Bila kita lihat di sekeliling kita, kita saksikan pembusukan di mana-mana. Kemiskinan dan kemelaratan; kerusakan lingkungan hidup dan perubahan iklim; korupsi dan kesewenang-wenangan elite penguasa yang tidak tahu malu; mewabahnya obskurantisme religius; diskriminasi dan opresi seksual, gender, agama, ras; krisis ekonomi dan krisis politik saling susul menyusul; perang dan konflik imperialis yang menajam. Demikianlah potret umum masyarakat kita. Ketidakstabilan telah menggoyangkan pijakan ekonomi dan politik masyarakat. Ada kejenuhan dan stagnasi, serta perasaan keputusasaan, tidak hanya di antara rakyat pekerja tetapi juga selapisan kelas penguasa yang lebih bisa melihat.
Martin Wolf, komentator ekonomi utama koran Financial Times, baru-baru ini menerbitkan buku dengan judul “The Crisis of Democratic Capitalism”, di mana dia menyatakan bahwa hari ini kapitalisme tengah menghadapi krisis yang paling serius. Dia menyesali terkikisnya kepercayaan publik pada elite politik dan ekonomi yang disebabkan oleh memburuknya taraf hidup rakyat pekerja. Dia mengeluhkan menurunnya pertumbuhan produktivitas dan investasi produktif. Kendati perkembangan teknologi yang luar biasa selama dekade terakhir, seperti computer tablet dan 4G network, tingkat produktivitas di negeri-negeri maju sejak 2010an hanya meningkat 1 persen setiap tahunnya. Ini hampir 3 kali lipat lebih rendah dibandingkan masa pasca perang dunia 1947-1973 di mana AS misalnya mencapai pertumbuhan produktivitas 2,8% per tahunnya.
Ahli strategi kapitalis ini tidak keliru. Sering kali pemikir kapitalis yang paling serius menarik kesimpulan yang sama seperti kaum sosialis, yaitu bahwa hari ini masyarakat kapitalis tengah memasuki periode krisisnya yang paling dalam, yang secara kualitatif berbeda dari krisis-krisis sebelumnya. Tentunya, Martin Wolf berusaha untuk menyelamatkan kapitalisme dari krisis ini, sementara kaum sosialis berjuang untuk mengakhiri sistem kapitalisme itu sendiri. Ini karena tidak ada jalan keluar dari krisis ini, karena kapitalisme itu sendirilah yang menjadi problemnya.
Untuk memahami periode yang kita masuki, kita harus terlebih dahulu memahami mengapa dan bagaimana kapitalisme memasuki krisis. Kita harus memeriksa kembali mekanisme dasar kapitalisme yang membuatnya tidak hanya secara periodik memasuki krisis komersial tetapi juga pada akhirnya menderita krisis umum dalam sistemnya secara keseluruhan.
Krisis overproduksi
Sejak kelahirannya, kapitalisme ada dalam siklus boom-and-bust, kemajuan ekonomi pesat yang disusul oleh kejatuhan besar. Setelah keruntuhan ini, perekonomian bangkit kembali dengan rakusnya. Kurva panjang dari siklus boom-and-bust kapitalis pada periode awal sejarah kapitalisme umumnya adalah kurva naik, dengan kemampuan kapitalisme untuk terus mengembangkan kekuatan produktif. Semakin relasi uang dan kapital memasuki setiap sendi masyarakat dan setiap sudut bumi, semakin kapitalisme mengubah wajah bumi seturut imajinya.
Namun perkembangan kekuatan produktif yang dibawa oleh kapitalisme tidak menghentikan siklus boom-and-bust. Pada kenyataannya, kapitalisme adalah satu-satunya sistem ekonomi dalam sejarah umat manusia yang memasuki krisis ekonomi bukan karena kekurangan tetapi justru karena kelebihan. Marx menjelaskan:
“Kita cukup menyebut krisis komersial, yang terjadi secara periodik dan dengan demikian mengancam eksistensi seluruh masyarakat borjuis, setiap kalinya dengan semakin mengancam. Dalam krisis ini, tidak hanya sebagian besar produk yang sudah ada, tetapi juga kekuatan produktif yang telah tercipta sebelumnya, secara periodik hancur. Dalam krisis ini, merebaklah epidemi yang pada masa-masa sebelumnya akan tampak begitu absurd – epidemi overproduksi. Masyarakat tiba-tiba menemukan dirinya kembali sementara ke barbarisme; seakan-akan paceklik dan perang telah menghentikan pasokan semua kebutuhan pokok; industri dan perdagangan seperti hancur lebur; dan mengapa? Karena terlalu banyak peradaban, terlalu banyak kebutuhan pokok, terlalu banyak industri, terlalu banyak perdagangan.”
Krisis overproduksi ini merupakan kontradiksi inheren kapitalisme yang tak terhindarkan karena moda produksinya yang berdasarkan eksploitasi kerja-upahan. Untuk memastikan profit, kapitalis membayar upah serendah-rendahnya kepada buruh, sementara mendorong buruh memproduksi sebanyak mungkin. Upah yang diterima buruh secara keseluruhan setara dengan nilai minimum yang dibutuhkan untuk mempertahankan kehidupannya sehingga dia bisa bekerja untuk kapitalis, termasuk biaya reproduksinya. Namun dalam bekerja, buruh memproduksi komoditas yang nilainya lebih dari nilai upah yang diterimanya. Dari sinilah rahasia profit yang diterima kapitalis.
Tetapi problemnya, apa yang diproduksi buruh pada akhirnya harus dibeli kembali oleh buruh yang merupakan basis konsumen utama dalam pasar. Kelas buruh tidak bisa membeli semua produk yang dihasilkannya karena mereka tidak menerima nilai penuh dari kerjanya. Pada satu titik, komoditas yang berlebihan ini tidak dapat menemui pembelinya; pasar jenuh karena komoditas berlebihan; produksi terhenti karena tidak ada lagi pembeli; pabrik dan toko tutup, pengangguran melejit, yang semakin memperparah krisis; kredit yang sebelumnya mengalir lancar tiba-tiba mengering.
Kurva perkembangan kapitalis
Demikianlah krisis komersial yang melanda ekonomi kapitalis secara periodik. Setelah krisis komersial ini menghancurkan komoditas dan kekuatan produktif yang berlebihan, ekonomi menggeliat kembali dan memasuki fase boom. Dari siklus boom-and-bust ini, kurva umum perkembangan tampaknya adalah kurva naik. Untuk masa yang cukup panjang, dari satu krisis ke krisis selanjutnya, kapitalisme memang tampak semakin menguat dengan kurva perkembangan yang terus menanjak.
Namun Marx telah menjelaskan, seperti yang dikutip di atas, setiap kali krisis ini terjadi, krisis ini menjadi semakin besar, dalam, dan mengancam. Siklus boom-and-bust ini bukan pengulangan belaka yang terjadi tanpa konsekuensi. Di karya yang sama, Marx melanjutkan:
“Kondisi masyarakat borjuis terlalu sempit untuk menaungi kekayaan yang diciptakan olehnya. Dan bagaimana kaum borjuasi mengatasi krisis ini? Di satu sisi, dengan secara paksa menghancurkan kekuatan produksi secara massal; di sisi lain, dengan menaklukkan pasar-pasar baru, dan dengan mengeksploitasi lebih lanjut pasar-pasar lama. Dalam kata lain, dengan membuka jalan bagi krisis yang lebih luas dan lebih destruktif, dan dengan mengurangi sarana yang diperlukan untuk mencegah krisis.”
Setiap kali kapitalis menghadapi dan menyelesaikan krisis, mereka menyiapkan krisis yang bahkan lebih dalam, menyeluruh, luas, dan destruktif. Tidak hanya itu, krisis komersial yang periodik ini semakin memperdalam krisis umum sistem ini, yang mengancam keberadaan sistem ini dan mengguncangnya secara revolusioner. Perkembangan kekuatan produktif terhambat oleh hubungan produksi kapitalis; kekuatan produktif memberontak pada relasi produksi kapitalis yang sudah tidak mampu lagi menaunginya. Seperti yang dijelaskan Marx:
“Kekuatan produktif yang ada dalam masyarakat sudah tidak lagi mengembangkan kondisi kepemilikan borjuis; sebaliknya, kekuatan produktif ini telah menjadi terlampau kuat bagi kondisi tersebut, dan kekuatan produktif ini terhambat oleh kondisi kepemilikan borjuis. Begitu hambatan ini diatasi, kekuatan produktif itu mengacaukan seluruh masyarakat borjuis dan mengancam keberadaan kepemilikan borjuis.”
Dengan setiap siklus boom-and-bust, kurva perkembangan ekonomi kini ada dalam tren yang terus menurun. Tidak ada lagi boom yang menyusul bust; tidak ada lagi pertumbuhan pesat yang menyusul resesi. Yang ada adalah pemulihan pucat pasi, dengan pertumbuhan ekonomi yang hampir-hampir stagnan. Mungkin ada satu dua negeri dalam rentang beberapa tahun yang mengalami pertumbuhan, tetapi secara global ekonomi mengalami stagnasi. Inilah yang mendasari perasaan jenuh yang melanda seluruh dunia.
Globalisasi sebagai sarana adaptasi
Untuk menyelesaikan krisis overproduksi, satu sarana adaptasi yang digunakan oleh kapitalis adalah membuka pasar-pasar baru untuk menjual komoditas yang berlebihan, dan membuka investasi baru di pasar-pasar baru untuk menggunakan kapital yang berlebihan. Seperti yang dikatakan oleh Marx, kelas kapitalis mengatasi krisis overproduksi “dengan menaklukkan pasar-pasar baru, dan dengan mengeksploitasi lebih lanjut pasar-pasar lama.” Dengan ini kapitalisme memasuki tahapan imperialisme.
Di masa awal kapitalisme, kapitalis relatif mampu melakukan ini dengan menjajah koloni-koloni baru. Meluasnya perdagangan dunia, atau globalisasi, adalah salah satu lokomotif perkembangan kekuatan produktif kapitalisme, dan globalisasi ini mengambil langkah yang sangat besar terutama selepas Perang Dunia Kedua dan mencapai puncaknya pada 1990an. Namun dunia itu bundar. Setelah kapital mengarungi laut ke arah barat, mereka akan kembali lagi ke tempat yang sama dari sisi timur. Ruang pasar baru semakin sempit. Ini menciptakan kontradiksi dalam kapitalisme: yakni menajamnya persaingan antar kekuatan kapitalis untuk mendominasi pasar, dan menajamnya eksploitasi terhadap negara-negara jajahan atau eks-koloni.
Persaingan imperialis untuk merebut pasar baru dan mempertahankan pasar lama menciptakan friksi yang kian hari kian tajam. Proteksionisme dan perang dagang menggantikan globalisasi. Laju ekonomi dunia melambat karena kini tiap-tiap negara kapitalis berusaha melindungi kepentingannya sendiri, dengan melindungi pasar domestiknya dari rongrongan kapital asing, sembari juga berusaha merongrong pasar negara lain. Hasilnya adalah kebijakan-kebijakan proteksionis yang saling susul menyusul.
Di satu titik perang dagang ini dapat meledak menjadi konflik militer terbuka. Bila kita tengok sejarah, perang dagang ini telah meledak menjadi perang militer yang menelan seluruh dunia dalam Perang Dunia I dan II, yang pada dasarnya adalah perang imperialis untuk memperebutkan pasar. Perang tersebut adalah ekspresi dari krisis revolusioner umum kapitalisme.
Epidemi overproduksi mendorong masyarakat borjuasi ke perluasan perdagangan dunia. Tetapi pada satu titik perluasan ini menjadi kebalikannya karena berbenturan dengan batas-batas kepemilikan pribadi kapitalis dan negara-bangsa.
Hari ini kita telah saksikan bagaimana relasi dunia yang sebelumnya relatif tenang dan kooperatif kini menjadi penuh dengan ketegangan. Ada pergeseran dalam perimbangan kekuatan dunia, yang membuat tegang sekutu-sekutu lama. Yang paling mencolok tentunya adalah konflik antara AS dan China. China sebagai kekuatan imperialis baru mulai mengancam pasar kapitalis AS. Selama China hanya memproduksi sepatu dan komoditas tekstil, atas orderan dari perusahaan multinasional AS, barang-barang “Made in China” tidak mengusik kepentingan kapitalis Barat. Tetapi ketika kini China mampu membangun kapasitas industri maju mereka sendiri, maka kini China mengancam dominasi pasar Barat. China sudah bukan lagi hanya daerah tujuan investasi bagi Barat yang mengekspor kapital dan komoditas berlebihan mereka. China kini mulai mengekspor kapital dan komoditas mereka pula. Inilah yang mendasari ketegangan tajam antara AS dan China.
Tetapi ketegangan ini tidak hanya antara AS dan China saja, tetapi juga di antara aliansi Barat. Eropa sejak lama berusaha menjadi lebih mandiri dari pengaruh AS, yang terutama mendominasinya selepas Perang Dunia Kedua. Kelas penguasa Eropa memiliki kepentingan mereka sendiri, yang tidak selalu paralel dengan AS.
Ketegangan ekonomi AS dan Eropa semakin menajam dengan disahkannya Inflation Reduction Act oleh Biden, yaitu program subsidi senilai $400 miliar yang ditujukan untuk menyokong perusahaan AS dan melemahkan daya saing perusahaan Eropa. EU sudah mengeluh mengenai program subsidi ini sebagai kebijakan proteksionis. Tetapi keluhan UE jatuh ke telinga tuli. Untuk melindungi daya saing perusahaannya sendiri sejumlah negara UE telah meluncurkan program subsidi mereka sendiri dan mendorong program “Made in Europe”. Tetapi ini pun membuat sejumlah anggota UE khawatir, karena negara-negara dengan anggaran besar seperti Prancis dan Jerman jelas memiliki kemampuan menyediakan subsidi yang lebih besar dan menciptakan keuntungan kompetitif bagi perusahaan mereka sendiri. Tekanan perang-dagang tidak hanya membuat tegang relasi AS dan EU yang merupakan sekutu tradisional, tetapi juga relasi antar anggota UE.
Dengan semakin tegangnya relasi dunia, kita saksikan fragmentasi ekonomi dunia, di mana banyak negara mulai hanya membangun relasi ekonomi dengan negara-negara lain yang dianggapnya sebagai sekutu geopolitik. Biaya dari fragmentasi atau “friend-shoring” ini cukup signifikan dalam menurunkan efisiensi ekonomi. Produktivitas meningkat seiring dengan divisi tenaga kerja; fragmentasi — yang merupakan bagian dari proteksionisme — sebaliknya menurunkan produktivitas dan membuat harga barang menjadi semakin mahal. Menurut perhitungan IMF, ini akan memangkas 2% dari GDP dunia, yang sangat signifikan karena proyeksi pertumbuhan GDP dunia untuk 2023 hanyalah 2,7%.
Konsekuensi melesunya perdagangan dunia
Negara-negara miskin dan berkembang akan mengemban efek negatif dari fragmentasi dan melesunya perdagangan dunia, karena banyak negara tersebut yang mengandalkan ekspor bahan baku.
Bank dunia dalam laporannya pada April 2023 (Prospek Pasar Komoditas) memperkirakan harga komoditas global tahun ini akan turun dengan laju tercepat sejak pandemi. Indeks harga komoditas dilansir akan turun sebesar 21 persen. Ini dapat mengubah peruntungan banyak negara, termasuk Indonesia.
Sejak 2020, kenaikan harga komoditas global secara bertahap mengerek naik kinerja ekspor Indonesia. Selama periode tersebut, sejumlah komoditas ekspor andalan RI seperti batubara, CPO, serta besi baja sangat menunjang pertumbuhan ekonomi. Nikel juga menjadi ekspor andalan karena permintaan yang terus melonjak dari industri baterai untuk transisi energi hijau. Diperkirakan pada 2025 Indonesia akan menyuplai 60 persen pasokan nikel dunia, meningkat dari separuh hari ini. Tetapi pada 2023 harga CPO diperkirakan turun 23,2 persen; batubara turun 42 persen, besi dan baja turun 5,2 persen. Pertumbuhan pesat selepas pandemi dapat terbukti teramat singkat. Booming komoditas yang kerap menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi banyak negara eksportir sudah mulai berakhir.
Ini telah diperparah dengan melambatnya perekonomian China, yang merupakan partner dagang besar Indonesia. Setelah China membuka ekonominya dan membatalkan kebijakan Zero Covid secara penuh, ada harapan besar di antara negeri eksportir bahan-baku bahwa ekonomi China akan memasuki periode pemulihan pesat dan membutuhkan pasokan bahan baku yang besar. Ini diharapkan memberi imbas besar pada ekspor Indonesia.
Namun harapan ini kandas. Manufaktur China, yang mengkonsumsi bahan baku dari negeri-negeri eksportir, terus melambat. Jumlah kontainer kosong di pelabuhan Shanghai dan Shenzen hampir mencapai rekor tertinggi, yang mengindikasikan perlambatan ekonomi dan menurunnya ekspor dari China. Pertumbuhan diperkirakan hanya mencapai sekitar 5 persen tahun ini, yang terendah selama beberapa puluh tahun terakhir. IMF memprediksi bahkan penurunan pada 2024 menjadi 4 persen. Perlambatan ekonomi China telah membuat cemas kapitalis Indonesia karena mengancam pertumbuhan ekonomi.
Investasi asing semakin langka
Sementara, usaha rakus kekuatan imperialis untuk mengeksploitasi pasar eks-koloni, dengan mengekspor komoditas dan kapital, telah menciptakan kondisi yang tak tertanggungkan, yang penuh dengan potensi untuk meledak. Kedaulatan yang dilanggar, perkembangan kekuatan produktif nasional yang dihambat; eksploitasi kejam terhadap buruh dan tani guna memastikan super-profit perusahaan multinasional; hutang asing yang membuat bangkrut negara berkembang, yang merantai mereka pada institusi-institusi seperti IMF dan Bank Dunia; semua ini melahirkan masyarakat yang penuh krisis. Sejarah negeri-negeri eks-koloni maka dari itu adalah sejarah yang penuh dengan gejolak sosial, politik, dan ekonomi.
Melesunya perekonomian dunia membuat modal asing semakin susah dicari. Kapitalis yang melihat pasar yang sudah jenuh karena overproduksi tidak memiliki motivasi untuk memperluas kapasitas produksi. Foreign Direct Investment sejak krisis finansial 2008 telah menurun tajam, dari 5,28 persen GPD dunia pada 2007 ke 1,69 persen pada 2022. Investor semakin selektif dalam memilih lokasi investasi yang dapat menjamin profit yang tinggi, yaitu rejim yang dapat menjamin upah murah, “fleksibilitas” tenaga kerja, dan peraturan perburuhan dan perlindungan lingkungan hidup yang longgar. Di antara negeri-negeri miskin dan berkembang, ada kompetisi yang semakin tajam pemerintah mana yang paling bisa mensahkan UU pro-modal. Inilah yang mendorong pemerintahan Jokowi untuk meloloskan Omnibus Law dan berbagai UU pro-modal lainnya.
Taraf hidup rakyat pekerja semakin digerus demi iklim investasi yang baik. Upah ditekan dan pengangguran meningkat. Walau tingkat pengangguran yang tercatat secara resmi adalah 5,8 persen atau 8,4 juta orang, ini tidaklah memberikan gambaran yang sesungguhnya mengenai kondisi ketenagakerjaan Indonesia. 60 persen tenaga kerja Indonesia (80 juta) bekerja di sektor informal, sebagai pekerja serabutan, tukang becak, pengamen, pedagang kaki lima, ojol, PRT, dll., yakni kerja rentan dengan upah rendah dan tak menentu, jam kerja panjang, kondisi kerja buruk dan berbahaya. Tidak mampu diserap oleh sektor formal, lapisan besar kelas pekerja ini terhempas ke dalam perekonomian marjinal. Cukup banyak dari mereka yang hidup dalam kondisi semi-lumpen. Lapisan ini telah menjadi pasukan buruh cadangan permanen, yang eksistensinya terus menekan upah kelas buruh.
Tidak hanya itu, usaha rejim untuk mengejar investasi tidak lantas menuntaskan masalah pengangguran sama sekali. Sebaliknya, semakin hari jumlah pekerjaan yang tercipta oleh investasi semakin berkurang. Berdasarkan data pemerintah, serapan tenaga kerja per Rp 1 triliun semakin menurun. Pada triwulan-I 2020, investasi per Rp 1 triliun menyerap 1.438 tenaga kerja. Ini menurun menjadi 1.170 orang per Rp 1 triliun pada triwulan-I 2023. Semakin industri menjadi padat-modal, semakin sedikit buruh yang dipekerjakan. Mantra rejim bahwa arus deras investasi asing akan mensejahterakan buruh menjadi mantra hampa.
Di sisi lain, industri padat-karya tidak mampu bersaing dengan industri padat-modal, yang hanya bisa bersaing dengan semakin menekan upah buruh, memperpanjang jam kerja, mengintensifkan kerja buruh. Dengan begitu, kita bisa saksikan kebuntuan kapitalisme.
Mimpi kredit tanpa batas
Instrumen lain yang digunakan oleh kapitalis untuk menghadapi krisis overproduksi adalah kredit. Namun, instrumen ini justru menjadi sumber malapetaka yang memperdalam krisis overproduksi. Kredit adalah instrumen yang kuat bagi perkembangan kapitalis. Ia memungkinkan kapitalis untuk memperluas produksi melampaui batas modal yang dimilikinya sendiri, dengan menggabungkan modal dari semua kapitalis lainnya. Selain itu, kredit juga mempercepat pertukaran komoditas, dengan demikian modal bisa kembali ke produksi dan melancarkan proses produksi. Intinya, kredit memungkinkan kapitalis memperluas pasar melampaui batas-batas alami yang dipaksakan oleh moda produksi kapitalis.
Namun dengan cara yang sama kredit juga membuat krisis komersial menjadi lebih dalam. Kredit memungkinkan perluasan produksi secara tidak proporsional dengan batas pasar yang ada, dan dengan demikian memicu overproduksi. Pabrik-pabrik besar yang dibangun dengan kredit, dengan kapasitas produksi besar, memompa lebih banyak lagi komoditas ke pasar yang tidak mampu menyerap komoditas tersebut. Bahkan bila kredit diberikan kepada konsumen, yang hari ini telah menjadi realitas kehidupan rakyat pekerja, ini hanya menunda jenuhnya pasar dan pecahnya krisis komersial.
Kredit hanya menunda krisis yang ada, dan membuatnya lebih dalam. Kapitalis sedari awal bermimpi bawah kredit ini bisa digunakan tanpa batas untuk menanggulangi krisis. Mereka mengira mereka telah menemukan resep ampuh yang akan menghindarkan mereka dari krisis. Justru sebaliknya yang terjadi.
Hari ini dunia tengah memasuki krisis utang dalam semua tingkatan. Utang pemerintah, utang swasta, dan utang rumah tangga telah mencapai rekor tertinggi di mana-mana. Dengan kenaikan suku bunga, bahaya gagal bayar semakin mengancam.
Di Inggris, utang pemerintah telah mencapai lebih dari 100% GDP. Begitu juga di Amerika Serikat, yang telah mencapai $31,4 triliun, yakni sekitar 125 persen GDP. Utang yang tak terkendali ini hampir saja menyebabkan gagal bayar di Amerika Serikat pada Juni ini, sebelum akhirnya pemerintah menaikkan kembali ambang batas utang. Ambang batas ini pastinya akan tersentuh kembali dalam beberapa tahun ke depan.
Gagal bayar di Amerika Serikat tidak hanya akan meruntuhkan perekonomian AS tetapi juga menyebabkan kekacauan ekonomi global karena dolar AS adalah de fakto mata uang cadangan di seluruh dunia. Walaupun mayoritas utang AS adalah domestik, sekitar 24 persen (7,4 triliun) adalah utang luar negeri. Ini berarti sebagian perekonomian dunia tergantung pada investasi dolar AS yang seharusnya aman. Bila AS gagal bayar, maka surat-surat hutang yang gagal bayar ini akan menyeret perekonomian dunia dan memicu resesi global. Dolar AS selama puluhan tahun adalah mata uang perdagangan dunia yang melumasinya karena kestabilannya, sebagai mata uang yang paling dipercaya dapat menjaga nilai. Tetapi dolar AS kini menjadi tak stabil, dan maka dari itu juga mengancam laju perdagangan dunia.
Dengan demikian, kredit yang awalnya adalah sarana untuk menyelesaikan krisis overproduksi telah berubah menjadi penyebab krisis itu sendiri. Beban utang yang semakin besar ini kini dibebankan ke pundak kelas buruh, terutama dengan pemangkasan anggaran sosial seperti pendidikan, kesehatan, dsb.
Krisis umum kapitalisme
Bisa kita simpulkan di sini bahwa di setiap krisis komersial yang terjadi secara periodik dalam sejarah kapitalisme, sistem ini semakin terpuruk ke dalam krisis umum yang mendalam. Setiap sarana yang digunakan oleh sistem ini untuk menghadapi krisis overproduksi kini justru telah menjadi faktor-faktor yang menggerogoti fondasi sistem ini: krisis hutang, intensifikasi eksploitasi negeri-negeri berkembang, perlambatan perdagangan dunia, perlambatan pertumbuhan produktivitas, menajamnya perang dagang yang berujung pada konflik antar-imperialis. Kapitalisme tengah memasuki krisis umum. Kontradiksi-kontradiksi di dalam sistem ini semakin menajam dan menjadi tak tertanggungkan, dan mengekspresikan dirinya dalam ranah ekonomi, politik, sosial dan juga budaya.
Tugas kita bukanlah memprediksi kapan resesi selanjutnya. Kaum revolusioner bukanlah ahli ramal. Terlebih dari itu, ledakan gerakan revolusioner bukan sesuatu yang otomatis terjadi pada saat resesi. Tidak ada pararel yang otomatis. Dengan sistem yang dilanda krisis ekonomi, politik dan sosial yang begitu mendalam, ada begitu banyak hal yang bisa memicu ledakan sosial. Brutalitas polisi seperti di AS dengan gerakan Black Lives Matter; reforma pensiun di Prancis yang memicu pemogokan massal di Prancis pada awal tahun ini; kenaikan biaya transportasi dan inflasi di Sri Lanka yang mendorong rakyat menyerbu istana presiden; gerakan protes Iran menyusul terbunuhnya Mahsa Amini karena pemaksaan pemakaian hijab; problem korupsi; dsb. Kapitalisme telah menciptakan masyarakat yang penuh dengan kontradiksi, penuh dengan jerami kering yang siap terbakar kapan pun oleh kecelakaan percikan kecil. Keniscayaan terus menyeruak ke permukaan, yang terekspresikan lewat aksiden-aksiden yang tidak disangka.
Tidak akan ada solusi permanen yang berkelanjutan bagi kebuntuan kapitalisme. Kita tengah memasuki masa yang penuh dengan perubahan pesat dan mendadak. Kestabilan telah berakhir. Kapitalisme hari ini tengah memasuki periode krisis umum, yang akan menciptakan situasi revolusioner di mana-mana. Inilah fakta yang harus kita camkan. Tugas kaum revolusioner adalah mempersiapkan organisasi yang mampu mengintervensi situasi revolusioner yang cepat atau lambat akan berkembang dan memimpin revolusi ini ke garis kemenangan akhir: penumbangan kapitalisme dan transformasi sosialis.