Pada pemilu 2014 ini, dengung bahaya fasisme dan militerisme – kedua istilah ini sering dipertukarkan, digunakan berbarengan, atau disandingkan dengan frase-frase menakutkan lainnya (fasisme-religius semisalnya) sesuai dengan kebutuhan sang penggunanya – menjadi semakin keras dikumandangkan oleh banyak orang. Ini tidak mengherankan. Di tengah kekacauan yang ada, setiap orang harus berteriak sekeras mungkin hanya agar bisa didengar. Kekonsistenan teori menjadi sekunder karena ada bahaya fasisme dan militerisme yang katanya mengancam. Pertimbangan yang lain pun menjadi kabur karena kepanikan.
Bagaimana militerisme dan fasisme berkembang dalam kerangka masyarakat kelas tidak lagi menjadi soal. Kata fasisme dan militerisme digunakan secara serampangan tanpa perhatian teoritik sama sekali, dan kalau pun ada perhatian teoritik ini dilakukan juga dengan cara yang serampangan. Dalam hingar bingar pemilu ini, kiranya siapa yang butuh teori?
Tetapi, benarkah ada bahaya fasisme atau militerisme di Indonesia hari ini? Bahaya yang demikian besarnya sehingga membenarkan kita untuk melakukan kebijakan kolaborasi kelas dengan borjuasi, yang secara konkret, seperti kata Coen, berarti “mendukung capres/cawapres Jokowi-JK, sebagai representasi dari kubu status-quo demokrasi”[1]. Terlepas dari kelalaian Coen untuk memberikan karakter kelas pada “status-quo demokrasi” yang ingin dia bela, yakni “status-quo demokrasi borjuasi”, inilah pilihan yang katanya sedang dihadapi oleh kita.
Bahaya fasisme ini bahkan begitu besarnya sehingga menurutnya “bersikap netral atas nama rasa marah, kecewa atau berdasarkan ideologi dan keyakinan politik apapun” sama sekali tidak diperbolehkan. Ini adalah bahaya yang demikian hebatnya sehingga ia berdiri di atas semua ideologi dan keyakinan politik, dan di atas semua kelas-kelas. Coen tidak mengatakan yang belakangan ini, tetapi mungkin dia terlalu malu untuk mengatakan bahwa demi menghadang fasisme hari ini kaum buruh dan kapitalis, kaum yang tertindas dan yang menindas, harus meninggalkan kepentingan kelas mereka, karena ideologi dan keyakinan politik datang dari kepentingan kelas, bukan dari benak seseorang.
Mari kita terus tarik argumen Coen dan kaum intelektual di sekitarnya sampai ke kesimpulan logisnya yang final, sesuatu yang biasanya malu mereka lakukan. Hari ini yang ada adalah pertentangan antara kubu “status-quo demokrasi [borjuasi]” dengan “fasisme-religius”, sebuah pertentangan yang non-kelas dan bahkan berdiri di atas kelas-kelas. Kekuatan kelas buruh dan kapitalis, yang bukan fasis, harus bersatu hari ini. Kalau kemudian fasisme menang, maka “Anda [baca rakyat pekerja] harus bertanggung jawab atas keberlanjutan penindasan-penindasan terhadap kalangan minoritas beragama.”
Apakah benar ada bahaya fasisme dan militerisme? Kita harus memulai dengan menjabarkan secara ilmiah dan Marxis konsep fasisme dan militerisme, bukan sebagai konsep yang mati dan kaku tetapi sebagai fenomena-fenomena yang hidup dan berkembang. Coen meminta kita untuk tidak memikirkan ini, karena bahaya ini sudah begitu besar sehingga “ideologi dan keyakinan politik” apapun, termasuk teori dan pemahaman ilmiah, harus dicampakkan. Pada artikel ini, kita akan terlebih dahulu membahas fasisme dan meninggalkan militerisme untuk artikel selanjutnya.
Apa itu Fasisme?
Kaum liberal, dan tidak sedikit dari mereka yang juga mengaku Marxis ataupun sosialis, telah bersalah dalam menggunakan istilah fasisme dengan terlalu berlebihan untuk mencap semua kaum reaksioner yang tidak mereka sukai. Istilah ini memang punya kekuatan yang besar untuk menggugah hati pendengarnya dan membuatnya kehilangan seluruh penalarannya, karena telah diasosiasikan dengan kekejaman-kekejaman terburuk dalam sejarah umat manusia. Negara polisi, kamp konsentrasi, tumpukan mayat orang-orang Yahudi, semua ini adalah gambar yang dengan cepat memenuhi kepala sang pendengar ketika mendengar kata fasisme diucapkan. Terlebih lagi, istilah fasisme telah didefinisikan dengan sangat berhasil oleh akademisi borjuasi sebagai istilah dan konsep yang sudah tidak lagi bermuatan kelas. Fasisme telah diputuskan hubungannya dari kapitalisme itu sendiri, atau lebih tepatnya kapitalisme telah berhasil mencuci tangannya dari fasisme, kekuatan gelap yang sesungguhnya dia sendiri kerahkan.
Setelah dibersihkan dari konten kelasnya, fasisme bisa didefinisikan dengan cukup bebas sesuai dengan prasangka yang paling mutakhir. Semisal seperti yang didefinisikan oleh Coen, dimana ciri-ciri utama fasisme(-religius) menurutnya adalah “anti-semit (rasis), mempropagandakan histeria nasionalisme, xenofobik, anti toleransi, anti-liberal, tidak segan-segan menggunakan alat-alat kekerasan untuk mewujudkan ambisi politiknya, anti-sosialis, anti-rasionalisme, dan mengagung-agungkan kejayaan masa lalu sebagai solusi terhadap krisis sosial yang sedang berlangsung.” Semuanya dia katakan, kecuali basis kelas fasisme, yakni bahwa fasisme adalah reaksi gelap dari kapitalisme, anjing gila yang dilepas oleh kelas kapitalis ketika dia sudah mulai kehilangan kendali atas situasi yang ada.
Fasisme bukanlah sesuatu yang hadir ketika ada sekelompok orang-orang maniak dan fanatik yang berhasil merebut kekuasaan dengan satu cara atau cara yang lain. Fasisme adalah sebuah fenomena sosial, yang oleh karenanya lahir dan berkembang juga di dalam konteks masyarakat kelas dan pertentangan-pertentangan kelas yang ada di dalamnya.
Dalam periode normal, kelas borjuasi umumnya berkuasa dengan metode-metode negara parlementer yang normal. Ia tidak berkuasa dengan moncong senapan secara terbuka. Ilusi demokrasi adalah alat yang lebih kondusif untuk berkuasa. Bagi kaum kapitalis, tidak ada yang lebih baik daripada kaum buruh yang tertindas tetapi percaya bahwa dirinya bebas, atau setidaknya percaya bahwa ia bisa terus memperbaiki posisinya dalam kerangka kapitalisme yang ada. Akan tetapi, kapitalisme adalah sistem yang penuh kontradiksi dan niscaya memasuki krisis. Kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan batasan negara-bangsa adalah dua kontradiksi utama di dalam sistem ini, yang terus mendorongnya ke krisis dari waktu ke waktu. Kapitalisme sendirilah yang menyiapkan kondisi-kondisi revolusioner.
Ketika pertentangan kelas antara buruh dan kapital telah mencapai titik puncaknya, tetapi tidak ada penyelesaiannya karena kedua kubu yang bertempur ini tidak mampu menang secara menentukan – kekuatan buruh terlalu lemah untuk merebut kekuasaan sementara kelas kapitalis tidak bisa lagi mengendalikan situasi dengan tuas-tuas parlementer demokrasi seperti biasanya – maka pada momen kritis inilah bahaya fasisme menjadi riil. Di sini pun kita harus memberikan kualifikasi yang lebih ketat, karena pada momen kebuntuan revolusioner ini kita juga bisa melihat munculnya kediktatoran militer, yang tidak selalu berarti fasisme.
Ketika kaum borjuasi tidak bisa lagi mengendalikan situasi dengan metode-metode normal, maka mereka akan – walaupun bukan tanpa sejumlah keberatan dan keraguan – melepaskan anjing-anjing gilanya. Fasisme adalah anjing gila dari kapitalisme, yang kadang-kadang menggigit tangan majikannya sendiri tetapi tetap tahu siapa yang harus dicabik-cabiknya, yakni gerakan buruh. Inilah bagaimana fasisme lahir dan berkembang.
Fasisme Italia
Fasisme muncul pertama kalinya di Italia. Sebelum Fasisme Italia menancapkan kukunya pada 1923, Italia sedang memasuki sebuah periode revolusioner yang akut, yang dikenal sebagai Biennio Rosso atau “Dua Tahun Merah” pada 1919-1920. Pada 1917, kaum Bolshevik baru saja merebut kekuasaan dan menumbangkan kapitalisme tidak jauh darinya. Perang Dunia Pertama telah menciptakan kesengsaraan yang tidak tertanggungkan bagi rakyat pekerja Eropa. Terjadi inflasi gila-gilaan di Italia, 450% dalam waktu dua tahun dari 1918-1920. Semua faktor ini lalu mendorong buruh dan tani ke jalan perjuangan melawan para majikan dan tuan tanah. Ada gelombang pemogokan, okupasi pabrik, dan okupasi tanah yang semakin hari semakin radikal.
Partai Sosialis Italia (PSI), yang merupakan partai buruhnya Italia pada saat itu, menjadi pemenang pemilu pada 1919, dengan 32% suara dan 156 kursi. Pada pemilu sebelumnya ia hanya memenangkan 52 kursi di parlemen. PSI juga mengendalikan lebih dari 2800 dewan daerah, atau 24% dari keseluruhan. Keanggotaannya meningkat dari 60,000 menjadi 200,000 dalam waktu dua tahun. Sementara lebih dari 3,8 juta buruh dan tani terorganisir dalam berbagai serikat. Ini peningkatan 5 kali lipat dibandingkan pada tahun 1914. Inilah proses revolusioner yang sedang terjadi di Italia. Gelombang revolusi ini mencapai puncaknya pada musim semi 1920 dengan gerakan Okupasi Pabrik. Akan tetapi, para pemimpin reformis PSI dan serikat-serikat buruh mengkhianati gerakan okupasi pabrik ini. Alih-alih memberikan kepemimpinan revolusioner, dengan menyerukan penyitaan pabrik yang akan membuka jalan ke perebutan kekuasaan, para pemimpin reformis ini mengambil sikap ragu-ragu karena tidak yakin kalau kelas buruh Italia siap untuk memenangkan revolusi. Mereka memilih mengambil jalan negosiasi dan kompromi. Tanpa kepemimpinan yang tegas, akhirnya gerakan Okupasi Pabrik ini menemui jalan buntu dan ini menandai kemunduran gerakan buruh.
Namun, masyarakat Italia masih dalam keadaan yang bergejolak. Tidak ada satu pun kontradiksi di dalam masyarakat Italia yang terselesaikan. Kendati kegagalan gerakan Okupasi Pabrik 1920, partai-partai borjuasi tradisional di Italia tetap tidak mampu mengembalikan kestabilan politik, sosial dan ekonomi. Akibat pengkhianatan para pemimpin reformis PSI dan ketidakmampuannya membawa proses revolusioner ini ke kesimpulannya, terjadi krisis di dalam tubuh partai tersebut. PSI pecah pada 1921, dimana sayap kirinya lalu membentuk Partai Komunis Italia (PCI). Pada pemilu 1921, Partai Komunis yang baru ini meraup 5% suara, sementara PSI 25%. Sayangnya, PCI lahir terlalu terlambat. Sejarah tidak pernah menunggu para pesertanya untuk siap.
Ketidakstabilan sosial dan politik terus menghantui masyarakat Italia. Di satu pihak adalah gerakan buruh yang besar tetapi terlalu lemah untuk merebut kekuasaan, karena kepemimpinan mereka yang tidak mampu memberikan arahan revolusioner. Di lain pihak kelas borjuasi Italia juga tidak mampu mengembalikan kestabilan. Di bawah kondisi yang tampaknya tidak ada jalan keluar ini, kaum borjuasi kecil (kaum tani, kaum artisan, para pedagang kecil atau kelontong, para pekerja profesional seperti guru, pegawai negeri, dll.) mulai memasuki mood putus asa. Di periode ketika kapitalisme memasuki krisis, kaum borjuasi kecil – yang juga tertindas, terutama oleh kapital-kapital besar – dapat menghubungkan nasibnya dengan nasib kelas proletar. Revolusi sosialis tidak akan mungkin berhasil kalau kelas proletar tidak dapat memenangkan dukungan dari lapisan-lapisan tertindas lainnya. Untuk dapat melakukan ini, hanya satu hal yang dibutuhkan: kaum borjuasi kecil harus percaya pada kemampuan kelas proletar untuk memenangkan revolusi, menumbangkan seluruh sistem yang ada, dan memimpin masyarakat ini ke jalan yang baru. Kaum proletar hanya bisa memenangkan kepercayaan ini dengan menunjukkan bahwa ia punya program revolusi yang jelas dan tegas, serta punya keberanian untuk menjalankan program ini sampai ke garis akhirnya.
Apa yang terjadi bila kaum proletariat, terutama para pemimpinnya, ternyata tidak mampu menggunakan momen revolusi yang sudah ada ini untuk membuka jalan ke depan? Mari kita biarkan Trotsky yang menjawabnya:
“Tetapi, terkutuklah bila partai revolusioner tidak punya kemampuan yang mengimbangi situasi yang ada! Perjuangan kelas proletariat yang terjadi setiap hari mempertajam ketidakstabilan masyarakat borjuis. Pemogokan-pemogokan dan gangguan-gangguan politik memperparah situasi ekonomi bangsa. Kaum borjuis kecil dapat menerima secara sementara kesengsaraan yang semakin memburuk, bila melalui pengalaman mereka muncul kepercayaan di dalam benak mereka bahwa kaum proletariat ada dalam posisi untuk memimpin mereka ke jalan yang baru. Tetapi bila partai revolusioner, kendati perjuangan kelas yang semakin hari semakin menajam, ternyata terbukti lagi dan lagi tidak mampu menyatukan kelas buruh di sekitarnya, bila dia terombang-ambing, menjadi kebingungan, tidak mampu menjalankan programnya, maka kaum borjuasi kecil akan kehilangan kesabaran mereka dan mulai melihat kaum buruh revolusioner sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesengsaraan mereka. … Ketika krisis sosial menjadi begitu akut sampai tak tertanggungkan lagi, sebuah partai tertentu muncul ke panggung dengan tujuan memprovokasi kegeraman kaum borjuis kecil dan mengarahkan kebencian mereka dan keputusasaan mereka ke kaum proletariat.” (Leon Trotsky. Fasisme: Apa itu dan bagaimana melawannya)
Dalam masa-masa normal, perjuangan kelas terjadi setiap harinya tetapi tidak secara terbuka. Kalau perjuangan kelas selalu terjadi setiap harinya dengan terbuka, seluruh masyarakat akan habis terbakar di dalam api perjuangan ini. Inilah salah satu fungsi terutama dari Negara borjuasi, untuk memperlunak dan menyamarkan perjuangan kelas yang ada, seperti yang dipaparkan oleh Engels:
“Dan supaya antagonisme-antagonisme ini, kelas-kelas yang kepentingan-kepentingan ekonominya berlawanan, tidak membinasakan satu sama lain dan tidak membinasakan masyarakat dalam perjuangan yang sia-sia, maka diperlukan kekuatan yang nampaknya berdiri di atas masyarakat, kekuatan yang akan memperlunak konflik ini dan menjaganya di dalam batas-batas ‘ketertiban’; dan kekuatan ini, yang lahir dari masyarakat tetapi menempatkan dirinya di atas masyarakat tersebut, dan semakin mengasingkan diri darinya, adalah Negara.” (Frederick Engels. The Origin of the Family, Private Property and the State).
Akan tetapi, kapitalisme meniscayakan revolusi, yakni momen ketika perjuangan kelas ini meledak ke permukaan dan semakin hari semakin meruncing. Ketidakmampuan gerakan buruh untuk menggunakan peluang revolusi ini bukanlah sesuatu yang tidak harus dibayar mahal olehnya. Sebaliknya, konter-revolusi lahir dari revolusi yang gagal.
Kaum borjuasi kecil, yang saat itu jumlahnya cukup besar di Italia, awalnya menaruh harapan pada PSI dan gerakan buruh untuk menunjukkan jalan ke depan. Namun kepengecutan para pemimpin reformis PSI dan serikat buruh membuat mereka kecewa. Dalam kekecewaan ini, dalam keputusasaan mereka, mereka berayun dengan cepat ke kanan. Mereka mulai melihat bahwa perjuangan kelaslah yang menjadi biang kerok dari semua masalah mereka, bahwa buruhlah dengan pemogokan-pemogokan mereka yang merusak kestabilan yang mereka idam-idamkan. Secara naluriah, kaum borjuasi kecil selalu membenci perjuangan kelas di dalam masyarakat kapitalis. Ini karena kelas borjuasi kecil adalah kelas yang terjepit di antara dua kelas utama: buruh dan kapitalis. Mereka adalah kelas yang tanpa masa depan, yang oleh karenanya tidak punya kemandirian kelas: mereka entah mengikuti kepemimpinan proletariat, atau kepemimpinan kapitalis.
Setelah kegagalan gerakan Okupasi Pabrik, kaum borjuis kecil Italia mulai berayun ke kanan dan mereka temukan Partai Fasis Nasional di bawah Mussolini. Pada 1921, melalui aliansi sayap kanan Blok Nasional, kaum fasis meraup 19% suara, dan pada 1922 de facto naik ke tampuk kekuasaan ketika Raja Victor Emmanuel II mengangkat Mussolini menjadi perdana menteri. Dengan kekuatan massa borjuis kecil di belakangnya, Mussolini dan partai fasisnya meremukkan Partai Sosialis Italia, Partai Komunis Italia, serikat-serikat buruh, serta kaum Kiri Italia.
Kekecewaan dan kebencian kelas borjuis kecil terhadap perjuangan kelas menemukan ekspresinya dalam ideologi fasisme. Kata fasisme sendiri berasal dari bahasa Latin “fasces”, yang berarti sekumpulan ranting yang diikat di sekitar kapak. Maknanya adalah bahwa persatuan akan membawa kekuatan. Satu ranting akan mudah dipatahkan, sementara sekumpulan ranting yang terikat erat akan sulit dipatahkan. Doktrin utama fasisme oleh karenanya adalah menentang perjuangan kelas, yang dianggapnya menyebabkan perpecahan di dalam masyarakat dan melemahkan bangsa. Tentunya biang kerok perjuangan kelas ini, yang mereka lihat sebagai sumber ketidakstabilan, adalah kelas buruh, dan merekalah yang pertama dibereskan oleh kekuatan fasis. Dalam “Doktrin Fasisme”, Benito Mussolini memaparkan apa yang menjadi dasar dari fasisme:
“Fasisme oleh karenanya menentang Sosialisme … yang melihat di dalam sejarah hanya perjuangan kelas. Fasisme juga menentang serikat buruh sebagai senjata kelas.”
“… Konsepsi kehidupan semacam ini menjadikan Fasisme sebagai negasi tegas dari doktrin yang mendasari sosialisme ilmiah dan Marxis, doktrin materialisme sejarah yang menjelaskan sejarah manusia dalam kerangka perjuangan kelas …
“… Di dalam rejim Fasis persatuan kelas-kelas, persatuan politik dan sosial dari rakyat Italia terrealisasikan di dalam negara, dan hanya di dalam negara Fasis.”
Inilah mengapa basis massa dari Fasisme adalah kelas borjuasi kecil, yang menarik tidak sedikit juga gerbong proletariat, terutama lapisan-lapisannya yang lebih terbelakang. Ia adalah sebuah gerakan massa borjuis kecil yang kecewa dan putus asa. Tidak jarang kita melihat keputusasaan berubah menjadi fanatisme yang begitu mengerikan.
Walaupun basis massa dari fasisme adalah kelas borjuasi kecil, basis kelas fasismetetap adalah kapitalis. Ia adalah metode terakhir dari kelas kapitalis untuk menyelamatkan kapitalisme, metode terakhir yang tidak disukainya tetapi tetap harus dilakukannya. Kaum kapitalis menyukai fasisme seperti seorang yang giginya sakit menyukai dokter gigi yang harus mencabut giginya. Mereka tidak ingin mengakui bahwa konsep demokrasi dan liberalisme yang mereka agung-agungkan ternyata hanyalah selembar kertas usang yang tidak berguna dalam menjaga kestabilan kapitalisme, kalau keselamatan kapitalisme harus diserahkan kepada segerombolan orang fanatik yang sakit jiwa dengan massa borjuis kecil yang sedang mengidap penyakit nerosis. Tetapi inilah yang mereka lakukan, bukan sekali saja tetapi berkali-kali, di Polandia dengan Pilsudski, di Jerman dengan Hitler, di Spanyol dengan Franco. Sedalam inilah tingkat kebusukan kapitalisme.
Semuanya mengikuti alur yang sama. Di semua negeri di mana fasisme akhirnya jaya, kita saksikan terlebih dahulu gelombang radikalisasi massa: kaum buruh, kaum tani miskin, dan kelas borjuasi kecil. Di Jerman, gelombang radikalisasi dan revolusi serta krisis sosial yang niscaya menyertainya bahkan berjalan lebih dalam dan panjang: 1918, lalu 1922-24, lalu lagi 1929-31. Di setiap kesempatan, Partai Sosial Demokrasi Jerman dan Partai Komunis Jerman ternyata tidak mampu membuka jalan ke depan. Kepemimpinan reformis dan Stalinis mereka yang bangkrut justru membuka jalan ke belakang, ke reaksi fasisme. Di negeri di mana Karl Marx lahir, di mana gerakan buruh adalah yang terkuat di Eropa dan harapan begitu besar tidak hanya di Jerman tetapi juga di seluruh Eropa kalau kaum proletariat Jerman akan memimpin revolusi sosialis dunia, serangkaian kegagalan ini harus dibayar dengan sangatlah mahal tidak hanya oleh proletariat Jerman tetapi proletariat sedunia. Fasisme Mussolini tampak seperti mainan anak-anak dibandingkan dengan fasisme Hitler. Kegilaan dan keabsurdan rejim Nazi hanya sebanding dengan panjangnya dan dalamnya krisis sosial, politik, dan ekonomi yang memporakporandakan negeri ini selama lebih dari 15 tahun.
Pengalaman kita sendiri
Pada tahun 1965, kekuatan militer melakukan kudeta dan mendirikan kediktatoran militer. Walau banyak kemiripannya dengan rejim Nazi, dengan pembantaian yang tidak kalah kejamnya dengan kamp konsentrasi Nazi, namun rejim kediktatoran militer Orde Baru bukanlah rejim fasis. Ada perbedaan mendasar terkait dengan keterlibatan massa fanatik borjuis kecil yang menjadi fitur utama dari fasisme Italia dan Jerman. Akan tetapi ada juga kesamaan-kesamaan yang fundamental terkait dengan proses perkembangannya: krisis akut tak-terpecahkan di dalam masyarakat Indonesia yang secara efektif telah berlangsung sejak 1945; kekuatan buruh dan tani yang terus meningkat dan memasuki periode revolusioner, dengan sejumlah kesempatan untuk merebut kekuasaan; ketidakmampuan kepemimpinan buruh, dalam hal ini PKI, untuk memberikan jalan keluar dari kebuntuan kapitalisme; kebangkrutan borjuasi nasional, yang terlalu lemah untuk membangun sebuah parlemen borjuasi yang stabil dan mengendalikan situasi.
Seperti yang telah kita paparkan, kaum kapitalis biasanya lebih memilih berkuasa dengan metode-metode parlementer borjuis. Metode ini lebih murah dan efektif. Akan tetapi di negeri-negeri Dunia Ketiga yang kontradiksinya sangat akut dan sistem parlementer borjuisnya lemah (yang merefleksikan lemahnya kaum borjuasi itu sendiri), sering kali mereka tidak punya privilese ini. Dalam banyak situasi, mereka terpaksa menggunakan aparatus pemaksa Negara, secara parsial maupun terbuka lewat kudeta militer.
Dalam konteks Indonesia, militer di bawah Soeharto terdorong melakukan kudeta setelah ada periode panjang revolusioner di Indonesia di mana tidak ada satu pun kekuatan yang mampu menyediakan jalan keluar. PKI menolak merebut kekuasaan dan mengekor pada borjuasi nasional dengan dalih bahwa tahapan selanjutnya dari revolusi Indonesia adalah revolusi borjuasi yang akan membawa kapitalisme yang mandiri, dan baru setelah itu sosialisme di masa depan yang jauh. Kaum borjuasi nasional sendiri terpecah-pecah. Di satu pihak adalah sayap kirinya yang personifikasinya adalah Soekarno, yang hanya bisa mendapatkan dukungan massa dengan retorika-retorika anti-imperialis dan populis, tapi tanpa bisa merealisasikan secara riil program-program anti-imperialis dan populisnya karena logika kapitalisme tidak memungkinkan realisasi penuhnya. Mereka, karena posisi kelasnya, terkutuk menjadi impoten. Sementara sayap kanan kaum borjuasi tidak punya basis dukungan sama sekali dari rakyat. Argumen pro-pasar dan pro-kapital mereka tidak menemukan gaungnya. Situasi revolusioner yang menggantung ini tidak bisa bertahan lama. Masyarakat borjuasi tidak bisa menolerir sebuah situasi di mana jutaan rakyat pekerja terorganisir ke dalam organisasi-organisasi revolusioner, di mana angkatan bersenjatanya juga terbelah. Inilah kondisi-kondisi yang menyiapkan kudeta militer di Indonesia. Melihat borjuasi nasional tidak bisa menyelesaikan situasi yang ada, bergeraklah aparatus militer Negara untuk mengembalikan ketertiban dan kedamaian.
Kebijakan kolaborasi kelas PKI dengan borjuasi nasional yang katanya “progresif” tidak menyelamatkan mereka dari kudeta militer, tetapi justru menyiapkan kondisi-kondisi untuk kehadiran intervensi militer. Sejarah telah menunjukkan bahwa kebijakan kolaborasi kelas tidak pernah menghentikan fasisme atau kudeta militer. Kebijakan Front Popular di Spanyol yang diusung oleh Partai Komunis Spanyol yang Stalinis, dimana diserukan agar buruh bersatu dengan kaum borjuasi nasional “progresif” untuk melawan Franco, justru memperlemah perlawanan revolusioner terhadap Franco. Ini harus dibayar mahal dengan kediktatoran fasisme Franco selama 36 tahun. Di Chile, Allende percaya pada jalan reformisme dan parlementerisme untuk mencapai sosialisme. Ia percaya pada metode kolaborasi dan kompromi. Dalam ironi sejarah yang paling memilukan, Allende sendiri yang mengangkat Pinochet sebagai kepala Angkatan Darat 3 minggu sebelum kudeta, dan sampai menit terakhir, ketika tank-tank sudah di jalan-jalan kota Santiago, Allende masih meminta mencoba menghubungi Pinochet lewat telepon. Sejarah dipenuhi dengan contoh-contoh ini, tetapi sayangnya sejarah itu adalah seperti seorang guru yang tanpa murid.
Bagaimana melawan fasisme
Seorang yang sedikit mengerti sejarah mungkin akan merujuk ke seruan Trotsky agar kaum Komunis Jerman membentuk front persatuan dengan kaum Sosial Demokrat Jerman untuk melawan fasisme Jerman. Hitler dapat menang karena kaum buruh Komunis dan kaum buruh Sosial Demokrat tidak mampu bersatu dan menghadang fasisme dengan tegas. Dengan demikian, mengikuti Trotsky seharusnya kami juga mendukung Jokowi, karena dibutuhkan front persatuan antara rakyat dan Jokowi (baca antara kelas pekerja dengan lapisan borjuasi demokrat) untuk menghadang fasisme Prabowo. Benarkah demikian?
Ternyata kalau kita perhatikan dengan lebih dekat, kita akan temui bahwa seruan front persatuan Trotsky di Jerman adalah seruan persatuan di antara kelas buruh, di antara dua sayap gerakan buruh (komunis dan sosial demokrat, atau sayap-sayap lainnya), bukan seruan kolaborasi kelas dengan borjuasi demokrat atau progresif. Justru Trotsky mengutuk kebijakan yang belakangan ini. Di Spanyol, kaum Sosial Demokrat dan Stalinis mengedepankan kebijakan Front Popular dengan kaum borjuis demokratik untuk melawan fasisme Franco. Trotsky mengkritik keras front persatuan macam ini, yang bukan front “persatuan kelas” tetapi front “kolaborasi kelas”. Kemenangan fasisme Franco adalah bukti nyata dari kegagalan front “kolaborasi kelas” ini. Demikian yang ditulis oleh Trotsky:
“Para teoretikus dari Front Popular [baca kolaborasi kelas] pada dasarnya hanya memahami rumus pertama aritmetika, yakni penjumlahan: “Kaum Komunis” plus kaum Sosialis plus kaum Anarkis plus kaum Liberal [baca kaum borjuis liberal dan demokrat] akan memberikan jumlah total yang lebih besar daripada tiap-tiap angka mereka secara terpisah. Inilah seluruh pengetahuan mereka. Namun, aritmetika saja tidak cukup di sini. Kita membutuhkan setidaknya ilmu mekanik. Hukum parallelogram gaya (penjumlahan vektor) juga dapat diterapkan di dalam politik. Di dalam parallelogram seperti ini, kita tahu bahwa semakin banyak komponen gaya yang menyimpang dari satu sama lain maka semakin pendek hasil penjumlahan vektornya. Ketika sekutu-sekutu politik cenderung bergerak ke arah yang berlawanan, maka hasil penjumlahan vektornya adalah nol.”
“Pembentukan sebuah blok yang terdiri dari berbagai kelompok politik yang berbeda di dalam kelas buruh kadang-kadang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah-masalah praktikal bersama. Dalam situasi historis tertentu, blok semacam ini dapat menarik massa borjuis kecil yang tertindas, yang kepentingan-kepentingannya dekat dengan kaum proletariat. Kekuatan gabungan dari blok semacam ini dapat terbukti lebih besar dibandingkan penjumlahan dari tiap-tiap komponen bagiannya. Sebaliknya, aliansi politik antara proletariat dan borjuasi, yang kepentingan-kepentingannya dalam masalah-masalah mendasar dalam epos hari ini menyimpang satu-sama-lain dengan sudut 180 derajat, hanya dapat melumpuhkan kekuatan revolusioner kaum proletariat.” (Leon Trotsky, Lessons of Spain. Penekanan italik dari penulis)
Apakah Jokowi dapat dianggap sebagai sayap sosial demokrat atau reformis dari gerakan buruh? Jawabannya jelas negatif. Hampir semua Kiri pendukung Jokowi – setidaknya mereka-mereka yang berupaya melakukan pendekatan kelas, walau tidak sepenuhnya berhasil – harus mengakui bahwa Jokowi adalah seorang borjuis, tetapi kilah mereka Jokowi adalah seorang borjuis progresif, seorang borjuis populis, seorang borjuis demokrat, atau imbuhan akhir apapun yang akan membuat seorang borjuis terdengar lebih baik. Ia adalah representasi dari “status quo demokrasi [borjuis]”, seperti yang diakui oleh Coen.
Marilah kita anggap kalau memang benar ada bahaya fasisme. Apakah fasisme bisa dilawan dengan melakukan kolaborasi kelas dengan borjuasi demokrat lewat jalan parlementer? Apakah kaum fasis pernah menghargai keputusan voting demokratik? Fasis macam apa yang menghargai keputusan voting dan parlemen? Asumsi bahwa fasisme bisa dikalahkan atau setidaknya dihadang dengan kemenangan parlementer seorang borjuis demokrat bahkan sudah teramat keliru.
Bila ada bahaya fasisme, maka tugas kita terutama adalah pertama-tama menjelaskan kepada rakyat pekerja bahwa fasisme ini harus dipukul dengan metode-metode aksi massa, bahwa kaum buruh dari berbagai sayap dan dari serikat-serikat buruh dengan berbagai warna harus bersatu dan melakukan mogok nasional sebagai aksi unjuk kekuatan. Seruan-seruan propaganda harus mulai disebarkan ke tiap-tiap serikat buruh dan organ-organ perjuangan lapisan tertindas lainnya bahwa bila sang fasis (dalam pengandaian ini, maka Prabowo) menang dalam pilpres mendatang, maka demonstrasi besar sampai aksi mogok harus dilakukan.
Tetapi tidak ada satu pun Kiri “penghadang fasisme” yang berbicara mengenai metode aksi massa. Tentunya mereka akan menjawab dengan argumen bahwasanya metode aksi massa ini tidak realistis karena rakyat pekerja tidak siap, dan sekarang ada peluang menang lewat jalan parlementer dan ini harus kita gunakan terlebih dulu. Sungguh argumen yang tampaknya masuk di akal. Tetapi, tunggu dulu! Kita akan temui bahwa argumen semacam ini tidak pernah dibuat oleh Kiri-kiri “penghadang fasisme” kita. Mereka tidak pernah menyatakan terlebih dahulu bahwa fasisme hanya bisa dikalahkan dengan metode aksi massa dari rakyat pekerja, dan baru kemudian memberikan alasan bahwa sayangnya metode aksi semacam ini sekarang tidak mungkin karena rakyat pekerja terlalu lemah dan tidak siap, dan karena kondisi-kondisi demikian maka harus ada aliansi lintas kelas dengan semua elemen-elemen demokratik. Tidak ada argumen semacam ini yang pernah dibuat. Para kiri “penghadang fasisme” kita secara a priori sudah menaruh kepercayaan mereka pada “status quo demokrasi”.
Yang terungkap di sini adalah ketidakpercayaan Kiri-kiri kita terhadap kelas buruh, tidak hanya mereka-mereka yang mendukung Jokowi atau Prabowo, bahkan di antara mereka yang menolak Jokowi dan Prabowo. Faktor kekuatan buruh tidak pernah terfaktorkan di dalam pikiran mereka ketika berbicara mengenai menghadang fasisme. Mereka bisa saja berbicara mengenai buruh sebagai kelas revolusioner dalam artikel ini atau itu, tetapi sayangnya kelas buruh ini tidak pernah siap bagi mereka. Mereka hanya akan percaya pada kelas buruh ketika kelas buruh sudah siap. Mungkin setelah membaca kritik ini para Kiri “penghadang fasisme” akan mencoba menutup lubang argumen mereka ini dan mulai mengatakan: “Yah, kami setuju bahwa hanya kelas pekerja dengan metode aksi massa yang bisa menghadang fasisme, tetapi kelas pekerja kita tidak siap. Kita harus fokus pada aliansi elemen-elemen demokrasi sekarang, dan akan kekiri-kirian [!] kalau berharap untuk mengorganisir aksi massa kelas pekerja untuk menghadang bahaya fasisme yang urgen hari ini.” Tetapi ini tidak akan menutupi lobang terbesar dalam cara berpikir mereka: yakni ketidakpercayaan mereka pada kelas buruh. Mereka telah terbukti lebih nyaman – dan lebih gesit – menaruh kepercayaan mereka pada demokrasi borjuis.
Bahaya Fasisme di Indonesia
Kembali ke pertanyaan utama kita: adakah bahaya fasisme di Indonesia hari ini?
Para teoretikus dan ideolog Kiri kita terjebak pada impresionisme dangkal, alih-alih menganalisa perimbangan kekuatan-kekuatan sosial yang berkembang dalam tiap-tiap tahapannya. Melihat gereja yang terbakar, mereka berteriak: “Bahaya fasisme!” Melihat kekerasan FPI di layar TV, mereka berteriak: “Bahaya fasisme!” Metode analisa politik mereka bersifat empiris. Mereka paparkan data “konkret” mengenai kekerasan-kekerasan sektarian yang telah terjadi. Argumennya sederhana, kenaikan jumlah kekerasan terhadap minoritas berarti fasisme semakin dekat. Tidak ada analisa kelas dalam perkembangannya.
Ada lagi metode pendekatan “kemiripan-kemiripan” untuk memprediksi bahaya fasisme. Ini adalah pendekatan yang tampaknya masuk akal. Kalau rupanya seperti fasis, baunya seperti fasis, rasanya seperti fasis, maka tentunya ia seorang fasis. Iqra Anugrah, salah satu intelektual di sekitar Indoprogress, menetapkan sejumlah kategori untuk menetapkan apa seorang itu fasis atau bukan.[2] Prabowo, tegasnya, memiliki sejumlah kemiripan dengan Mussolini: 1) Sama-sama pernah menjadi tentara; 2) Slogan-slogan kejayaan bangsa; 3) Rasisme; 4) Promosi negara polisi; 5) kultus individual. Penuhi lima syarat ini, atau setidaknya 3 dari 5 syarat ini, maka Anda adalah seorang fasis. Sekali lagi, tidak ada analisa kelas. Yang ada adalah kategori-kategori statis dan kaku, bukan analisa perimbangan kelas-kelas dalam perkembangannya di tiap-tiap tahapan.
Tentunya yang tidak kalah kelirunya adalah analisa politik dengan penelaahan tekstual semata, yang diabstraksi keluar dari kondisi objektif yang ada. Seperti yang coba dilakukan oleh kawan SEMAR UI Rio Apinino[3] yang bermaksud “memprediksi atas apa yang akan terjadi jika Prabowo memenangkan Pemilu 2014 ini melalui telaah Manifesto Perjuangan Partai Gerinda.” Sekali lagi, tidak ada analisa kelas.
Berdasarkan pemaparan teoritik di atas mengenai bagaimana fasisme muncul dan berkembang, kami dengan tegas akan mengatakan bahwa pada periode ke depan ini tidak ada bahaya fasisme di Indonesia ataupun bahaya kembalinya Orde Baru (rejim kediktatoran militer, periode reaksi gelap). Analisa ini keliru, dan justru kebijakan yang dicapai dari kekeliruan ini – yakni mendukung Jokowi dan “status quo demokrasi” – akan membuka jalan ke fasisme. Dalam skala kecil saja kita sudah melihat bagaimana dukungan ke Jokowi ini dapat membuka jalan bagi fasisme. Para buruh FSPMI, yang adalah barisan pelopor gerakan buruh dua tahun terakhir, memberikan dukungannya pada Prabowo karena Jokowi mengkhianati perjuangan mereka dengan meneken keputusan upah murah. Tentunya keputusan mendukung Prabowo ini tidak didukung sepenuhnya oleh semua buruh FSPMI, tetapi kebijakan upah murah Jokowi memberikan amunisi yang sangat kuat bagi para pemimpin FSPMI yang pro-Prabowo. Selain itu, tidak sedikit buruh yang kecewa dengan kebijakan upah murah Jokowi. Ironisnya, justru serikat-serikat buruh yang menentang Mogok Nasional II 2013 dan berusaha sekeras mungkin mengerem radikalisasi buruh (KSPSI dan KSBSI) sekarang dapat ditemui di barisan Jokowi. Mari kita ingatkan lagi kalau tidak ada seorang pun pendukung Jokowi dari kubu Kiri yang mengkritik kebijakan upah murah Jokowi secara serius, dan juga sikap tak-acuh Jokowi terhadap aksi-aksi buruh selama 2 tahun terakhir.
Selama kapitalisme masih bercokol dan tidak ditumbangkan secara revolusioner, maka bahaya fasisme atau kediktatoran militer akan selalu mengancam. Namun sebelum bahaya fasisme atau kediktatoran militer ini menjadi riil, kelas buruh akan terlebih dahulu diberikan banyak kesempatan untuk menang, dan tidak sedikit peluang yang sudah tersia-siakan selama 2 tahun periode kebangkitan kelas buruh Indonesia. Ketika buruh sedang mulai bangkit dengan aksi-aksi massanya, tidak sedikit Kiri-kiri kita yang malah disibukkan dengan euforia Jokowi-Ahok. Mereka latah terhadap apapun yang tampaknya baru dan mengkilap. Sementara, ketika justru serikat-serikat kuninglah yang mengambil inisiasi perjuangan dengan mendeklarasikan MPBI dan lalu Getok Monas, ini justru ditanggapi dengan kecurigaan dan sikap ultra-kiri dari para aktivis serikat buruh “merah”. Bukannya justru melemparkan diri mereka ke ratusan ribu buruh yang pertama kali masuk dalam arena perjuangan dan mencoba meraih telinga para buruh ini, kawan-kawan “merah” kita mengambil sikap ragu-ragu untuk bergabung. Notabene ini berarti menyerahkan kepemimpinan buruh kepada para pemimpin reformis dan konservatif di dalam MPBI. Tentunya sikap ultra-kiri ini sudah mengakar sejak dulu, ketika kawan-kawan “merah” kita banyak yang secara prinsipil menolak melakukan kerja di antara serikat-serikat kuning dan merasa nyaman dengan serikat-serikat “merRRRrah” mereka sendiri. Sementara dari para pemimpin reformis buruh, ketika buruh mulai sadar bahwa mereka juga harus berpolitik para pemimpin reformis justru mengarahkan ini ke partai-partai borjuis yang ada, entah dengan taktik “caleg aktivis buruh” maupun mendukung Jokowi ataupun Prabowo.
Prabowo memiliki rekam jejak dan karakter pribadi yang tampaknya akan membuat dia cocok menjadi seorang pemimpin fasis. Tetapi datangnya fasisme tidak ditentukan oleh karakter seorang, ataupun keinginan pribadi seseorang atau beberapa kelompok tertentu (FPI, kader-kader religius sektarian PKS dan PPP, Pemuda Pancasila, dll.). Fasisme dan kediktatoran militer adalah reaksi gelap dari kapitalisme yang sedang memasuki krisis akut, ketika kelas kapitalis secara keseluruhan sudah tidak punya lagi jalan keluar lewat metode-metode normal dan terpaksa mengambil jalan fasisme dan kediktatoran militer untuk menghancurkan gerakan buruh. Kembali lagi ke dialektika, kontra-revolusi adalah reaksi terhadap revolusi. Apakah kita sedang memasuki periode revolusioner hari ini di Indonesia? Aku rasa tidak ada seorang pun yang berani menganjurkan bahwa sekarang kita sedang memasuki periode revolusioner, atau pra-revolusioner. Tidak ada satu pun rejim fasis dan rejim kediktatoran militer yang lahir begitu saja karena ada segelintir orang yang mengehendakinya. Mereka hadir sebagai kekuatan reaksi terhadap aksi revolusioner buruh.
Seorang Marxis harus juga bisa memahami apa yang sedang dipikirkan oleh kelas kapitalis secara umum. Apakah ada kehendak dari kelas kapitalis Indonesia untuk memilih jalan fasisme dan kediktatoran militer hari ini di Indonesia? Tentunya mereka tidak segan menggunakan polisi dan militer untuk menindas rakyat yang melawan, tetapi mereka tidak serta-merta menggunakan metode kediktatoran militer terbuka kapan saja. Kenyataan bahwa kapitalis Indonesia terpecah ke dalam dua kubu ini, bahkan Golkar dan militer pun terpecah, adalah indikasi paling kuat bahwa kelas penguasa kita tidak sedang mengarahkan rejimnya menuju fasisme atau kediktatoran militer. Bagi kaum kapitalis secara umum, kedua capres ini tidak berbeda secara fundamental. Sementara Kiri-kiri kita terlena oleh bahaya fasisme, oleh populisme kerakyatan, oleh Trisakti ini Trisakti itu, oleh berdikari ini berdikari itu, dan lain-lain, kaum kapitalis domestik dan internasional tenang-tenang saja karena mereka paham akan arti dari pemilu ini. Kedua calon telah berjanji akan menjaga kestabilan pasar dan iklim investasi, tidak akan menyentuh kepemilikan pribadi kaum kapitalis seperti yang dilakukan oleh Chavez dan Evo Morales, dan juga meneruskan kebijakan potong subsidi BBM. Mereka hanya berbeda pendapat dalam hal: siapa yang dapat menjadi presiden yang lebih baik untuk menjaga kepentingan kapitalis? Siapa yang bisa menjalankan kebijakan-kebijakan kapitalis dengan lebih baik tanpa merusak kestabilan sosial? Apa dengan presiden yang tegas atau yang senyumnya memikat rakyat? Siapa di antara mereka berdua yang bisa lebih mendapatkan legitimasi dari rakyat yang sudah mulai pudar terhadap sistem perpolitikan borjuasi?
Pada akhirnya, perspektif “bahaya fasisme” adalah perspektif “ambil aman saja”, terbukti atau tidak terbukti benar. Kalau tidak terbukti benar, maka para pengusungnya bisa menjawab dengan lega: “Untung fasisme tidak datang. Memang lebih baik jaga-jaga dalam setiap kondisi!”. Kalau terbukti, mereka dengan bangga akan mengatakan: “Nah, apa gua bilang?” Tetapi tidak mereka sadari, bahwa perspektif “bahaya fasisme” inilah yang justru akan menyiapkan jalan ke fasisme, karena ia akan melumpuhkan kekuatan revolusioner kelas buruh dengan mengikatnya pada “status quo demokrasi”, pada kelas kapitalis. Kebobrokan “status quo demokrasi [borjuis]” yang ingin dipertahankan oleh Kiri-kiri kita inilah yang akan menghantarkan masyarakat Indonesia ke reaksi gelap fasisme atau kediktatoran militer. In bukan masalah pilihan mana yang “mendingan”, seperti ujar Iqra, tetapi bagaimana yang satu akan bergerak ke yang lain.
Mengapa ada selapisan rakyat pekerja yang merindukan Soeharto dan Orde Baru? Karena para demokrat kita yang terhormat telah mengkhianati Reformasi 1998, karena “status quo demokrasi [borjuis]” kita selama 16 tahun terakhir justru semakin gencar dalam merampok rakyat pekerja, karena di bawah“status quo demokrasi [borjuis]” justru yang ada adalah kebebasan lebih penuh bagi para perampok untuk merampok, karena tidak ada jalan keluar yang dapat dilihat oleh rakyat pekerja dari demokrasi borjuis ini. Apakah lalu mengherankan kalau ada selapisan rakyat pekerja yang merasa jijik dengan demokrasi dan melihat bahwa tidak ada perbedaan bagi mereka hidup di alam demokrasi ataupun di alam Orde Baru?
Perlu dicatat, harapan untuk kembali ke jaman Soeharto bukan serta-merta berarti bahaya fasisme. Harapan untuk kembali ke jaman Soeharto adalah reaksi terhadap kegagalan reformasi, terhadap kegagalan demokrasi borjuasi itu sendiri. Pilihannya masih sama bagi kita, “Sosialisme atau Barbarisme”, bukan “Demokrasi atau Barbarisme”[4], karena justru “status quo demokrasi” dan kebangkrutan yang inheren di dalamnya yang akan menghantarkan kita ke barbarisme.
Penutup
Kita sudah saksikan bahwa pada akhirnya bila kelas buruh tidak mampu merebut kekuasaan ketika momen revolusi tiba – dan momen ini niscaya akan tiba – maka kontra-revolusi, entah fasisme atau kediktatoran militer, akan menjadi prospek yang riil. Sejarah telah menunjukkan berulang kali bahwa bukan buruh yang tidak ingin berjuang dan melakukan pengorbanan untuk memenangkan revolusi, tetapi para pemimpin merekalah yang dalam setiap langkah menjadi batu penghalang, secara sadar maupun tidak sadar. Para pemimpin ini menjadi rantai yang mencekik perjuangan buruh bukan karena mereka tidak jujur, tidak bermoral, dan tidak beramanah. Kalau ini masalahnya, maka cukup kita adakan kelas-kelas moral. Mereka berkhianat karena mereka dipenuhi dengan prasangka-prasangka reformisme, oportunisme, pragmatisme, “realisme”.
Berbagai alasan digunakan oleh Kiri-kiri kita untuk melakukan kebijakan kolaborasi kelas, yang sebenarnya hanya menunjukkan ketidakpercayaan mereka pada kemenangan revolusi oleh kelas buruh. Bahkan kita sudah tahu sendiri bahwa di antara kiri radikal kita tidak pernah ada kepercayaan terhadap kelas buruh. Mereka selalu meragukan kelas buruh sebagai satu-satunya agen revolusioner yang dapat menumbangkan kapitalisme, bahkan di antara mereka yang aktif di dalam serikat-serikat buruh. Buruh hanya dilihat sebagai salah satu sektor di dalam pergerakan yang juga harus diorganisir, bukan dilihat sebagai satu-satunya kelas yang dapat dan akan memimpin seluruh bangsa ini.
Tidak disangka oleh mereka, justru kebijakan-kebijakan yang menurut mereka “realistis” ini yang akan melucuti kelas buruh. Ketika kemandirian kelas, kejelasan teori, penemuan kembali ideologi Marxisme, dan pembangunan partai kader Marxis adalah tugas yang masih harus dilakukan oleh kaum buruh, dengan konsisten, tegas, dan bahkan secara fanatik, mereka-mereka ini justru mencari-cari jalan pintas. “Menghadang fasisme”, menjaga “status quo demokrasi”, mengisi “ruang politik”, menggunakan “artikulasi politik”, seribu satu mantra ajaib diciptakan, semuanya kecuali mantra kemandirian kelas buruh.
Kapitalisme telah memasuki proses pembusukan, dan proses ini sedang berlangsung di semua negeri, dengan tempo dan kedalaman yang berbeda-beda dari satu negeri ke negeri yang lain, tetapi selalu ke arah yang sama. Ia tidak bisa menjamin roti dan perdamaian. Ia bahkan tidak bisa lagi menjamin demokrasinya sendiri. Dalam kebuntuannya inilah kapitalisme akan menghantarkan fasisme dan kediktatoran militer ke bumi Indonesia ini. Tetapi bukan sekarang, dan beruntunglah kita kalau kita masih memiliki waktu untuk mempersiapkan kekuatan kita, yakni kekuatan Marxis di dalam gerakan buruh, untuk merebut peluang revolusi yang akan datang. Tetapi waktu ini adalah aset berharga yang semakin hari semakin memendek, yang kita sia-siakan kalau kita lantas selalu mencoba mencari jalan pintas, melompat dari satu ke yang lainnya. Sampai hari ini tidak ada satu pun jalan pintas yang telah membuahkan hasil bagi kekuatan revolusioner Indonesia. Oleh karenanya kalau pun ada urgensi hari ini, maka urgensi tersebut adalah untuk membangun kekuatan Marxis sebagai kepemimpinan kelas buruh. Tugas ini tidak bisa dilakukan serampangan dan setengah-setengah, seperti 16 tahun terakhir ini. Ia tidak bisa hanya digeluti selama 1 atau 2 tahun, dan lalu ditinggalkan untuk mencari tren terbaru. Ia harus dibangun secara komprehensif, secara konsisten, dengan mentalitas jangka panjang, dan bahkan dengan fanatisme yang tidak kalah besarnya dengan fanatisme kaum Jesuit. Inilah tugas kita kemarin hari, dan masih menjadi tugas kita terutama hari ini.
[1] Coen Husain Pontoh, 50 Hari Menuju Pilpres: Demokrasi vs Fasisme-Religius. [http://indoprogress.com/2014/05/50-hari-menuju-pilpres-demokrasi-vs-fasisme-religius/]
[2] Iqra Anugrah, Menghadang Fasisme. [http://indoprogress.com/2014/04/menghadang-fasisme/]
[3] Rio Apinino, Apa yang Berbahaya dari Prabowo dan Gerindra? : Telaah Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). [http://www.prp-indonesia.org/2014/apa-yang-berbahaya-dari-prabowo-dan-gerindra-telaah-manifesto-perjuangan-partai-gerakan-indonesia-raya-gerindra]
[4] Iqra Anugrah. Demokrasi atau Barbarisme.[ http://indoprogress.com/2014/05/demokrasi-atau-barbarisme/]