakah ini yang dinamakan kemerdekaan? Tidak. Kemerdekaan ini hanya berlaku untuk segelintir kaum kaya, namun mayoritas rakyat masih belum merdeka dari kemiskinan, kesengsaraan, dan penindasan seperti saat di bawah kolonialisme sebelumnya.
Selama masih di bawah kapitalisme, rakyat akan tetap jadi mangsa janji-janji kosong para politisi dan sistem elektoral borjuis yang menjadikan akar kesewenang-wenangan ini tetap berjalan. Demokrasi borjuis akan selalu menggunakan janji-janji kosong dan trik-trik kotor untuk meraih kekuasaan. Kaum borjuasi akan selalu membodohi rakyat untuk kepentingan-kepentingan mereka dan masalah-masalah yang disebutkan di atas tidak akan pernah terselesaikan selama di bawah kapitalisme. Entah CNRT atau Fretilin, mereka akan menjadi pelayan kapitalisme. Untuk itu, rakyat pekerja dan kaum muda harus melawannya dengan membangun partainya sendiri yang mengusung program sosialisme dan pecah dari kapitalisme.
Satu-satunya jalan keluar bagi Timor Leste adalah program nasionalisasi tuas-tuas penting ekonomi, yang dijalankan di bawah kontrol demokratik kelas pekerja dengan sistem ekonomi terencana. Terlebih lagi, masa depan Timor Leste juga terhubungkan erat dengan revolusi sosialis di kawasan Australia dan Asia Tenggara. Mustahil membangun sosialisme hanya di Timor Leste saja. Hanya dengan Federasi Sosialis Kawasan Australia-Asia-Tenggara maka seluruh sumber daya ekonomi wilayah tersebut bisa dikelola bersama demi kesejahteraan bersama seluruh rakyat pekerja, berdasarkan solidaritas proletariat dan kesetaraan, dan bukan berdasarkan hubungan eksploitatif dan predatoris di bawah imperialisme.