Banjir besar menenggelamkan sejumlah desa di Halmahera. Ribuan warga kehidupannya tercerabut. Sungai Kobe seakan-akan melampiaskan kemarahannya pada manusia-manusia yang telah lama bermukim di sepanjangnya selama puluhan tahun. Tetapi kemurkaan ini bukan tanpa sebab. Tidak jauh darinya, aktivitas tambang nikel dengan rakus mengeruk bumi yang asri dan membabat hutan dengan semena-mena. Kehancuran lingkungan yang disebabkannya telah dibalas oleh alam dengan luapan air tak-terbendung.
Aktivitas manusia yang menghancurkan alam ini bukanlah aktivitas manusia yang abstrak, tetapi manusia sosial yang konkret, manusia dalam sistem sosio-historis tertentu, yaitu manusia kapitalis. Kapital dalam pengejaran profitnya tidak hanya memasuki konflik dengan rakyat pekerja tetapi juga dengan alam. Perlawanan rakyat tertindas mungkin masih bisa diredam oleh aparat dengan pistol dan penjaranya, tetapi tidak demikian dengan alam yang memberontak. Kekuatan alam yang lebih tua dari peradaban ini, yang lebih tua dari umat manusia ini, tidak bisa diintimidasi oleh pistol, tidak bisa ditahan di dalam penjara manusia yang fana itu.
Banjir di Halmahera bukanlah insiden terpisah dan terisolasi. Di seluruh pelosok dunia kerakusan kapitalis telah merusak keseimbangan alam. Pada saat yang sama sungai Kobe meluap, kekeringan, gelombang panas, dan kebakaran hutan menyapu belahan dunia lainnya. Kota Jasper di pegunungan Rocky baru-baru ini terbakar habis dan ribuan warganya jadi pengungsi. Suhu dunia mencapai rekor, misalnya kota New Delhi mencatat suhu tertingginya 52 Celsius.
Cuaca-cuaca ekstrem telah menjadi normal. Ini seiring dengan polarisasi politik ekstrem yang mengguncang negara demi negara. Demikianlah kapitalisme hari ini yang telah merusak semua kestabilan yang ada: ekonomi, politik, sosial, dan bahkan alam. Tidak ada yang tidak tersentuh oleh krisis sistem ini.
Para pemuka agama sudah dibeli oleh kapitalis tambang, tetapi ini tidak melindungi mereka dari angkara murka alam. Doa-doa yang dipanjatkan oleh para pemuka agama yang sudah menjual diri mereka dan bergelimang harta ini tak pernah sampai ke telinga Yang Maha Kuasa.
Kelas penguasa dan para pembelanya percaya setengah mati pada kekuatan pasar untuk menyelesaikan masalah kerusakan lingkungan hidup dan perubahan iklim. Semua pemerintah dan “komunitas internasional” telah berulang kali menyatakan komitmen untuk memerangi perubahan iklim. Tetapi hasilnya nol besar. Dan bahkan dalam banyak kasus isu lingkungan kini digunakan oleh negara untuk mengucurkan ratusan miliar dolar untuk kapitalis, dengan dalih “proyek hijau”, yang hanya memperkaya segelintir. Demikianlah kapitalisme. Setiap kesempatan – bahkan masalah hidup matinya dunia – jadi ajang untuk cari cuan.
Kapitalisme dan kerakusan segelintir yang empunya modal jelas tidak selaras dengan keharmonisan ekologis. Alam sudah berulang kali memberontak untuk menyingkirkan sistem kapitalisme yang parasitik ini dari tubuhnya, seperti sistem imun tubuh yang bereaksi pada virus. Tetapi pemberontakan dan angkara murka alam yang “tidak-sadar” ini tidak akan cukup untuk menghancurkan sistem ini, karena ia pada dasarnya buta dan tidak pandang bulu. Diperlukan kekuatan sadar untuk menyingkirkan virus kapitalisme ini, dan kekuatan sadar ini adalah kelas proletariat. Kekuatan sadar ini dimulai dari lapisan muda dan buruh yang paling maju, yang mengorganisir dirinya dalam satu barisan yang rapat dan disiplin, yang telah menetapkan dengan tegas bahwa cita-cita mereka – berakhirnya eksploitasi kapitalis atas manusia dan sebagai konsekuensinya eksploitasi kapitalis atas alam – hanya bisa dicapai dengan menumbangkan secara revolusioner semua kondisi sosial yang ada. Inilah angkara murka yang diperlukan untuk menyingkirkan kapitalisme parasitik dari tubuh alam: angkara murka kelas.