Dunia sedang dilanda demam kecerdasan artifisial atau AI (artificial intelligence). Dirilisnya ChatGPT belum lama ini membuat hampir semua orang tercengang pada kemampuan teknologi AI dan bertanya-tanya mengenai potensinya di masa depan. Miliaran dolar mengalir dengan deras ke banyak perusahaan startup AI. Hampir semua perusahaan teknologi raksasa seperti Google dan Microsoft tidak ingin disalip dan membuka dompet mereka lebar-lebar untuk mengembangkan kapasitas AI mereka. AI diusung sebagai teknologi masa depan yang akan mengubah secara drastis bagaimana kita bekerja. Sementara kapitalis penuh dengan antusiasme, AI sebaliknya membuat khawatir banyak buruh.
Kompas edisi 28 Juni kemarin terbit dengan tajuk utama “Potensi Masa Depan yang Terbuka oleh AI”. Dengan penuh optimisme, Kompas merilis studinya bahwa nilai ekonomi yang dihasilkan oleh penerapan AI di Indonesia dapat mencapai Rp 5.299 triliun. Dengan PDB sebesar hampir Rp 20.000 triliun, ini berarti peningkatan produktivitas sebesar 25 persen. Selain itu, 22 persen dari total pekerja atau sekitar 26,7 juta pekerja kabarnya akan terbantu oleh AI. Studi Kompas juga memperkirakan implementasi AI akan dapat menghemat waktu bekerja setiap orang hampir 2 jam per hari. Bayangkan, kita tidak perlu lagi bekerja 8 jam setiap harinya. Masuk pukul 8 pagi, keluar pukul 2 siang, sehingga tersisa waktu untuk menikmati hidup dengan lebih penuh.
Data ini menunjukkan potensi besar AI bagi kehidupan rakyat. Namun realitasnya akan sungguh jauh berbeda. Ini bukan karena rakyat Indonesia tidak cukup pintar dan bertalenta untuk menggunakan AI. Struktur sosio-ekonomi masyarakat kapitalis hari ini lah yang menjadi perintang bagi realisasi potensi penuh AI untuk kesejahteraan rakyat.
Pertama, dari Rp 5.299 triliun yang dapat dihasilkan oleh AI, jelas sebagian besar, bila akan dinikmati oleh segelintir pemilik modal yang menguasai tuas-tuas ekonomi. Pekerja dari berbagai sektor akan lebih produktif dalam kerjanya, tetapi hasilnya akan memenuhi rekening bank kapitalis. Contohnya bisa kita lihat dari perkembangan teknologi selama beberapa dekade terakhir. Internet, komputer, dan smartphone jelas telah mengubah wajah dunia dan meningkatkan produktivitas manusia. Namun mereka tidak mengurangi jam kerja sama sekali bagi rakyat pekerja. Teknologi ini tidak menyejahterakan rakyat, tetapi justru semakin memiskinkan mereka dan memperlebar jurang kesenjangan sosial.
Marx telah menjelaskan ini:
“Berkat penggunaan mesin secara luas, dan pembagian kerja, kerja kaum proletariat telah kehilangan semua karakter individualnya, dan, sebagai konsekuensinya, semua daya tariknya. Dia menjadi pelengkap mesin, dan yang dibutuhkan darinya hanyalah kecakapan yang paling sederhana, paling monoton, dan paling mudah dipelajari. Dengan demikian, biaya produksi dari seorang buruh dibatasi, hampir sepenuhnya, pada kebutuhan pokok yang ia perlukan untuk bertahan hidup dan berkembang biak.”
Perkembangan teknologi membuat kerja buruh semakin sederhana. Dengan AI, begitu banyak kerja menulis dan desain dapat dibuat otomatis, sehingga tidak membutuhkan banyak keahlian. Sebagai konsekuensinya, ini akan menekan upah karena tidak diperlukan upah tinggi untuk memperkerjakan buruh yang relatif tak-terampil.
Tidak hanya itu, perkembangan teknologi juga mengurangi jumlah buruh yang diperlukan. Kini 1 buruh bisa melakukan kerja yang sama dengan 2 atau 3 buruh. Bagi kapitalis ini adalah lagu yang merdu, karena profitnya tergantung pada bagaimana dia bisa membuat sesedikit mungkin buruh melakukan kerja sebanyak mungkin. Bagi buruh ini berarti mimpi buruk, dengan tergerusnya upah mereka dan semakin banyaknya penganggur. Dengan jumlah penganggur yang meningkat, upah akan tertekan karena suplai tenaga kerja yang lebih besar daripada permintaan. Di Indonesia sendiri, ada lebih dari 80 juta pekerja informal, yang notabene sebagian besar telah menjadi pasukan cadangan buruh permanen.
Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Prof Nizam, selaku jubir pemerintah, mencoba menenangkan keresahan buruh terkait AI. Dia mengakui bahwa memang akan ada jutaan pekerjaan yang hilang karena otomasi, namun dia meyakini bahwa pekerjaan baru yang dimunculkan oleh AI akan lebih banyak. “Ada prediksi yang bilang, profesi baru yang muncul bisa dua kali lipat pekerjaan yang hilang,” ujarnya enteng. Keyakinan profesor kita ini tidak memiliki dasar realitas sama sekali. Yang dialami buruh justru sebaliknya. Setiap kali mesin dan teknologi baru diperkenalkan ke dalam tempat kerja, hasilnya adalah perampingan tenaga kerja dan penurunan upah.
Kedua, perkembangan AI akan semakin menguatkan monopoli yang ada. Program-program AI paling maju pastinya akan dikembangkan oleh perusahaan raksasa seperti Google dan Microsoft. Kalaupun ada perusahaan kecil yang dapat mengembangkan teknologi AI baru, biasanya mereka akan diakuisisi oleh perusahaan raksasa. Dengan posisi monopolinya, mereka akan meremukkan perusahaan-perusahaan kecil yang fungsi-fungsi kerjanya dapat dilakukan oleh AI. Perusahaan teknologi raksasa juga akan mengendalikan akses ke AI, sehingga perusahaan-perusahaan lain menjadi tergantung padanya. Jejaring dominasi perusahaan monopoli akan semakin menyebar, yang memberinya kekuatan yang lebih besar untuk mengeksploitasi buruh lebih keras.
Ketiga, teknologi AI ini juga akan menyiapkan krisis overproduksi yang lebih tajam lagi di hari depan. Bila semakin sedikit buruh diperlukan untuk memproduksi lebih banyak lagi barang dan jasa, maka perluasan produksi komoditas ini akan kesulitan menemukan pasar, yang komponen utamanya adalah kelas buruh itu sendiri. Lapisan pengangguran permanen yang lebih besar akan tercipta. Di Indonesia saja lebih dari separuh tenaga kerja sudah terjebak dalam kondisi kerja informal yang permanen, bekerja serabutan di pinggiran ekonomi dengan upah minim dan tidak tentu, sebagai pedagang kaki lima, pedagang asongan, ojol, penjaga warung, dsb. Bahkan jumlah pekerja informal dari tahun ke tahun meningkat, dari 56 persen pada Februari 2020 menjadi 60 persen Februari 2023, dengan total mencapai 83,34 juta.
Tentunya tidak semua negara miskin dan berkembang dapat mengadopsi AI dengan tingkatan yang sama seperti negeri-negeri kapitalis utama. Salah satu faktornya adalah upah yang sudah sangat rendah. Perusahaan-perusahaan domestik akan kesulitan untuk mengadopsi teknologi AI yang mahal, sementara mereka masih bisa memperoleh profit dengan memperkerjakan buruh murah. Tidak ada insentif untuk mengadopsi dan mengembangkan teknologi baru yang mahal ketika ada buruh murah yang bisa diperas sampai kering kerontang. Inilah salah satu faktor yang mendasari kesenjangan antara negeri maju dan negeri miskin, yang membuat industri negeri maju padat-modal dan negeri miskin umumnya padat-karya, sehingga lebih kurang produktif. Jadi, AI tidak hanya memperparah kesenjangan sosial di dalam negeri, tetapi juga kesenjangan antara negeri maju dan miskin.
Maka dari itu, kendati antusiasme dari kaum kapitalis terhadap perkembangan AI, ada kontradiksi mendasar. Teknologi revolusioner yang sesungguhnya dapat memajukan umat manusia justru akan menciptakan kemiskinan, ketidakpastian kerja, upah murah., pengangguran, dan memperkuat monopoli. Alih-alih menciptakan dunia yang harmonis, teknologi ini justru mempertajam antagonisme sosial dan ekonomi.
Ini menunjukkan bahwa perkembangan kekuatan produktif sudah berbenturan dengan relasi produksi yang ada. Kapitalisme dalam sejarahnya memang telah mengembangkan kekuatan produktif yang luar biasa, yang melampaui masyarakat feodal. Namun hari ini, kapitalisme telah menjadi belenggu bagi perkembangan kekuatan produktif dan kapitalisme harus digulingkan dan diganti dengan moda produksi sosialis.
Dengan moda produksi sosialis, AI tidak akan menjadi mimpi buruk bagi buruh. Sebaliknya, di bawah sosialisme AI akan menemui potensi penuhnya dengan mengurangi beban kerja kita sembari meningkatkan taraf hidup kita. Kekuatan produktif manusia sudah menunjukkan potensinya yang revolusioner dan AI adalah salah satu contohnya. Teknologi ini hanya perlu dibebaskan dari kepemilikan kapitalis agar bisa tumbuh sepenuhnya demi kesejahteraan rakyat pekerja.