Prabowo telah duduk di Istana Kepresidenan menggantikan Jokowi. Setelah dua kali melawan Jokowi dalam dua pemilu terakhir, akhirnya dia berhasil menang. Kaum liberal sungguh-sungguh ketakutan terhadap prospek kediktatoran dan otoritarianisme. ‘Raja Jawa’ kini digantikan ‘Hitler Jawa’. ‘Hitler Jawa’ akan membunuh demokrasi dan konstitusi, begitu kata mereka.
Artikel di Majalah Tempo yang berjudul “Hitler Jawa” sungguh mencerminkan ketakutan kaum liberal ini. Judulnya sangat sensasional tetapi tidak mengandung muatan analisa sosial sama sekali. Keluhan dalam artikel tersebut seringkali kita dengar juga dari kaum liberal. Mereka mengeluhkan rakyat terlalu bodoh karena mengikuti perilaku elite otoriter. Tetapi bagaimana rakyat bisa mengikuti elite otoriter dan apa yang melatar belakanginya mereka tidak menjelaskan.
Tidak ada analisa sosial sama sekali selain histeria. Mereka berpikir dengan histeria mereka dapat menakut-nakuti banyak orang. Tetapi histeria ini tidak dapat membantu siapa pun. Ini juga tidak mencegah prospek bangkitnya fasisme dan kediktatoran. Tugas kaum revolusioner bukanlah terjerumus dalam histeria dan sensasionalisme kosong yang merupakan pendekatan khas kaum liberal. Kita harus memahami akar dari setiap fenomena agar dapat menavigasi politik kita dengan tepat.
Kaum liberal melihat sejarah dari sudut pandang orang-orang besar yang memiliki kehendak bebas. Mereka melihat kekuasaan dan politik dari orang-orang penuh ambisi pribadi. Mereka mengatakan, kekuasaan adalah posisi dominan yang diraih dari kompetisi orang-orang yang saling menyingkirkan. Tentu saja ambisi pribadi memainkan peran, tetapi ambisi pribadi mustahil dapat terwujud tanpa kondisi sosial yang mengizinkannya. Manusia membuat sejarahnya sendiri, tetapi mereka tidak membuatnya sesuai keinginan mereka; mereka tidak membuatnya dalam keadaan yang mereka pilih sendiri, tetapi dalam keadaan yang sudah ada, yang diberikan dan ditransmisikan dari masa lalu.
Argumen bahwa kekuasaan adalah hasil kompetisi orang-orang saling menyingkirkan juga sepenuhnya tidak tepat. Ini juga tidak menjelaskan mengapa figur-figur tertentu terpilih dalam pemilu dan yang lain tidak. Di dalam demokrasi borjuis, hanya orang-orang kayalah yang memiliki akses terhadap kompetisi dan kekuasaan. Meskipun dalam demokrasi borjuis rakyat sebagai subjek pasif, tetapi pilihan mereka terhadap figur politik tertentu memiliki alasan tersendiri. Ini tidak bisa dilihat dari kebodohan rakyat dalam menoleransi elite otoriter, tetapi dapat dilihat dari kondisi sosial yang melatarbelakanginya. Pilihan rakyat kepada Prabowo memiliki basis sosial yang tidak dapat dilihat oleh kaum liberal.
Setelah Gerakan Reformasi 1998, rakyat memiliki ilusi yang kuat terhadap demokrasi. Rakyat memimpikan bahwa demokrasi yang diraih setelah penumbangan kediktatoran Soeharto dapat menyelesaikan masalah dasar mereka. Bagi rakyat pekerja demokrasi pada akhirnya merupakan sarana untuk mendapatkan upah dan kesejahteraan lebih baik. Tetapi masalah dasar ini tidak terselesaikan setelah Gerakan Reformasi 1998.
Pengangguran menjadi masalah kronis. Jumlah pengangguran tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Pada tahun 1998, jumlah pengangguran mencapai 5 juta jiwa dan tingkat pengangguran terbuka mencapai 5,46 persen. Pada tahun 1999 menjadi 6 juta jiwa dengan tingkat pengangguran terbuka mencapai 6,36 persen. Pada tahun 2000 ada sedikit penurunan 5,8 juta jiwa dengan tingkat pengangguran terbuka 6,08 persen. Sejak dari tahun 2000an tingkat pengangguran terus meningkat, dan mencapai puncaknya pada 2005, dengan jumlah penganggur mencapai 11,9 juta jiwa dan tingkat pengangguran terbuka mencapai 11,24 persen. Hingga 2024 pengangguran mencapai 7,2 juta jiwa dengan tingkat pengangguran terbuka 4,91 persen. Meskipun di tahun 2024 pengangguran lebih kecil dibanding tahun-tahun sebelumnya, ini tidak mampu mengubah tren pengangguran yang ada setelah 1998.
Pada 2021, 7 dari setiap 10 orang penduduk Indonesia adalah orang dengan pendapatan menengah ke bawah. Jumlah penduduk miskin mencapai 26 juta orang pada September 2022. Angka itu belum termasuk orang-orang yang rentan miskin dan yang sedang terdorong ke garis kemiskinan. Bagi rakyat pekerja bisa makan dan mendapatkan tempat tinggal layak adalah masalah yang dihadapi sehari-hari. Bagi mereka demokrasi yang ada saat ini tidak memecahkan masalah mereka.
Sebelum Jokowi menjadi presiden, ada kemuakan terhadap partai-partai politik yang ada. Partai-partai politik yang ada begitu dibenci. Partai-partai ini begitu korup sehingga partai-partai ini begitu terasing dari rakyat. Jokowi saat itu terlihat sebagai sosok yang ‘merakyat’ di luar mesin partai-partai politik yang ada. Jokowi menjadi Kartu As bagi partai-partai politik yang sudah kehilangan legitimasi, begitu pula dia menjadi harapan bagi rakyat yang sudah muak dengan partai-partai politik yang ada.
Karena tidak ada alternatif revolusioner, maka kondisinya setali tiga uang. Rakyat berharap pada Jokowi, begitu pula partai-partai yang ada menggantungkan nasib mereka terhadap Jokowi. Di awal masa kekuasaannya, Jokowi mungkin masih berada di bawah tekanan kepentingan partai yang membawanya. Tapi segera setelahnya dia mengangkat dirinya di atas partai dan memiliki kendali atas lembaga-lembaga legislatif dan yudikatif di bawahnya. Inilah yang kemudian menjadi basis bagi bangkitnya ‘Raja Jawa’. Seorang sosok yang bisa menggunakan semua trik hukum, demokrasi dan konstitusi demi kepentingannya sendiri.
Kita harus mengingat bahwa kaum liberal yang sama juga yang bersorak-sorai dan mendukung pencalonan Jokowi. Mereka berharap pada Jokowi untuk memecahkan kebuntuan demokrasi. Mereka melihat Jokowi sebagai sosok di luar partai-partai yang ada dan menjadi pintu harapan mereka. Kondisi ini menabur ilusi adanya sosok ‘Ratu Adil’ dalam memecahkan masalah demokrasi. Kenyataannya ini justru sebaliknya: membutakan mata rakyat.
Mereka melihat sejarah dari sudut pandang orang-orang besar, sehingga dari sudut pandang mereka masuk akal bila menyokong figur-figur status quo. Bagi mereka rakyat terlalu bodoh. Masalah kekuasaan serahkan saja pada orang-orang yang berada di kekuasaan. Bila dalam pemilu sebelumnya menyokong Jokowi, maka di pemilu 2024 mereka menyokong Anies untuk menghentikan Prabowo.
Tentu saja kelas penguasa secara keseluruhan melihat bahwa demokrasi merupakan katup paling kuat dan aman untuk mengamankan kekuasaan mereka. Demokrasi memungkinkan berbagai faksi kapitalis menyelesaikan perbedaan dan perselisihan dengan cara damai. Tetapi dalam krisis kapitalisme, mereka perlu memiliki orang-orang yang mereka percayai untuk mengamankan kepentingan mereka. Tidak peduli apakah itu mengangkangi mekanisme demokrasi atau tidak. Kepentingan kelas mereka secara keseluruhan lebih penting di atas demokrasi.
Dalam kondisi demikian kelas penguasa memerlukan figur seperti ‘Raja Jawa’. Meskipun sang raja tidak dapat berkuasa selamanya, tetapi elemen ‘Raja Jawa’ masih eksis. Ini bukan karena karakter bawaan individu. Ini merupakan cerminan krisis kapitalisme. Krisis kapitalisme berarti krisis dalam demokrasinya
Setelah dua periode berkuasa, Jokowi fokus menggenjot infrastruktur dan proyek-proyek strategis. Wajah merakyat menjadi wajah bengis yang menggilas semua hak-hak demokrasi untuk mengamankan modal. Tetapi di bawah pemerintahannya, ketimpangan dan kemiskinan masih jauh dari terselesaikan. Inilah mengapa program makan siang dan susu gratis Prabowo-Gibran lebih mengena dibandingkan misalnya program internet gratisnya Ganjar atau bahkan isu keadilan dan demokrasi yang abstrak.
Kini semua berlalu. Pintu tidak dapat diputar kembali. Rakyat berpikir bahwa esok lebih baik dari hari kemarin, dan mungkin bagi mereka, di bawah Prabowo kondisi akan jauh lebih baik. Kini rakyat menaruh harapan kepada Prabowo. Ini bukan salah mereka, tetapi kesalahan kaum liberal yang sebelumnya menebar ilusi pada demokrasi.
Mungkinkah Prabowo akan bermutasi menjadi “Hitler Jawa”?
Kediktatoran tidak bisa semata-semata begitu saja diimplementasikan tanpa kondisi sosial yang melatarbelakanginya. Kediktatoran tidak dapat digunakan kelas penguasa sesuka hati sebagai pilihan kehendak individu. Itu hanya mungkin terjadi dalam kondisi tertentu dalam perjuangan kelas.
Kondisi yang melatar-belakangi kediktatoran sering kali didahului oleh revolusi. Revolusi tidak bisa berlangsung terus menerus. Satu kelas pada akhirnya harus menang atas kelas yang lain. Di Jerman, kemenangan Hitler merupakan hasil dari serentetan kekalahan dan demoralisasi setelah revolusi karena pengkhianatan SPD dan kekeliruan kebijakan KPD selama 1918-1933. Begitu pula di Italia dengan Dua Tahun Merah, sebuah periode revolusioner sebelum revolusi ini kalah karena pengkhianatan PSI dan CGL pada 1919-1920.
Dalam kondisi tidak ada satu pun kelas yang dapat memenangkan pertarungan, baik borjuasi maupun proletariat, maka kelas penguasa menunjuk bayonet untuk memulihkan ketertiban. Di Jerman dan Italia mereka dengan sadar membiayai gerakan fasis untuk meremukkan gerakan buruh. Begitu pula dengan munculnya kediktatoran-kediktatoran di Asia Tenggara. Kekuasaan para junta militer ini muncul karena kelas borjuasi terlalu lemah untuk memulihkan kekuasaan setelah revolusi. Kelas kapitalis lebih memilih kehilangan mahkota daripada kehilangan seluruh isi dompet mereka. Dengan kata lain, untuk kasus di Jerman dan Italia, kelas kapitalis lebih memilih kediktatoran untuk membeli nyawa mereka, meskipun dengan banyak luka di kepala mereka.
Pemerintahan Prabowo tidak memiliki prospek kediktatoran seperti Hitler di Jerman. Kelas pekerja Indonesia belumlah bergerak meluncurkan revolusi. Kelas kapitalis tidak melihat diperlukannya kediktatoran untuk menjaga kepentingan mereka dari gerakan buruh.
Tidak ada basis sosial bagi lahirnya kediktatoran maupun fasisme pada saat ini. Saat ini, di tengah krisis kapitalisme, mereka hanya membutuhkan sosok yang dapat menjamin kestabilan bisnis kapitalis. Ketidakstabilan geopolitik dunia dan perang dagang semakin mempersempit pasar kapitalis. Kondisi ini memerlukan jaminan upah murah dan membutuhkan pengaturan tenaga kerja yang lebih fleksibel. Kelas penguasa tidak membutuhkan fasisme seperti Hitler. Sejauh ini kelas penguasa cukup puas dengan menggunakan pentungan polisi dan menyuap birokrat reformis serikat buruh untuk memadamkan gejolak dari bawah.
Apa yang akan kita hadapi ke depan?
Dalam pidato pelantikannya di Senayan kemarin Prabowo memberikan pidato ambisius. Dia menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas 8 persen dan swasembada pangan. Tetapi dengan kondisi krisis dan peperangan, semua ambisi ini akan menguap ke udara.
Meskipun dengan polesan yang berbeda, Prabowo mencitrakan diri sebagai pemerintahan keberlanjutan dari sebelumnya. Demi melaksanakan janji kampanyenya, Prabowo akan terpaksa memberikan makan siang gratis yang diperkirakan memakan anggaran 460 triliun per tahun. Tetapi ini tidak mudah dilakukan.
Tidak ada ruang moneter bagi kebijakan tersebut karena 45 persen pendapatan negara digunakan membayar utang. Tidak ada makan siang gratis. Program-program ini pada akhirnya dibebankan pada pembayar pajak. Siapa pembayar pajak tersebut? Itu bukan kelas kapitalis, melainkan kelas pekerja.
Dunia juga diguncang perang dan proteksionisme. Tidak ada prospek kestabilan untuk memuluskan kebijakan Prabowo. Bulan madu pemerintahan Prabowo akan berakhir. Cepat atau lambat pemerintahan Prabowo akan dihadapkan dengan realita krisis kapitalisme sesungguhnya. Dalam kondisi demikianlah dia harus berhadapan dengan rakyatnya sendiri. Rakyat pekerja belum dikalahkan. Di sinilah perjuangan kelas ada dalam agenda. Sebelum ada prospek kediktatoran, rakyat pekerjalah yang akan bertempur mati-matian mengalahkannya!