Demokrasi semakin lemah di penghujung akhir pemerintahan Jokowi. Semakin hari demokrasi semakin dipertanyakan keabsahannya. Demokrasi sedang krisis. Badan legislatif ompong, sistem peradilan sudah tidak lagi dipercaya, dan pemusatan kekuasaan yang besar di tangan eksekutif membuat geram banyak orang, terutama kaum liberal.
Kaum liberal, yang sebelumnya telah memberikan dukungan kepada Jokowi, sekarang menahan kecut melihat kenyataan bahwa demokrasi di bawah Jokowi tidak seperti yang mereka harapkan. Terpilihnya Gibran hanyalah puncak dari gunung es krisis demokrasi ini. “Sekarang kita mingkem, malu membicarakan demokrasi karena sudah dirampok Jokowi,” kata Faisal, Ekonom Senior Universitas Indonesia.
Indeks demokrasi juga turun. Menurut V-Dem Democracy Index 2024, Indonesia kini berada di peringkat 87. Indeks ini turun daripada sebelumnya di peringkat 79. Bahkan skornya turun dari 0,43 menjadi 0,36. Ini lebih rendah dibanding dengan Papua Nugini dan Timor Leste.
Kaum liberal kita mengeluh bahwa demokrasi digerogoti oleh orang-orang culas dan tidak tahu malu. Jadi bagi mereka demokrasi tergantung pada individu yang menyelenggarakan negara. Bila mereka amanah dan tidak culas, maka demokrasi akan terjaga.
Demokrasi yang sejati bagi mereka adalah ketika Jokowi belum membangun dinastinya, hari-hari ketika bulan madu pemerintahan Jokowi baru dimulai. Bila demikian halnya, maka kesimpulannya: bila saja tidak ada ’orang-orang culas dan tidak tahu malu’ ini, kita dapat hidup di bawah demokrasi yang murni melayani setiap orang dengan setara.
Artinya bagi kaum liberal demokrasi dapat direformasi atau diperbaiki dengan menghilangkan fitur-fitur buruknya. Tapi apakah benar demikian demokrasi di bawah kapitalisme murni melayani semua orang terlepas dari kepentingan kelas? Kenyataannya tidak. Kita hidup di masyarakat kelas, di mana segelintir kapitalis mengeksploitasi mayoritas buruh. Demokrasi merupakan instrumen kelas penguasa seperti halnya para pejabat, politisi, lembaga peradilan dan tentaranya adalah pelayan dari kelas penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya.
Kita diberitahu bahwa demokrasi dan negara merupakan arena netral di mana semua orang dapat menyuarakan kepentingan mereka. Benar, secara formal setiap orang dapat bersuara, tetapi kelas yang terkuat secara ekonomi-lah yang mendominasi suara dan mengambil keputusan.
Demokrasi dapat menjadi sarana berguna bagi rakyat pekerja untuk mempertahankan hak-hak mereka. Tapi bukan berarti ada jaminan bahwa kelas penguasa tidak merampas kembali hak-hak kelas tertindas.
Rakyat pekerja tidak memiliki kontrol atas wakil-wakil legislatif mereka karena mereka tidak memiliki kekuasaan secara ekonomi. Para politisi dan pejabat bukan didikte oleh kepentingan rakyat, tapi oleh kepentingan kelas kapitalis. Inilah yang membuat mayoritas rakyat pekerja hanya digunakan sebagai elemen pasif demokrasi yang tugasnya memilih wakil-wakil dari penindas mana berikutnya yang akan menindas mereka.
Demokrasi dalam kapitalisme seperti halnya secarik kertas yang bisa dirobek kapan saja oleh kelas penguasa bila mereka menginginkannya. Ini bukan sesuatu yang suci seperti yang dianggap kaum liberal. Kelas penguasa umumnya lebih suka menggunakan demokrasi karena ini memberikan ilusi kepada kelas pekerja bahwa mereka dapat menyuarakan kepentingan mereka. Seperti yang dikatakan Lenin, “Republik demokratik adalah cangkang politik terbaik bagi kapitalisme; oleh karenanya, setelah kapital telah memperoleh cangkang terbaik ini … ia menegakkan kekuasaannya dengan begitu aman, begitu kokoh, sehingga tidak ada perubahan personel, lembaga atau partai dalam republik borjuis-demokratis yang dapat menggoyahkan kekuasaannya.”
Pada masa-masa tertentu seperti krisis, peperangan, dan revolusi, kelas penguasa tidak akan menoleransi demokrasi. Mereka bisa menyobeknya. Krisis kapitalisme adalah krisis juga dalam demokrasi. Kelas penguasa hari ini mulai kehilangan pijakan mereka. Mereka sudah tidak mampu lagi memberikan roti kepada rakyat, dan cepat atau lambat mereka akan mulai mencampakkan demokrasi ketika mereka merasa sudah terlalu banyak unjuk rasa dari rakyat yang lapar dan menuntut roti.
Demokrasi kita hari ini adalah hasil sampingan dari revolusi. Ini merupakan hasil dari Revolusi 98’ yang tidak mencapai kesimpulan akhir. Seperti halnya sebuah hasil sampingan, ini adalah konsesi yang terpaksa diberikan kelas penguasa untuk mencegah massa bertindak melampaui batas-batas kapitalisme. Ini adalah konsesi dari atas untuk mencegah revolusi dari bawah. Dengan surutnya Revolusi 98’, ruang-ruang demokrasi yang telah dimenangkan ini dengan cepat direnggut kembali oleh kelas penguasa.
Tidak heran bila hari ini ada ketidakpercayaan yang luas dengan lembaga negara, peradilan, politisi dan pejabat. Inilah mengapa meskipun kaum liberal berteriak mengenai ancaman terhadap demokrasi, rakyat pekerja hanya tersenyum sinis. Ini bukan karena mereka bodoh, seperti yang sering kali kaum liberal katakan, tetapi karena mereka secara naluriah memahami esensi demokrasi sekarang: demokrasi bodong.
Kaum liberal sebenarnya memahami bahwa demokrasi ini hanya melayani kepentingan kelas penguasa. Mereka hanya ingin agar kelas penguasa tidak menunjukkan ini secara terang-terangan. Bila tampak terang-terangan, ini dapat membahayakan sistem kapitalisme yang mereka bela. Kaum liberal memiliki kepekaan tinggi mengenai ini. Inilah mengapa mereka selalu ingin menyembunyikan kenyataan ini di balik kedok demokrasi, pasifisme, akuntabilitas publik dan lain sebagainya.
Selama kelas parasit borjuis belum dihapus, demokrasi akan selalu terbatas bagi kelas pekerja. Berjuang untuk demokrasi yang sejati berarti berjuang untuk revolusi menggulingkan kapitalisme. Demokrasi yang sejati hanya mungkin ketika kelas pekerja mengambil alih kekuasaan, menasionalisasi pabrik-pabrik dan mengekspropriasi bank-bank yang selama ini dimiliki dan dikendalikan kapitalis.
Begitu pula dengan para pejabat. Mereka harus dilucuti dari segala hak istimewanya. Gaji mereka harus diturunkan tidak lebih dari gaji pekerja. Selama segelintir orang yang terpisah dari rakyat memonopoli instrumen kekerasan, maka tidak ada jaminan bagi demokrasi. Demokrasi sejati hanya dapat terwujud ketika tentara dan polisi yang selama ini menjadi mesin represi diganti dengan rakyat bersenjata. Hanya dengan demikian maka revolusi sosialis dapat mengubah ketertundukan wakil-wakil rakyat, dari yang selama ini tunduk di bawah para kapitalis menjadi tunduk pada kelas pekerja. Kami tidak menganjurkan reformasi untuk mencapai demokrasi yang sejati bagi rakyat pekerja, melainkan kami menganjurkan revolusi!