Prabowo menang pemilu. Kaum liberal dan kiri menyebar fobia akan datangnya kediktatoran. Meskipun mereka tidak sepakat satu sama lain mengenai kediktatoran jenis apa yang berkuasa – entah kediktatoran fasis atau kediktatoran militer – tapi mereka sama-sama sepakat memenuhi media sosial dengan fobia dan pesimisme mereka.
Orang-orang ini memainkan peran kontra-produktif. Pesimisme dan fobia mereka begitu beracun. Mereka sengaja menyebarkan fobia mereka supaya lapisan termaju dari kelas buruh dan kaum muda membungkam diri dan memilih lesser evil.
Sesungguhnya fobia dan pesimisme mereka adalah cerminan dari kebusukan kaum liberal dan kiri kita yang sudah tidak lagi percaya pada kemenangan kelas pekerja. Mereka hidup berdampingan satu sama lain dan terasing dari situasi. Mereka sama-sama impoten; mereka hanya mampu melihat ujung hidung mereka sendiri; mereka buta sosial dan politik; mereka tidak memahami situasi apapun.
Pada kenyataannya, hari ini tidak ada basis sosial yang mendukung adanya kediktatoran polisi dan militer maupun fasisme di bawah Prabowo. Dalam artikel sebelumnya, di mana kami mengupas pemilu 2014 antara Jokowi dan Prabowo (Apa ada bahaya fasisme di Indonesia?) kami telah membahasnya. Kediktatoran hanya muncul dari kondisi tertentu di bawah perjuangan kelas, yakni sebagai akibat dari kekalahan revolusi. Ketika kelas penguasa sudah tidak bisa lagi mengendalikan situasi dengan metode sebelumnya (metode demokratik), sementara kelas proletariat yang telah meluncurkan revolusi tidak mampu menuntaskan revolusi ini, maka dalam kondisi seperti inilah negara sebagai badan orang-orang bersenjata menempatkan dirinya di atas masyarakat sebagai “penengah”, yaitu sebagai diktator yang memerintah secara eksklusif dengan moncong senjata.
Lalu apakah kondisi yang melatarbelakangi munculnya kediktatoran seperti ini eksis saat Prabowo menjabat? Tidak ada sama sekali. Perjuangan kelas belum sampai pada kondisi seperti di Italia maupun di Jerman. Pada saat itu, sebelum fasisme menang di Italia pada 1922 maupun Jerman pada 1933, perjuangan kelas mencapai titik revolusioner. Tapi karena pengkhianatan dari pemimpin mereka, revolusi mengalami jalan buntu. Kondisi demikianlah yang kemudian melatarbelakangi munculnya kediktatoran fasis.
Perjuangan kelas di Indonesia belum mencapai tahap tersebut. Gerakan buruh masih belum sembuh dari kekalahan yang mereka derita setelah Getok Monas 2012. Dalam kondisi demikian kelas penguasa tidak membutuhkan kediktatoran untuk melumat kelas pekerja. Kediktatoran militer Orde Baru hanya muncul untuk menghancurkan PKI yang saat itu telah menjadi kekuatan massa di periode revolusioner 1960an. Indonesia sungguh ada di ambang revolusi pada saat itu.
Kebanyakan kaum liberal dan kiri kita mengatributkan apa yang mereka anggap kecenderungan ‘kediktatoran’ Prabowo dengan karakter individu, rekam jejaknya di militer, garis keturunan dll. “Dorongannya, nalurinya, adalah menjadi xenofobia, menjadi pemimpin otoriter. Saya khawatir dia tidak berubah. Karakternya tidak berubah,” ucap peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono. Tetapi kediktatoran tidak muncul dari tabiat seseorang, melainkan lahir dari kebutuhan. Sejauh ini kelas penguasa masih puas menggunakan ilusi demokrasi borjuis untuk terus mempertahankan eksploitasinya terhadap rakyat pekerja. Kelas penguasa juga tidak perlu menghancurkan gerakan buruh dengan anjing-anjing fasis mereka. Mereka cukup puas mengkooptasi dan menyuap pemimpin buruh. Jadi ketakutan para liberal dan kiri ini tidak memiliki dasar material sama sekali.
Meskipun demikian, fobia dari kaum liberal dan kiri kita sangat berbahaya. Dengan menyebar fobia kediktatoran mereka menganjurkan memilih “terbaik dari yang terburuk”, seolah-olah kediktatoran dapat dicegah melalui bilik suara. Kenyataannya kediktatoran tidak pernah menunggu pemilu untuk menang. Bila kediktatoran ingin berkuasa mereka bisa melakukan kudeta seperti halnya Soeharto dan junta militer di Myanmar.
Kaum liberal dan kiri ini menginginkan kita percaya pada demokrasi borjuasi. Slogan ilusif mereka, “Asal Bukan Prabowo” untuk mencegah terburuk berkuasa, terus diulang-ulang tiap pemilu. Mereka tidak dapat belajar bahwa kelas penguasa bisa mencampakkan demokrasi bila mereka mau. Tidak ada demokrasi murni terlepas dari kepentingan kelas. Demokrasi yang ada saat ini berkuasa adalah demokrasinya kelas kapitalis untuk melayani kepentingan mereka. Ilusi pada demokrasi borjuasi ini hanya menumpulkan perjuangan kelas dan hanya mempersiapkan jalan bagi yang terburuk berkuasa. Ingat, kaum liberal-lah yang menganjurkan kita untuk memilih Jokowi sebagai terbaik dari yang terburuk. Ternyata Jokowi-lah yang kini menjadi yang terburuk, yang menggerus demokrasi, membangun politik dinasti, dan memastikan Prabowo menjadi presiden.
Kemenangan Prabowo sudah menjadi fakta. Langit tidak runtuh. Jangan menangisinya. Ini bukan akhir dari segalanya. Apa yang terbentang di hadapan kita adalah prospek perjuangan kelas yang semakin menajam. Di mana-mana ada krisis, kenaikan biaya hidup dan perang. Ini merupakan sekolah yang jauh lebih keras daripada kediktatoran dan tiran. Kelas buruh akan berjuang dan bangkit kembali. Tapi untuk menjamin kemenangan ini dibutuhkan sebuah partai revolusioner. Inilah yang kami bangun. Jangan mengeluh dan menangis, terorganisirlah!