Bom perang dagang akhirnya mendarat juga ke Indonesia dan ledakannya sungguh membuat pemerintah kocar-kacir. Awalnya perang dagang ini tampaknya hanya akan melibatkan ekonomi-ekonomi besar yang tengah berseteru tajam: AS, China, dan Eropa. Indonesia merasa aman-aman saja. Paling banter perang dagang AS-China akan berdampak tidak langsung dengan melambatnya perekonomian dunia. Tetapi Trump punya rencana lain. Dengan sekali sapu dia kenakan tarif ke semua negara yang berdagang dengannya, yang langsung mengguncang tatanan dunia. Dalam waktu beberapa hari saja, 10 triliun dolar raib dari bursa saham dunia. Itu setara dengan 7 kali total GDP Indonesia. Tidak ada satupun negara yang kebal dari perang dagang yang tengah berkecamuk.
Kita diingatkan pada krisis global 2008 ketika banyak pemerintah mengira mereka bisa “decoupling” dari krisis subprime mortgage AS saat itu. Tetapi sistem ekonomi dunia telah menjadi begitu terintegrasi. Krisis di satu negara dengan cepat menyebar seperti epidemi.
“Trump sudah gila,” begitu pikir banyak pengamat. Pada kenyataannya, dia hanyalah personifikasi dari sistem kapitalisme yang sudah gila. Kecenderungan proteksionisme sudah dimulai jauh-jauh hari sebelum dia menjabat sebagai presiden, yang merupakan konsekuensi tak terelakkan dari krisis kapitalisme.
Ketika ada cukup pasar untuk semuanya, perdagangan bebas dielu-elukan. Globalisasi menjadi mantra ajaib yang dapat mengubah batu menjadi emas. Tetapi kini semua telah berbalik. Kapitalisme memasuki krisis overproduksi, sebuah kontradiksi yang tidak pernah bisa ia hindari. Terlalu banyak barang, terlalu banyak industri, terlalu banyak peradaban. Tidak cukup pasar untuk dibagi-bagi di antara kapitalis. Kini tiap-tiap negara berebut pasar dan mencoba melindungi pasar serta industri dalam negeri mereka. Globalisasi telah berakhir dan kita tengah memasuki era proteksionisme.
Inilah esensi dibalik apa yang tampaknya seperti absurditas tarif Trump. AS berusaha keluar dari kesulitan ekonomi mereka dengan menyerang negara-negara lain, tidak hanya musuh utamanya tetapi juga bahkan sekutu-sekutunya.
Selama ini pemerintah Indonesia berusaha tidak membuat terlalu banyak suara. Dengan apa yang mereka sebut kebijakan luar negeri “bebas aktif”, Indonesia berusaha bermain dua kaki, tanpa menyinggung AS maupun China. Ini telah menemui batasnya, karena pada akhirnya kebijakan America First Trump berarti semua negara nomor dua. Kapitalis kita yang telah lama menjilat-jilat kaki tuannya kini kena sepak juga.
Merespons pengumuman tarif Trump, Prabowo mengatakan, “Kita akan cari jalan keluar, kita harus berani mencari pasar baru.” Masalahnya, tidak ada lagi pasar yang mencukupi. Keberanian sang jendral kita ini tidak akan mengubah fakta bahwa kapitalisme dunia sedang dilanda krisis overproduksi.
“Kenapa kita tidak ke Afrika? Afrika itu the new emerging market of the world. Jumlah penduduknya besar … Kebutuhannya banyak,” katanya dengan mudah. Semua negara juga berpikiran demikian, terutama China yang telah lama mempenetrasi pasar Afrika. Apakah Indonesia bisa bersaing dengan China yang bahkan dengan ekspor barang murahnya telah menghancurkan industri garmen Indonesia? Satu-satunya cara untuk bisa bersaing adalah dengan terus menekan upah dan mengintensifkan eksploitasi tidak hanya terhadap buruh tetapi juga alam.
“(Populasi) kita 300 juta jiwa, lho, sebentar lagi, kita sebesar Amerika. Jadi, nanti sepatunya kita jual saja di antara kita. Pakaian, kita punya anak sekolah 75 juta mungkin. Mereka butuh sepatu. Mereka butuh pakaian,” satu lagi solusi kreatif jendral kita. Kalau memang rakyat kita sedari dulu memiliki daya beli untuk membeli pakaian dan sepatu, PT Sritex tidak perlu tutup, buruh garmen di Tangerang dan Subang tidak perlu kena PHK. Pasar Amerika yang besar itu tidak bisa dibandingkan dengan pasar Indonesia yang sempit, karena pendapatan rakyat kita begitu kecil, yang sendirinya merupakan hasil dari kebijakan pemerintah seperti UU Ciptaker.
Prabowo yang panik melontarkan apa saja yang ada di otaknya yang cetek itu. Tetapi memang kapitalis tidak memiliki jalan keluar dari kebuntuan ini. Trump mengira kebijakan tarif akan menyelesaikan problem AS, tetapi ini hanya akan memperparahnya. Tiap-tiap negara kini akan membalas dengan tarif mereka sendiri, dan ini akan menghancurkan sistem rantai pasok global yang telah dibangun puluhan tahun.
Yang membayar tarif ini pada akhirnya buruh di seluruh dunia, dalam bentuk inflasi serta PHK. Perang dagang ini tidak lain adalah perang antar kapitalis untuk mempertahankan profit mereka di tengah krisis. Dalam perang dagang ini, kelas penguasa mengobarkan patriotisme, yang mengatakan bahwa buruh dan kapitalis punya kepentingan nasional yang sama. America First. Europe First. Canada First. Indonesia First. Tetapi, sesungguhnya, yang Pertama adalah pundi-pundi kapitalis, sementara rakyat pekerja diadu domba dan dijadikan nomor sekian.
Kaum buruh tidak boleh jatuh ke dalam dua pilihan palsu yang ditawarkan kelas penguasa: perdagangan bebas atau tarif. Selama puluhan tahun, globalisasi berarti outsourcing dan upah murah. Tarif akan berarti kenaikan harga dan PHK. Entah bagaimanapun, rakyat pekerjalah yang harus membayar untuk krisis kapitalisme. Kelas buruh harus bersiap berjuang keras untuk menghadapi serangan tajam terhadap taraf hidup mereka. Mereka harus melawan penurunan upah, PHK, kenaikan harga sembako, pemangkasan anggaran sosial, dll., dengan metode perjuangan kelas yang mandiri: aksi massa dan pemogokan. Dalam perang dagang ini, musuh kita adalah kapitalisme dan sekutu kita adalah kaum buruh di seluruh dunia.