Sebuah partai dengan jutaan anggota dan pendukung, dalam waktu sekejap remuk dan tenggelam dalam kubangan darah. Berikut adalah kajian ideologi, politik, dan organisasi yang mendasari G30S dan kekalahan PKI.
DAFTAR ISI
1. Indonesia dan Perang Dingin
3. Front Popular dengan Borjuasi
5. Revolusi dengan Kekerasan atau Transisi Damai ke Sosialisme
6. Biro Khusus dan Revolusi Istana
7. Pembantaian: Trauma multi-generasi
9. Kebuntuan Otokritik Sudisman
———————————
Pada dini hari 1 Oktober, 1965, sekelompok perwira menengah bergerak melalui jalan-jalan sunyi Jakarta dan menculik enam jenderal angkatan darat. Jenderal-jenderal ini dibawa ke kawasan kebun karet di pinggiran Jakarta, yang dikenal dengan nama Lubang Buaya, dan dieksekusi. Mayat mereka lalu dibuang ke sumur. Pagi harinya, sekelompok tentara ini mengambil alih stasiun Radio Republik Indonesia. Seluruh bangsa disambut oleh siaran radio dari para tentara ini, yang memproklamirkan diri mereka Gerakan 30 September (G30S), bahwa mereka telah berhasil menangkal rencana kudeta oleh enam jenderal dan membentuk sebuah dewan revolusioner.
Hanya kurang dari 12 jam, Mayjen Suharto dan pasukannya membekuk para perwira pemberontak ini dan menyalahkan Partai Komunis Indonesia sebagai dalang G30S, sebagai dalih untuk menghancurkannya. Apa yang terjadi selanjutnya membentuk kesadaran nasional seluruh rakyat Indonesia: kelahiran rejim Orde Baru di atas tulang belulang ratusan ribu, jika bukan jutaan, anggota PKI dan para pendukungnya.
Sehari setelah G30S, Presiden Sukarno mencoba mengecilkan signifikansi dari peristiwa ini dengan mengatakan bahwa ini tidaklah lebih dari “riak kecil di tengah samudra besar Revolusi Indonesia.” Tidak dia sadari bahwa riak kecil ini dengan cepat berubah menjadi gelombang tsunami darah yang menenggelamkan seluruh bangsa dan mengubah tidak hanya sejarah Indonesia tetapi juga sejarah dunia.
Akan mustahil mencoba memahami kekalahan PKI tanpa mengkaji sejarah partai ini, karena kekalahan partai ini ditemui bukanlah di dalam kejeniusan manuver Suharto dan kebrutalan tentara, tetapi di dalam kebijakan perjuangan kelas PKI, atau lebih tepatnya, absennya perjuangan kelas dalam kebijakan PKI. Jatuhnya PKI telah dipersiapkan bukan oleh musuh-musuhnya, tetapi oleh para pemimpinnya. G30S adalah satu peristiwa yang memantik kejatuhan ini, tetapi ini hanyalah keniscayaan yang terekspresikan lewat satu peristiwa (kecelakaan). Seperti yang akan kita lihat, bahkan jalan ke peristiwa ini dibuka oleh kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan oleh kepemimpinan PKI di periode sebelumnya.
1. Indonesia dan Perang Dingin
Di puncak Perang Dingin, bayangan kalau Indonesia akan jadi negara Komunis membuat banyak ahli strategi borjuis terjaga sampai larut malam. Duta Besar AS untuk Indonesia pada 1965, Marshall Green, berpendapat bahwa “inilah bangsa terbesar ke empat di dunia … [dan] bangsa ini akan jadi komunis, dan memang nyaris demikian.”
Sebuah laporan CIA, yang disiapkan pada awal September 1965, menyampaikan bahwa “Indonesia di bawah Sukarno dalam hal-hal yang penting sudah bertindak layaknya sebuah negeri Komunis, dan lebih secara terbuka memusuhi AS ketimbang kebanyakan negeri-negeri Komunis.”[2] Laporan ini memperingatkan bahwa pemerintah Indonesia akan sepenuhnya didominasi oleh PKI dalam waktu 2 atau 3 tahun, dan “dalam jangka pendek, bila Indonesia resmi menjadi Komunis ini akan sangat mengguncang perpolitikan dunia. Ini akan dilihat sebagai perubahan besar dalam perimbangan kekuatan politik internasional dan akan memasok kehidupan baru ke dalam tesis bahwa komunisme adalah gelombang masa depan.” Kekalahan PKI oleh karenanya bukan hanya kekalahan kekuatan komunisme di Indonesia, tetapi juga kekalahan gerakan revolusioner seluruh dunia.
Dalam Teori Domino, Indonesia dilihat sebagai kartu domino terbesar dan paling strategis di Asia Tenggara. Signifikansi Indonesia digarisbawahi oleh pidato Richard Nixon pada 1965, yang memberi pembenaran untuk pemboman Vietnam Utara sebagai cara untuk menjaga “potensi tambang mineral yang besar” di Indonesia. Robert McNamara, menteri pertahanan selama Perang Vietnam, menulis di memoarnya bahwa runtuhnya PKI seharusnya menjadi isyarat bagi AS untuk menurunkan keterlibatan militernya di Vietnam.[3] George F. Kennan, arsitek kebijakan membendung Uni Soviet, bersaksi di rapat Senat AS pada 10 Februari 1966 – yakni setelah peristiwa G30S – bahwa sudah ada “perubahan situasi drastis di Indonesia” dan kartu domino sekarang sudah berkurang, dan mereka kemungkinan besar tidak akan jatuh.[4] Tetapi Perang Vietnam telah memiliki logikanya sendiri. Seperti yang diakui oleh Presiden Lyndon B. Johnson, yang bertanggung jawab atas eskalasi Perang Vietnam, “Menurut saya perang ini tidak ada keuntungannya dan kita tidak bisa keluar darinya. Dan ini adalah kekacauan terbesar yang pernah aku lihat.”[5]
Perang Vietnam telah menyimpang dari Teori Domino dan telah menjadi masalah bagaimana menjaga reputasi pemerintah AS, yang tidak ingin dilihat sebagai pihak yang kalah perang, terutama setelah mereka telah mengorbankan begitu banyak sumber daya. Dalam sebuah memorandum, John McNaughton, asisten menteri pertahanan, mengatakan bahwa tujuan perang AS di Vietnam adalah “70 persen untuk menghindari kekalahan AS yang memalukan”, 20 persen untuk “menjaga agar wilayah Vietnam Selatan tidak jatuh ke tangan Tiongkok” dan hanya “10 persen untuk memastikan agar rakyat Vietnam Selatan dapat menikmati hidup yang lebih baik dan lebih bebas.”[6] AS terlalu percaya diri dalam Perang Vietnam, dan hampir saja memercikkan revolusi di tanahnya sendiri ketika sentimen anti-perang menjadi semakin radikal.
Indonesia juga penting untuk struktur kapitalisme dunia pasca Perang Dunia Kedua, karena kekayaan sumber daya alamnya. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, para ahli strategi AS mengembangkan satu desain besar yang menempatkan Indonesia di bawah pengaruh ekonomi Jepang. Akses murah ke sumber daya alam dan mineral Indonesia diharapkan akan mendukung proses industrialisasi Jepang, dan AS percaya langkah ini krusial untuk memastikan agar Jepang aman di kubunya dan di bawah kendalinya. George Kennan, sang perancang skema imperium AS pasca perang, merangkung kebijakan dominasi AS di Asia dengan cukup ringkas di rapat Staf Perencana Kebijakan pada 1949 yang dia pimpin:
“Kalian punya problem besar bagaimana Jepang akan tetap bersahabat kecuali kalau mereka membuka kembali semacam imperium ke selatan [baca Asia Tenggara] … Bila kita yang di dunia Barat dapat merancang sebuah kekangan … yang cukup sempurna dan cukup cerdik dijalankan untuk mengendalikan apa yang diimpor Jepang dalam hal minyak bumi dan barang-barang lain … kita dapat memiliki kekuatan veto atas apa yang Jepang lakukan.”[7]
Seperti yang dapat dilihat dari statistik ekspor Indonesia setelah 1965, Jepang menjadi negeri tujuan ekspor utama Indonesia, dari sekitar 3-7 persen pada 1958-1962 menjadi sekitar 50 persen pada 1970an dan 80an.[8] Ini juga tercerminkan dalam investasi asing langsung Jepang di Indonesia, yang mencakup 33% total kumulatif selama periode 1969-1984.[9] Ini pada gilirannya menciptakan ketergantungan kaum kapitalis Indonesia pada tuan-tuan Jepang mereka. Apa yang tidak dapat dicapai oleh Kaisar Hirohito secara militer pada 1942-45 selama penjajahan Jepang di Indonesia kini telah terpenuhi secara ekonomi, walaupun imperialisme Jepang harus puas berada di bawah jempol imperialisme AS, yang punya “kekuatan veto atas apa yang Jepang lakukan.”
Revolusi-revolusi kolonial yang menyapu seluruh dunia setelah akhir Perang Dunia II menunda terealisasinya desain imperialis untuk membagi-bagi ulang jarahan perang. Kekuatan Sekutu mengira Indonesia akan begitu mudah jatuh ke pangkuan mereka kembali setelah mereka mengalahkan Jepang, yang sebelumnya merebut Indonesia dari tangan Belanda pada 1942. Tetapi mereka harus menghadapi pemberontakan rakyat terjajah, yang kesadaran nasionalnya telah terbangunkan. Mengepalai gerakan nasionalis ini adalah pemimpin-pemimpin nasionalis borjuis seperti Sukarno dan Hatta, yang akan kita lihat nantinya bagaimana kebijakan mereka di setiap langkah selalu diwarnai dengan keragu-raguan, kebimbangan dan ketidakpastian.
Dengan hancurnya PKI secara fisik pada 1927 di tangan pemerintahan kolonial Belanda (baca The First Period of the Indonesian Communist Party: 1914-1926), kepemimpinan perjuangan pembebasan nasional diambil alih oleh kelas borjuasi nasional yang mulai bangkit. Setelah periode semi-reaksi menyusul kekalahan PKI, gerakan nasionalis mulai mendapatkan momentum kembali pada 1942, ketika penjajahan tiga-setengah-abad Belanda diakhiri oleh kedatangan Jepang. Tetapi tipe nasionalisme yang muncul adalah nasionalisme borjuis yang secara ketat dikendalikan oleh Jepang dalam kerangka Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya, dengan slogannya: “Asia untuk orang Asia”. Jepang membina di bawah sayap mereka pemimpin-pemimpin nasionalis terkemuka, di antara mereka adalah Sukarno dan Hatta, guna memenangkan dukungan rakyat Indonesia untuk mesin perang mereka dan membantu mempertahankan daerah-daerah jajahan mereka dari kekuatan Sekutu. Sementara, pemimpin-pemimpin lain yang menunjukkan kecenderungan pro-sosialis dengan kejam ditumpas.
Sejak awal sudah jelas kalau para pemimpin nasionalis borjuis siap berkolaborasi dan tawar menawar dengan imperialis ini atau itu tergantung ke arah mana angin bertiup. Pemimpin nasionalis yang dibesarkan Jepang menunjukkan warna mereka yang sesungguhnya ketika momen penentuan tiba. Bahkan setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada 15 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta takut memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanpa terlebih dahulu meminta ijin Tuan mereka yang telah kalah. Pada dasarnya, mereka tidak punya kepercayaan pada massa.
Ketika dikonfrontasi oleh sekelompok pemuda militan yang menekan mereka untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Sukarno menolak dan membalas:
“Kekuatan kalian yang sedikit itu tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan kesiapan total dari tentara Jepang. Apa yang bisa kalian tunjukkan padaku? Mana kekuatan kalian yang sebenarnya? Apa tindakan kalian untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak kita? Bagaimana rencana kalian untuk mempertahankan kemerdekaan ini begitu kalian menyatakannya?”[10]
Semua pertanyaan ini terjawab secara tegas oleh rakyat Indonesia selama empat tahun perang kemerdekaan, yang menelan korban jiwa lebih dari 200 ribu pejuang Indonesia. Rakyat siap berjuang demi kemerdekaan mereka dan membuktikan mereka siap dan mampu “mempertahankan kemerdekaan ini” setelah mereka menyatakannya. Tetapi perang ini seharusnya bisa lebih pendek dan menumpahkan lebih sedikit darah kalau saja rakyat memiliki kepemimpinan yang tegas. Alih-alih, rakyat dipimpin oleh individu-individu yang selalu ragu, yang oleh karenanya di setiap langkah mereka selalu mencoba membuat konsesi pada imperialis.
Pada akhir perang kemerdekaan, Sukarno telah menjual seluruh Indonesia dengan menyetujui mengembalikan semua perusahaan, tanah dan tambang milik Belanda, dan membayar biaya reparasi perang sebesar 4,3 miliar guilder. Indonesia meraih kemerdekaan formal, tetapi ekonominya sepenuhnya tunduk pada kepentingan imperialis. Revolusi nasional telah dikhianati, tetapi belumlah kehilangan momentum. Belum terpenuhinya tugas-tugas revolusi demokratik nasional – pembentukan parlemen demokratik, reforma agraria, dan pendirian negara-bangsa yang sepenuhnya berdaulat – menyebabkan krisis sosial berkepanjangan, yang membuka bab berikutnya dari Revolusi Indonesia. Dalam konteks inilah Sukarno sang Bonapartis hadir.
Bonapartisme adalah sebuah fenomena yang muncul akibat krisis sosial, ketika perjuangan kelas telah dikobarkan sampai kebuntuan dan tidak ada satu pun kelas yang bertarung yang mampu secara menentukan merebut kekuasaan dan memastikan kestabilan. Di satu sisi, kaum proletariat telah mengobarkan gerakan revolusioner yang mengguncang seluruh masyarakat dari atas hingga bawah, tetapi menemukan diri mereka tidak mampu membawa gerakan ini ke kesimpulan akhir: perebutan kekuasaan secara revolusioner. Di sisi lain, kelas borjuasi terlalu lemah untuk mengalahkan proletariat dan mengembalikan ketertiban ke masyarakat yang tercabik-cabik oleh perjuangan kelas yang intens. Di bawah kondisi seperti ini, Negara dapat bangkit berdiri di atas masyarakat, muncul sebagai penengah bangsa yang independen untuk membawa ketertiban, walaupun Negara inilah masihlah Negara Kelas: yakni negara yang melayani satu kelas di atas kelas-kelas lain. Sebuah rejim Bonapartis lalu muncul, dengan seorang diktator di atasnya. Engels dalam “Asal Muasal Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara” menjelaskan watak Bonapartisme:
“Akan tetapi, ada periode-periode khusus yang terjadi ketika kelas-kelas yang berperang hampir sama kuatnya, sehingga kekuatan negara, yang dilihat sebagai mediator, untuk sementara memperoleh kemandirian tertentu sehubungan dengan kedua kelas. Ini berlaku selama masa monarki absolut abad ke-17 dan ke-18, yang menyeimbangkan kelas bangsawan dan kelas borjuasi yang saling bertempur; dan selama masa Bonapartisme Kekaisaran Prancis Pertama dan terutama yang Kedua, yang menggunakan proletariat untuk melawan borjuasi dan borjuasi untuk melawan proletariat. Pencapaian terbaru dalam hal ini, dimana yang berkuasa dan yang dikuasai tampak sama-sama jenaka, adalah Kekaisaran Jerman yang baru dari bangsa Bismarckian; di sini kapitalis dan buruh diseimbangkan satu dengan yang lainnya dan keduanya dipecut untuk keuntungan kaum Junker Prusia yang busuk.”[11]
Demikianlah situasi di Indonesia selepas Perang Dunia Kedua. Walaupun pemerintahan Sukarno-Hatta mampu mematahkan gerakan revolusioner, yang ditandai dengan hancurnya kekuatan PKI di peristiwa Madiun 1948 dan represi yang menyusul terhadap semua kekuatan oposisi revolusioner, kelas borjuasi nasional terlalu lemah untuk membangun sebuah rejim yang stabil. Ini persis karena pengkhianatan mereka terhadap revolusi nasional pada 17 Agustus 1945 dan perang kemerdekaan yang menyusul dari 1945-1949, satu periode yang dikenal sebagai Revolusi Agustus. Krisis-krisis konstitusional susul menyusul. Kabinet dibentuk hanya untuk lalu dibubarkan tidak lama kemudian. Dari 1949 hingga 1959, ada 10 kabinet yang berbeda. Dibutuhkan 6 tahun setelah perang kemerdekaan berakhir untuk menyelenggarakan pemilu, yang ternyata menjadi satu-satunya pemilu selama 20 tahun kepresidenan Sukarno dari 1945-1965. Hasil pemilu 1955 jauh dari memberikan kestabilan yang diperlukan. Tidak ada satupun partai politik yang meraih lebih dari 25 persen suara, bahkan partainya Sukarno, Partai Nasional Indonesia. Situasi yang tidak menentu ini menghasilkan serangkaian pemerintahan koalisi yang tidak bertahan lama. Ketidakstabilan politik yang berkepanjangan ini akhirnya mendorong Sukarno untuk merobek Konstitusi 1950, membubarkan Majelis Konstituante hasil pemilu 1955 yang telah menjadi impoten akibat ketidakmampuannya untuk merancang sebuah konstitusi yang baru, dan mendeklarasikan pada 1959 rejim “Demokrasi Terpimpin”. Di tengah kekacauan krisis konstitusional, kebuntuan parlementer, dan jatuh bangunnya kabinet, sesuatu yang menyerupai titik pangkal dimana segala hal lainnya berputar di sekitarnya harus ditetapkan, dan inilah peran yang diisi oleh Sukarno.
Demokrasi Terpimpin adalah usaha Sukarno untuk menyelesaikan kebuntuan politik dan ketidakstabilan yang mengalir darinya. Sukarno menyalahkan nilai-nilai Barat – liberalisme dan parlementerisme – sebagai biang kerok kebuntuan ini, nilai-nilai yang menurutnya tidak sesuai dengan karakter orang Indonesia. Dia lalu mengajukan musyawarah dan mufakat di bawah bimbingan “sesepuh desa” sebagai solusinya. Kekuasaan Presiden – dan secara umum kekuasaan eksekutif dalam pemerintah – diperkuat dengan melemahkan parlemen (kekuasaan legislatif). Tentu saja “sesepuh desa” ini, yang secara esensi adalah Bonapartis, adalah Sukarno sendiri. Sukarno bahkan menganjurkan agar di bawah Demokrasi Terpimpin tidak diperlukan lagi partai-partai politik.[12] Namun dia terpaksa membatalkan niatnya ini karena protes dari PKI dan partai-partai politik massa lainnya.
Dengan Demokrasi Terpimpin, Negara meraih kemandirian dari masyarakat, dari kelas yang menjadi basisnya, kelas borjuasi. Kekuasaan terkonsentrasikan tidak hanya dalam individu Sukarno, tetapi juga dalam Negara Borjuis secara keseluruhan. Seperti yang dikemukakan Rex Mortimer, sejarawan komunisme Indonesia:
“Demokrasi Terpimpin membawa bersamanya peningkatan kekuasaan birokratik yang besar … dan menghasilkan pergeseran yang pesat dan mencolok ke arah sentralisasi dalam pemerintahan …”
“Mengecilnya signifikansi partai-partai politik sebagai saluran artikulasi dan tawar-menawar kepentingan-kepentingan sosial semakin memperbesar peran birokrasi; karena sudah tidak lagi berada di bawah tekanan dan kontrol dari luar, birokrasi mengambil-alih untuk dirinya sendiri banyak fungsi politik perwakilan kepentingan dan pengambilan keputusan …”
“[Demokrasi Terpimpin memperkuat] sentimen pro-kepemimpinan yang melayani kepentingan pamong pradja, yakni korps administrasi yang mengkombinasikan dalam dirinya etos budaya kekuasaan aristokratis Jawa kuno dan teknik birokratik dari Belanda … kekuasaan pamong pradja sekarang terkonfirmasi dan diperkuat.”[13]
Bersamaan dengan Demokrasi Terpimpin Sukarno menerbitkan Manifesto Politik (Manipol), yang menjabarkan panduan-panduan umum untuk perkembangan Indonesia dalam bidang ekonomi dan lainnya. Konten Manipol terdengar revolusioner bagi orang awam, tetapi pada kenyataannya kopong. Manipol memproklamirkan sebagai tujuannya pembangunan sebuah masyarakat sosialis. Tetapi sebelum ini dapat tercapai, Indonesia harus terlebih dahulu menuntaskan revolusi nasionalnya. Ini hampir seperti karbon kopi teori dua-tahap Stalinis, yang sepenuhnya disetujui oleh ketua PKI D.N. Aidit:
“Kedua-duanya [politik dan pertahanan nasional] harus tunduk pada strategi umum Revolusi Indonesia yang digariskan dalam Manipol, yaitu bahwa sekarang ini Rakyat Indonesia harus menyelesaikan Revolusinya yang bersifat nasional dan demokratis sebagai landasan untuk selanjutnya memasuki fase atau tahap kedua Revolusi Indonesia yang bersifat Sosialis.”[14]
Akan tetapi Manipol ternyata hanyalah satu lagi demagogi revolusioner dari Sukarno sang Bonapartis, yang ditulis secara ambigu sehingga bisa diterima oleh semua pihak – termasuk staf jendral angkatan bersenjata yang anti-komunis dan pro-AS – dan dapat diartikan sesuai dengan apa yang seorang kehendaki. Formulasi dan program yang ambigu ini menutupi kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat, hanya untuk mempersiapkan sebuah ledakan yang lebih besar di hari depan – dan sungguh sebuah ledakan yang besar pada 1965. Mortimer menggarisbawahi kekaburan dari Manipol:
“Program ini [Manipol] bahasanya umum, dan pasal-pasal mengenai isu-isu kontroversial seperti peran modal asing dan perusahaan swasta tidaklah jelas, sehingga ini memastikan Manipol dapat diterima oleh beragam kelompok yang terhubungkan dengan rejim. Penolakan terhadap liberalisme dan dukungan untuk peran intervensi negara dipaparkan dengan jelas; tetapi masih cukup banyak ruang untuk berbagai interpretasi yang dapat menaungi kepentingan dari semua partai dan faksi yang, seturut cara Sukarno, telah dilibatkan dalam perancangan program ini dan oleh karenanya berkomitmen pada apapun arti program ini secara resmi.”[15] [Penekanan saya]
Dan memang, “seturut cara Sukarno”, dia tengah menyeimbangkan berbagai kekuatan sosial dan kepentingan-kepentingan yang antagonistis. Dalam analisa terakhir, dia mencoba menyalurkan aspirasi revolusioner kaum buruh dan tani, terutama melalui serangkaian statemen yang bombastis dan kebijakan-kebijakan yang terdengar revolusioner, sementara pada saat yang sama menenangkan kaum kapitalis dan tuan tanah dengan menjanjikan kalau tidak akan ada perubahan fundamental yang dapat mengusik kepentingan ekonomi mereka. Inilah mengapa penekanannya yang terus menerus bahwa revolusi Indonesia bukanlah sosialis tetapi hanya nasional – sebuah gagasan yang juga disokong PKI.
Tetapi sebuah rejim Bonapartis bukanlah rejim yang stabil. Dalam esensinya ia adalah rejim yang terjebak dalam kekusutan kontradiksi yang tak terselesaikan. Walaupun ada pengkultusan diri Sukarno, dengan semacam mitos dan legenda di antara selapisan rakyat – sebuah fakta yang mungkin menipu Sukarno sendiri, dan juga para pemimpin PKI, untuk percaya kalau dia punya kontrol penuh atas seluruh situasi – pemerintahannya adalah pemerintahan krisis. Sebuah penyelesaian terhadap krisis ini harus ditemukan: entah kemenangan revolusi atau kemenangan reaksi. Sejarah menuntut pemimpin Bonapartis yang lain, yang dapat membawa penyelesaian ke arah kemenangan reaksi: untuk menyelesaikan pekerjaan yang telah dimulai Sukarno tetapi tidak pernah mampu diselesaikannya. Untuk peran ini Jenderal Suharto masuk ke panggung sejarah, seorang yang tidak banyak bicara, yang sangatlah berbeda dengan pendahulunya, tetapi sigap dalam tindakan.
3. Front Popular dengan Borjuasi
Satu bagian dari persamaan politik yang memungkinkan Bonapartisme berkembang adalah ketidakmampuan kelas proletariat untuk menghantarkan perjuangan kelas yang panas-membara ini ke kesimpulan akhir: kediktatoran proletariat. Kepemimpinan PKI bertanggung jawab atas kegagalan ini. Melalui front popularnya dengan kelas borjuasi, mereka melucuti kelas buruh sehingga tidak mampu memenangkan revolusi, dan dengan demikian membuka jalan ke reaksi 1965.
Gagasan front popular – dengan teori dua-tahapnya – dipaparkan berulang kali di banyak karya Aidit. Ini terutama dielaborasi di dokumen perspektif utama PKI, Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia, yang mendikte strategi dan taktik partai sampai kehancurannya pada 1965. Tulis dokumen ini:
“Kelas borjuis nasional Indonesia tetap sangat lemah di dalam hal politik, ekonomi, dan kebudayaan. … [Mereka] mempunyai dua watak. Sebagai kelas yang juga ditindas oleh imperialisme dan dikekang perkembangannya oleh feodalisme kelas ini adalah anti-imperialisme dan anti-feodalisme, dan dalam hal ini kelas ini merupakan satu dari kekuatan-kekuatan revolusioner. Tetapi di pihak lain, kelas ini tidak mempunyai keberanian dalam menentang imperialisme dan feodalisme secara mendalam karena di lapangan ekonomi dan politik kelas ini lemah dan juga mempunyai tali-temali dengan imperialisme dan feodalisme. Karakter dobel dari borjuasi nasional ini menyebabkan kita mempunyai dua pengalaman dengan mereka, yaitu pada periode yang tertentu dan sampai pada batas-batas yang tertentu kelas ini bisa mengambil bagian dalam revolusi melawan imperialisme, melawan kaum komprador dan tuan tanah (misalnya dalam Revolusi Agustus), tetapi dalam periode lain mereka bisa mengekor borjuasi komprador dan menjadi sekutunya di dalam kubu kontra-revolusi (misalnya dalam “Peristiwa Madiun” 1948 dan dalam Razzia Agustus 1951). …”
“Dalam keadaan tertentu demikian, proletariat Indonesia harus menggalang persatuan dengan borjuasi nasional dan mempertahankan persatuan itu dengan sekuat tenaga. …”
“Karena lemahnya borjuasi nasional Indonesia di lapangan ekonomi dan politik, maka dalam keadaan sejarah yang tertentu borjuasi nasional yang wataknya bimbang itu bisa goyang dan mengkhianat. …”
“Dalam menghadapi sifat goyang borjuasi nasional Indonesia, perlu diperhatikan, bahwa justru karena lemah di lapangan ekonomi dan politik, kelas ini tidak begitu sukar ditarik ke kiri dan bisa dibikin mantap berdiri di pihak revolusi, asal saja kekuatan progresif besar dan politik serta taktik Partai Komunis tepat. Dengan demikian kegoyangan kelas ini adalah tidak fatal, adalah bukan tak terhindarkan. Tetapi sebaliknya, jika kekuatan progresif tidak besar dan politik serta taktik Partai Komunis tidak tepat, borjuasi nasional yang lemah di lapangan ekonomi dan politik ini mudah lari ke kanan dan memusuhi revolusi.”[16]
Silakan dibaca sendiri. Menurut Aidit, kelas borjuasi nasional “sangat lemah di dalam hal politik, ekonomi, dan kebudayaan,” dan kendati telah “ditindas oleh imperialisme” dan “dikekang perkembangannya oleh feodalisme … [kelas ini] tidak mempunyai keberanian dalam menentang imperialisme dan feodalisme secara mendalam … [dan] bisa goyang dan mengkhianat.” Kami setuju dengan pernyataan ini. Aidit juga benar saat ia menjelaskan alasan mengapa kelas ini lemah dan pengecut: “karena di lapangan ekonomi dan politik kelas ini lemah dan juga mempunyai tali-temali dengan imperialisme dan feodalisme.”
Tetapi dari kajian yang tepat ini mengenai watak pokok borjuasi nasional, dia entah bagaimana menemukan cara untuk melakukan jumpalitan intelektual ke kesimpulan yang keliru: bahwa oleh karenanya tugas Partai Komunis adalah “harus menggalang persatuan dengan borjuasi nasional dan mempertahankan persatuan itu dengan sekuat tenaga” dan menarik kelas ini “ke kiri dan bisa dibikin mantap berdiri di pihak revolusi.” Menurutnya, apa yang diperlukan untuk memenuhi tugas tersebut adalah taktik yang tepat dari Partai Komunis, yang berarti tidak menakut-nakuti mereka dengan pembicaraan mengenai sosialisme, perjuangan kelas, dan kediktatoran proletariat. Secara efektif ini berarti kebijakan kolaborasi kelas dan penundukan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional. Kita diingatkan pada Plekhanov dan kaum Menshevik yang mengecam Lenin dan kaum Bolshevik yang menakut-nakuti kaum liberal.
Aidit kemudian menyebut peristiwa-peristiwa sejarah yang menunjukkan kebimbangan dan pengkhianatan kelas borjuasi nasional, seperti Peristiwa Madiun 1948, ketika pemerintahan Sukarno-Hatta mengirim tentara mereka untuk meremukkan PKI karena oposisi mereka terhadap kebijakan Sukarno-Hatta yang memberi konsesi pada Belanda. Bukan hanya kekuatan PKI saja yang diremukkan oleh angkatan bersenjata. Pemerintah juga memastikan untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan revolusioner lainnya yang berjuang dengan gagah berani melawan kekuatan Sekutu dan juga melawan para pemimpin nasionalis yang ingin berkapitulasi pada imperialis dan mengembalikan semua aset Belanda, yang secara praktis berarti menundukkan Indonesia secara ekonomi di bawah Belanda.
Seakan-akan mencoba membersihkan dosa-dosa kaum borjuasi, Aidit kemudian mencoba menyebut kisah-kisah keberhasilan kaum kapitalis nasional. Tetapi kisah-kisah sukses ini tidak banyak, dan oleh karenanya dia hanya mampu menyebut satu: Revolusi Agustus, dimana kelas kapitalis nasional menurut Aidit “mengambil bagian”. Aidit sendiri bahkan tidak bisa mengatakan bahwa borjuasi nasional memimpin gerakan kemerdekaan Agustus 1945. Terlebih lagi, partisipasi borjuasi nasional dalam Revolusi Agustus 1945 adalah partisipasi dimana mereka secara harfiah harus diseret masuk. Sukarno dan Hatta harus diculik dan dipaksa oleh sekelompok pemuda radikal – yang kebanyakan adalah komunis – untuk memproklamasikan kemerdekaan. Mereka terlalu takut untuk memproklamirkan apa yang telah menjadi fakta: bahwa Jepang telah kalah dan kemerdekaan ada di depan mata untuk diambil. Di karya lain, Aidit mengecam borjuasi Indonesia karena kegagalan mereka untuk memimpin Revolusi Agustus 1945:
“Kegagalan Revolusi Agustus 1945 membuktikan bahwa borjuasi Indonesia tidak mampu memimpin revolusi borjuis demokratis pada jaman imperialisme atau revolusi borjuis demokratis tipe baru.”[17]
Dengan demikian, Aidit sendiri mengakui bahwa sampai sekarang belum ada preseden sejarah untuk menyokong klaimnya kalau apa yang disebut borjuasi nasional progresif yang “merupakan satu dari kekuatan-kekuatan revolusioner” itu ada di Indonesia.
Persis karena borjuasi nasional itu lemah dan tidak solid, goyang dan ragu, maka mereka rentan berkhianat ketika harus menuntaskan apa yang seharusnya menjadi tugas historis mereka: revolusi demokratik nasional. Kelemahan mereka tidak membuat mereka lebih mudah ditarik ke kiri seperti yang diharapkan Aidit, tetapi justru semakin siap berayun ke reaksi. Episode 1965 adalah satu lagi episode dari daftar panjang pengkhianatan kaum borjuasi nasional. Para pemimpin PKI telah melakukan segalanya untuk meyakinkan agar buruh dan tani “menggalang persatuan dengan borjuasi nasional dan mempertahankan persatuan itu dengan sekuat tenaga” dan menarik borjuasi nasional “ke kiri dan bisa dibikin mantap berdiri di pihak revolusi.” Tetapi kaum borjuasi nasional selalu tahu bahwa kepentingan kelasnya berseberangan dengan buruh dan tani. Para pemimpin PKI tetap setia pada Sukarno, yang mereka lihat sebagai personifikasi borjuasi nasional progresif. Tetapi kelas itu telah mencampakkan Sukarno untuk Bonapartis lainnya yang dapat memulihkan ketertiban dan memastikan berfungsinya kapitalisme secara normal: Jendral Suharto.
Tidak ada borjuasi nasional progresif, dan kelas pekerja Indonesia harus membayar mahal untuk pelajaran ini. Satu-satunya kelas revolusioner yang dapat menuntaskan tugas-tugas demokratik adalah kelas buruh yang beraliansi dengan tani. Tetapi kelas buruh, dalam memimpin revolusi demokratik nasional, tidak akan dapat berhenti di sana. Mereka akan terdorong untuk memulai menyelesaikan tugas-tugas revolusi sosialis dan dalam praktik mendirikan kediktatoran proletariat. Ini berkebalikan dengan apa yang dibayangkan Aidit, bahwa mengalir dari front popular dengan borjuasi, tugas PKI bukanlah membentuk “pemerintah diktator proletariat melainkan pemerintah diktator rakyat. Pemerintah ini bukannya harus melaksanakan perubahan-perubahan sosialis melainkan perubahan-perubahan demokratis.”[18]
Aidit melanjutkan:
“Jelas apa yang menjadi tugas Partai kita pada tingkat revolusi sekarang dan di kemudian hari. Partai kita mempunyai tugas dobel dalam memimpin revolusi Indonesia. Pertama, di bawah semboyan ‘Menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya’ kita merampungkan tugas-tugas revolusi yang berwatak borjuis-demokratis; kedua, yaitu sesudah selesai yang pertama, kita merampungkan tugas-tugas revolusi yang berwatak proletar-sosialis.”[19]
Demikianlah teori dua-tahap yang klasik, yang telah dititahkan ke kepemimpinan PKI – dan semua partai-partai komunis lainnya di seluruh dunia – oleh Tuan Stalinis mereka di Kremlin. Teori ini mengikat tangan dan kaki PKI ke kelas borjuasi nasional, dimana PKI mengesampingkan perjuangan kelas dan menundukkannya di bawah perjuangan nasional. PKI menolak mengakui perjuangan kelas, tetapi akhirnya perjuangan kelas meledak bagaimanapun juga, dan dengan sangat berdarah-darah.
Pada awal 1963, Aidit menggagas sebuah teori baru, dalam usahanya sekali lagi untuk memaksakan realitas ke dalam skemanya. Selain adanya dua tipe kapitalis – kapitalis progresif dan kapitalis komprador (atau kapitalis birokrat) – kita sekarang diberitahu kalau ada dua macam orang: orang yang pro-rakyat, dan orang yang anti-rakyat:
“Dalam kekuasaan politik bangsa kita sekarang, tidak hanya ada komprador, kapitalis birokrat dan tuan tanah, tetapi juga orang yang pro-rakyat, yang didukung oleh buruh, tani, kaum intelektual demokrat, dan kaum demokrat lainnya. Oleh karena itu, kekuasaan politik di negeri kita memiliki dua aspek, yakni aspek pro-rakyat dan aspek anti-rakyat.”[20]
Dua tipe orang ini, dalam interaksi mereka dengan negara, menghasilkan negara yang juga memiliki dua aspek: aspek pro-rakyat dan aspek anti-rakyat. Dalam ceramah yang disampaikannya di Beijing di hadapan anggota Komite Pusat Partai Komunis Tiongkok pada September 1963, dia memaparkan teori negara-dengan-dua-aspek ini:
“Kekuasaan negara RI, ditinjau sebagai satu kontradiksi merupakan kontradiksi antara dua aspek yang saling berlawanan. Aspek pertama aspek yang mewakili kepentingan-kepentingan Rakyat. Aspek kedua aspek yang mewakili kepentingan-kepentingan musuh-musuh Rakyat. Aspek pertama diwujudkan oleh sikap dan politik yang maju dari Presiden Sukarno yang didukung oleh PKI dan golongan-golongan Rakyat lainnya. Aspek kedua diwujudkan oleh sikap dan politik dari kekuatan kanan atau kepala batu yang merupakan kekuatan lama yang masih bercokol.”
“Sekarang aspek Rakyat telah merupakan aspek pokok, dan memegang peranan memimpin dalam kekuasaan negara RI, artinya yang memimpin arah perkembangan politik dari kekuasaan negara RI. … Sedangkan aspek musuh Rakyat yang merupakan aspek bukan pokok dan tidak lagi dapat memimpin arah perkembangan kontradiksi tetapi masih menjadi aspek yang berdominasi. … Tetapi negara RI keseluruhannya sudah dipimpin oleh kekuatan-kekuatan yang mewakili kepentingan-kepentingan Rakyat atau aspek Rakyat.”[21]
Dari analisa ini, Aidit menyimpulkan, di ceramah lainnya di Beijing, bahwa tugas PKI terkait dengan Negara semacam ini adalah:
“ … mendorong supaya aspek pro-Rakyat makin besar dan bisa berdominasi, sedangkan kekuatan-kekuatan yang anti-Rakyat dikeluarkan dari kekuasaan negara. Inilah isi dari retuling yang dituntut oleh Rakyat, isi daripada tuntutan membentuk kabinet gotong royong berporoskan NASAKOM. … Tugas-tugas revolusi Indonesia bukanlah mendirikan kekuasaan politik satu kelas, satu golongan atau satu partai, tetapi kekuasaan politik seluruh Rakyat, kekuasaan gotong royong.”[22]
Oleh karenanya menurut Aidit:
“Problem utama Indonesia hari ini bukanlah menghancurkan kekuasaan negara seperti halnya di negeri-negeri lainnya, tetapi memperkuat dan mengkonsolidasi aspek Rakyat … dan menghapus aspek musuh rakyat.” [23]
Ini sungguh melenceng secara jauh dan fatal dari teori Marxis mengenai Negara. Konten kelas dari Negara dihapus dan digantikan dengan konsep “rakyat” yang kabur, yang anggotanya ditentukan secara serampangan oleh kebutuhan politik dari kebijakan kolaborasi kelas Aidit, sesuai dengan yang dibutuhkannya dari hari ke hari. Seperti yang dijelaskan Engels di “Asal Mula Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara”, Negara adalah institusi yang melayani kepentingan kelas penguasa untuk menindas kelas-kelas lainya. Engels memaparkan ini dengan cukup jelas:
“Karena negara muncul dari keperluan mengontrol antagonisme kelas, tetapi juga muncul di tengah perjuangan antar kelas, maka negara biasanya adalah negaranya kelas yang paling kuat dan berkuasa secara ekonomi, yang melalui sarana negara maka juga menjadi kelas yang berkuasa secara politik, dan dengan demikian memperoleh cara-cara baru untuk menekan dan mengeksploitasi kelas-kelas tertindas. Negara jaman kuno adalah, di atas segalanya, negaranya pemilik budak untuk menindas kaum budak, seperti halnya negara feodal adalah organ milik kaum bangsawan untuk menindas kaum hamba-tani dan bondsmen (budak/pelayan kontrak), dan negara modern dengan sistem perwakilannya adalah instrumen kapital untuk mengeksploitasi buruh-upahan.”[24]
Namun di sini kita temui Aidit menciptakan sebuah Negara non-kelas yang mewakili semua orang: “negara rakyat”. Aidit akan terkejut mengetahui kalau konsep “negara rakyat” yang diciptakannya bukanlah barang baru. Gagasan “negara rakyat” telah ada dalam gerakan kelas buruh sejak kelahirannya. Pada puncak Revolusi Rusia, ketika masalah negara menjadi konkret, Lenin mengulang kembali untuk kamerad-kameradnya teori Marxis mengenai negara guna mempersiapkan kaum Bolshevik dan kelas buruh untuk perebutan kekuasaan. Dalam karya seminalnya, “Negara dan Revolusi”, dia mengkritik orang-orang yang bermain-main dengan slogan “negara rakyat” sebagai “kaum filistin”:
“‘Negara rakyat bebas’ adalah sebuah tuntutan program dan sebuah slogan yang populer di antara kaum Sosial-Demokrat Jerman pada tahun 70an (1870an). Slogan ini tidak punya konten politik sama sekali, dan ia hanya menjelaskan konsep demokrasi secara muluk-muluk dan filistin … setiap negara adalah sebuah ‘kekuatan khusus’ untuk merepresi kelas tertindas. Oleh karenanya, setiap negara tidaklah ‘bebas’ dan bukanlah ‘negara rakyat’.”[25]
Sebaliknya, Aidit, pada puncak Revolusi Indonesia, terjungkal dalam masalah negara. Dia jelas telah membaca karyanya Lenin mengenai negara, atau setidaknya mengenal konsepsi dasar Lenin, karena dia menyempatkan menulis: “V.I. Lenin mengajarkan kita, ‘Negara adalah mesin untuk mempertahankan kekuasaan satu kelas atas kelas lainnya.’” Akan tetapi, dia mengutip kalimat Lenin ini justru sebelum dia memaparkan gagasan anti-Leninisnya mengenai “negara rakyat”. Kita berhak bertanya apakah Aidit pernah belajar dari apa yang dibacanya dari karya-karya Lenin. Sesungguhnya, seperti semua kaum Stalinis pada jamannya yang telah memelintir ajaran-ajaran Marx, Engels dan Lenin, rujukannya pada tulisan Lenin “Negara dan Revolusi” hanyalah bersifat ritual, dengan tujuan melempar debu ke mata kelas buruh agar dia dapat menyeludupkan gagasan “filistin”nya mengenai “negara rakyat”. Metode mengutip sang guru sebagai cara untuk menyeludupkan gagasan kelas asing dipelopori oleh Bernstein, dikembangkan lebih lanjut oleh Kautsky, dan disempurnakan menjadi seni oleh Stalin dan para epigonnya. Episode ini juga menunjukkan kebangkrutan teoretis dari kaum Stalinis Tiongkok (kaum Maois). Tidak ada satupun anggota Komite Pusat Partai Komunis Tiongkok yang berkomentar ketika Aidit menyajikan gagasan “negara non-kelas”nya.
Masalahnya kaum Stalinis Tiongkok tidak ada dalam posisi untuk memperbaiki kekeliruan Aidit, karena mereka sendiri telah mencabik-cabik teori Marxis mengenai negara dengan konsepsi negara blok-empat-kelas mereka. Mereka juga kesulitan menjelaskan mengapa negara Tiongkok tidak menunjukkan tanda-tanda pupus sama sekali bertahun-tahun setelah Revolusi, tetapi justru sebaliknya. Salah satu tesis utama dari teori Marxis mengenai negara yang digagas Marx dan Lenin adalah bahwa negara buruh adalah satu bentuk negara yang khusus yang akan mulai pupus, seiring dengan berkembangnya tenaga produktif dan menghilangnya antagonisme kelas. Namun di bawah “sosialisme dengan karakter Tiongkok” mesin birokrasi negara, seperti karibnya di Uni Soviet, telah tumbuh menjadi aparatus pemaksa raksasa tanpa niat untuk pupus.
Kaum birokrat Tiongkok akan mengutip Lenin sebagai pembelaan, dimana Lenin secara tepat mengatakan bahwa hanya di bawah komunisme – sebuah masyarakat berkelimpahan dengan prinsip “dari masing-masing menurut kemampuannya, untuk masing-masing menurut kebutuhannya” – maka kita akan mencapai masyarakat tanpa kelas. Oleh karenanya, menurut PKT sebelum kita mencapai komunisme kita membutuhkan sebuah negara yang kuat untuk menindas kaum penindas. Pada tahapan apa mesin penindas ini akan pupus, ini tidak dijawab. Namun Lenin tidak pernah mengabaikan masalah apa bentuk negara buruh dan apa nasibnya selama periode transisi dari kapitalisme ke komunisme. Ini yang ditulis Lenin:
“Selama transisi dari kapitalisme ke komunisme, penindasan masih diperlukan, tetapi sekarang ini adalah penindasan terhadap minoritas yang mengeksploitasi oleh mayoritas yang dieksploitasi. Sebuah aparatus khusus, sebuah mesin khusus untuk penindasan, yakni ‘negara’, masih dibutuhkan, tetapi sekarang ini adalah sebuah negara transisional. Ini sudah bukan lagi negara dalam pengertian lama; karena penindasan terhadap minoritas yang mengeksploitasi oleh mayoritas budak upahan tempo hari adalah tugas yang secara komparatif begitu mudah, sederhana dan alami sehingga ini akan membutuhkan jauh lebih sedikit pertumpahan darah dibandingkan penindasan terhadap pemberontakan kaum budak, hamba atau buruh-upahan, dan ongkosnya akan jauh lebih kecil bagi umat manusia. Dan ini kompatibel dengan perluasan demokrasi ke mayoritas besar populasi, sehingga kebutuhan untuk mengadakan mesin penindas khusus akan mulai menghilang. Kaum penghisap tidak akan mampu menindas rakyat tanpa menggunakan sebuah mesin yang teramat kompleks, tetapi rakyat dapat menindas kaum penghisap bahkan dengan sebuah ‘mesin’ yang sangat sederhana, hampir tanpa sebuah ‘mesin’, tanpa sebuah aparatus khusus, dengan organisasi rakyat bersenjata yang sederhana.”[26] (Penekanan kami)
Semua orang bisa membacanya sendiri: dalam “transisi dari kapitalisme ke komunisme,” kebutuhan akan negara “akan mulai menghilang” dan hanya sebuah “mesin yang sangat sederhana, hampir tanpa sebuah mesin, tanpa sebuah aparatus khusus” dibutuhkan untuk menindas kaum penghisap. Negara buruh Tiongkok sejak kelahirannya pada 1949 tidak pernah mulai menghilang. Sebaliknya, ia terus tumbuh dan tumbuh menjadi sebuah monster. Negara buruh Tiongkok sama sekali bukan sebuah “mesin yang sangat sederhana” tetapi sebuah aparatus negara yang canggih dan maha kuasa, yang digunakan untuk menjaga privilese para birokrat negara. Negara buruh yang parasitik ini kini telah berubah menjadi sebuah negara kapitalis, seiring dengan berubahnya kuantitas menjadi kualitas, sebuah subjek yang di luar risalah ini. Pendek kata, dengan pemelintiran teori Marxis mengenai negara semacam ini, akan menjadi sangat munafik bagi kaum Stalinis Tiongkok bila mereka mengecam “revisionisme”nya kaum Stalinis Indonesia. Inilah mengapa ceramah Aidit mengenai negara rakyat, dengan aspek Rakyat dan aspek Musuh Rakyat, disambut dengan riuh tepuk tangan oleh kaum Stalinis Tiongkok.
Aidit tidak hanya berhenti di gagasan negara rakyat. Segera setelah dia memulai teori ini, dia juga terdorong untuk mencampakkan semua istilah kelas dalam politik. Di sini negara dilihat semata sebagai sekumpulan individu yang dapat dikelompokkan menjadi dua kamp dengan cara pandang yang bertentangan – pro-rakyat dan anti-rakyat – dan bukan sebagai institusi yang terbentuk secara historis akibat dari antagonisme kelas dalam masyarakat. Ini hanyalah modifikasi dari strategi front popular untuk beraliansi dengan borjuasi nasional progresif dan “kekuatan-kekuatan progresif” lainnya (intelektual, elemen aristokrasi maju, elemen patriotik, dsb.). Tetapi Aidit membawa strategi kolaborasi kelas Stalinis ini bahkan lebih jauh, dengan membersihkannya dari istilah atau konsep kelas.
Aidit menyebut kebijakan progresif dan pendirian anti-imperialis pemerintah Sukarno sebagai manifestasi aspek pro-rakyat. Impresionisme dangkal menggantikan analisa Marxis mengenai perjuangan kelas.
Di tengah periode revolusioner, ketika perjuangan kelas mencapai jalan buntu, sebuah rejim Bonapartis dapat muncul sebagai kekuatan yang berdiri di atas masyarakat, sebagai penengah kepentingan nasional. Demikianlah situasi Indonesia setelah 1945, dengan serangkaian pasang naik dan surut revolusi, dimana kelas kapitalis tidak cukup kuat untuk menuntaskan revolusi demokratik nasional dan menciptakan ketertiban demi berfungsinya kapitalisme secara normal karena ledakan gerakan massa yang bertubi-tubi. Di pihak lain, gerakan massa tidak cukup kuat untuk merebut kekuasaan. Dalam situasi seperti ini Sukarno sang Bonapartis muncul sebagai Bapak Bangsa yang menenangkan anak-anaknya yang bertengkar. Situasi semacam ini membutuhkan figur seperti Sukarno, seorang individu karismatik dengan kecenderungan bombastis, tangkas dalam seni persuasi dan tawar menawar politik, cukup prinsipil untuk dilihat sebagai figur kuat, tetapi juga cukup fleksibel yang memungkinkan dia memanuver kelas-kelas yang berbeda, menyeimbangkan kelas-kelas yang bertentangan. Aidit dan kamerad-kameradnya tidak memahami proses ini. Analisa kepemimpinan PKI yang impresionis, keliru dan fatal dibayar mahal oleh kaum buruh dan tani, yang menaruh harapan pada Partai Komunis Indonesia untuk memenangkan revolusi.
5. Revolusi dengan Kekerasan atau Transisi Damai ke Sosialisme
Marx pernah menulis bahwa “kekerasan adalah bidan dari setiap masyarakat lama yang hamil dengan masyarakat baru.” Walaupun dia merujuk pada penggunaan “kekuatan Negara, yang merupakan kekerasan yang terkonsentrasi dan terorganisir dalam masyarakat, untuk mempercepat, seperti rumah kaca, proses transformasi moda produksi feodal menjadi moda kapitalis, dan untuk memperpendek transisi ini,” terutama melalui sistem eksploitasi kolonial yang mendorong Marx menyimpulkan bahwa “kapital lahir ke dunia berlumuran darah dan lumpur dari kepala sampai kaki, dari setiap pori-porinya,”[27] statemen di atas tetap valid dalam revolusi yang akan menumbangkan kapitalisme. Ini secara alami mengalir dari resistensi keras kepala status-quo dan para pembelanya terhadap perubahan.
Akan tetapi akan menjadi sebuah kebodohan besar bagi setiap Marxis yang serius bila dia berkhotbah ke massa rakyat bahwa revolusi sosialis akan menjadi satu peristiwa yang berlumuran darah. Ini berarti jatuh ke perangkap kelas penguasa, yang selalu mencoba menakut-nakuti buruh dengan menghubungkan revolusi sosialis dengan kekerasan dan perang sipil. Kita tidak boleh bersikap seperti sektarian ultra-kiri yang merasa perlu menekankan kredensial revolusioner mereka dengan memamerkan antusiasme mereka akan “revolusi yang berdarah-darah” dan “keniscayaan kekerasan,” dan dengan demikian membantu kelas penguasa dan kaum reformis. Kita menekankan bahwa kaum Marxis lebih memilih transformasi sosialis secara damai, yang sangatlah mungkin bila kepemimpinan kelas buruh memobilisasi kekuatan penuh rakyat pekerja. Kita juga menjelaskan kepada massa bahwa sejarah telah menunjukkan lagi dan lagi bahwa tidak ada kelas penguasa yang akan menyerahkan kekuasaan mereka tanpa perlawanan. Oleh karenanya tanggung jawab terjadinya kekerasan jatuh sepenuhnya di pundak kelas penguasa dan aparatus negara mereka.
Kelas buruh berhak mempertahankan revolusinya dan pencapaian-pencapaian yang telah mereka menangkan. Dalam banyak kasus, kita justru saksikan dalam sejarah bagaimana kekuasaan lama runtuh tanpa perlawanan di hadapan kekuatan kelas buruh, dengan syarat kelas buruh memiliki kepemimpinan yang tegas dan kokoh untuk menghantarkan perjuangan sampai garis akhir. Pada kenyataannya, Revolusi Oktober dimenangkan dengan pertumpahan darah yang minimal karena kaum Bolshevik telah mempersiapkan buruh untuk perebutan kekuasaan dengan menjelaskan secara sabar slogan “Semua kekuasaan untuk Soviet”. Kekerasan hanya mengunjungi Revolusi di kemudian hari dari dorongan aktif kelas penguasa yang telah ditumbangkan.
Slogan “Semua kekuasaan untuk Soviet” bukanlah seruan untuk meluncurkan perang sipil. Dalam laporannya ke Konferensi Partai Bolshevik Seluruh-Rusia pada April 1917, Lenin mengatakan: “Untuk berbicara mengenai perang sipil sebelum rakyat menyadari akan perlunya perang sipil jelas berarti tersungkur ke Blanquisme. Kita menginginkan perang sipil, tetapi hanya perang sipil yang diluncurkan oleh kelas yang sadar politik… Pemerintah ingin melihat kita yang lebih dahulu secara gegabah mengambil langkah pertama ke aksi revolusioner, karena ini akan menguntungkan mereka.”[28] Dengan demikian slogan “Semua kekuasaan untuk Soviet” ditujukan untuk mendidik kelas buruh bahwa kekuasaan sesungguhnya sudah menjadi milik mereka dalam bentuk soviet, dan yang mereka perlunya hanyalah menyadari ini secara politik dan menggunakannya untuk kepentingan kelas mereka.
Berulang kali kaum Bolshevik harus menolak tuduhan dari kelas penguasa, kaum Menshevik dan kaum Sosialis Revolusioner (SR) kalau mereka menginginkan pertumpahan darah. Begini cara Lenin yang secara cerdik menjawab tuduhan tersebut:
“Anda tengah berbohong, Tn. Menteri, anggota terhormat partai ‘kebebasan rakyat’. Justru Tn. Guchkov yang berkhotbah mengenai kekerasan saat dia mengancam akan menghukum para tentara yang membangkang terhadap atasannya. Koran Russkaya Volya, korannya kaum republiken yang gemar memprovokasi kerusuhan, yakni koran yang bersahabat dengan Anda, koran inilah yang berkhotbah mengenai kekerasan.”
“Koran Pravda dan para pendukungnya tidak berkhotbah mengenai kekerasan. Sebaliknya, mereka menyatakan dengan teramat jelas, rinci, dan tegas, bahwa usaha utama kami sekarang harus dipusatkan pada menjelaskan problem-problem proletariat kepada massa proletariat, berkebalikan dengan kaum borjuis kecil yang telah mabuk dengan sauvinisme…”
“Selama kalian, Tuan-tuan kapitalis terhormat, yang mengendalikan komando angkatan bersenjata, tidak memulai menggunakan kekerasan, maka taktik kami, taktik semua pendukung Pravda dan semua Partai kami, adalah berjuang untuk memenangkan pengaruh di antara massa proletariat, berjuang untuk memenangkan pengaruh di antara Soviet Deputi Buruh dan Tentara.”[29]
Lenin meletakkan tanggung jawab kekerasan di pundak kaum kapitalis yang menguasai aparatus kekerasan, dan di pundak kaum reformis Menshevik-SR yang, karena menolak merebut kekuasaan yang sudah ada di tangan mereka, justru membuat kekerasan tak terelakkan. Dua peristiwa selanjutnya – Hari-hari Juli dimana beberapa ratus demonstran mati ditembak, dan kudeta militer Kornilov yang dipatahkan oleh rakyat – menunjukkan dengan jelas di hadapan mata rakyat siapa sebenarnya yang memulai kekerasan. Kelas buruh belajar dari pengalaman, dan dari dua episode ini mereka menjadi teguh dalam keyakinan mereka untuk menumbangkan kapitalisme melalui aksi revolusioner.
Sementara menjelaskan kalau kelas buruh harus merebut kekuasaan, Lenin tidak pernah menebar ilusi mengenai karakter damai kelas penguasa. Kita hanya perlu membandingkan ini dengan konsepsi Aidit mengenai “jalan damai ke sosialisme” untuk Indonesia. Dalam sebuah wawancara dengan seorang koresponden media Barat, Aidit mengatakan bahwa “prospek untuk transisi damai ke sosialisme, seperti yang dipaparkan oleh Khrushchev di Kongres Partai Soviet ke-20, adalah paling terang dan peluangnya paling banyak di dua negeri, yakni Kuba dan Indonesia.”[30] Dia menjabarkan ini lebih lanjut di wawancara lain pada 1964:
“Bilamana kami menuntaskan tahapan pertama revolusi kami, yang kini sedang dalam proses, kami akan melakukan konsultasi bersahabat [!] dengan elemen-elemen progresif lainnya dalam masyarakat kami dan, tanpa perjuangan bersenjata, memimpin bangsa ini menuju Revolusi Sosialis. Selain itu, kapitalis nasional di negeri kami lemah dan tidak solid. Pada saat ini, dalam revolusi demokratik nasional kami, kami tengah mendukung mereka dan melakukan perjuangan bersama untuk menendang keluar dominasi ekonomi asing dari tanah air ini.”[31] (Penekanan kami)
Sang reporter cukup pintar untuk bertanya: apa yang akan terjadi bila kaum kapitalis nasional mengembangkan karakter kelasnya dan menentang segala macam sosialisme? Aidit menjawab:
“Pengaruh kekangan [dari tahapan revolusi sekarang] akan mempertahankan semacam tekanan revolusioner terhadap kaum kapitalis nasional Indonesia… Tidak akan ada perjuangan bersenjata kecuali bila ada intervensi bersenjata dari luar atas nama kapitalis, dan bila kami telah berhasil menuntaskan revolusi demokratik nasional kami sekarang, maka peluang intervensi kekuatan asing dalam masalah internal negeri Indonesia akan menjadi sangatlah kecil.”
Perbedaan antara Lenin dan apa yang disebut konsepsi “Leninis”nya Aidit sangatlah mencolok. Aidit mengembangkan secara a priori jalan damai ke sosialisme dengan sedemikian rupa sehingga sepenuhnya melucuti kelas buruh, dengan secara buta percaya pada “elemen-elemen progresif lainnya” dan “kaum kapitalis nasional”. Lenin, di pihak lain, berargumen bahwa kaum Bolshevik dan kelas buruh mendambakan peralihan kekuasaan secara damai ke soviet selama kaum Menshevik dan SR, yang saat itu mengepalai soviet, siap melakukan itu. Tetapi Lenin tidak pernah menaruh sejumputpun kepercayaan pada kaum borjuasi, yang terus dia ekspos sebagai pihak yang memprovokasi kerusuhan. Melalui kerja propaganda yang konsisten dan gigih, kaum Bolshevik mempersiapkan kelas buruh secara politik dengan kebijakan kemandirian kelas untuk merebut kekuasaan.
Mari kita selidiki premis-premis jalan damai menuju sosialisme yang diusung Aidit:
1) Sosialisme hanya masalah “konsultasi bersahabat dengan elemen-elemen progresif lainnya [baca kapitalis nasional]” setelah menuntaskan revolusi nasional demokratik.
Apa yang Aidit beritahu pada kita adalah bahwa setelah kapitalisme telah berdiri melalui penuntasan revolusi nasional demokratik, tidak akan ada lagi perjuangan kelas antara kelas buruh dan kapitalis. Kedua kelas ini – yang Marx dan Engels selalu tekankan adalah dua kelas yang berseberangan dan memiliki kepentingan yang tak terdamaikan – sekarang akan duduk bersama dengan sopan dan saling menghormati untuk mendiskusikan bagaimana mencapai sosialisme. Aidit sungguh akan membuat kaum sosialis utopis Prancis sangat bangga.
Kaum sosialis utopis pada awal abad ke-19 sebelum jamannya Marx dan Engels percaya kalau sosialisme adalah masalah bagaimana meyakinkan semua orang, termasuk kapitalis, akan keunggulan sosialisme di atas kapitalisme. Dalam Kerajaan Nalar yang didirikan oleh Revolusi Prancis, Nalar dipercaya sebagai alat ukur semua hal. Oleh karenanya untuk mencapai sosialisme kita cukup mengandalkan “konsultasi bersahabat” dengan semua pihak dengan menggunakan Nalar. Tetapi kaum sosialis utopis Prancis dapat dimaafkan untuk kekeliruan mereka, karena sejarah belumlah memberi mereka kelas proletariat, dan konflik kelas antara kapitalis dan proletariat belumlah mengambil bentuk yang definit. Kekeliruan kaum utopis sosialis Prancis adalah karena mereka terlalu maju di jaman mereka. Tetapi situasi sangatlah berbeda pada pertengahan abad ke-20, ketika konflik kelas tidak hanya telah mengambil bentuk definit tetapi juga menenggelamkan dunia ke dalam dua perang dunia, revolusi, dan kontra-revolusi.
Marx dan Engels sejak awal telah memperingatkan kaum buruh akan karakter reaksioner mereka-mereka yang menyebarkan gagasan lama sosialisme utopis:
“Signifikansi Sosialisme dan Komunisme Utopis-Kritis memiliki relasi terbalik dengan perkembangan sejarah. Seiring dengan perkembangan perjuangan kelas modern dan semakin perjuangan ini mengambil bentuk yang definit … maka [gagasan Sosialisme Utopis] kehilangan semua nilai praktikal dan semua justifikasi teoritis. Oleh karena itu, walaupun para perintis sistem [Sosialisme Utopis] ini dalam banyak hal revolusioner, para pengikut mereka, dalam setiap kasus, adalah sekte reaksioner belaka. Mereka berpegang teguh pada cara pandang orisinal guru-guru mereka, bertentangan dengan perkembangan historis yang progresif dari proletariat. Mereka, oleh karenanya, berusaha secara konsisten memadamkan perjuangan kelas dan mendamaikan antagonisme kelas. … Mereka terdorong untuk memohon pada perasaan belas kasihan dan dompetnya kaum borjuasi. Selangkah demi selangkah, mereka tenggelam ke dalam kategori kaum Sosialis reaksioner [atau] konservatif seperti yang digambarkan di atas, dan hanya berbeda dari golongan ini karena pedantri mereka yang lebih sistematis, dan karena kepercayaan fanatik dan mistis mereka pada pengaruh mukjizat dari ilmu sosial mereka.”[32] [Penekanan kami]
Dengan demikian Aidit dan kepemimpinan PKI telah menjadi kaum sosialis reaksioner dan konservatif. Kaum borjuasi punya kegemaran dan bakat yang telah diasahnya selama berabad-abad untuk menipu buruh kalau mereka berdiri untuk demokrasi, kalau mereka mengibarkan tinggi-tinggi panji Liberté, Égalité, et Fraternité, agar buruh percaya kalau kepentingan mereka dapat dipenuhi melalui semacam negosiasi yang dewasa dan bersahabat dengan kaum kapitalis di parlemen. Tugas dari setiap kaum revolusioner adalah membongkar kebohongan ini dan mengungkapkan watak sesungguhnya dari demokrasi borjuis.
2) Kaum kapitalis nasional “lemah dan tidak solid,” dan oleh karenanya jalan ke sosialisme akan damai.
Kaum kapitalis nasional mungkin saja lemah dan tidak solid, tetapi ini hanya sehubungan dengan kemampuan dan kesudian mereka untuk menuntaskan tugas-tugas revolusi demokratik nasional: pendirian parlemen demokratik; reforma agraria; kemandirian dari imperialisme. Ini karena mereka terikat erat pada kapital asing dan pertuantanahan lewat ribuan benang. Terlebih lagi, keberadaan proletariat membuat mereka gemetar ketakutan, dan mereka jauh lebih takut pada proletariat daripada berada di bawah jempol modal asing. Untuk alasan ini, ketika tiba waktunya bagi mereka untuk membela kepentingan kelas, profit dan kepemilikan mereka atas alat-alat produksi, mereka tidaklah lemah.
Kaum borjuasi memiliki negara di tangan mereka – negara yang pada analisa terakhir terdiri dari badan-badan bersenjata – yang dibangun secara khusus untuk mempertahankan eksploitasi buruh-upahan oleh kapital. Negara ini sama sekali tidak lemah. Negara ini jauh dari tidak-solid. Sejak secara resmi dibentuk pada 17 Agustus, 1945, negara ini telah digunakan berulang kali untuk meremukkan gerakan kelas buruh.
Segera setelah kemerdekaan, borjuasi Indonesia yang masih muda mencoba berkompromi dengan imperialis. Sukarno dan Hatta berjanji mengembalikan semua aset perusahaan asing, yang di Indonesia berarti semua tuas utama ekonomi akan berada di bawah kendali modal asing. Ini bukanlah visi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh rakyat. Sementara, kemerdekaan telah melepaskan sebuah revolusi sosial dengan tuntutan-tuntutan yang melampaui gol kedaulatan formal dan mencoba mencabut sampai ke akar-akarnya semua struktur privilese lama. Rakyat menuntut merdeka 100%, penyitaan semua aset perusahaan asing, yang dilihat rakyat secara tepat sebagai properti curian dari 350 tahun penjajahan yang brutal. Penyitaan terhadap semua aset Belanda dan asing akan berarti Revolusi Indonesia mengambil langkah pertama menuju sosialisme. Ini membuat borjuasi muda dan Negara yang baru mereka dirikan berseberangan dengan aspirasi rakyat pekerja. Tentara dikirim untuk memburu dan menghancurkan kekuatan-kekuatan yang menentang kebijakan pemerintah untuk berkompromi dengan imperialisme.
Peristiwa Madiun 1948 adalah salah satu titik ledakan dari benturan antara sayap revolusioner dan sayap kompromis gerakan kemerdekaan. Setelah serangkaian benturan, manuver dan provokasi, pada 18 September, 1949, kota Madiun jatuh ke tangan koalisi yang dipimpin PKI tanpa disangkanya. Rejim Sukarno-Hatta segera menggunakan episode ini sebagai dalih untuk meremukkan PKI. Berbicara di radio dengan berapi-api seperti biasanya, Sukarno menuduh PKI berkhianat dan melakukan “penjarahan”, “perampokan”, “penculikan”, “teror mental terhadap buruh dan tani,” “memobilisasi geng-geng kriminal untuk menjarah dan merampok siang dan malam.”[33] Dia lalu memberi rakyat dua pilihan: ikut PKI-Musso, atau ikut Sukarno-Hatta.
PKI jatuh ke provokasi ini dan secara prematur menyerukan perebutan kekuasaan. Musso, dalam balasannya ke siaran radio Sukarno mengumumkan bahwa Madiun “untuk Rakyat seluruh Indonesia adalah sinyal guna merebut kekuasaan Negara dalam tangannya sendiri! … Rakyat Indonesia oleh Sukarno disuruh memilih: ‘Sukarno atau Musso!’ Rakyat seharusnya menjawab: ‘Sukarno-Hatta, budak-budak Jepang dan Amerika! Memang tjiri wantji lali ginowo mati! (Memang watak pengkhianat itu dibawa sampai mati)’”[34] Pemerintah mengirim pasukan mereka dan menumpas PKI, tidak hanya di Madiun tetapi juga seluruh Indonesia. Teror Putih dimulai. Ribuan kader PKI dieksekusi.[35] Peristiwa Madiun juga digunakan oleh pemerintah untuk menumpas semua oposisi, termasuk Tan Malaka, yang ditangkap dan dieksekusi tanpa pengadilan pada 1949. Pemerintah Sukarno-Hatta menunjukkan kalau kapitalis nasional jelas tidak lemah dalam kekejamannya untuk menumpas Komunis.
Di kemudian hari, dalam usahanya untuk menemukan borjuasi nasional progresif dalam pribadi Sukarno, Aidit mencoba memisahkan Sukarno dari tanggung jawabnya dalam Peristiwa Madiun. Pembantaian kaum komunis di Madiun, menurut Aidit, adalah sepenuhnya dipimpin oleh borjuasi komprador dalam pribadi Hatta:
“Pada tanggal 19 September 1948 oleh Presiden Sukarno diadakan pidato yang berisi seruan kepada seluruh Rakyat untuk bersama-sama membasmi ‘kaum pengacau’, maksudnya membasmi kaum Komunis dan kaum progresif lainnya secara jasmaniah. Saya katakan sepenuhnya tanggung jawab pemerintah Hatta, karena Hattalah yang menjadi Perdana Menteri ketika itu. Tetapi karena Hatta tahu bahwa pengaruhnya sangat kecil di kalangan Angkatan Perang dan alat-alat negara lainnya, apalagi di kalangan masyarakat, maka Hatta menggunakan mulut Sukarno dan meminjam kewibawaan Sukarno untuk membasmi Amir Syarifuddin dan beribu-ribu putra Indonesia asal suku Jawa.”[36]
Bila mulut dan kewibawaan Sukarno bisa dengan begitu gampang digunakan oleh “borjuasi komprador”, maka ini mengungkapkan banyak mengenai keandalan dan kemandirian “borjuasi progresif”. Kaum borjuasi progresif oleh karenanya adalah kedok Kiri yang menutupi watak sesungguhnya kelas borjuasi, yang justru membuat yang pertama ini bahkan lebih berbahaya. Terlebih lagi, ini yang Sukarno katakan sendiri mengenai Peristiwa Madiun dalam buku otobiografinya, yang jelas bertentangan dengan revisionisme sejarahnya Aidit:
“Sukarno-lah yang meremukkan kaum Komunis pada 1948. … Saya tidak akan membiarkan mereka atau siapapun untuk menyingkirkan Tuhan dari negeri saya yang tercinta … Saya kirim pasukan Siliwangi kita. Mereka bereskan semua. Dalam hitungan hari tulang punggung pemberontakan ini patah… Jangan biarkan siapapun mengatakan kalau Sukarno takut menumpas pemberontakan Komunis.”[37]
Kaum Stalinis Indonesia belajar terlalu baik dari mentor mereka di Moskow. Kebijakan PKI dalam mendukung Sukarno pertama kali diformulasikan dan diimplementasikan oleh Stalin pada 1920an. Kaum Stalinis Rusia mengundang Chiang Kai-shek, yang lalu menjadi diktator reaksioner Tiongkok, ke aula besar Komunis Internasional, dan menabur puji untuknya beberapa bulan sebelum tangannya berlumuran darah kaum Komunis Shanghai[38]. Tetapi kaum Stalinis Indonesia bahkan melampaui guru mereka. Mereka tidak hanya secara setia mencuci lumuran darah kaum Komunis Madiun dari tangan Sukarno setelah pengkhianatan tersebut, tetapi juga meletakkan nasib Revolusi Indonesia di tangan yang sama. Sang murid sungguh telah menjadi guru.
Ada satu detail kecil yang patut kita sentuh dari ujaran Sukarno di atas. Sukarno tahu betul kalau PKI tidak pernah memiliki program menghapus agama. Tetapi dia merasa perlu menuduh PKI ingin “menyingkirkan Tuhan” dan menggunakan prasangka anti-komunis ini untuk menyerang PKI. Ini cocok sekali dengan perannya sebagai seorang Bonapartis, seorang politisi cerdas yang tangkas dalam menyeimbangkan kepentingan-kepentingan antagonistis dari berbagai kelas dan kekuatan sosial, sampai akhirnya semua ini runtuh pada 1965.
Revisionisme sejarah Aidit tidak berhenti di sini. Dia harus menciptakan keberadaan borjuasi nasional progresif yang seperti bayang-bayang ini sejauh 1945. Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus, 1945, Sukarno dan Hatta – yang selama 3 tahun terakhir telah dengan setia melayani Jepang – terjangkiti rasa takut yang melumpuhkan mereka. Mereka didera rasa takut memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan Jepang. Mereka ragu akan diri mereka sendiri, yang mencerminkan basis kelas mereka, dan harus diculik oleh sekelompok kaum muda dan dipaksa. Satu dekade kemudian, Aidit menceritakan kembali kisah yang sepenuhnya berbeda. Kini hanya Hatta yang menentang proklamasi segera:
“Untuk pertama kali, pada kesempatan ini ingin saya nyatakan, bahwa saya sudah lama merasa ikut berdosa karena sudah ambil bagian aktif dalam gerakan memaksa Hatta menandatangani Proklamasi 17 Agustus 1945. Hatta sudah sejak semula secara ngotot menentang pencetusan Revolusi Agustus. Ia menggantungkan kemerdekaan Indonesia sepenuhnya pada rahmat Saikoo Sikikan (Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Indonesia) yang tidak kunjung tiba itu.”[39]
3) Revolusi akan menciptakan semacam tekanan pada kaum kapitalis, menjinakkan mereka dan membuat transisi ke sosialisme damai.
Reporter untuk majalah Far Eastern Review jelas memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai perjuangan kelas ketimbang Aidit. Dia cukup tajam untuk bertanya pada Aidit apa yang akan terjadi bila kaum kapitalis nasional mengembangkan karakter kelas dan menentang sosialisme. Aidit menjawab: “Pengaruh kekangan [dari tahapan revolusi sekarang] akan mempertahankan semacam tekanan revolusioner terhadap kaum kapitalis nasional Indonesia.” Dia akan segera menemukan bahwa revolusi tidak “mengekang” kaum kapitalis nasional. Justru sebaliknya. Gerakan massa revolusioner, seperti yang kita saksikan selama periode 1955-65, dapat menghantam kelas penguasa dan membuat mereka kacau balau untuk sementara, memaksanya untuk mundur dan memberi beberapa konsesi untuk sementara, tetapi ini tidak akan pernah meredam insting kelas mereka. Segera setelah “pengaruh kekangan” revolusi reda, kaum borjuasi akan memukul balik dengan kejam untuk memastikan agar rakyat tidak akan pernah lagi berani mengutarakan kata “revolusi”.
Apa yang Aidit tolak untuk pahami adalah sebuah periode revolusioner tidak akan berlangsung selamanya, untuk alasan yang sama kalau sebuah masyarakat tidak bisa terus dalam bara panas perjuangan kelas setiap saat. Rakyat pekerja tidak bisa terus menerus dalam kondisi mobilisasi siang malam setiap harinya. Mereka harus bisa melihat bahwa perjuangan ini akan berakhir dalam perubahan fundamental yang lebih baik untuk kehidupan mereka. Pada kenyataannya, sungguh luar biasa massa rakyat bisa berada dalam kondisi revolusi selama hampir satu dekade. Tragedi mereka adalah kepemimpinan mereka tidak mampu membawa mereka ke kesimpulan akhir revolusi, yakni perebutan kekuasaan. Oleh karena itu, walaupun revolusi mampu menekan kapitalis dan memaksa mereka mundur, segera setelah mereka berhimpun kembali dan pulih dari kekacauan yang mereka derita, dan segera setelah revolusi mulai kehilangan momentum, seluruh proses revolusi akan berbalik arah dengan cepat dan keras.
Kepercayaan Aidit yang abadi terhadap borjuasi nasional progresif membuatnya harus memelintir teori Marxis. Agar tidak membuat takut borjuasi, dia harus meyakinkan tidak hanya mereka tetapi juga dirinya sendiri dan seluruh kelas buruh akan jalan damai menuju sosialisme. Dalam waktu setahun setelah wawancara di atas, perjuangan bersenjata memang akhirnya meledak. Tetapi ini ternyata adalah perjuangan bersenjata yang berat sebelah, dimana senjata terkonsentrasikan di tangan kelas penguasa, dan di sisi lain, buruh dan tani tidak bersenjata dan tidak siap, dan digiring ke tempat penyembelihan dalam jumlah jutaan tanpa bisa menawarkan perlawanan.
6. Biro Khusus dan Revolusi Istana
Dari penyangkalan terhadap perjuangan revolusioner untuk sosialisme, yang kini telah digantikan dengan “konsultasi bersahabat” dengan borjuasi nasional, secara alami ini mengalir ke gagasan bahwa satu-satunya metode perjuangan yang bisa diterima adalah manuver politik yang cerdik di atas.
Terlebih lagi, karena kelas buruh telah diikat oleh kesetiaan mereka pada front popular dengan borjuasi nasional, dan telah dilarang untuk mengambil kekuasaan, maka peran mereka sekarang dibatasi ke menghadiri demo-demo massa dengan segala kemeriahannya.
Buruh dan tani telah diberi instruksi untuk tidak melakukan aksi langsung yang melampaui “revolusi demokratik nasional”, atau yang dapat memberi kesan kalau mereka ingin mengambil kekuasaan atau menakut-nakuti borjuasi nasional. Aksi-aksi massa seperti pemogokan, okupasi pabrik, okupasi tanah, pengorganisasian milisi buruh untuk pertahanan diri, dsb., dilarang.
Siapapun yang hidup pada 1960an akan merasa takjub melihat kemampuan PKI untuk menggelar demo-demo massa dengan puluhan ribu orang, kapanpun mereka inginkan. Tetapi demo-demo massa ini ternyata hanyalah macan kertas. Mereka lebih seperti festival besar, untuk perayaan semata. Mereka diorganisir untuk memperagakan kekuatan PKI guna membantu manuver politik PKI di atas, bukan sebagai pemeragaan kekuatan untuk kelas buruh agar mereka menyadari kekuatan mereka sendiri dan kemampuan mereka untuk merebut kekuasaan. Bukankah Internasional Kedua juga mengorganisir demo-demo massa dengan puluhan atau ratusan ribu orang sebelum akhirnya mengkhianati rakyat dengan mendukung Perang Dunia Pertama?
Bayangkan pemandangan ini. Pada 23 Mei, 1965, di stadion terbesar Indonesia, Gelora Bung Karno, yang dapat menampung 110.000 orang duduk, PKI merayakan hari jadinya yang ke-45. Stadion penuh. Sekitar 100.000 peserta lainnya yang tidak bisa masuk ke stadion berkumpul di lapangan parkir dan jalan-jalan sekitarnya. Bendera-bendera merah dan baliho-baliho Marx, Engels, dan Lenin berjejeran di jalan-jalan Jakarta. Sungguh ini adalah pemandangan yang luar biasa. Dan tiga minggu sebelumnya, di stadion yang sama, PKI merayakan May Day dengan cara yang sama. Kelas penguasa menyaksikan vergadering-vergadering massa komunis ini dengan rasa takut. Tetapi peristiwa akan membuktikan nantinya bahwa kelas penguasa dapat mengandalkan para pemimpin PKI, dengan teori mereka yang keliru, untuk menahan gerakan dari memenangkan kekuasaan. Ini terkonfirmasikan ketika PKI, dengan jutaan anggota, remuk jadi debu tanpa perlawanan di hadapan reaksi.
Pada 1965, atmosfer politik sudah mencapai titik didih. Semua orang bisa merasakan kalau pertempuran akhir akan datang. Revolusi atau kontra-revolusi ada di agenda. Joesoef Isak, seorang jurnalis terkemuka yang dekat dengan PKI, 2 bulan sebelum G30S, dikabari oleh partai lewat sumbernya bahwa sesuatu yang besar akan segera terjadi:
“Saya diberi tahu, bahwa sebentar lagi seluruh situasi akan berubah. Saya mengerti itu artinya akan terjadi suatu gerakan hebat. Akan ada pukulan terakhir. Saya tetap mengganggu partai [maksudnya pemberi informasi, Nursuhud], dengan menanyakannya, “Kapan? Kamu bilang sebentar lagi.” Baiklah, satu minggu sudah liwat, satu bulan, masih tidak terjadi apa-apa. Saya tetap mencari-cari partai, menanyakan kapan. … Partai mengatakan pada saya, “Kita akan melancarkan aksi-aksi revolusioner sepenuhnya sampai mencapai puncak. Kita akan menghabisi kaum kapitalis birokrat dan kaum kontra-revolusioner.” Saya bertanya, “Bagaimana cara kamu akan melakukannya?” “Turun ke jalan-jalan,” begitulah cerita yang disampaikan pada saya. “Turun ke jalan-jalan. Kita akan pergi langsung masuk ke kantor-kantor para menteri, para dirjen departemen-departemen pemerintah, dan menangkap mereka. Kita akan mengambil Wakil Perdana Menteri III Sukarno, Chairul Saleh, dan melemparnya ke kali Ciliwung.”[40]
Jadi, seluruh masalah momen penentuan dalam revolusi dijawab dengan seruan remeh temeh untuk “turun ke jalan-jalan” dan “melempar” pejabat ke kali. Tetapi tentu saja Isak dan kaum buruh akan menemukan dengan cepat bahwa tidak akan ada yang turun ke jalan-jalan, dan tidak akan ada pejabat yang dilempar ke kali. Sesungguhnya tidak ada rencana sama sekali yang melibatkan massa, dan inilah mengapa jawaban dari partai tampak seenaknya. Justru buruhlah yang dalam jumlah ratusan ribu yang akan digiring ke kamp-kamp konsentrasi dan mayat mereka dilempar ke sungai, begitu banyaknya sampai sungai-sungai Jawa tersumbat.
Ini sungguh mengingatkan kita pada demagogi revolusioner para pemimpin Internasional Kedua. Pada tahun-tahun sebelum pecahnya Perang Dunia Pertama, Internasional Kedua dan banyak seksi-seksi nasionalnya menelurkan banyak resolusi dan pernyataan yang menentang perang imperialis, yang mengumumkan bahwa mereka akan mengubah perang imperialis menjadi perang kelas untuk menumbangkan pemerintah. Kongres Internasional Kedua di Basel pada November 1912 merilis sebuah manifesto yang menyatakan: “Bila perang pecah, tugas mereka adalah mengintervensi agar perang ini berhenti secepat mungkin dan mengerahkan seluruh kekuatan mereka untuk menggunakan krisis ekonomi dan politik yang disebabkan oleh perang ini untuk membangkitkan massa dan mempercepat runtuhnya kekuasaan kapitalis.” Pernyataan ini ternyata seperti tong kosong nyaring bunyinya. Pada momen kebenaran pada 1914, Internasional Kedua tunduk pada tekanan sauvinis dan membuka jalan ke pembantaian terbesar yang pernah disaksikan kelas buruh.
Pada kenyataannya, para pemimpin reformis Internasional Kedua telah mencampakkan gagasan revolusi, gagasan mengambil kekuasaan, dan oleh karenanya harus menutupi kepengecutan reformis mereka dengan ujar-ujar revolusioner yang terdengar gagah tetapi sesungguhnya hampa. Ini tidak berbeda dengan ujar-ujaran revolusioner PKI yang hampa, yang digunakan untuk menutupi politik reformis mereka dan penolakan mereka untuk memimpin buruh ke tampuk kekuasaan. Pada momen penentuan, ketika Aidit dkk. mengetahui adanya plot militer sayap-kanan, alih-alih membuat seruan terbuka ke massa untuk meluncurkan pemogokan umum dan ke tentara bawahan untuk melucuti para perwira reaksioner, mereka justru memilih jalan revolusi istana. Aidit memobilisasi organisasi klandestinnya, yang dikenal sebagai Biro Khusus, untuk menculik dan secara fisik menyingkirkan jendral-jendral anti-komunis.
Biro Khusus (BK) adalah organisasi klandestin PKI yang bertanggungjawab menyusupi militer. Dikenal dalam partai sebagai Departemen Organisasi Seksi Militer, BK ditugaskan untuk merekrut anggota-anggota militer, membangun jaringan perwira-perwira militer yang simpati pada PKI, dan mengumpulkan informasi intelijen penting dari mereka. Karena kerahasiaan tugasnya, detail bagaimana BK berfungsi dan anggota-anggotanya hanya diketahui oleh Aidit dan beberapa anggota di kepemimpinan atas.
Tidak ada yang salah secara prinsipil untuk memiliki unit kerja klandestin. Manuver dan trik adalah bagian dari politik bila kita ingin melawan musuh kelas kita. Kita bukanlah revolusioner yang naif. Tetapi ada bahaya dalam manuver politik bila kita melupakan kelas buruh sebagai kekuatan penggerak revolusi. Leon Trotsky menulis mengenai penggunaan tipu daya dalam Revolusi Oktober:
“Menggunakan tipu daya dalam politik, apalagi dalam revolusi, adalah sesuatu yang selalu berbahaya. Kemungkinan besar kamu akan gagal menipu musuhmu, tetapi massa yang mengikutimu justru bisa-bisa yang tertipu. ‘Tipu daya’ kita terbukti 100 persen sukses – bukan karena tipu daya ini adalah sebuah skema licik yang dirancang oleh para ahli strategi ulung yang berusaha menghindari sebuah perang sipil, tetapi karena ia secara alami datang dari disintegrasi rejim konsiliasionis dengan kontradiksi-kontradiksinya yang mencolok.”[41]
Revolusi Oktober adalah sebuah gerakan massa, bukan kudeta konspiratif seperti yang digambarkan oleh sejarawan borjuis. Kaum Bolshevik tidak pernah menutupi tujuannya untuk memimpin massa menuju perebutan kekuasaan secara revolusioner, dan secara terbuka mempersiapkan massa menuju tujuan tersebut. Tetapi juga ada elemen manuver, dimana kaum Bolshevik menipu musuhnya, kaum Menshevik dan Sosialis Revolusioner, “ke dalam perangkap legalitas Soviet,” dan untuk “menyinkronisasi perebutan kekuasaan dengan pembukaan Kongres Soviet Kedua”. Tetapi Trotsky menambahkan: “Mereka [kaum Menshevik dan SR] ingin ditipu dan kita menyediakan kepada mereka kesempatan yang cukup untuk memenuhi keinginan mereka ini.” Pendek kata, seperti yang Trotsky katakan di atas, tipu daya ini berhasil karena “ia secara alami datang dari disintegrasi rejim konsiliasionis dengan kontradiksi-kontradiksinya yang mencolok.”
Sebaliknya, Gerakan 30 September yang diluncurkan oleh Biro Khusus adalah “sebuah skema licik yang dirancang oleh para ahli strategi ulung yang berusaha menghindari sebuah perang sipil,” dan persis karena itulah G30S tidak hanya 100% gagal tetapi juga menjadi bencana besar. Kepemimpinan PKI melakukan segalanya untuk menunda perebutan kekuasaan oleh rakyat pekerja, menunda perjuangan kelas atas nama perjuangan nasional, “menghindari perang sipil”. Bila PKI memobilisasi massa untuk mematahkan kekuatan anti-komunis dalam angkatan bersenjata, ini akan berarti memulai sebuah revolusi yang dapat berakhir ke perebutan kekuasaan secara revolusioner oleh kelas buruh, sebuah prospek yang tidak sesuai dengan tujuan PKI untuk menopang pemerintahan Sukarno. Maka dari itu, penggunaan BK untuk memulai G30S bukankah keputusan yang diambil Aidit secara serampangan dan tidak bertanggung jawab – seperti yang dikira banyak orang – tetapi secara alami mengalir dari seluruh program politik PKI sejak awal.
Metode Biro Khusus adalah kesimpulan logis dari kebijakan PKI untuk “secara bertahap menghapus elemen-elemen anti-rakyat dan memperkenalkan lebih banyak elemen pro-rakyat ke dalam negara.” Aidit dan tim Biro Khususnya membayangkan kalau mereka dapat menetralisir ancaman kontra-revolusioner cukup dengan menggantikan jendral-jendral anti-komunis dengan jendral-jendral yang lebih simpatik pada PKI, atau setidaknya netral. Revolusi dilihat dari sudut pandang yang teramat administratif alih-alih perjuangan antar kekuatan-kekuatan yang hidup.
Cukup berguna untuk mengkaji karakter Sjam, pemimpin Biro Khusus, pria yang dipercaya Aidit untuk meluncurkan Gerakan 30 September. Menurut seorang kader tinggi PKI, Sjam “tidak pernah membaca buku dan hampir-hampir tidak membaca bahan bacaan partai … tidak ambil pusing terhadap teori … ia bekerja dengan prinsip yang sederhana saja: membebek Aidit … Sjam adalah contoh klasik seorang apparatchik (aparat partai komunis) … [yang] mungkin akan memahami Machiavelli lebih baik ketimbang Marx.”[42] Terlebih lagi, ketika ditangkap pada 1967, setelah menyadari kalau partai yang dia layani sekarang sudah hancur, Sjam mengkhianati banyak kawan-kawannya untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Machiavellian ulung ini membenarkan kepengecutannya dan pengkhianatannya dengan mengatakan: “Tiap manusia berhak untuk mempertahankan hak hidupnya.”[43] Nasib Revolusi Indonesia ditaruh di tangan apparatchik yang filistin, bodoh, dan penakut ini. Namun Sjam hanyalah figur aksidental yang mengekspresikan keniscayaan, sebuah keniscayaan yang katastropik yang dipersiapkan oleh puluhan tahun vulgarisasi Stalinis terhadap Marxisme. Filistinismenya, kebodohannya, dan kepengecutannya hanyalah cerminan nyata dari teori Stalinis revolusi-dua-tahap dan blok empat kelas.
7. Pembantaian: Trauma multi-generasi
Pembantaian 1965 di Indonesia adalah salah satu peristiwa paling kejam dalam sejarah manusia. Dari akhir 1965 sampai pertengahan 1966, ratusan ribu orang yang dituduh berafiliasi langsung atau tidak langsung dengan PKI diciduk oleh tentara dan milisi reaksioner, dan lalu dieksekusi. Kuburan-kuburan massal berserakan di seluruh Indonesia, terutama di Jawa dan Bali. Perkiraan jumlah yang mati berkisar dari 100,000 sampai 2 juta, dengan konsensus di antara sejarawan kalau jumlah yang dibantai lebih dekat ke 500.000. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Robert Cribb dalam penelitiannya “How many deaths?”[44] estimasi setengah juta ini dicapai sepenuhnya dari “pertimbangan moderat yang tidak ada sangkut pautnya dengan akurasi dan semua ini hanya dari kehormatan ilmiah dan personal” dan estimasi tersebut dipilih karena “tampak menunjukkan keprihatinan yang serius tanpa membutuhkan rasa geram.” Tetapi hanya rasa geram yang cocok untuk menanggapi kekalahan gerakan kelas buruh yang berdarah-darah ini.
Letjen Sarwo Edhie Wibowo, yang memimpin Operasi Penumpasan, dilaporkan mengakui bahwa dia memimpin pembunuhan tiga juta anggota PKI. Angka ini mungkin saja dilebih-lebihkan, dengan tujuan mengintimidasi rakyat kalau tentara mampu melakukan kekejaman yang teramat brutal terhadap orang-orang yang melawan mereka. Tetapi angka in bukan tanpa dasar. PKI adalah partai dengan jumlah jutaan anggota, dengan akar yang dalam di berbagai lapisan rakyat pekerja. Sebelum kehancurannya, PKI mengklaim memiliki 3 juta anggota. Di bawah sayapnya adalah sejumlah kelompok front dengan karakter massa: Pemuda Rakyat dengan 1,5 juta anggota; SOBSI dengan 3,8 juta anggota (dari 7 juta buruh terorganisir); BTI dengan 5 juta anggota; dan Gerwani dengan 750 ribu anggota.[45] Pendek kata, sekitar 1 dari 10 orang Indonesia terhubungkan dengan satu cara atau yang lain dengan PKI, dan untuk mencabut sampai ke akar-akarnya partai ini dan pengaruhnya memang dibutuhkan semacam pembantaian genosida.
Terlebih lagi, untuk menghancurkan partai komunis terbesar di dunia di luar Tiongkok dan Uni Soviet dibutuhkan kekejaman yang teramat khusus. Dibutuhkan pembantaian yang dapat menghasilkan trauma multi-generasi, untuk mengingatkan kelas buruh bahwa inilah harga yang harus mereka bayar karena berani berdiri menantang kapitalisme. Bukan hanya jumlah besar saja yang dibutuhkan untuk mengintimidasi buruh dan tani, tetapi juga metode pembantaiannya dipilih dengan cermat. Kisah-kisah mengerikan banyak ditemui di desa-desa dimana pembantaian ini terjadi: mayat ditumpuk tinggi di rakit, alat kelamin orang komunis dipaku di depan toko-toko, pemancungan, dsb. Tentara dan milisi-milisi reaksioner sangat inovatif dalam membunuh kaum komunis.
Sebuah berita pada Agustus 1966 oleh jurnalis dan sejarawan Australia yang terkenal, Frank Palmos, salah satu orang asing pertama di dunia yang menyaksikan pembantaian ini, melaporkan:
“Setidaknya 800.000 orang dibunuh di wilayah yang diinvestigasi. Di ‘basis segitiga’ PKI di Boyolali, Klaten dan Solo, hampir sepertiga populasi mati atau menghilang. Agak lebih timur, di radius 12-mil sekitar Kediri, pembantaian ‘sangatlah tinggi’. ‘Jumlah pembunuhan yang mengejutkan’ terjadi di residen Banyumas, yang terletak di tengah pulau Jawa.”
Laporan berita ini melanjutkan:
“Para peneliti menambahkan poin-poin ini, yang ada dalam berbagai laporan rinci tetapi belum dirapikan: ‘Kebanyakan pembunuhan dilakukan oleh kelompok-kelompok pemuda militan, yang acap kali ditunjuk oleh pihak otoritas militer atau desa. Para pemuda ini dipersenjatai dan didukung oleh ‘otoritas-otoritas’ ini, dan di wilayah ‘segitiga’ mereka diberi pelatihan bersenjata. Sekelompok algojo yang ampuh ditemukan. Seorang pemuda yang diwawancarai mengaku membunuh 135, dan setelah itu ‘hilang hitungan’. Pemancungan adalah cara pembunuhan yang paling biasa, tetapi untuk eksekusi skala besar biasanya ditembak. Pembunuhan biasanya dilakukan larut malam, jauh dari desa-desa dimana korban tinggal. Walaupun ribuan perempuan dibunuh, ‘hampir tidak ada’ yang diperkosa atau dilecehkan sebelum dibunuh.”[46]
Laporan yang belakangan ini mengenai tidak adanya pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap kaum perempuan di kemudian hari dibuktikan keliru oleh testimoni-testimoni penyintas pembantaian. Hari ini telah dibuktikan tanpa ragu bahwa kekerasan seksual adalah realitas bagi mayoritas korban perempuan, dimana ini digunakan sebagai metode intimidasi.
Satu lagi laporan dari Robert Macklin, jurnalis dari koran Australia The Age, memberi gambaran rinci pembantaian yang disaksikan oleh dia dan istrinya di Denpasar, Bali:
“Teriakan seorang laki-laki dan berkumpulnya anak-anak sekolah dari taman bermain di dekat sana menarik perhatian kami ke markas tentara. Seorang Komunis sedang diinterogasi di halaman depan, di Denpasar, ibukota Bali, Indonesia. Kami berdiri diam bersama dengan anak-anak itu, menyaksikan laki-laki tersebut dipukuli dan diseret keluar …”
“Kami tidak tahu berapa orang Komunis yang dibunuh tetapi jelas bahwa Komunisme sebagai kekuatan politik di Indonesia setidaknya untuk sekarang sudah berakhir. Cara mereka disingkirkan sangat brutal. Kami menyaksikan empat desa dimana semua laki-laki dewasa telah dibunuh. Kami menyaksikan sejumlah truk dengan orang-orang desa yang kembali ke bukit, setelah sebelumnya dibawa ke markas tentara dimana mereka diberi jatah orang Komunis untuk dibunuh. Kami menyaksikan kuburan-kuburan massal, di dalamnya kira-kira 10 orang laki-laki dan perempuan Komunis ditumpuk setelah ditusuk sampai mati. Kami menyaksikan ratusan rumah yang telah dibakar sampai hangus.”[47]
Sejak jatuhnya Suharto, sudah banyak sekali laporan kekejaman 1965-66 yang didokumentasi, dan laporan-laporan ini bukan untuk orang yang berhati lemah. Kelas penguasa dari semua epos selalu bertindak kejam pada orang-orang yang berani melawan mereka. Kekaisaran Romawi, setelah menumpas pemberontakan budak Spartakus, menyalib 6.000 budak di sepanjang 200 kilometer Jalan Appian yang menghubungkan Roma dengan Capua. Kaum Komunard Paris dieksekusi dalam jumlah ribuan. Vae Victis! – Terkutuklah mereka yang kalah! Sejarah masyarakat kelas berlumuran darah orang-orang yang ditindas dan kalah.
Penumpasan PKI dan pembantaian yang menyertainya adalah kemenangan besar bagi kekuatan imperialisme, karena revolusi Indonesia ada di garis depan gerakan melawan imperialisme AS. Indonesia adalah kartu domino terbesar dan paling menentukan di Asia Tenggara. Dengan tersingkirnya PKI, ancaman gelombang komunis di wilayah tersebut menjadi sangat berkurang. Majalah Time melaporkannya sebagai “berita terbaik di Asia untuk Barat selama bertahun-tahun,” sementara The New York Times memuat tajuk “Secercah sinar di Asia”. Perdana Menteri Australia dari Partai Liberal pada saat itu, Harold Holt, merangkum sentimen yang dirasakan oleh semua pemimpin dunia ketika dia berbicara di depan kolega-koleganya di River Club New York pada Juli 1966: “Dengan 500 ribu sampai 1 juta simpatisan Komunis tersingkirkan, saya pikir cukup aman untuk berasumsi bahwa reorientasi telah terjadi.”[48]
PKI tidak pernah siap untuk revolusi, dan untuk alasan tersebut PKI juga tidak siap menghadapi kontra-revolusi. PKI benar-benar lumpuh di hadapan reaksi. Gelombang kekerasan yang menelan anggota-anggota PKI di seluruh penjuru negeri tidak menemui perlawanan sama sekali, kecuali di beberapa basis PKI yang terisolasi.
Melihat gagalnya Gerakan 30 September, Aidit segera meninggalkan Jakarta dan terbang ke Jawa Tengah, yang merupakan basis terkuat partai. Tetapi dia tidak memberikan instruksi apapun kepada partai. Dia tetap di bawah tanah dan tidak memberikan komunikasi apapun, sampai penangkapannya dan eksekusi langsungnya 2 bulan kemudian. Aidit dengan sabar menunggu Sukarno untuk menstabilkan situasi, yang sesuai dengan program partai untuk tetap berada di bawah perlindungannya. Sekali lagi, Aidit takut menyerukan kepada massa untuk melakukan aksi massa melawan angkatan bersenjata. Dia bisa saja menyerukan kepada buruh rel kereta api untuk menghentikan kereta-kereta yang mengangkut pasukannya Suharto; ke buruh mekanik untuk menyabotase jip, truk dan tank tentara; ke kaum tani untuk memblokir jalan-jalan ke dan dari barak tentara; ke anggota partai dan buruh untuk membentuk milisi-milisi pertahanan diri dan mempersenjatai diri mereka; ke tentara bawahan yang simpati pada PKI untuk membangkang dan menolak perintah atasan mereka. Dengan seruan-seruan semacam ini pasukan Suharto akan meleleh. Tetapi semua ini akan berarti bergerak ke ofensif, yang akan melampaui batas-batas revolusi demokratik nasional dan menuju kediktatoran proletariat. Ini akan berarti “Trotskisme”, sebuah dosa terbesar di mata kaum Stalinis.
Pemimpin-pemimpin PKI lainnya juga sama lumpuhnya. Njoto dan Lukman – anggota Politbiro – bertemu dengan Sukarno di pertemuan kabinet pada 6 Oktober. Sukarno memohon PKI untuk tetap tenang, dan dia akan – dengan cara Bonapartis seperti biasanya – menangani semua problem yang ada dan melindungi PKI dari angkatan bersenjata. Permohonan agar PKI tetap tenang berarti PKI jangan menyerukan pada rakyat untuk melawan Teror Putih yang telah diluncurkan oleh Suharto dan tentaranya. Njoto dan Lukman, dan seluruh barisan kepemimpinan PKI, berharap Sukarno dapat menggunakan otoritasnya untuk mengekang Suharto, tetapi ternyata sang kaisar tidak mengenakan baju.
Sehari sebelum pertemuan kabinet ini, Politbiro PKI telah mengeluarkan statemen “yang menyatakan dukungannya terhadap panduan-panduan yang dikeluarkan oleh Sukarno untuk menyelesaikan masalah ini dan menyerukan kepada semua anggota dan pendukung untuk membantu menjalankan panduan-panduan dalam pesan Presiden.”[49] Jadi, sementara tentara dan milisi reaksioner tengah menciduk kaum Komunis, kepemimpinan PKI menginstruksikan rakyat untuk mematuhi Sukarno, dan yang belakangan meminta rakyat untuk tetap tenang, yang secara efektif melucuti mereka. Sebagai konsekuensinya, pada bulan-bulan pertama, banyak kaum Komunis yang secara sukarela menyerahkan diri mereka ke markas-markas tentara dan stasiun polisi karena mereka percaya Sukarno akan melindungi mereka. Mereka mempercayai semua pernyataan dari pemimpin mereka dan Sukarno, bahwa PKI sebagai sebuah institusi tidak ada sangkut pautnya dengan Gerakan 30 September, dan oleh karenanya bila mereka tidak bersalah maka tidak ada alasan untuk bersembunyi. Mereka tidak menyangka akan ditahan untuk waktu yang lama dan lalu menghilang tak berbekas.
Satu per satu, pemimpin-pemimpin PKI mulai bersembunyi sembari berharap Sukarno akan membereskan masalah ini seperti sebelumnya, sebagai penengah yang mereka percayai. Kepemimpinan PKI secara efektif menghilang. Jutaan rakyat yang mengikuti PKI tidak bisa bersembunyi begitu saja dan kebingungan karena ketiadaan kepemimpinan. Kesaksian berikut dari seorang anggota PKI dan istri seorang fungsionaris Komite Pusat memberikan contoh yang ilustratif bagaimana lumpuhnya partai dan kader-kader mereka:
“Setelah 30 September, kami terus melanjutkan pekerjaan kami secara biasa untuk beberapa hari selanjutnya, tetapi tidak ada seorangpun yang kami temui yang dapat memberitahu kami apa yang telah terjadi atau apa yang harus kami lakukan. Seiring dengan memburuknya atmosfer di Jakarta, kami duduk saja di rumah dan menunggu instruksi. Suami saya tidak diberikan panduan apapun apa yang harus kami lakukan bila keadaan memburuk. Kami tidak menyangka situasi akan menjadi begitu parah; kami mengira ini akan jadi kemunduran bagi partai tetapi pada akhirnya semua akan dibereskan oleh Sukarno.”
“Inilah mengapa partai luluh lantak. Tidak ada perintah, dan tidak ada seorangpun yang tahu harus ke siapa atau siapa yang bisa dipercaya, karena penangkapan sudah dimulai dan kami tahu sudah ada pengkhianatan-pengkhianatan … [Pemimpin Partai] mengirim pesan agar kami menunggu.”[50]
Dan mereka menunggu dan menunggu untuk diselamatkan, dan satu-satunya hal yang tiba adalah giliran mereka untuk disembelih. Bila ini yang dirasakan oleh seorang fungsionaris partai di Jakarta, kita bisa bayangkan kebingungan total yang dirasakan oleh ratusan ribu anggota akar-rumput PKI di daerah dan jutaan buruh dan tani yang bukan anggota tetapi mendukung PKI. Mereka dicekoki ilusi bahwa “pada akhirnya semua akan dibereskan oleh Sukarno,” sebuah ilusi yang mengikat tangan dan kaki mereka, untuk diserahkan ke sang algojo Suharto.
Pada pertemuan kabinet yang sama, Sukarno meminta agar semua koran, termasuk koran PKI Harian Rajat, harus diperbolehkan melanjutkan penerbitan mereka. Militer menolak ini. Dan dengan penolakan ini, angkatan bersenjata menunjukkan siapa yang sesungguhnya memegang kekuasaan. Selama dua tahun selanjutnya kita saksikan berulang kali cerita yang sama: Sukarno membuat statemen bombastis dari istana kepresidenannya, dengan gayanya yang seperti biasa, mengeluarkan perintah-perintah tegas dengan tujuan mengembalikan otoritasnya dan melemahkan angkatan bersenjata, dan staf jendral angkatan bersenjata dengan mudah mengabaikannya dan memperkuat posisi mereka selangkah demi selangkah. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh “Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Nasional”. Pada Maret 1967, dia secara resmi menyerahkan kekuasaannya kepada Suharto, kekuasaan yang sudah secara de facto tidak dia miliki setelah G30S. Sukarno hanya dipertahankan sebagai presiden dalam titel saja, cukup lama untuk meninabobokan dan melucuti kaum komunis.
Besarnya kekalahan proletariat Indonesia tidak hanya terletak dalam fakta kebrutalan pembantaian yang dilakukan oleh militer, tetapi juga – dan mungkin lebih penting – dalam kelumpuhan dan ketidakmampuan kepemimpinan PKI untuk menawarkan perlawanan. Kapitulasi PKI pada borjuasi nasional telah menghancurkan kewaspadaan kelas dan kemampuan juang kelas proletariat. Demo-demo massa yang sering kali digelar pada tahun-tahun sebelum G30S ternyata hampa dan hanya untuk peragaan semata.
Banyak yang bisa kita katakan mengenai mesin teror dan propaganda Orde Baru yang sistematis dalam mencuci otak rakyat, yang menciptakan tabu anti-komunis yang begitu mengakar dalam psikologi massa hari ini. Tetapi ini hanya mungkin karena kekecewaan besar rakyat terhadap PKI, yang kebijakan kelirunya menggiring jutaan orang ke penjagalan. Kebijakan keliru dari kepemimpinan PKI bertanggung jawab atas ternodanya panji komunisme di mata rakyat pekerja Indonesia selama bergenerasi, rakyat pekerja yang sebelumnya mengharapkan kemenangan revolusi dan bukannya reaksi berlumuran darah.
9. Kebuntuan Otokritik Sudisman
Partai memperkuat dirinya dengan belajar dari kesalahannya. Bahkan setelah menderita kekalahan besar, sebuah partai masih dapat mempertahankan kader-kader intinya dan membangun kembali kekuatannya bila ia mampu menarik semua pelajaran yang ada dan memetakan jalan baru di situasi yang baru. Tetapi kedua hal ini tidak kita temui dalam PKI.
Sudisman, salah satu pemimpin utama PKI yang berhasil menyusup ke bawah tanah sebelum ditangkap pada 1967, menulis dokumen “oto-kritik”[51] selama dalam persembunyian. Dokumen ini secara tepat mengakui salah satu kesalahan utama kepemimpinan PKI, yang termasuk dia sendiri, yakni “menyerahkan nasib Partai dan gerakan revolusioner pada kebijaksanaan Presiden Sukarno.” Ini benar, tetapi Sudisman masih memandang 100% benar kebijakan membentuk front persatuan dengan borjuasi nasional. Sudisman mengulang berkali-kali bahwa partai masih harus “senantiasa berusaha menarik borjuasi nasional ke pihak revolusi.” Dia membayangkan bahwa mungkin bagi proletariat untuk membentuk front persatuan dengan borjuasi nasional tanpa melemahkan kemandirian kelasnya. Apa yang dia tidak pahami adalah supaya bisa “menarik borjuasi nasional sebagai sekutu tambahan dalam Revolusi Demokrasi Rakyat” kaum proletariat dan partainya harus menundukkan perjuangan kelas di bawah kepentingan kelas borjuasi. Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan.
Satu-satunya solusi bagi problem-problem masyarakat Indonesia adalah perjuangan menuju kediktatoran proletariat di bawah panji kemandirian kelas, yang menarik di belakangnya kaum tani miskin. Kaum buruh harus diajarkan untuk tidak pernah mempercayai kaum borjuasi dan menjaga panji mereka terpisah dari musuh-musuh kelas mereka. Inilah pelajaran yang seharusnya ditarik oleh PKI, tetapi sayangnya Sudisman, sebagai satu-satunya anggota senior Politbiro yang selamat pada saat itu, bahkan tidak bisa melihat ini.
Sudisman lalu berpaling ke apa yang dia pikir sebagai kelemahan organisasional yang menyebabkan “oportunisme Kanan” mendominasi partai: “adanya sikap kurang kritis baik dalam Politbiro, CC maupun badan-badan Partai lainnya terhadap pimpinan.”; “ada kekurangan keberanian dalam menyatakan sikap yang tidak menyetujui garis pimpinan”; dan “kekurangan kebebasan menyatakan pikiran dan perasaan kader-kader.” Tetapi semua ini adalah kondisi-kondisi alami dari sebuah partai yang dididik dan dibesarkan dalam metode Stalinisme. Para pemimpin partai-partai Komunis di seluruh dunia tidak bisa berpura-pura tidak tahu kalau Stalin dan Mao Zedong, yang mereka sanjung sebagai pilar Marxisme-Leninisme, adalah pemimpin yang menggunakan metode kasar pemecatan, intimidasi, dan pemusnahan secara fisik untuk berurusan dengan siapapun yang berani mengkritik kebijaksanaan kepemimpinan partai. Metode-metode ini bukanlah metode Bolshevisme sejati dari partainya Lenin dan Trotsky, dengan demokrasi internal yang sehat dimana perbedaan pendapat yang tajam diperdebatkan secara terbuka, tanpa rasa takut akan persekusi. Metode-metode Stalinis telah diekspor ke setiap Partai Komunis di seluruh penjuru dunia selama puluhan tahun, yang lalu menyeleksi pemimpin-pemimpin partai yang tidak lebih dari pemanut yang tidak kritis, yang birokratik dalam menghadapi setiap perbedaan pendapat. Dalam barisan pemanut ini salah satunya adalah Sudisman, yang selama puluhan tahun tidak pernah sekalipun “menyatakan sikap yang tidak menyetujui” Aidit, tetapi sekarang tiba-tiba menemukan kepemimpinan partai telah melakukan kekeliruan dalam semua masalah fundamental. Refleksi macam ini sungguh sangat murah.
Sudisman kini menuntut demokrasi partai, untuk “menjadikan masalah usaha-usaha pokok, bentuk perjuangan pokok revolusi Indonesia sebagai persoalan seluruh Partai … [dan bukan hanya] persoalan sebagian kecil di kalangan pimpinan dan kader-kader tertentu Partai.” Tetapi demokrasi partai bukanlah sebuah sumur kebijaksanaan yang bisa ditimba kapan saja. Demokrasi partai juga bukan obat mujarab yang bisa dipanggil seenaknya untuk memperbaiki kesalahan kepemimpinan. Bila kepemimpinan telah menempuh jalan yang keliru, dan dengan demikian menarik seluruh partai di belakang mereka ke jalan yang sama, maka konyol untuk berharap kalau demokrasi partai dapat dengan segera menyediakan jalan yang tepat. Ini tidak lebih dari demokratisme yang vulgar. Partai dapat pecah dari kesalahan-kesalahan kepemimpinan lama hanya bila partai telah mewarisi dari periode sebelumnya kader-kader revolusioner yang kuat yang dapat berdiri menentang kepemimpinan lama. Kepemimpinan yang baru tidak bisa diimprovisasi sekehendak hati, tetapi adalah hasil dari perjuangan panjang dalam partai dan rejim internal partai yang sehat, yakni dua hal yang tidak dimiliki oleh semua partai Stalinis.
Dokumen “oto-kritik” ini kemudian memetakan jalan baru untuk partai, dan jalan baru ini adalah bencana seperti jalan lama, dan tidak memiliki koneksi dengan realitas sama sekali. Sudisman menyerukan pada anggota-anggota partai untuk memulai mengorganisir perjuangan tani bersenjata, sesuai dengan garis tentara tani Maois, dan memusatkan perhatian mereka untuk “mengubah desa-desa Indonesia yang terbelakang menjadi benteng-benteng revolusi yang besar dan terkonsolidasi baik secara militer, politik dan kebudayaan,” atau zona-zona soviet. Dengan cara zig-zag seperti biasa, yang merupakan karakteristik semua Stalinis, setelah jari mereka terbakar oleh kebijakan oportunis “jalan damai menuju sosialisme” kepemimpinan kini berayun ke arah sebaliknya dan mengadopsi kegilaan ultra-kiri “perjuangan tani bersenjata.” Ini tidak pernah menjadi kenyataan sama sekali. Organisasi-organisasi partai di daerah pedesaan telah hancur dan penduduk desa telah dimobilisasi oleh reaksi untuk memusuhi PKI. Justru di daerah pedesaan kita temui pembantaian dengan kekejaman luar biasa. Tugas ke depan seharusnya adalah mundur secara teratur, perlahan-lahan mengorganisir kembali organisasi-organisasi partai di bawah tanah yang akan membuka peluang membangun kerja legal dan semi-legal di antara massa, dan mengedepankan slogan-slogan demokratik untuk melawan rejim kediktatoran militer (kebebasan pers, pemilu bebas, kebebasan berserikat buruh, dsb.) sementara mempertahankan kemandirian kelas buruh dan mengekspos ilusi konstitusional dan demokratik dari kaum reformis borjuis-kecil.
Sudisman juga meremehkan cakupan kontra-revolusi yang tengah berkecamuk:
“ Diktator militer jenderal-jenderal kanan AD yang kini berkuasa adalah juga macan kertas. Nampaknya saja mereka kuat dan menakutkan, tetapi mereka sebenarnya lemah, karena tidak didukung bahkan ditentang oleh Rakyat.”
Militer telah menang secara menentukan. Dengan darah ratusan ribu kader Komunis di tangannya, mereka adalah macan yang riil, bukan macan kertas. Melalui mesin propaganda mereka yang sistematis, militer telah memobilisasi selapisan besar rakyat untuk memusuhi PKI. Periode ke depan adalah periode stabilisasi ekonomi dan politik. Karena percaya dengan fantasi bahwa musuh lemah, Sudisman membayangkan dia dapat membangkitkan semangat anggota-anggota partai yang telah patah semangat. Dia melanjutkan fantasinya dengan membuat pernyataan konyol ini:
“Ditinjau dari strategi, kaum imperialis dan kaum reaksioner lainnya adalah lemah, dan karena itu kita harus meremehkannya. Dengan meremehkan musuh secara strategi dapat ditimbulkan keberanian untuk melawannya dan keyakinan untuk mengalahkannya. … Pembunuhan dan penyiksaan secara kejam dan biadab terhadap ratusan ribu Komunis dan demokrat dan yang sampai sekarang terus mereka lakukan, tidak akan dapat membendung kebangkitan dan perlawanan Rakyat beserta kaum Komunis. Sebaliknya segala kekejaman dan kebiadaban itu pasti menimbulkan perlawanan setimpal dari Rakyat.” (Penekanan kami)
Pembantaian ratusan ribu kader Komunis telah menimbulkan trauma multi-generasi, sebuah syok historis atas kesadaran rakyat. Ini tidak membangkitkan rakyat untuk “perlawanan setimpal” tetapi menyebabkan demoralisasi untuk puluhan tahun ke depan.
Dokumen “oto-kritik” ini menyegel nasib PKI sebagai partai revolusioner proletariat. Alih-alih mengoreksi kesalahan sebelumnya, ia justru menumpuknya dengan lebih banyak lagi kesalahan. Dokumen ini memetakan jalan baru – perjuangan tani bersenjata dan pendirian zona-zona soviet – yang tidak sesuai dengan realitas, serta meremehkan kediktatoran militer dan cakupan kekalahan yang telah diderita kelas buruh.
Generasi Marxis muda di Indonesia hari ini harus dididik dengan pelajaran dari kekalahan 1965, yakni pengkhianatan kebijakan kolaborasi kelas yang terkandung dalam front persatuan dengan borjuasi, atau yang disebut “borjuasi progresif”, yang merenggut kemandirian kelas dari kaum proletariat dan sepenuhnya melucutinya, membuatnya tidak siap untuk memimpin kemenangan revolusi dan membuka jalan ke reaksi. Kebijakan kolaborasi kelas ini datang dalam banyak bentuk dan sebutan: “front persatuan revolusioner dari semua kelas dan kelompok anti-imperialis dan anti-feodal”, “negara demokrasi rakyat”, “revolusi demokrasi rakyat”, “revolusi demokratik borjuis tipe-baru”, tetapi semua ini memiliki tujuan sama untuk melemahkan perjuangan kelas dan menundukkan kepentingan proletariat di bawah kepentingan borjuasi. Ini adalah pelajaran mahal yang dibayar oleh kelas buruh Indonesia, dan kita harus menghormati pengorbanan mereka – walaupun ini adalah pengorbanan yang sungguh tidak diperlukan, yang disebabkan oleh kepemimpinan yang berkhianat – dengan membaktikan waktu dan sumber daya yang serius untuk belajar dari pengalaman ini.
Pembangunan partai kelas buruh yang mampu memimpin rakyat pekerja ke kemenangan di Indonesia tidak bisa dilakukan tanpa pemahaman menyeluruh akan akar ideologis kekalahan 1965. Klarifikasi mengenai masalah ini adalah syarat vital bagi setiap partai revolusioner sebelum ia menetapkan tugas memimpin kelas buruh menuju sosialisme.
——————-
Catatan kaki:
[1] Roosa, John. Pretext for Mass Murder: the September 30th Movement and Suharto’s coup d’état in Indonesia. University of Wisconsin Press, 2006. hal. 13.
[2] “The Prospects for and Strategic Implications of a Communist Takeover in Indonesia”, September 1, 1965. Prepared by the CIA, National Security Agency, Defense Intelligence Agency, and the State Department’s intelligence section.
[3] McNamara, Robert. In Retrospect: The Tragedy and Lessons of Vietnam. Random House, 1995.
[4] McNamara, hal. 214-215.
[5] U.S., Department of State, Foreign Relations of the United States, 1964-68, Volume XXVII, Mainland Southeast Asia: Regional Affairs, Washington, DC, Document Number 53.
[6] Draft Memorandum from McNaughton to Robert McNamara, “Proposed Course of Action re: Vietnam,” (draft) 24 March 1965. Source: The Pentagon Papers, Gravel Edition, Volume 3, hal. 694-702.
[7] Tanter, Richard. Intelligence Agencies and Third World Militarization: A Case Study of Indonesia, 1966-1989, with Special Reference to South Korea, 1961-1989. PhD diss., Monash University (1991). hal. 146.
[8] Kano, Hiroyoshi. Indonesian Exports, Peasant Agriculture, and the World Economy 1850-2000. Athens: Ohio University Press, 2009. hal. 79, 92.
[9] Tanter, hal. 148.
[10] Adams, Cindy. Sukarno: an Autobiography. Bobbs-Merrill Company, 1965. hal. 207
[11] Engels, F. The Origin of Family, Private Property and State.
[12] “Dengan sistem partai kita mengalami kemacetan total. Itu tidak sehat; harus dirombak sama sekali. Penyakit inilah yang menyebabkan kita selalu cakar-cakaran satu sama lain. Karena itu sekarang marilah kita bersama-sama mengubur semua partai.” Dikutip dari Karim, hal. 140-141. Karim, Rusli. 1983. Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Sebuah Potret Pasang Surut. Jakarta : CV Rajawali.
[13] Mortimer, Rex. Indonesian communism under Sukarno: Ideology and politics, 1959-1965. Cornell University Press, 1974. hal. 126-127.
[14] D.N. Aidit. PKI dan ALRI. Yayasan Pembaruan, Jakarta, 1963. Ceramah Menteri/ Wakil ketua MPRS/Ketua CC PKI D.N. Aidit di hadapan para mahasiswa Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (SESKOAL) di Jakarta pada 16 Juli 1963.
[15] Mortimer, pp. 252-253.
[16] Aidit, D.N. Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia, Soal-soal Pokok Revolusi Indonesia.
Juli, 1957.
[17] Aidit, D.N. Revolusi Indonesia dan Tugas-Tugas Mendesak PKI. Laporan untuk Sekolah Partai Tinggi CC Partai Komunis Tiongkok, Peking. 2 September 1963.
[18] Aidit, D.N. Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia, Soal-soal Pokok Revolusi Indonesia.
Juli, 1957.
[19] Aidit, D.N. Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia, Soal-soal Pokok Revolusi Indonesia.
Juli, 1957.
[20] Harian Rakjat, Feb. 25, 1963. (Dikutip di Mortimer, hal. 133.)
[21] Aidit, D.N. Revolusi Indonesia dan Tugas-Tugas Mendesak PKI. Laporan untuk Sekolah Partai Tinggi CC Partai Komunis Tiongkok, Peking. 2 September 1963.
[22] Aidit, D.N. Beberapa Soal Revolusi Indonesia dan PKI. Ceramah di hadapan Pertemuan Besar di Gedung Kongres Rakyat, Peking, 4 September 1963
[23] Aidit, D.N. Revolusi Indonesia, Latar belakang, Sejarah dan Hari depannya. (Quoted in Mortimer, p. 135.)
[24] Engels, F. The Origin of Family, Private Property and State.
[25] Lenin, V.I. State and Revolution.
[26] Lenin, V.I. State and Revolution.
[27] Marx, Karl. Capital Vol I, Ch. 31.
[28] Lenin, V.I. “The Seventh (April) All-Russia Conference of the R.S.D.L.P.(B.).” Lenin Collected Works Vol. 24, 2nd ed., Moscow, Progress Publishers, 1974, hal. 236.
[29] Lenin, V.I. “A shameless lie of the capitalists.” Lenin Collected Works Vol. 24, 2nd ed., Moscow, Progress Publishers, 1974, hal. 110-111.
[30] Dikutip di Mortimer, hal. 172.
[31] S.M. Ali in Far Eastern Economic Review, Apr. 16, 1964.
[32] Marx & Engels. Communist Manifesto.
[33] Radio speech by President Sukarno on the Madiun Coup. September 19, 1948. (Dikutip dari Swift, Ann. The Road to Madiun: The Indonesian Communist Uprising of 1948. Cornell University, 1989. hal. 97-99.)
[34] Siaran Radio Musso, dari Radio Gelora Pemuda, 19 September, 1948, pukul 21.30 (Dikutip dari Poeze, Harry. Madiun 1948: PKI Bergerak. Yayasan Pustaka Obor, 2011. hal. 183-184)
[35] Poeze, Harry. Madiun 1948: PKI Bergerak. Yayasan Pustaka Obor, 2011. hal. 273
[36] Aidit, D.N. Konfrontasi Peristiwa Madiun 1948 – Peristiwa Sumatera 1956. 11 Februari, 1957.
[37] Adams, hal. 269-270.
[38] Pada Rapat Pleno Komite Eksekutif Komintern Ke-Tujuh, yang bertemu di Moskow pada November-Desember 1926, Stalin mengundang perwakilan pribadi Chiang Kai-shek, Shao Li-tzu, untuk hadir. Plenum ini juga mengakui Partai Koumintang pimpinan Chiang Kai-shek sebagai “partai simpatisan” Komintern. Stalin memuji pemerintahan nasional Chiang Kai-shek sebagai “nukleus kekuasaan revolusioner seluruh Tiongkok di masa depan.” Nukleus revolusioner ini dalam waktu beberapa bulan, pada 12 April 1927, membantai beberapa ribu kaum komunis dan buruh Shanghai, dan memulai Teror Putih di seluruh Tiongkok.
[39] Aidit, D.N. Konfrontasi Peristiwa Madiun 1948 – Peristiwa Sumatera 1956. 11 Februari, 1957.
[40] Dikutip dari Roosa, John. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008. hal. 221.
[41] Trotsky, Pelajaran-pelajaran Revolusi Oktober. 1924.
[42] Roosa, John. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008. hal. 191-192.
[43] Dikutip dari Roosa, John. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008. hal 193.
[44] Cribb, Robert B. How Many Deaths?: Problems in the statistics of massacre in Indonesia (1965-1966) and East Timor (1975-1980). Abera Publishing House, 2001.
[45] Justus M. van der Kroef. The Communist Party of Indonesia: Its History, Program, and Tactics. Vancouver: University of British Columbia, 1965. hal. 166-223.
[46] Palmos, Frank. “So Indonesia counts its dead”, The Sun News-Pictorial, August 5, 1966, hal. 2 (Dikutip Tanter, Richard. The Great Killing in Indonesia through the Australian Mass Media. Kompas Gramedia, 2013.)
[47] Macklin, Robert. “The killings go on … Troubled times in Indonesia”, The Age, January 20, 1966. hal.10. (Dikutip di Tanter, Richard. The Great Killing in Indonesia through the Australian Mass Media. Kompas Gramedia, 2013.)
[48] Quoted in Tanter, hal. 151
[49] Mortimer, hal. 388.
[50] Mortimer, hal. 390-391.
[51] Sudisman. Tegakkan PKI yang Marxis-Leninis untuk Memimpin Revolusi Demokrasi Rakyat Indonesia: Otokritik Politbiro CC-PKI. September 1966.