Berikut ini adalah saduran dari bab V dari buku “Revolusi yang Dikhianati” karangan Leon Trotsky tahun 1936. Kebangkitan Stalinisme dari Revolusi Oktober terus menjadi momok bagi sosialisme. Di satu pihak, kelas borjuasi terus menggunakan hantu Stalinisme untuk mendiskreditkan Marxisme. Di lain pihak, kaum revolusioner terus kebingungan dalam menjelaskan bagaimana Stalinisme bisa muncul. Karya Leon Trotsky yang bersejarah ini tetap merupakan satu-satunya analisa revolusioner mengenai sebab-musabab degenerasi Revolusi Oktober. Ditulis oleh pemimpin dan pembela Revolusi Oktober, karyanya ini memberikan senjata bagi kaum revolusioner untuk menghancurkan fitnah kaum borjuasi dan bagaimana melawan kekuatan kontra-revolusioner yang kerap menghantui setiap revolusi buruh.
Mengapa Stalin Menang
Para penulis sejarah Uni Soviet tidak bisa tidak menyimpulkan bahwa keputusan-keputusan penguasa birokrasi tentang masalah-masalah besar telah menjadi serangkaian zig-zag yang bertentangan satu sama lainnya. Upaya untuk membenarkan zig-zag itu “karena situasi yang berubah” jelas-jelas tidak mempunyai dasar. Kemampuan memberi arahan setidaknya menuntut kemampuan untuk melihat ke depan. Faksi Stalin sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk memprediksi hasil-hasil perkembangan; mereka setiap kali tertangkap basah tidak siap. Mereka bereaksi hanya dengan reflek administratif. Teori yang mereka bangun di tiap tikungan dibuat setelah kejadian berlangsung, tanpa mempedulikan apa yang sebelumnya mereka ajarkan. Berdasarkan fakta-fakta dan dokumen-dokumen yang tidak terbantahkan, para sejarahwan akan terpaksa menyimpulkan bahwa “Oposisi Kiri” mengajukan analisa yang jauh lebih tepat tentang proses yang terjadi di negeri ini, dan lebih terang pula dalam meramalkan perkembangan yang selanjutnya.
Penilaian ini, sepintas kilas, bertentangan dengan fakta sederhana bahwa faksi yang rabun dekat ini terus menikmati kemenangan, sementara kelompok yang berpandangan lebih tajam menderita kekalahan demi kekalahan. Keberatan semacam itu, yang muncul secara otomatis dalam pikiran, sungguh meyakinkan, namun hanya bagi mereka yang berpikir secara rasionalistik dan yang melihat politik sebagai sebuah argumen logika atau permainan catur. Pertarungan politik, pada hakikatnya, adalah pertarungan kepentingan dan kekuatan, bukan argumen. Kualitas kepemimpinan, tentu saja, sama sekali bukan faktor yang tidak penting bagi penentuan hasil akhir benturan itu, tetapi bukan satu-satunya faktor, dan pada analisa terakhir bukanlah faktor yang menentukan. Tiap kelompok, di samping itu, akan memunculkan pemimpin yang sesuai dengan citra-diri mereka sendiri.
Revolusi Februari mengangkat Kerensky[2] dan Tsereteli[3] ke tampuk kekuasaan, bukan karena mereka “lebih cerdik” atau “lebih tajam” daripada klik Tsar yang berkuasa, tetapi karena mereka merupakan wakil, setidaknya untuk sementara, dari massa rakyat revolusioner yang sedang berontak melawan rejim lama. Kerensky berhasil memaksa Lenin bersembunyi di bawah tanah dan memenjarakan para pemimpin Bolshevik bukan karena dia lebih unggul dari mereka dalam kualitas pribadinya, tetapi karena mayoritas buruh dan prajurit di masa itu masih mengikuti kaum borjuis kecil patriotik. “Keunggulan” pribadi Kerensky, kalaupun kata itu pantas digunakan dalam kaitan ini, terletak pada fakta bahwa dia tidak melihat lebih jauh daripada mayoritas rakyat. Pada gilirannya, Bolshevik menaklukkan kaum demokrat borjuis kecil, bukan karena superioritas pribadi para pemimpinnya tetapi melalui korelasi baru antar kekuatan-kekuatan sosial. Proletariat akhirnya berhasil memimpin kaum tani yang tidak puas untuk bangkit melawan borjuasi.
Tahapan-tahapan yang berkelanjutan dari Revolusi Perancis, baik selama pasang maupun surutnya, menunjukkan tanpa kalah meyakinkan bahwa kekuatan para “pemimpin” dan “pahlawan” yang saling menggantikan terletak terutama pada hubungannya dengan karakter kelas dan lapisan masyarakat yang menunjang mereka. Hanya hubungan ini, dan bukannya superioritas yang tidak relevan, yang memungkinkan mereka untuk menancapkan kepribadian mereka pada periode sejarah tertentu. Dalam pergantian kekuasaan dari Mirabeau, Brissot, Robespierre, Barras dan Bonaparte, terdapatlah kepatuhan akan hukum objektif yang jelas jauh lebih efektif daripada watak-watak unik dari para protagonis sejarah itu sendiri.
Telah cukup diketahui bahwa setiap revolusi sampai masa ini selalu disusul dengan masa-masa reaksi, atau bahkan kontra revolusi. Ini, pastinya, tidak pernah melempar bangsa tersebut ke masa sebelum revolusi, tetapi sebagian besar hasil-hasil pencapaian revolusi selalu dirampas dari rakyat. Korban-korban dari gelombang revolusioner pertama, secara umum, adalah para pelopor, inisiator dan pemimpin yang berdiri di depan barisan massa dalam masa-masa ofensif revolusioner. Sebagai gantinya, orang-orang dari lini kedua, yang bersekutu dengan para mantan musuh revolusi, telah terdorong maju ke depan. Di balik duel dramatik dari para “coryphées” (pemimpin) di panggung politik terbuka ini, sebuah pergeseran telah terjadi di dalan relasi antar kelas, dan yang tidak kalah penting adalah perubahan mendasar dalam psikologi massa yang sebelumnya revolusioner.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penuh kebingungan dari banyak kamerad mengenai apa yang menjadi aktivitas partai Bolshevik dan kelas pekerja – dimana inisiatif revolusionernya, semangat pengorbanan diri dan kebanggaannya sebagai rakyat jelata? – mengapa, sebagai gantinya, telah muncul begitu banyak kekejian, kepengecutan, kebimbangan dan karirisme? – Rakovsky[4] merujuk pada kisah kehidupan Revolusi Perancis di abad ke-18, dan mengajukan contoh Babeuf[5], yang ketika keluar dari penjara Abbaye juga terheran-heran mengenai apa yang telah terjadi dengan rakyat suburban Paris yang heroik. Sebuah revolusi adalah sebuah pemangsa enerji manusia yang besar, baik secara individu maupun kolektif. Urat syaraf manusia tak sanggup menahannya. Kesadaran terguncang dan karakter manusia terkikis. Peristiwa demi peristiwa terjadi begitu cepat, sehingga aliran tenaga baru tidak cukup cepat menggantikan yang lama. Kelaparan, pengangguran, gugurnya para kader-kader revolusioner, disingkirkannya massa dari sistem administrasi, semua ini membawa kesengsaraan fisik dan moral pada rakyat suburban Paris sehingga mereka membutuhkan tiga dasawarsa sebelum mereka siap untuk insureksi yang baru.
Pernyataan aksiomatik dari literatur-literatur Soviet, yang mengatakan bahwa hukum-hukum revolusi borjuis “tidak dapat diterapkan” pada revolusi proletariat, tidak ada isi ilmiahnya sama sekali. Karakter proletar dari revolusi Oktober ditentukan oleh situasi dunia dan oleh sebuah korelasi istimewa dari kekuatan-kekuatan internal. Tetapi kelas-kelas itu sendiri terbentuk dalam kondisi tsarisme yang barbar dan kapitalisme terbelakang, dan sama sekali tidak siap untuk bisa memimpin pemenuhan tuntutan-tuntutan revolusi sosialis. Yang terjadi adalah persis kebalikannya. Justru karena kelas proletariat yang masih terbelakang ini telah mencapai lompatan besar dari monarki feudal ke kediktatoran sosialis dalam waktu beberapa bulan maka reaksi dari dalam jajarannya sendiri menjadi tidak terhindarkan. Reaksi ini berkembang dalam serangkaian gelombang yang susul-menyusul. Kondisi dan peristiwa eksternal saling bersaing untuk menumbuhkembangkan reaksi itu. Intervensi susul-menyusul. Revolusi tidak mendapat bantuan langsung dari Barat. Daripada kesejahteraan bangsa yang diharapkan, yang didapat adalah kemelaratan yang berlangsung lama. Di samping itu, bunga-bunga terbaik dari kelas pekerja gugur dalam perang sipil, atau menanjak posisinya dan mengangkat dirinya di atas massa. Dan, dengan demikian, setelah munculnya ketegangan antar kekuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, harapan dan ilusi, datanglah masa-masa panjang kelelahan, kemunduran dan kekecewaan akan hasil-hasil revolusi. Surutnya “kebanggaan sebagai rakyat jelata” memberi ruang bagi membanjirnya kepengecutan dan karirisme. Kasta penguasa yang baru naik dengan mengendarai gelombang ini.
Demobilisasi Tentara Merah yang beranggotakan lima juta orang memainkan peran yang tidak kecil dalam pembentukan birokrasi. Para komandan yang menang perang menempati posisi kepemimpinan di Soviet setempat, dalam perekonomian, dalam pendidikan, dan di mana-mana mereka secara keras kepala memperkenalkan sistem pemerintahan yang telah memenangkan perang sipil. Maka, dari tiap sudut, massa perlahan-lahan tersingkirkan dari partisipasi nyata dalam kepemimpinan negeri.
Reaksi dari dalam jajaran proletariat menyebabkan bangkitnya harapan dan keyakinan-diri yang besar di tengah lapisan borjuis kecil di perkotaan dan pedesaan, setelah mereka dibangkitkan kembali oleh NEP, dan semakin lama mereka semakin berani. Birokrasi yang masih belia itu, yang semula lahir sebagai karyawan dari kelas proletar, kini mulai merasa dirinya sebagai hakim penengah dalam pertikaian antar kelas. Kemandiriannya makin bertambah setiap bulan.
Situasi internasional bergerak, dengan kekuatan besar, ke arah yang sama. Birokrasi Soviet menjadi semakin percaya diri, seiring dengan semakin besarnya hantaman yang dihantarkan ke kelas pekerja dunia. Di antara kedua fakta ini tidak hanya terdapat hubungan kronologis, melainkan juga hubungan sebab-akibat yang bekerja ke dua arah. Para pemimpin birokrasi mendorong terjadinya kekalahan kelas proletar; kekalahan kelas proletar mendorong bangkitnya birokrasi. Peremukan insureksi Bulgaria di tahun 1924, likuidasi penuh khianat atas Pemogokan Umum di Inggris[6] dan tindakan partai buruh Polandia yang memalukan pada saat kudeta Pilsudski[7] di tahun 1926, pembantaian besar-besaran atas Revolusi Cina[8] di tahun 1927 dan, akhirnya, kekalahan yang lebih meremukkan baru-baru ini dari kelas pekerja Jerman dan Austria – inilah musibah-musibah historis yang membunuh kepercayaan massa rakyat Soviet pada revolusi dunia, dan memungkinkan birokrasi memanjat semakin tinggi sebagai satu-satunya juru selamat yang mampu memberi harapan.
Sementara mengenai penyebab kekalahan kaum proletar selama tiga belas tahun terakhir, penulis harus merujuk pada karyanya yang lain, di mana dia telah berusaha mengekspos peran buruk yang dimainkan oleh para pemimpin Kremlin, yang terisolasi dari massa dan bersifat sangat konservatif, dalam gerakan revolusioner di semua negeri. Di sini kita terutama berurusan dengan fakta yang tak terbantahkan dan instruktif bahwa kekalahan terus-menerus dari revolusi di Eropa dan Asia, sekalipun melemahkan posisi internasional Uni Soviet, telah sangat memperkuat birokrasi Soviet. Dua tanggal terutama sangat penting dalam rangkaian sejarah ini. Di paruh kedua tahun 1923, perhatian kelas pekerja Soviet terpaku pada Jerman, di mana kaum proletariat nampaknya telah mengulurkan tangan untuk merebut kekuasaan. Mundurnya Partai Komunis Jerman secara panik menimbulkan kekecewaan yang teramat besar bagi massa kelas pekerja Uni Soviet. Birokrasi Soviet tidak membuang waktu untuk segera membuka sebuah kampanye melawan teori “revolusi permanen” dan melancarkan pukulan keji pertama mereka pada Oposisi Kiri. Selama tahun-tahun 1926 dan 1927, warga Uni Soviet mengalami bangkitnya harapan baru. Semua mata kini ditujukan ke Timur, di mana drama revolusi Cina tengah berlangsung. Oposisi Kiri telah bangkit kembali dari pukulan sebelumnya dan tengah merekrut barisan pengikut baru. Pada akhir tahun 1927, revolusi Cina dibantai oleh si penjagal, Chiang Kai-shek[9], ke dalam tangannyalah Komunis Internasional telah secara langsung mengkhianati kelas buruh dan tani Cina. Gelombang kekecewaan yang dingin menyapu massa rakyat Uni Soviet. Setelah provokasi tanpa henti lewat surat kabar dan rapat-rapat, birokrasi akhirnya melancarkan penangkapan massal terhadap Oposisi Kiri di tahun 1928.
Puluhan ribu pejuang revolusioner berkumpul di seputar panji-panji Bolshevik-Leninis. Kaum buruh yang maju jelas-jelas bersimpati pada Oposisi, tetapi simpati itu tetap tinggal pasif. Massa telah kehilangan kepercayaan bahwa situasi dapat diubah secara serius oleh sebuah perjuangan yang baru. Sementara itu, birokrasi menegaskan: “Demi revolusi internasional, Oposisi Kiri mengajukan untuk menyeret kita ke dalam perang revolusioner. Cukup sudah gonjang-ganjing ini! Kita layak beristirahat. Kita akan membangun masyarakat sosialis di rumah kita sendiri. Percayalah pada kami, para pemimpin kalian!” Mantra-mantra pembius agar massa tidak berbuat apa-apa ini dengan kokoh mengkonsolidasi apparatciki [bahasa Rusia untuk aparatus partai] dan para pejabat militer dan negara, dan bergema di tengah kaum buruh yang keletihan, terlebih lagi massa kaum tani. Benarkah, mereka bertanya pada diri sendiri, bahwa Oposisi sungguh siap mengorbankan kepentingan Uni Soviet untuk mewujudkan ide “revolusi permanen”? Sesungguhnya, pertarungan ini adalah mengenai kelangsungan hidup negara Soviet. Kebijakan yang keliru dari Komunis Internasional di Jerman membawa kemenangan Hitler sepuluh tahun kemudian – artinya, sebuah ancaman perang yang datang dari Barat. Kebijakan yang tidak kurang kelirunya di Cina memperkuat imperialisme Jepang dan membawa bagi kita bahaya yang datang jauh lebih dekat dari Timur. Tetapi, periode-periode reaksi memang terutama dicirikan oleh absennya pemikiran yang berani.
Kelompok Oposisi terisolasi. Birokrasi melancarkan pukulan ketika besi masih panas, memanfaatkan kebingungan dan kepasifan kaum buruh, mengadu domba lapisan terbelakang dengan lapisan majunya, dan semakin bersandar pada sekutu mereka: kulak dan borjuis kecil secara umum. Dalam kurun beberapa tahun, birokrasi telah menghancurkan garda depan revolusioner kaum proletariat.
Sungguh naif jika kita berpikir bahwa Stalin, yang sebelumnya tidak dikenal massa, tiba-tiba muncul dari sisi panggung bersenjatakan penuh dengan rencana strategi yang lengkap. Jelas tidak. Sebelum dia menemukan jalannya, birokrasilah yang terlebih dahulu menemukan Stalin. Dia membawa pada mereka semua jaminan yang dibutuhkan: prestise karena dia telah lama menjadi anggota Bolshevik, karakter yang kuat, visi yang sempit, dan ikatan erat dengan mesin politik yang menjadi satu-satunya sumber pengaruhnya. Kesuksesan yang dinikmatinya pada awalnya mengejutkan dia sendiri. Ini adalah sambutan akrab dari kelompok penguasa baru, yang berusaha membebaskan dirinya dari prinsip-prinsip lama dan dari kendali oleh massa, dan yang membutuhkan seorang penengah yang dapat diandalkan dalam persoalan-persoalan internal mereka. Sekalipun dia adalah figur tak ternama di hadapan massa dan di tengah peristiwa-peristiwa Revolusi, Stalin menyingkapkan dirinya sebagai pemimpin mutlak dari birokrasi Thermidor, sebagai orang terkemuka di kalangan mereka.
Kasta penguasa ini segera menyingkapkan ide-idenya, perasaan-perasaannya dan, yang terutama, kepentingannya. Mayoritas besar generasi tua dari jajaran birokrasi saat ini berdiri berseberangan dengan kita selama berlangsungnya revolusi Oktober. (Contohnya saja para duta besar Soviet: Troyanovsky, Maisky, Potemkin, Suritz, Khinchuk, dll.) Atau setidaknya mereka berpangku tangan ketika pertarungan berlangsung. Mereka yang pada saat ini menghuni jajaran birokrasi, yang ada di kubu Bolshevik saat hari-hari Oktober, sebagian besar tidak memainkan peran yang penting. Mengenai para birokrat muda, mereka dididik dan dipilih oleh para tetua mereka, seringkali anak-anak mereka sendiri. Orang-orang ini tidak akan berhasil jika disuruh melancarkan Revolusi Oktober, tetapi mereka sangat cocok untuk mengeksploitasi kemenangan Revolusi itu.
Insiden personal dalam periode antara dua bab sejarah ini, tentu saja, bukannya tanpa pengaruh. Sakitnya dan meninggalnya Lenin jelas mempercepat pembusukan ini. Bila saja Lenin hidup lebih lama, tekanan kekuasaan birokratik tentu akan berkembang dengan lebih lambat, setidaknya di tahun-tahun pertama. Tetapi, sedini tahun 1926, Krupskaya[10] mengatakan di dalam lingkaran kaum Oposisi Kiri: “Jika Ilych masih hidup, dia mungkin sudah berada di penjara.” Ketakutan dan ramalan penuh peringatan dari Lenin sendiri masih segar dalam ingatannya, dan dia sama sekali tidak berilusi bahwa Lenin akan cukup berdaya melawan badai dan gelombang sejarah yang menentangnya.
Birokrasi tidak hanya menaklukkan Oposisi Kiri. Mereka juga menaklukkan partai Bolshevik. Mereka mematahkan program Lenin, yang telah melihat bahaya besar dalam perubahan aparatus negara “dari pelayan masyarakat menjadi penguasa atas masyarakat.” Mereka menyingkirkan semua musuh mereka, Oposisi, Partai dan Lenin, bukan dengan ide dan argumen, melainkan dengan bobot sosial mereka. Kaki berbandul timah dari birokrasi berbobot lebih berat daripada kepala revolusioner. Inilah rahasia keberhasilan Thermidor Soviet.
Degenerasi Partai Bolshevik
Partai Bolshevik menyiapkan dan memastikan kemenangan Revolusi Oktober. Mereka juga mendirikan negara Soviet, memasoknya dengan sebuah kerangka yang kokoh. Degenerasi Partai Bolshevik merupakan penyebab dan konsekuensi dari birokratisasi negara. Penting bagi kita untuk menunjukkan, setidaknya untuk sepintas, bagaimana hal ini bisa terjadi.
Rejim internal partai Bolshevik dicirikan oleh metode sentralisme demokratik. Kombinasi dari dua konsep ini, demokrasi dan sentralisme, sama sekali tidak kontradiktif. Partai bukan hanya menjaga agar batasannya selalu didefinisikan dengan tegas, tetapi juga menjamin siapapun yang berada dalam batasan ini akan menikmati hak untuk ikut menentukan arah kebijakan partai. Kebebasan mengeritik dan perjuangan intelektual adalah kandungan mutlak dari demokrasi partai. Doktrin sekarang ini bahwa Bolshevisme tidak mentoleransi faksi adalah sebuah mitos dari memudarnya satu epos. Sesungguhnya, sejarah Bolshevisme adalah sejarah pertarungan faksi-faksi. Dan, sungguh, bagaimana mungkin sebuah organisasi yang benar-benar revolusioner, yang memutuskan untuk memanggul tugas menggulingkan kekuasaan dunia dan menyatukan ke bawah panji-panjinya sendiri para pembaharu, pejuang dan pemberontak yang paling pemberani, hidup dan berkembang tanpa konflik intelektual, tanpa pengelompokan dan pembentukan formasi faksi sementara? Kemampuan kepemimpinan Bolshevik untuk melihat jauh ke depan seringkali memungkinkan diperlunaknya konflik dan dipersingkatnya pertarungan faksional, tetapi tidak lebih dari itu. Komite Sentral mengandalkan dukungan demokratik yang membara ini. Dari sinilah mereka mendapatkan keberanian untuk mengambil keputusan dan memberikan perintah. Ketepatan dari kepemimpinan dalam semua tahapan yang genting memberinya otoritas yang tinggi, yang merupakan kapital moral tak ternilai dari sentralisme.
Rejim Partai Bolshevik, terutama sebelum berkuasa, berdiri berseberangan dengan rejim seksi-seksi Komunis International yang sekarang, dengan para “pemimpinnya” yang ditunjuk dari atas, yang merubah kebijakannya hanya dengan melambaikan tangan, dengan aparatusnya yang tak terkendali, dengan sikap congkaknya terhadap rakyat dan sikap menjilatnya ketika berhadapan dengan Kremlin. Namun di tahun-tahun pertama pasca perebutan kekuasaan, bahkan ketika karat administratif telah mulai tampak di dalam partai, setiap anggota Bolshevik termasuk Stalin sendiri akan mengutuk, sebagai pemfitnah, orang yang berani menunjukkan gambaran partai sebagaimana halnya sepuluh atau lima belas mendatang.
Titik pusat perhatian Lenin dan para rekannya terpaku pada keprihatinan berkesinambungan tentang bagaimana melindungi anggota-anggota partai Bolshevik dari mereka yang berkuasa. Akan tetapi, kedekatan dan kadang-kadang meleburnya partai dengan aparatus negara di tahun-tahun pertama itu telah menimbulkan kerusakan tak terhindarkan terhadap kebebasan dan kelenturan rejim internal partai. Demokrasi dipersempit proporsinya sejalan dengan meningkatnya berbagai kesulitan. Pada awalnya partai ingin dan berharap memelihara kebebasan pertarungan politik dalam kerangka Soviet. Perang sipil memaksa perubahan yang keras di dalam perhitungan ini. Partai-partai oposisi dilarang satu demi satu. Langkah ini, yang jelas bertentangan dengan semangat demokrasi Soviet, dipandang oleh para pemimpin Bolshevik bukan sebagai sebuah prinsip melainkan sebagai sebuah langkah sementara untuk mempertahankan diri.
Pertumbuhan partai yang begitu cepat, dengan tugas-tugasnya yang maha besar dan baru, niscaya membangkitkan pertikaian di dalamnya. Gerakan oposisi bawah tanah di pedesaan melancarkan tekanan melalui berbagai saluran atas satu-satunya organisasi politik yang legal, dan ini meningkatkan tajamnya pertarungan antar faksi. Pada akhir perang sipil, pertarungan ini mengambil bentuk-bentuk yang begitu tajam sehingga mengancam menggoncang kekuasaan negara. Di bulan Maret 1921, di masa-masa pemberontakan Kronstadt[11], yang menarik tidak sedikit anggota Bolshevik ke dalamnya, Kongres partai ke-10 berpendapat perlunya menerapkan pelarangan faksi-faksi – yakni, mentransfer rejim politik yang ada dalam negara ke dalam kehidupan internal partai. Pelarangan faksi-faksi ini, lagi-lagi, dipandang sebagai sebuah langkah darurat yang akan ditinggalkan begitu situasi membaik dengan serius. Pada saat bersamaan, Komite Sentral sangat berhati-hati dalam menerapkan aturan baru ini, sedemikian rupa sehingga aturan ini tidak sampai mencekik kehidupan internal partai.
Akan tetapi, apa yang pada rancangan awalnya hanyalah sebuah konsesi yang diperlukan untuk menghadapi sebuah situasi sulit, terbukti sangat cocok dengan selera birokrasi, yang pada waktu itu telah mulai mendekati kehidupan partai secara eksklusif dari sudut pandang kenyamanan administrasi. Di tahun 1922 sekalipun, ketika kesehatannya agak sedikit membaik, Lenin yang terkejut melihat pertumbuhan birokratisme yang begitu mengancam, tengah menyiapkan satu pertarungan melawan faksi Stalin, yang telah mengangkat dirinya menjadi sumbu dari mesin partai sebagai langkah pertama untuk menaklukkan seluruh mesin negara. Serangan strok yang kedua, lalu kematiannya, menghalangi Lenin untuk bertarung melawan kekuatan reaksi internal ini.
Seluruh daya upaya Stalin, yang pada waktu itu bekerja sama erat dengan Zinoviev dan Kamenev, diarahkan untuk membebaskan mesin partai dari kendali para anggota partai. Dalam perjuangan untuk “stabilitas” Komite Sentral ini, Stalin terbukti orang yang paling konsisten dan dapat diandalkan di antara para koleganya. Dia tidak perlu memisahkan diri dari masalah-masalah internasional; dia tidak pernah berurusan dengan semua itu. Cara pandang borjuis kecil dari lapisan penguasa baru ini adalah cara pandang Stalin sendiri. Dia benar-benar percaya bahwa tugas mendirikan sosialisme adalah tugas yang berwatak nasional dan administratif. Dia melihat Komunis Internasional sebagai sebuah konsesi yang diperlukan, yang harus digunakan sejauh mungkin demi kepentingan politik luar negeri. Partainya sendiri hanya memiliki nilai di matanya sebagai dukungan submisif untuk mesin-mesin politiknya.
Bersama dengan teori sosialisme di satu negeri, birokrasi juga mengedarkan sebuah teori bahwa, dalam Bolshevisme, Komite Sentral adalah segalanya dan partai tidak ada artinya. Teori kedua ini, bagaimanapun, terrealisasikan lebih sukses daripada yang pertama. Dengan meninggalnya Lenin, kelompok penguasa mengumumkan “rekrutmen wajib Leninis.” Gerbang partai, yang dulu dijaga dengan waspada, kini dibuka lebar-lebar. Pekerja, karyawan administratif, pejabat rendahan, membanjir masuk. Tujuan politik dari manuver ini adalah untuk melarutkan garda depan revolusi di tengah banjirnya anggota baru, yang tidak memiliki pengalaman, tidak memiliki kemandirian, tetapi masih menganut kebiasaan lama untuk tunduk pada otoritas kekuasaan. Skema ini berhasil. Dengan membebaskan birokrasi dari kendali garda depan proletariat, “rekrutmen wajib Leninis” melancarkan pukulan mematikan pada partai Lenin. Mesin itu telah meraih kemandirian yang dibutuhkannya. Sentralisme demokratik menyerah pada sentralisme birokratik. Dalam aparatus partai itu sendiri kini terjadi kocok ulang radikal atas personilnya, dari puncak ke dasar. Mereka mendeklarasikan bahwa seorang Bolshevik yang terpuji adalah yang patuh. Di bawah kedok pertarungan melawan kelompok Oposisi, terjadilah sebuah penyingkiran besar-besaran kaum revolusionis yang digantikan dengan kaum chinovnik [aparatus profesional pemerintah]. Sejarah partai Bolshevik menjadi sebuah sejarah pembusukannya yang berlangsung cepat.
Makna politik dari pertarungan yang berkembang ini disamarkan di mata kebanyakan orang karena para pemimpin dari ketiga faksi, Kiri, Tengah dan Kanan, sama-sama merupakan anggota staf di Kremlin, Politbiro. Bagi mereka yang berpikir dangkal, kelihatannya ini hanyalah persoalan persaingan antar individu, pertarungan memperebutkan “warisan” Lenin. Tetapi dalam kondisi kediktatoran besi, antagonisme sosial tidak dapat menampakkan diri pada awalnya kecuali melalui kelembagaan partai penguasa. Banyak anggota kaum Thermidor muncul dari kalangan kaum Jacobin[12]. Bonaparte[13] sendiri adalah anggota lingkaran itu di tahun-tahun pertamanya, dan lalu justru dari antara mantan kaum Jacobin-lah Konsul Pertama dan Kaisar Perancis memilih para pelayannya yang paling setia. Masa berubah dan kaum Jacobin berubah bersama mereka, tidak terkecuali kaum Jacobin abad ke-duapuluh.
Dari anggota Politbiro di masa Lenin kini tinggal Stalin yang masih bertahan. Dua dari anggotanya, Zinoviev dan Kamenev, teman seperjuangan Lenin sepanjang tahun-tahun pembuangannya, kini menjalani hukuman penjara sepuluh tahun atas kejahatan yang tidak mereka lakukan. Tiga anggota lainnya, Rykov, Bukharin dan Tomsky, benar-benar telah disingkirkan dari kepemimpinan, tetapi sebagai imbalan ketundukan mereka, mereka menduduki jabatan-jabatan rendahan.
Dan, akhirnya, penulis buku ini ada dalam pengasingan. Janda Lenin, Krupskaya, juga berada dalam tahanan rumah, setelah terbukti sama sekali tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan kaum Thermidor.
Para anggota Politbiro yang sekarang menempati jabatan rendahan sepanjang sejarah partai Bolshevik. Jika ada orang yang, sepanjang tahun-tahun pertama Revolusi, dapat meramalkan kenaikan jabatan mereka, mereka adalah yang pertama akan terkejut, dan mereka terkejut bukan karena rendah diri. Karena alasan inilah, aturan sekarang diperketat bahwa Politbiro selalu benar dan, dalam keadaan apapun, tidak ada orang yang bisa lebih benar daripada Stalin, yang tidak bisa membuat kesalahan, dan sebagai akibatnya, juga tidak bisa benar melawan dirinya sendiri.
Tuntutan untuk demokrasi dalam partai pada saat itu merupakan slogan-slogan seluruh kelompok oposisi, dengan intensitas yang setara dengan keputusasaannya. Platform Oposisi Kiri yang disebutkan di atas menuntut pada tahun 1927 untuk disahkannya satu aturan tambahan pada UU Pidana yang “menghukum sebagai sebuah kejahatan serius terhadap negara setiap penghambatan secara sengaja atas seorang buruh yang kritis.” Yang terjadi malah disahkannya sebuah pasal yang melarang Oposisi Kiri itu sendiri.
Tentang demokrasi dalam partai, yang tinggal hanyalah kenangan tentang itu dalam ingatan generasi yang lebih tua. Dan bersamanya, hilang pula demokasi dalam soviet, serikat buruh, koperasi-koperasi, organisasi budaya dan olahraga. Di atas masing-masing organisasi ini kini berkuasalah hirarki maha digdaya dari kesekretariatan partai. Rejim ini telah berubah wataknya menjadi “totaliter” beberapa tahun sebelum kata ini datang dari Jerman. “Melalui metode-metode demoralisasi, yang mengubah kaum komunis yang sanggup berpikir menjadi mesin, menghancurkan semangat, karakter dan harga diri manusia,” tulis Rakovsky di tahun 1928, “lingkaran penguasa telah berhasil mengubah diri mereka sendiri menjadi oligarki yang tak dapat digeser dan harus disembah, yang menggeser kedudukan kelas dan partai.” Sejak kalimat-kalimat yang penuh kemarahan ini ditulis, degenerasi rejim telah berlangsung semakin tak terkendali. GPU[14] telah menjadi faktor penentu dalam kehidupan internal partai. Jika Molotov, di bulan Maret 1936, dapat menepuk dada di hadapan seorang jurnalis Perancis bahwa partai penguasa tidak lagi mengandung pertarungan faksional, ini semata karena ketidaksepakatan kini diselesaikan dengan intervensi otomatis dari polisi politik. Partai Bolshevik yang lama sudah mati dan tidak ada kekuatan apapun yang akan sanggup membangkitkannya kembali.
* * *
Seiring dengan degenerasi politik dalam partai, terjadi pulalah sebuah pembusukan moral dari aparatus yang tak terkontrol ini. Kata “sovbour” – borjuis soviet – sebagaimana yang dilekatkan pada para pejabat berhak istimewa muncul begitu dini di dalam kosakata kaum buruh. Dengan perpindahan ke masa NEP, tendensi borjuis mendapatkan ruang berkembang yang lebih luas. Pada Kongres Partai ke-11, di bulan Maret 1922, Lenin memberi peringatan akan bahaya degenerasi di tengah lapisan penguasa. Hal ini telah terjadi lebih dari sekali dalam sejarah, katanya, bahwa si penakluk mengambil alih budaya mereka yang ditaklukannya, ketika yang terakhir ini berbudaya lebih tinggi. Kebudayaan kaum borjuis Rusia dan birokrasi yang lama memang menyedihkan, tetapi sayangnya lapisan penguasa yang baru harus sering mengangkat topinya pada budaya tersebut. “Empat ribu tujuh ratus orang komunis yang penuh tanggung jawab” di Moskow menjalankan mesin kenegaraan. “Siapa yang memimpin siapa? Saya sangat meragukan apakah Anda dapat mengatakan bahwa kaum komunislah yang memimpin …” Dalam kongres berikutnya, Lenin sudah tidak dapat lagi berbicara. Tetapi semua pemikirannya di bulan-bulan terakhir masa aktif dalam hidupnya adalah untuk memberi peringatan dan mempersenjatai kaum buruh melawan penindasan, ketamakan dan kebusukan birokrasi. Dia, tentu saja, hanya sempat melihat gejala-gejala awal dari semua ini.
Christian Rakovsky, mantan presiden Soviet dari Komisar Rakyat Ukraina, dan kemudian menjadi Duta Besar Soviet di London dan Paris, mengirimkan pada kawan-kawannya di tahun 1928, ketika telah berada dalam pembuangan, sebuah analisa singkat mengenai birokrasi Soviet yang telah kami kutip beberapa kali di atas, karena analisa ini masih yang terbaik dari yang pernah tertulis. “Dalam pikiran Lenin, juga dalam pikiran kami semua,” ujar Rakovsky, “tugas dari kepemimpinan partai adalah untuk melindungi partai dan kelas pekerja dari tindakan korup dari hak istimewa, kedudukan dan patronase mereka yang memegang kekuasaan, dari ditegakkannya kembali nilai-nilai lama oleh sisa-sisa bangsawan dan penguasa lama, dari pengaruh korup dalam NEP, dari godaan moral dan ideologi borjuis … Kami harus mengatakan dengan jujur, tegas dan lantang bahwa aparatus partai belumlah memenuhi tugas ini, bahwa ia telah menunjukkan ketidakmampuannya untuk menjalankan peran gandanya sebagai pelindung dan pendidik. Ia telah gagal. Ia telah bangkrut.”
Benar bahwa Rakovsky sendiri, setelah dihancurkan oleh represi birokratik, akhirnya menyangkal penilaian kritisnya sendiri. Tetapi Galileo yang berusia 70 tahun itu pun, setelah dicengkeram kuku besi Inkuisisi Suci[15], mendapati dirinya terpaksa menyangkal sistem tata surya Copernicus – walaupun penyangkalan ini tidak mencegah bumi untuk terus mengelilingi matahari. Kami tidak percaya pada penyangkalan Rakovsky yang telah berusia 60 tahun itu, karena dia sendiri telah lebih dari sekali membuat analisa yang menyengat mengenai penyangkalan-penyangkalan semacam itu. Tentang kritik politiknya, fakta-fakta perkembangan objektif telah menjadi pendukung yang jauh lebih dapat dipercaya daripada keteguhan hati penulisnya sendiri.
Perebutan kekuasaan bukan hanya mengubah hubungan antara proletariat dengan kelas-kelas lain, tetapi juga struktur interalnya sendiri. Penggunaan kekuasaan menjadi kekhususan dari sebuah kelompok sosial tertentu, yang semakin tidak sabar dalam memecahkan “masalah sosial”-nya sendiri, semakin tinggi opininya untuk dirinya sendiri akan misinya. “Dalam sebuah negara proletar, di mana akumulasi kapitalis dilarang bagi anggota-anggota partai penguasa, diferensiasi antar lapisan masyarakat pada awalnya bersifat fungsional, tetapi belakangan menjadi sosial. Saya tidak mengatakan ini adalah sebuah diferensiasi kelas, tetapi secara sosial …” Rakovsky menjelaskan lebih jauh: “Situasi sosial dari seorang komunis yang memiliki sebuah mobil, sebuah apartemen yang baik, liburan rutin, dan menerima gaji maksimum yang diijinkan partai, berbeda dari situasi seorang komunis yang bekerja di tambang batu bara, di mana dia menerima 50 sampai 60 rubel per bulan.” Sambil menjabarkan sebab-sebab degenerasi kaum Jacobin ketika berkuasa – pengejaran kekayaan, partisipasi di dalam kontrak karya pemerintah, menjadi pemasok kebutuhan pemerintah, dll., Rakovsky mengutip sebuah komentar ganjil dari Babeuf yang seakan menyatakan bahwa degenerasi lapisan penguasa baru ini dibantu cukup banyak oleh mantan gadis-gadis muda aristokrat yang akrab dengan para Jacobin. “Apa yang sedang kalian lakukan, kaum plebian[16] berhati picik?” jerit Babeuf. “Sekarang mereka memelukmu, esok mereka akan mencekikmu.” Sebuah sensus mengenai istri-istri lapisan penguasa baru di Uni Soviet akan menunjukkan gambaran yang serupa. Sosnovsky, jurnalis Soviet terkenal itu, menunjukkan peran khusus yang dimainkan oleh “faktor mobil-harem” dalam membentuk moral birokrasi Soviet. Benar bahwa Sosnovsky juga, mengikuti jejak Rakovsky, menyangkal pendapatnya sendiri dan diperbolehkan pulang dari Siberia setelah itu. Tetapi penyangkalan itu tidaklah memperbaiki moral kaum birokrasi. Sebaliknya, justru penyangkalan-penyangkalan ini adalah bukti dari semakin berkembangnya pembusukan moral.
Artikel-artikel lama Sosnovksy, yang diedarkan dalam bentuk tulisan tangan dari orang ke orang, dibubuhi dengan berbagai kisah tak terlupakan mengenai kehidupan lapisan penguasa baru, yang dengan telanjang memperlihatkan betapa jauhnya para penakluk ini telah menyerap moral dari taklukannya. Agar kita tidak kembali ke tahun-tahun yang lalu – karena Sovnovsky akhirnya menukarkan cemetinya dengan harpa di tahun 1934 – kita akan membatasi diri pada contoh-contoh paling segar dari pers Soviet. Dan kita tidak akan memilih berita-berita penyelewengan atau “ekses”, melainkan fenomena sehari-hari yang diwujudkan oleh opini sosial yang resmi.
Direktur sebuah pabrik di Moskow, seorang komunis terkemuka, membanggakan, dalam Pravda, kemajuan budaya dari perusahaan yang dipimpinnya. “Seorang mekanik menelpon: ‘Apa perintah Anda, tuan, periksa tungku sekarang juga atau nanti saja?’ Saya jawab: ‘Tunggu.’ ”[17] Mekanik itu menyapa direkturnya dengan penghormatan yang berlebihan, menggunakan kata ganti jamak orang kedua, sementara sang direktur menjawabnya dengan kata ganti tunggal orang kedua. Dan dialog yang memalukan ini, yang tidak mungkin ditemui dalam budaya manapun di negeri kapitalis, dikemukakan oleh sang direktur sendiri di halaman-halaman Pravda sebagai sesuatu yang normal! Editor Pravda tidak menolaknya karena tidak memperhatikannya. Para pembaca tidak menolaknya karena terbiasa dengan itu. Kami juga tidak terkejut, karena pada salah satu sidang yang mulia di Kremlin, para “pemimpin” dan Komisar Rakyat menyapa dengan kata ganti tunggal orang kedua kepada para direktur pabrik, presiden pertanian kolektif, mandor pabrik dan perempuan pekerja, yang diundang untuk menerima penghargaan. Bagaimana mereka bisa lupa bahwa salah satu slogan revolusioner paling populer di masa kekaisaran Rusia adalah tuntutan penghapusan penggunaan kata ganti plural orang kedua oleh para bos dalam berbicara dengan bawahannya!
Dialog Kremlin antara pihak otoritas dengan “rakyatnya”, yang mengejutkan dalam keangkuhannya, tanpa terbantahkan menjadi saksi bahwa, sekalipun Revolusi Oktober telah dilakukan, demikian pula dengan nasionalisasi alat-alat produksi, kolektivisasi, dan “penghapusan kulak sebagai sebuah kelas”, hubungan antar manusia, dan antara mereka yang berada di puncak piramida Soviet, bukan hanya belum sampai pada sosialisme tetapi juga tertinggal dari negeri kapitalis yang berbudaya. Dalam tahun-tahun terakhir langkah-langkah mundur besar telah diambil dalam lingkup penting ini. Dan sumber dari kebangkitan kembali barbarisme Rusia yang sejati ini jelas-jelas adalah kaum Thermidor Soviet, yang telah memberikan kemandirian penuh dan kebebasan dari kendali kepada sebuah birokrasi yang tidak berbudaya, dan telah memberikan kepada massa sebuah kitab suci yang mengkotbahkan ketundukan dan kebungkaman.
Kami sama sekali tidak berniat mengkontraskan abstraksi dari kediktatoran dengan abstraksi dari demokrasi, dan membandingkan manfaat mereka pada timbangan nalar murni. Semua hal di dunia ini relatif, di mana hanya perubahan yang tetap ada. Kediktatoran partai Bolshevik telah terbukti sebagai salah satu alat terkuat dalam sejarah untuk mencapai kemajuan. Tetapi di sini pula, dalam kata-kata puitis, “Nalar menjadi anti-nalar, kemurahan hati menjadi hama.” Pelarangan atas partai oposisi berikutnya melahirkan pelarangan atas faksi-faksi. Pelarangan atas faksi-faksi berujung pada pelarangan untuk berpikir lain dari pemikiran para pemimpin yang tak mungkin keliru. Pemberhalaan partai yang dibangun oleh kekuatan polisi menghasilkan sebuah birokrasi yang kebal hukum, yang telah menjadi sumber dari semua ketamakan dan korupsi dalam masyarakat.
Akar Sosial Thermidor
Kami telah mendefinisikan Themidor Soviet sebagai sebuah kemenangan birokrasi atas massa rakyat. Kami telah mencoba mengungkap kondisi sejarah dari kemenangan ini. Garda depan revolusioner proletariat sebagian ditelan oleh aparatus administratif dan secara bertahap terdemoralisasi, sebagian dihancurkan di dalam perang sipil, dan sebagian lainnya disingkirkan dan dihancurkan. Massa rakyat yang kelelahan dan kecewa tidak peduli dengan apa yang terjadi di puncak. Walau demikian, kondisi ini tidaklah cukup untuk menjelaskan mengapa birokrasi berhasil mengangkat dirinya ke atas masyarakat dan menggenggam nasibnya sendiri. Tekad bulat mereka sendiri tentunya tidak memadai; munculnya sebuah strata penguasa baru haruslah memiliki penyebab sosial yang dalam.
Kemenangan kaum Thermidor atas kaum Jacobin di abad ke-18 juga terbantu oleh keletihan massa rakyat dan demoralisasi di kalangan para kader pemimpin, tetapi di balik fenomena yang pada hakikatnya insidental ini sebuah proses organik yang dalam tengah terjadi. Kaum Jacobin bersandar pada borjuasi kecil miskin yang terangkat oleh gelombang besar revolusi. Walau demikian, revolusi di abad ke-18, terkait dengan perjalanan perkembangan kekuatan produktif, niscaya akan membawa kelas borjuasi besar ke arah kekuasaan dalam jangka panjang. Kaum Thermidor hanyalah salah satu tahap dalam proses yang niscaya ini. Apa keniscayaan sosial yang serupa yang mendapatkan perwujudannya di dalam Thermidor Soviet? Kami telah mencoba dalam salah satu bab terdahulu untuk mengajukan jawaban sementara terhadap pertanyaan mengapa para gendarme bisa menang. Kita kini harus memperpanjang analisa kami tentang kondisi peralihan dari kapitalisme menuju sosialisme, dan peran negara dalam proses ini. Mari kita bandingkan lagi ramalan teoritik dengan realitas. “Kita masih perlu menekan kaum borjuasi dan perlawanan mereka,” tulis Lenin di tahun 1917, ketika berbicara mengenai satu periode yang harus dimulai segera setelah pengambilalihan kekuasaan, “namun di sini organ penindasan itu kini adalah mayoritas penduduk, dan bukannya berupa minoritas sebagaimana keadaannya sejak dulu … Dalam makna itulah Negara mulai memudar.” Dalam bentuk apakah pemudaran ini terwujud? Terutama dalam fakta bahwa “sebagai ganti lembaga-lembaga khusus yang digenggam kaum minoritas berhak istimewa (para pejabat, komandan tentara reguler), mayoritas itu sendiri dapat dengan langsung menyelenggarakan” fungsi represi. Lenin melanjutkannya dengan sebuah pernyataan aksiomatik dan tak terbantahkan: “Semakin universal pewujudan dari fungsi kekuasaan Negara, semakin tidak diperlukannya kekuasaan ini.” Dihapuskannya kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi menghilangkan tugas utama Negara secara historis – yakni mempertahankan hak istimewa kaum minoritas dari perlawanan mayoritas rakyat.
Dengan demikian, pemudaran Negara dimulai, menurut Lenin, persis di hari di mana para pemeras telah diekspropriasi – yakni, sebelum rejim yang baru ini mendapat waktu untuk menangani masalah-masalah budaya dan ekonominya. Setiap keberhasilan dalam menyelesaikan masalah-masalah ini adalah langkah maju dalam likuidasi atas Negara, dan pelenyapannya dalam masyarakat sosialis. Seberapa jauh likuidasi ini ditempuh adalah tolok ukur terbaik dari kedalaman dan keefektifan dari struktur sosialis tersebut. Secara garis besar kita dapat merumuskan teori sosiologis berikut ini: Kekuatan pemaksaan yang dilaksanakan oleh rakyat dalam sebuah negara buruh berbanding lurus dengan kekuatan kelas borjuis, atau bahaya restorasi kapitalisme, dan berbanding terbalik dengan kekuatan solidaritas sosial dan kesetiaan secara umum pada rejim yang baru. Maka, birokrasi – yakni, “kaum pejabat dan komandan tentara yang memiliki hak istimewa” – mewakili sejenis kekuatan pemaksa khusus yang tidak dapat digunakan atau tidak ingin digunakan oleh rakyat, dan yang, dengan satu atau lain cara, justru melawan rakyat sendiri.
Jika soviet-soviet yang diplomatis masih mempertahankan kekuatan dan kemandiriannya sampai hari ini, tetapi terpaksa mengandalkan represi dan paksaan dengan skala yang ditempuhnya pada tahun-tahun pertama, situasi ini niscaya akan membangkitkan keresahan serius. Seberapa besar keresahan yang harus timbul setelah melihat fakta bahwa soviet-soviet telah menghilang dari panggung, setelah menyerahkan fungsi pemaksaannya pada Stalin, Yagoda[18], dan teman-temannya. Dan betapa kejinya bentuk pemaksaan itu! Pertama-tama kita harus bertanya pada diri sendiri: penyebab sosial apa yang berdiri di balik semakin kuatnya fungsi kepolisian negara Soviet. Pentingnya pertanyaannya ini amat jelas. Karena kita sangat tergantung pada jawaban ini, kita harus memilih apakah akan merevisi pandangan tradisional kita akan masyarakat sosialis secara umum, atau secara sama radikalnya menolak opini-opini resmi yang dikeluarkan oleh rejim Uni Soviet.
Mari sekarang kita ambil dari edisi terakhir koran Moskow, sebuah karakterisasi stereotip dari rejim Soviet saat ini, yang diulangi di seluruh negeri setiap hari dan yang dihapalkan di luar kepala oleh anak-anak sekolah: “Di Uni Soviet, kelas-kelas kapitalis yang parasit, para tuan tanah dan kulak telah dihancurkan sepenuhnya, dan dengan demikian penghisapan manusia oleh manusia diakhiri selamanya. Seluruh perekonomian nasional telah menjadi sosialistik dan gerakan Stakhanov yang tengah berkembang merupakan persiapan kondisi untuk peralihan dari sosialisme ke komunisme.” (Pravda, 4 April 1936) Pers dunia dari Komunis Internasional tentu saja tidak punya komentar yang lain mengenai ini. Tetapi jika penghisapan telah “diakhiri selamanya”, jika negeri ini sungguh telah berada di jalan untuk melangkah maju dari sosialisme, yakni, tahapan terendah dari komunisme, ke tahapan yang lebih tinggi, maka masyarakat tidak punya apa-apa lagi yang harus disingkirkan kecuali menyingkirkan belenggu Negara. Sebaliknya – sungguh sulit bahkan untuk membayangkannya kontras ini – Negara Uni Soviet malah telah mengambil sebuah karakter yang birokratik dan totalitarian.
Kontradiksi fatal yang serupa mendapatkan perwujudannya dalam nasib partai. Di sini masalahnya dapat dirumuskan kira-kira demikian: Mengapa, dari tahun 1917 sampai 1921, ketika kelas-kelas penguasa yang lama masih melakukan perlawanan bersenjata, ketika mereka secara aktif didukung oleh kaum imperialis dari seluruh dunia, ketika kaum kulak yang bersenjata tengah menyabot angkatan bersenjata dan pasokan makanan dari pedesaan, mengapa pada saat itu dimungkinkan perdebatan dengan terbuka dan tanpa dihantui ketakutan di dalam partai tentang berbagai masalah kebijakan yang sangat kritis? Mengapa kini, setelah dihentikannya intervensi asing, setelah dihancurkannya kelas-kelas penindas, setelah keberhasilan industrialisasi, setelah kolektivisasi atas mayoritas besar kaum tani, tidak dimungkinkan bagi kita untuk mengutarakan kata-kata kritis terhadap para pemimpin yang tidak dapat diganti ini? Mengapa setiap kaum Bolshevik yang ingin menuntut diadakannya kongres partai sesuai dengan anggaran dasar segera dipecat, tiap warga yang menyatakan terus-terang keraguannya terhadap Stalin akan diadili dan dihukum seakan dia terlibat dalam sebuah rencana terorisme? Dari mana datangnya intensitas represi dan aparatus polisi yang mengerikan dan kejam ini?
Teori bukanlah sebuah catatan yang dapat tiap saat dipertukarkan begitu saja dengan realitas. Jika sebuah teori terbukti keliru kita harus merevisinya atau mengisi kekurangannya. Kita harus menemukan kekuatan sosial nyata yang telah menyebabkan jurang antara realitas Uni Soviet dan konsepsi Marxian tradisional. Dalam keadaan apapun kita tidak boleh berkelana dalam gelap, mengulang-ulang retorika-retorika, yang hanya berguna untuk mendongkrak prestise para pemimpin, tetapi merupakan tamparan keras atas realitas. Kita kini akan melihat sebuah contoh meyakinkan akan hal ini.
Dalam sebuah pidato di depan sidang Komite Eksekutif Sentral di bulan Januari 1936, Molotov, presiden Dewan Komisar Rakyat, menyatakan: “Perekonomian nasional negeri ini telah menjadi sosialistik. (tepuk tangan) Dalam makna itu [?] kita telah memecahkan masalah penghapusan kelas-kelas (tepuk tangan).” Walau demikian, dari masa lalu masih ada “unsur-unsur yang wataknya bermusuhan dengan kita,” sisa-sisa kelas-kelas penguasa terdahulu. Di samping itu, di antara para petani kolektif, pegawai negeri dan kadang juga di tengah kaum buruh, telah ditemukan para spekulantiki [“spekulator kelas teri”], “para pendompleng kekayaan kolektif dan negara, para penyebar gosip anti-Soviet, dll.” Oleh karena itu, kita masih harus memperkuat kediktatoran. Bertentangan dengan Engels, negara kelas pekerja tidak boleh “tertidur”, sebaliknya harus semakin waspada dari hari ke hari.
Gambaran yang dibuat oleh kepala pemerintahan Soviet pastilah sangat menyejukkan hati, jika saja pernyataan itu tidak mengkontradiksi dirinya sendiri. Sosialisme telah berkuasa penuh di negeri ini. “Dalam makna itu” kelas telah dihapuskan. (Jika kelas telah dihapuskan dalam makna itu, kelas pasti telah dihapuskan dalam semua makna lainnya.) Pastinya, harmoni sosial dirusak di sana-sini oleh sisa-sisa dari masa lalu, tetapi mustahil untuk berpikir bahwa para pemimpi kembalinya kapitalisme ini, yang telah dilucuti kekuatan dan kekayaannya, bersama dengan para “spekulator kelas teri” (bahkan bukan spekulator kelas kakap) dan para “penggosip” sanggup menggulingkan masyarakat tanpa kelas. Semua hal berjalan dengan mulus, nampaknya, hal terbaik yang dapat Anda bayangkan. Tetapi, kalau demikian, apa lagi gunanya kediktatoran besi dari birokrasi?
Para pemimpi reaksioner ini, kita harus percaya, akan punah perlahan-lahan. Para “spekulator kelas teri” dan “penggosip” akan disingkirkan dengan sangat mudah oleh Soviet-Soviet yang super-demokratik. “Kita bukanlah kaum Utopian,” demikian tanggapan Lenin di tahun 1917 pada para teoritisi borjuis dan reformis negara birokratik, dan “sama sekali tidak menyangkal kemungkinan dan keniscayaan adanya ekses dari beberapa individu, dan perlunya menekan ekses-ekses tersebut. Namun … untuk ini tidak diperlukan sebuah mesin khusus, sebuah apartus penindasan yang istimewa. Ini akan dikerjakan oleh rakyat bersenjata itu sendiri, dengan kesederhanaan dan kemudahan yang serupa di mana serombongan orang beradab bahkan di masyakarat kontemporer memisahkan dua orang yang berkelahi atau menghentikan terjadinya kekerasan terhadap perempuan.” Kata-kata itu terdengar seakan penulisnya telah meramalkan komentar yang dibuat oleh salah satu penerusnya sebagai kepala pemerintahan. Tulisan-tulisan Lenin diajarkan di sekolah-sekolah negeri di Uni Soviet, tetapi nampaknya tidak di antara para anggota Dewan Komisar Rakyat. Jika mereka mempelajarinya, mustahil untuk menjelaskan keberanian Molotov untuk menggunakan konstruksi teori yang sudah dihantam habis-habisan oleh Lenin sendiri. Kontradiksi yang memalukan antara sang pelopor dengan penerus-penerusnya ada di hadapan kita! Sedangkan Lenin berpendapat bahwa penghapusan kelas-kelas penindas dapat dilakukan bahkan tanpa memerlukan sebuah aparatus birokratik, Molotov, ketika menjelaskan mengapa, setelah penghapusan kelas dalam masyarakat, mesin birokratik masih saja mencekik kebebasan rakyat, tidak dapat menemukan alasan yang lebih baik daripada merujuk pada “sisa-sisa” dari kelas yang telah dilikuidasi.
Walau demikian, untuk bersandar pada “sisa-sisa” ini semakin hari semakin sulit, karena menurut pengakuan para wakil resmi birokrasi itu sendiri, mereka yang menjadi musuh kelas di masa lalu telah dengan sukses diserap ke dalam masyarakat Soviet. Dengan begitu, Postyshev[19], salah satu sekretaris Komite Sentral partai, mengatakan di bulan April 1936, di hadapan kongres Liga Pemuda Komunis: “Banyak dari para sabotur … telah bertobat dengan sungguh-sungguh dan bergabung dengan jajaran rakyat Soviet.” Dalam pandangannya tentang keberhasilan pelaksanaan kolektivisasi, “anak-anak para kulak janganlah dianggap bertanggung jawab atas kesalahan orang tua mereka.” Dan lalu: “Para kulak itu sendiri kini nyaris tidak lagi percaya akan kemungkinan mereka kembali ke posisi terdahulu sebagai penghisap di pedesaan.”
Bukannya tanpa alasan pemerintah membatalkan pembatasan-pembatasan yang berhubungan dengan keturunan sosial seseorang! Tetapi jika pernyataan Postyshev, yang direstui sepenuhnya oleh Molotov, dapat dipahami, artinya hanya ini: Birokrasi bukan hanya menjadi sebuah anakronisme yang tidak dapat diterima, namun pemaksaan oleh negara secara umum tidak lagi mempunyai tempat di wilayah Uni Soviet. Walau demikian, baik Molotov maupun Postyshev tidak sepakat dengan kesimpulan yang mutlak itu. Mereka memilih tetap memegang kekuasaan sekalipun harus membayarnya dengan mengkontradiksi diri mereka sendiri.
Dalam kenyataannya, mereka juga tidak dapat menolak kekuasaan. Atau, untuk menerjemahkan ini ke dalam bahasa objektif: masyarakat Soviet hari ini tidak dapat berjalan tanpa sebuah negara, atau bahkan – dalam batasan tertentu – tanpa sebuah birokrasi. Tetapi penyebab hal ini sama sekali bukan sisa-sisa menyedihkan dari masa lalu, melainkan kekuatan-kekuatan dan tendensi-tendensi yang kuat di masa sekarang ini. Pembenaran atas keberadaan sebuah negara Soviet sebagai sebuah aparatus pemaksa terletak pada fakta bahwa struktur transisional yang sekarang ada masih penuh dengan kontradiksi sosial, yang dalam lingkup konsumsi – yang paling dekat dan terasa oleh semua orang – berlangsung dengan penuh ketegangan, dan selamanya mengancam untuk menerobos ke dalam lingkup produksi. Kemenangan sosialisme tidak dapat dinyatakan sebagai mutlak atau tak tergoyahkan.
Basis bagi kekuasaan birokratik adalah kemiskinan masyarakat dalam hal obyek konsumsi, yang hasilnya adalah pertarungan satu dengan yang lainnya. Ketika terdapat cukup barang di satu toko, para pembeli dapat datang kapanpun mereka inginkan. Ketika barang sedikit, para pembeli terpaksa mengantri. Ketika antrian terlalu panjang, perlulah ditunjuk seorang polisi untuk menjaga ketertiban. Demikianlah awal munculnya kekuasaan birokrasi Soviet. Mereka “tahu” siapa yang harus mendapat jatah terlebih dahulu dan siapa yang harus menunggu.
Peningkatan level material dan kebudayaan seharusnya, sepintas kilas, mengurangi kebutuhan adanya pengistimewaan, mempersempit lingkup penerapan “hukum borjuis”, dan dengan demikian menggerus dasar pijakan bagi mereka yang mempertahankan hukum itu: birokrasi. Kenyataannya, yang terjadi malah sebaliknya: peningkatan kekuatan produktif telah, sejauh ini, diiringi oleh perkembangan ekstrim dari segala bentuk ketidakadilan dan hak istimewa, dan dengan begitu, birokratisme. Ini juga bukan satu hal yang kebetulan.
Di periode awal, rejim Soviet jelas jauh lebih egaliter dan kurang birokratis daripada yang sekarang. Tetapi ini adalah kesetaraan kemiskinan. Sumberdaya negeri begitu menyedihkan sehingga tidak ada peluang untuk memisahkan sebuah lapisan teristimewakan dari massa rakyat. Pada waktu bersamaan, watak “menyamaratakan” dari upah, yang menghancurkan motivasi individual, menjadi sebuah rem bagi perkembangan kekuatan produktif. Perekonomian Soviet harus mengangkat diri dari kemiskinan ke satu tingkat yang agak lebih tinggi sebelum lemak-lemak hak istimewa dimungkinkan. Kondisi produksi saat ini masih jauh untuk menjamin terpenuhinya semua kebutuhan bagi setiap orang. Tetapi kondisinya sudah mencukupi untuk memberi hak istimewa yang signifikan bagi sekelompok minoritas dan mengubah ketidaksetaraan menjadi sebuah cambuk untuk menggenjot mayoritas. Inilah alasan pertama mengapa pertumbuhan produksi sejauh ini tidak memperkuat watak sosialis, melainkan watak borjuis dari negara.
Tetapi itu bukanlah satu-satunya alasan. Di samping faktor ekonomi yang mendikte metode pembayaran kapitalis yang sekarang digunakan, terdapat pula sebuah faktor politik di dalam jajaran birokrasi itu sendiri. Pada hakikatnya yang terdalam, mereka adalah pembangun dan penjaga ketidaksetaraan. Mereka bangkit pada awalnya sebagai organ borjuis dalam sebuah negara buruh. Dalam mendirikan dan mempertahankan hak-hak istimewa sekelompok minoritas, mereka jelas mengambil yang terbaik dari masyarakat bagi diri mereka sendiri. Tidak seorang pun dari mereka yang menguasai pembagian kekayaan akan mengecualikan diri mereka. Dengan begitu, dari sebuah keniscayaan sosial, tumbuhlah sebuah organ yang telah melampaui fungsi sosial yang layak baginya, dan menjadi sebuah faktor independen dan dengan demikian sumber bahaya besar bagi keseluruhan organisme sosial.
Makna sosial dari kaum Thermidor Soviet kini mulai mengambil bentuk di hadapan kita. Kemiskinan dan keterbelakangan kultural massa sekali lagi berinkarnasi ke dalam bentuk seorang penguasa yang mengerikan yang memegang pentungan besar di tangannya. Birokrasi yang dulu disingkirkan dan dicaci, dari posisinya sebagai pelayan masyarakat, sekali lagi telah menjadi tuannya. Dalam perjalanannya, mereka telah meraih tingkat keterpisahan sosial dan moral dari massa rakyat yang begitu besar, sehingga kini tidak ada lagi kontrol terhadap aktivitas maupun pendapatan birokrasi itu.
Ketakutan kaum birokrasi, yang nampak mistis, atas “spekulator kelas teri, para koruptor dan penggosip” kini mendapatkan penjelasan alamiahnya. Karena belum sanggup memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, perekonomian Soviet menciptakan dan membangkitkan, pada tiap langkahnya, kecenderungan untuk korupsi dan berspekulasi. Di sisi lain, hak-hak istimewa dari aristokrasi yang baru ini membangkitkan, di tengah massa rakyat, sebuah kecenderungan untuk mendengarkan “gosip-gosip” anti-Soviet – yakni, pada setiap orang yang, sekalipun dengan bisik-bisik, mengkritisi para bos yang rakus dan tamak. Dengan demikian, ini bukanlah masalah mengenai hantu-hantu masa lalu, atau sisa-sisa dari apa yang tidak lagi ada, tetapi mengenai kecenderungan baru, yang sangat kuat dan terus lahir kembali untuk mengakumulasi kekayaan secara pribadi. Gelombang kesejahteraan pertama yang masih sangat lemah di negeri ini, justru karena kelemahannya, bukannya menggerogoti namun justru menguatkan kecenderungan-kecendrungan ini. Di pihak lain, berkembanglah secara bersamaan sebuah hasrat dari kaum yang tidak berpunya untuk menampar tangan-tangan rakus para bangsawan baru itu. Pertarungan sosial kembali tumbuh menajam. Demikianlah sumber kekuasaan birokrasi. Namun, dari sumber yang sama ini juga mengalir sebuah ancaman terhadap kekuasaannya.
Catatan
[1] Thermidor adalah istilah yang digunakan Trotsky untuk merujuk pada kaum birokrasi Soviet yang telah mengkhianati Revolusi Oktober. Secara lebih umum, Thermidor menandai epos dimana rakyat mulai letih dan elemen-elemen yang lebih konservatif dan birokratis mengambil alih kendali revolusi. Istilah ini diambil dari konter-revolusi yang terjadi menyusul Revolusi Prancis 1789. Pada tanggal 27 Juli 1794 (Thermidor ke-9), pemerintahan Jacobin yang revolusioner digulingkan oleh elemen-elemen yang lebih konservatif, dan ini berakhir dengan perebutan kekuasaan oleh Napoleon Bonaparte pada tanggal 19 November 1799. Napoleon menproklamirkan dirinya sebagai Kaisar seumur hidup dan mengubur hampir semua pencapaian Revolusi Prancis.
[2] Alexander Kerensky (1882-1970) adalah anggota sayap kanan partai Sosialis Revolusioner. Saat Revolusi Februari, Kerensky adalah wakil ketua Soviet Petrograd. Dia menjadi Menteri Kehakiman dalam pemerintahan yang baru dibentuk. Dia lalu menjabat sebagai Perdana Menteri yang terakhir dari Pemerintahan Sementara sebelum digulingkan oleh Revolusi Oktober.
[3] Irakli Tsereteli (1882-1959) adalah pemimpin Menshevik. Ia adalah anggota Komite Eksekutif Soviet Petrograd pada tahun 1917. Tsereteli menjadi Menteri Pos dan Telegraf pertama dalam Pemerintahan Sementara. Setelah insiden Juli pada tahun 1917 dia menjadi Menteri Dalam Negeri, menggantikan Prince Lvov. Setelah Revolusi Oktober Tsereteli memimpin blok anti Soviet dalam Majelis Konstituante yang menolak mengakui Pemerintahan Soviet. Selama Perang Sipil Tsereteli membantu mendirikan pemerintahan Menshevik di Georgia. Setelah Stalin memimpin Tentara Merah untuk menyerang Georgia (yang kemudian dikenal sebagai Insiden Georgia), pemerintahan Menshevik digulingkan dan Tsereteli kemudian meninggalkan Rusia.
[4] Christian Rakovsky (1873-1941) adalah salah seorang pemimpin Oposisi Kiri yang terkemuka. Berasal dari Bulgaria, Rakovsky aktif di Bulgaria dan Rumania pada awal hidupnya. Dia lalu pindah ke Rusia pada tahun 1917 dan bergabung dengan Partai Bolshevik. Dia menjadi presiden pemerintahan Soviet Ukraina pada tahun 1919. Setelah kematian Lenin, Rakovsky bergabung dengan Oposisi Kirinya Trotsky. Bersama dengan semua kawan-kawan Oposisi Kirinya, dia dipecat dari partai pada tahun 1927 dan diasingkan. Selama bertahun-tahun, Rakovsky adalah salah satu dari sedikit kaum Oposisi Kiri yang tidak menyerah kepada Stalin. Hanya pada tahun 1934, karena khawatir akan naiknya Hitler dan Nazi, dia “mengakui kesalahannya” dan diterima kembali ke partai. Namun tidak lama kemudian, dia ditangkap pada saat Pengadilan Moskow 1938 dan dituduh berkonspirasi dengan Trotsky untuk menggulingkan Stalin. Dihukum kerja paksa selama 20 tahun, dia akhirnya dieksekusi atas perintah Stalin pada tahun 1941.
[5] Francois-Noel Babeuf (1760-1797) adalah seorang agitator politik dan jurnalis pada saat Revolusi Prancis. Setelah dieksekusinya para Jacobin revolusioner, Babeuf dengan bersemangat membela mereka dan menyerang kaum Thermidor. Sebagai akibatnya dia ditangkap dan akhirnya dieksekusi.
[6] Pemogokan Umum 1926 di Inggris adalah sebuah pemogokan yang berlangsung selama 10 hari dari 3 Mei 1926 hingga 13 Mei 1926. Pemogokan umum ini diserukan sebagai solidaritas terhadap pekerja tambang, dan diikuti oleh 4,5 juta buruh. Akan tetapi pemogokan yang mempunyai potensi revolusi ini dikhianati oleh para pemimpin reformis serikat buruh.
[7] Josef Pilsudski (1867-1935) adalah seorang diktator dari Polandia. Pada Bulan Mei 1926, Pilsudski naik ke tampuk kekuasaan melalui sebuah kudeta yang didukung bahkan oleh Partai Komunis Polandia. Kediktatoran Pilsudski berlangsung sampai tahun 1935.
[8] Revolusi Cina tahun 1927, dihancurkan oleh sekutunya Stalin, Chiang Kai-shek. Revolusi Cina pada tahun 1927 adalah isu utama dalam perselisihan dalam perjuangan faksi-faksi pada tahun yang sama antara Oposisi Kiri dan Stalin. Kepemimpinan Partai Komunis Cina, memutuskan untuk mengikuti garis perwakilan Komintern, yakni mendukung kelas borjuis nasional dan mengorganisir kelas pekerja di Shanghai dan Canton untuk menyambut tentara nasionalis revolusioner Chiang Kai-shek. Tidak lama berselang, ribuan anggota Partai Komunis dieksekusi dan kaum Komunis di sebagian besar pusat-pusat perkotaan Cina dibasmi.
[9] Chiang Kai-Shek (1887-1975) adalah seorang pemimpin militer Cina. Dia membantu Sun Yat Sen dalam membangun Pasukan Nasionalis Cina setelah deklarasi Republik Cina pada tahun 1911. Dia lalu menggantikan Sun Yat Sen sebagai pemimpin Kuomintang setelah kematiannya pada tahun 1925. Di bawah kepemimpinan Chiang Kai-Shek, Kuomintang bergerak ke kanan dan akhirnya membantai Partai Komunis Cina pada perang sipil tahun 1927-1929. Setelah Revolusi Cina 1949, Chiang Kai-Shek lari ke Taiwan dengan pasukannya pada bulan Desember 1949 dan membentuk pemerintahan kediktatoran satu partai di Taiwan.
[10] Nadya Krupskaya (1869-1939) adalah seorang Bolshevik. Dia bertemu dengan Lenin di kelompok studi Marxis dan lalu mereka menikah pada tahun 1898. Dia sangat aktif dalam bidang pendidikan dan perpustakaan. Dia bekerja untuk Komisariat Pendidikan di pemerintahan Soviet. Pada tahun 1926, dia mendukung Oposisi Kiri tetapi kemudian menentangnya sebelum mereka dipecat dari partai. Namun pada akhirnya dia tetap diisolasi oleh Stalin dan tidak berdaya melawannya.
[11] Pemberontakan Kronstadt terjadi pada Maret 1921, dimana para pelaut Kronstadt memberontak melawan Soviet. Pemberontakan ini adalah ekspresi dari kelelahan dan keletihan massa Soviet yang menghadapi kemiskinan dan kelaparan akibat perang sipil. Komposisi utama dari pelaut Kronstadt pada saat itu adalah anak-anak petani yang gandumnya disita oleh Soviet untuk perang sipil. Trotsky menggambarkan pemberontakan ini sebagai aksi “kontra-revolusioner” yang didukung oleh Tentara Putih, Menshevik, dan Sosial Revolusioner untuk menjatuhkan Soviet. Kedua pihak masing-masing menderita kira-kira 1000-2000 korban.
[12] Jacobin adalah sebuah kelompok yang memimpin revolusi borjuis Perancis pada 1789-93. Ungkapan tersebut sekarang digunakan mengacu pada tradisi perjuangan radikal demokratik-revolusioner dari gerakan demokratik borjuis melawan tirani.
[13] Napoleon Bonaparte (1769-1821) adalah seorang pemimpin militer dan Kaisar Prancis. Pada tanggal 9 November 1799, dia melakukan kudeta terhadap Republik Prancis yang lahir dari Revolusi Prancis 1789, dan memulai reaksi Thermidor dimana dia mengangkat dirinya sebagai Kaisar Prancis.
[14] GPU adalah badan polisi rahasia Uni Soviet yang dibentuk pada tahun 1922 sampai 1934, dan akhirnya berubah nama menjadi KGB yang terkenal itu. Badan kepolisian rahasia ini adalah alat represi utama Stalin untuk membungkam oposisi politik terutama dari Oposisi Kirinya Trotsky.
[15] Inkuisisi Suci adalah sistem tribunal yang dibentuk oleh gereja Katolik pada abad ke-16 sampai abad ke-18 untuk mengadili dan menghukum mereka yang ajarannya atau penemuannya membahayakan dogma dan kekuasaan gereja.
[16] Plebian dalam perabadan Romawi Kuno adalah kelompok warga rakyat biasa dari warga Romawi. Di dunia Barat, plebian merujuk pada warga kelas bawah.
[17] Mustahil untuk menyampaikan nada dialog ini dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Kata ganti tunggal orang kedua di Rusia digunakan untuk merujuk pada anak kecil, budak, atau binatang sebagai tanda superioritas.
[18] Genrikh Yagoda (1891-1938) adalah kepala NKVD (polisi rahasia Soviet) dari 1934-1936. Dia memimpin Persidangan Moskow pertama pada tahun 1936, tetapi pada Persidangan Moskow 1938 dia sendiri akhirnya dituduh berkonspirasi melawan pemerintah Soviet, dan akhirnya dieksekusi.
[19] Pavel Petrovich Postyshev (1887-1939) adalah sekretaris Komite Sentral Partai Komunis Ukraina. Dia bertanggungjawab atas pembersihan terhadap kaum oposisi disana dimana lebih dari 100 ribu anggota Bolshevik Ukraina dipecat, diasingkan, atau ditembak. Dia juga memimpin kolektivisasi penuh di Ukraina yang menyebabkan jutaan rakyat mati karena kelaparan pada tahun 1932-33. Tetapi pada akhirnya dia menjadi korban dari Pembersihan Hebat dan dieksekusi atas perintah Stalin.