Selama lebih dari satu bulan selepas pemilu legislatif, perpolitikan nasional kita didominasi oleh dua pertanyaan utama: 1) Bagaimana bentuk koalisi dari partai-partai “pemenang” pemilu? 2) Siapa yang akan menjadi cawapres dari Jokowi dan Prabowo? Berbagai drama dan akrobat politik pun digelar: dari kabar burung tentang diusirnya Jokowi oleh Puan, krisis politik PPP, sampai ke mimpi Raja Dangdut kita untuk menjadi Presiden RI, yang kekonyolannya diimbangi oleh keseriusan media, para pengamat politik dan PKB sendiri dalam menanggapinya.
Rakyat Indonesia setiap harinya disuguhi manuver-manuver para petinggi partai dan kedua capres yang sibuk berkunjung dari satu rumah ke rumah lain layaknya salesmen. Mereka semua menyatakan bahwa mereka siap berkoalisi dengan siapa pun. “Saya kira platform kita [PDI-P dan Golkar] sama. Platform partai kita sama,” ujar Jokowi misalnya. Sampai menit terakhir, peluang koalisi antar dua partai ini masih terbuka, dan hanya kandas karena Golkar meminta pembagian kue jabatan (power sharing)yang tidak dapat diterima oleh kubu koalisi PDI-P. “Mereka [Golkar] banyak permintaan … jika bergabung mesti ada power sharing … Ya kami tolak saja,” tutur bakal calon presiden poros PDI-P ini. Hal yang sama tidak berbeda jauh dengan partai-partai lainnya
Uletnya masalah koalisi dan pemilihan cawapres bagi kedua kandidat ini merupakan indikasi krisis di antara lapisan-lapisan kelas penguasa. Hasil pemilu legislatif jelas mengecewakan semua pihak. Tidak ada satu pun partai yang dapat dikatakan keluar sebagai pemenang. Kalau pada pemilu 2009 tiga partai terbesar (Demokrat, Golkar dan PDI-P) meraup total 49%, maka pada 2014 tiga partai terbesar (PDI-P, Golkar, dan Gerindra) hanya meraup total 45% suara (1999: 68%; 2004: 50%). Walaupun pemerintahan SBY dan Partai Demokrat sudah begitu terdiskreditkan, tidak ada satu pun partai yang dapat menggunakan peluang ini untuk melejit menjadi pemenang besar. PDI-P mencoba menggunakan kartu As-nya, Jokowi, tetapi hasilnya tidak lebih baik daripada pemilu 2004 lalu.
Dalam waktu kurang dari dua bulan, rakyat disuguhkan dengan jelas apa isi sebenarnya dari populisme kedua capres ini, yakni pragmatisme politik dagang sapi. Siapa yang akan berkoalisi dengan siapa ditentukan oleh pembagian jabatan dan pengaruh di pemerintahan yang akan datang, bukan oleh prinsip apalagi ideologi. Hanya orang yang buta atau pembohong yang akan mengatakan sebaliknya, dan dalam perpolitikan kita – bahkan di antara orang-orang yang mengaku Kiri ataupun progresif – kita tidak kekurangan orang-orang seperti itu. Segala retorika populisme – kerakyatan ini kerakyatan itu, berdikari ini berdikari itu – akhirnya kandas ketika pilihan cawapres Jokowi dan Prabowo justru adalah mereka yang berperan sentral dalam kebijakan-kebijakan ekonomi pro-modal and pro-asing rejim SBY 10 tahun terakhir: Jusuf Kalla yang adalah wakil presiden pemerintahan SBY yang pertama dan Hatta Rajasa, menteri ekonomi di pemerintahan keduanya.
Dari kejauhan kita bisa mendengar keluh kecewa dari para Kiri pendukung Jokowi dan Prabowo, terutama yang pertama ini. Selama 4 minggu terakhir para relawan Jokowi telah berdoa dengan keras agar cawapres yang ditunjuk Jokowi sesuai dengan skema mereka: tidak dari militer, anti korupsi, bersih, bukan bagian dari Orba, dan sebagainya. Ketika JK yang terpilih mendampingi Jokowi, segera para Kiri relawan Jokowi kita mengalami kebingungan. Ini adalah JK yang mendukung para preman Pemuda Pancasila, yang adalah pentolan Golkar, yang adalah wakil presiden SBY.
Semua kebingungan ini adalah karena tidak adanya analisa kelas. Yang ada adalah tawar menawar track-record atau rekam jejak: si A dari sini, si B dari sana, si A pernah melakukan ini, si B pernah melakukan itu, si A mengatakan ini, si B mengatakan itu. Apa basis kelas dari kedua capres ini tidak pernah dianalisa. Yang ada hanyalah impresionisme dangkal. Ketika bursa saham Jakarta melejit dengan pengumuman Jokowi sebagai capres dari PDI-P, sudah cukup kelas apa sikap dari kelas kapitalis Indonesia dan dunia terhadap Jokowi dan kepentingan kelas mana yang diwakili oleh Jokowi. Segala retorika “anti-imperialis” dari Prabowo juga tidak membuat resah dan takut kaum kapitalis. Bahkan para petinggi Gerindra dan Prabowo sendiri sudah menekankan bahwa tidak akan ada nasionalisasi terhadap aset-aset asing.
Pada hari deklarasi capres-cawapres, pasar merespon dengan sangat baik, dengan kenaikan 1% di Indeks Harga Saham Gabungan. Ketua Umum Kadin, Suryo Bambang Sulisto, menyampaikan dengan jujur apa yang sudah diketahui dengan baik oleh kaum Marxis, bahwa “Joko Widodo dan Prabowo Subianto adalah sosok yang memahami dunia usaha. ‘Jokowi punya latar belakang dunia usaha. Prabowo juga memahami. Pasti mereka mengerti pentingnya menjaga iklim usaha agar ramah kepada investor.’” Sementara Sekretaris Komite Ekonomi Nasional Aviliani menyampaikan nada yang serupa, bahwa “investor akan lebih tenang karena mereka sudah mengenalnya [Jusuf Kalla]. … Jadi, dari dua calon yang muncul ini, menurut saya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan sama sekali.”
Satu-satunya hal yang terkadang membuat khawatir kaum kapitalis adalah kekerdilan para politisi Indonesia, yang memprioritaskan kepentingan-kepentingan sempit mereka di atas kestabilan kapitalisme secara umum di Indonesia. Para kapitalis selalu memimpikan sebuah pemerintahan yang stabil dan kuat, bukan pemerintahan yang dipenuhi politisi yang saling gontok-gontokan untuk alasan-alasan pribadi atau lingkaran kecil yang remeh temeh.
Sudah tidak mampu lagi berimajinasi, para politisi kita sekarang berlomba-lomba mencoba menggunakan wibawa Soekarno. Tidak keliru kalau Kompas menulis bahwa “spirit perjuangan Soekarno sama-sama coba diteguk” oleh Jokowi dan Prabowo. Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dideklarasikan di Gedung Joang 45, dengan niat meminjam spirit perjuangan kemerdekaan dan Soekarno, sementara Prabowo-Hatta Rajasa di Rumah Polonia yang pernah ditinggali oleh Soekarno. Bahkan Amien Rais pun tampak terdengar setengah memaksa ketika dia mengatakan bahwa “Prabowo sudah mirip dengan Bung Karno. Dilihat dari samping seperti Bung Karno. Dilihat dari depan juga seperti Bung Karno.”
Bukan untuk pertama kalinya seorang figur revolusioner – yang setelah dilucuti semua atribut revolusionernya – digunakan oleh para politisi kapitalis sebagai simbol tak-berbahaya untuk kepentingan mereka. Terlebih lagi Soekarno yang gagasan-gagasannya dipenuhi dengan kebingungan dan ketidakjelasan, yang dengan mudah bisa dipelintir. Gagasan dua-tahap Soekarno, yang menunda perjuangan kelas dan mendahulukan perjuangan nasional dengan metode kolaborasi kelas, yang menunda sosialisme untuk terlebih dahulu membangun kapitalisme Indonesia yang berdikari, sangatlah cocok bagi Jokowi dan Prabowo. Mereka bisa mengobarkan retorika dan demagogi nasionalisme dan kerakyatan tanpa harus berbenturan dengan kapital, dan kapital pun memahami ini dengan sangat baik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, ujar para kapitalis kita. Entah Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta Rajasa yang terpilih, kepentingan modal akan tetap terjaga sementara pada saat yang sama ilusi demokrasi juga terpelihara di antara rakyat pekerja yang mencari-cari jalan keluar dari kesengsaraan yang mereka hadapi.
Namun situasi ini tidak akan bertahan lama. Kapitalisme dunia sedang mengalami krisis yang akut, dan tidak akan ada ruang bagi pemerintahan yang akan terbentuk di hari depan – entah Jokowi ataupun Prabowo – untuk bisa memenuhi janji-janji mereka. Pemerintahan di hari depan akan dengan cepat menuai kekecewaan rakyat pekerja. Ketika hiruk pikuk pemilu sudah selesai dan kabut populisme sudah menghilang, rakyat pekerja akan menuntut perubahan-perubahan yang riil: pekerjaan, upah yang lebih tinggi, jaminan sosial. Semua ini tidak akan bisa dipenuhi oleh kapitalisme pada periode sekarang ini, dan rakyat pekerja pun akan dengan cepat mempelajari batas-batas kapitalisme. Rakyat pekerja akan mempelajari ini bahkan lebih cepat kalau ada kaum revolusioner yang bisa menyediakan kepemimpinan, kaum revolusioner yang tidak terhempas ke kiri dan ke kanan oleh kekacauan ini, yang tidak mencari-cari jalan pintas, yang tidak terlena oleh “ruang politik” instan dari populisme Jokowi atau Prabowo, yang menunjukkan bahwa mereka punya perspektif kemandirian kelas yang jelas dan konsisten, yang dengan tegas mengarahkan kerjanya ke kelas buruh sebagai satu-satunya kelas revolusioner yang dapat memimpin seluruh bangsa ini keluar dari kebuntuan kapitalisme.