Tangis pilu orang tua di Agats Papua mengantarkan anak-anak mereka ke pemakaman memecahkan keheningan kita. Sekali lagi, tragedi kemanusian kita dengar di bumi Papua, bagian Timur Indonesia. Sebanyak 68 anak meninggal di Agats selama 5 bulan terakhir ini, yang diakibatkan campak dan gizi buruk. Kebanyakan korban meninggal sebelum sempat dilarikan ke rumah sakit. Hal ini disebabkan karena hampir sebagian besar wilayah di Asmat Papua, terdiri dari rawa-rawa yang di atasnya dibangun jalanan beralaskan papan kayu. Penggunaan kendaraan bermotor di atas jalanan papan kayu ini sangat minim, atau bahkan tidak ada, dan hanya menggunakan motor dengan baterei. Walhasil jarak yang memisahkan antara kampung dan Agats, ibu kota Asmat, hanya bisa ditempuh dengan transportasi air sehingga menambah sulit proses evakuasi para korban.
Sejak September 2017 hingga Januari 2018, RSUD Asmat dilaporkan merawat ratusan pasien campak, dimana sebanyak 393 orang menjalani rawat jalan dan 175 orang rawat inap. Sementara, laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Papua, 471 orang terkena campak dan gizi buruk. Ruang perawatan RSUD Agats yang penuh membuat puluhan pasien anak dipindahkan ke aula gereja yang berada di belakang rumah sakit. Kejadian ini bukanlah yang pertama kalinya. Sebelumnya di kabupaten Yahukimo, campak dan gizi buruk telah menewaskan lebih dari 100 orang.
Minimnya fasilitas kesehatan
Tragedi ini tidak semestinya terjadi. Di tengah pemberitaan mengenai kemajuan pembangunan infrastruktur Papua yang dilakukan Jokowi, tersembunyi masalah kemiskinan dan kelaparan yang akut. Menurut Badan Pusat Statistik dan Unicef, dari 85 juta anak Indonesia, 13,31 persen di antaranya hidup dalam kemiskinan. Angka itu setara dengan 11 juta anak. Tingkat kemiskinan anak tertinggi berada di Provinsi Papua sebesar 35,37 persen. Asumsi BPS menyebutkan bahwa seorang anak hidup dalam kemiskinan apabila enam haknya tidak terpenuhi, yaitu: perumahan, fasilitas makanan dan nutrisi, pendidikan, perlindungan anak, dan kesehatan. Hasil pendekatan BPS menyebutkan bahwa 89,57 persen anak umur 0-17 tahun tidak terpenuhi 1 dari enam haknya ini. Menurutnya, yang paling parah terjadi pada aspek kesehatan, khususnya dialami oleh anak usia 0-4 tahun.
Papua merupakan provinsi terluas di Indonesia, dengan luas 319 ribu kilometer per segi. Menurut data Kemenkes, jumlah fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di Papua ada 589 unit. Bila dibandingkan dengan Maluku Utara, misalnya, untuk wilayah yang hanya seluas 32 ribu meter per segi, terdapat 193 fasyankes. Sedangkan di Nusa Tenggara Timur, untuk wilayah seluas 48,7 ribu kilometer per segi, ada 495 fasyankes. Selain minimnya jumlah fasyankes, kondisi di Papua diperparah dengan minimnya jumlah tenaga medis. Papua hanya memiliki 17 ribu tenaga medis, jauh dibandingkan NTT yang memiliki 22 ribu tenaga medis. Meskipun tidak menempati angka terendah dalam jumlah fasilitas pelayanan kesehatan, namun perbandingan rasio keluasan wilayah dan akses yang sukar dijangkau, menempatkan Papua dalam deretan provinsi dengan masalah kesehatan yang sangat besar.
Kemiskinan
Fenomena campak dan gizi buruk bukan semata-mata disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat akan kesehatan. Lebih dari itu, masalah kesehatan terikat dengan masalah kemiskinan. Triliunan rupiah yang digelontorkan pemerintah Indonesia untuk membangun infrastruktur di Papua segera mengungkapkan wajah sebenarnya dari kapitalisme Indonesia. Kendati Papua telah diberikan otonomi khusus, namun kenyataannya 27,76 persen masyarakat di Papua masih miskin. Meskipun bantuan untuk mengatasi bencana kemanusiaan dari Pemerintah Indonesia sudah mengalir, namun kasus-kasus seperti ini pasti akan terulang kembali. Selama kemiskinan masih ada di Papua, selama itu pula tragedi-tragedi memilukan seperti ini akan terulang.
Kemiskinan merupakan produk dari sistem ekonomi politik yang timpang, yakni kapitalisme. Selama lebih dari dua abad, kapitalisme tidak pernah menyelesaikan masalah kemiskinan. Kapitalisme terus memproduksi kemiskinan ini. Tanpa mempertahankan kemiskinan, kapitalisme tidak akan pernah hidup. Oleh karenanya, kapitalisme akan terus memproduksi tragedi-tragedi kemanusiaan seperti ini.
Bila terorisme membunuh ribuan orang dalam satu ledakan bom. Kapitalisme telah membunuh jutaan orang secara terus-menerus lewat siksaan duka kemiskinan dan perang. Di bawah kapitalisme, bumi menjadi tempat yang tidak aman bagi peradaban manusia dan anak-anak mereka. Setengah dari 10,9 juta anak di dunia terpaksa mati karena gizi buruk; 155 juta anak mengalami pertumbuhan lambat; 10 ribu anak di Suriah tewas dan puluhan ribu lainnya cacat. Ini adalah pembunuhan!
Menurut agama, kematian merupakan takdir. Tapi kita bisa menambahkan, bahwa cara seseorang mati merupakan pilihan yang sepenuhnya tergantung pada manusia itu sendiri. Kematian anak-anak di Agats Papua bukanlah takdir, tapi hasil langsung dari kemiskinan yang diproduksi oleh kapitalisme.
Seharusnya capaian teknologi dalam rekayasa kesehatan sekarang dapat menyediakan dasar bagi pemenuhan kesehatan bagi semua orang, tapi masalah utamanya adalah, kapitalisme tidak mempunyai kepentingan terhadap itu. Kapitalisme lebih berminat pada profit daripada masa depan umat manusia. Oleh karena itu, sistem ini sudah tidak layak lagi untuk dijalankan. Sistem ini harus dihancurkan. Ia harus diganti secara total dari atas hingga bawah. Kapitalisme tidak bisa direformasi lagi. Sistem kapitalisme harus digantikan dengan sistem ekonomi terencana sosialis, sebuah sistem yang dikontrol dan dijalankan oleh mayoritas rakyat yang bekerja. Dengan cara inilah, kita membangun masyarakat yang sepenuhnya bebas dari horor kemiskinan dan gizi buruknya. Sosialisme adalah sebuah sistem yang dapat menjadikan bumi layak menjadi tempat tinggal umat manusia dan anak-anak mereka; bukan di surga di langit, tapi di bumi yang indah yang kita tinggali sekarang, untuk anak-anak Papua, untuk anak Indonesia, dan untuk anak-anak di seluruh dunia.