Pemberontakan massa pecah di Bangladesh. Apa yang awalnya dimulai sebagai protes spontan kaum muda di kampus-kampus menjadi pemberontakan massa di jalanan. Protes ini menuntut diakhirinya kuota 30% pekerjaan pegawai negeri bagi keturunan veteran perang yang jelas-jelas digunakan oleh partai penguasa untuk mengamankan kekuasaan. Seluruh negeri dipenuhi kemarahan. Ini bukan lagi protes, ini adalah perang kelas!
Seorang mahasiswa mengatakan para demonstran di kota Dhaka hanya ingin mengadakan unjuk rasa damai, namun polisi “menghancurkannya” dengan menyerang mereka saat mereka berkumpul. Mereka menggambarkan situasi ini “sangat mengerikan”.
Juga mahasiswa lain yang kini dirawat di rumah sakit menceritakan hal sama. Bagaimana dia diculik, ditutup matanya, disiksa oleh polisi-polisi berpakaian preman. Jumlah korban tewas akibat protes kuota kini mencapai angka yang sangat besar.
Sejauh ini lebih dari 500 orang ditangkap dan 150 lebih demonstran meninggal. Pada hari Kamis (18/7), hari paling berdarah, 22 orang tewas. Rumah-rumah sakit kewalahan menangani pasien yang terkena luka tembak saat bentrokan pecah di jalanan.
Dalam hitungan hari demonstrasi berubah dengan cepat menjadi pemberontakan. Kota Dhaka menyerupai zona perang. Jalanan sebagian besar dipenuhi kendaraan yang terbakar. Pertempuran sengit masih berlangsung di beberapa tempat. Sulit mengetahui situasi nyata yang terjadi saat ini karena pemerintah memutus koneksi internet dan telepon. Tapi satu hal yang pasti, massa telah bergerak dan akan sulit memadamkan api pemberontakan yang sudah berkobar.
Rezim Hasina membusuk
Bangladesh merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Negara ini digadang-gadang sebagai “Macan Asia” berikutnya. Dalam 2 dekade, meskipun ada hambatan pandemi Covid-19, negara ini dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.
Namun pertumbuhan ekonomi hanyalah gambaran luar saja. Di balik pertumbuhan yang cepat ini ada eksploitasi brutal terhadap buruh, terutama buruh sektor garmen. Mereka bekerja dengan upah murah, kondisi kerja yang buruk, dan dihadapkan dengan pelecehan, intimidasi dan kekerasan setiap harinya. Selain itu mereka selalu menghadapi represi negara ketika menyuarakan tuntutan mereka.
Pada bulan Juni 2023, Shahidul Islam, presiden Federasi Pekerja Garmen dan Industri Bangladesh (BGIWF) di komite distrik Gazipur, terbunuh ketika mencoba untuk memperjuangkan upah yang belum dibayar bagi para pekerja pabrik. Juga ada empat pekerja garmen lainnya yang tewas selama protes upah minimum nasional pada Oktober-November.
Selain itu, rezim ini telah menghancurkan masa depan kaum muda. Pertumbuhan cepat ekonomi tidak memberikan lowongan pekerjaan bagi kaum muda. Ada 18 juta pemuda Bangladesh menganggur. Lulusan universitas menghadapi tingkat pengangguran yang lebih tinggi. Begitu pula nasib kaum muda yang berpendidikan rendah. Bila tidak bekerja di sektor informal berupah rendah mereka menjadi pengangguran kronis di desa-desa.
Semua orang merasa pertumbuhan tinggi ini tidak mereka nikmati dan hanya memperkaya rezim yang saat ini berkuasa. Tidak ada satu pun dari masalah dasar rakyat seperti upah, pekerjaan, dan roti yang terselesaikan. Yang ada hanyalah skandal korupsi ugal-ugalan dan kronisme di lingkaran rezim penguasa Liga Awami pimpinan Hasina.
Dr. Samina Luthfa, asisten profesor sosiologi di Universitas Dhaka, mengatakan kepada BBC: “Kita menyaksikan begitu banyak korupsi. Terutama di kalangan mereka yang dekat dengan partai berkuasa. Korupsi telah berlangsung lama tanpa ada hukuman.”
Bahkan media sosial di Bangladesh dalam beberapa bulan terakhir ramai pembicaraan tuduhan korupsi terhadap beberapa mantan pejabat tinggi Hasina – termasuk mantan panglima militer, mantan kepala polisi, petugas pajak senior, dan pejabat perekrutan negara.
Sudah sejak lama ketidakpuasan ini terus menggerogoti rezim penguasa. Ini adalah “proses molekuler revolusi” yang awalnya tidak tampak di permukaan. Tapi kali ini proses molekuler telah pecah ke permukaan dan membuat rezim panik.
Kapitalisme adalah sistem yang menempatkan segelintir parasit kaum kaya di atas masyarakat. Di Bangladesh, 10 persen penduduk terkaya kini menguasai 41 persen total pendapatan negara. Pemerintah Hasina adalah perwakilan dari lembaga eksekutif yang mengatur urusan mereka. Dalam hal ini mereka memiliki organ represi mereka sendiri, yang meliputi tentara, polisi, pengadilan dan penjaranya, untuk melindungi kepentingan mereka. Tidak heran bila polisi dan tentara dengan brutal menembaki siapa saja pemuda yang ada di depan mata mereka.
Menteri Informasi dan Penyiaran Bangladesh, Mohammad Arafat mengatakan, “sebagai pemerintah kami akan memulihkan kedamaian. Dan melakukan segala yang diperlukan untuk memulihkan perdamaian”. Bagi kelas penguasa “memulihkan perdamaian” berarti memastikan bahwa mereka bisa tetap memerintah seperti sedia kala, dengan korupsi dan kronisme mereka.
Apa selanjutnya?
Pemerintah telah memberikan konsesi untuk mencegah demonstrasi menjadi lebih luas lagi. Melalui rekomendasi Mahkamah Agung (MA), 93 persen dari semua penunjukan harus didasarkan pada prestasi. Dari 30 persen yang sebelumnya ditujukan bagi keturunan pejuang kemerdekaan, sekarang menjadi 5 persen.
Tetapi ini bukanlah akhir. Mahasiswa mengatakan mereka tidak percaya pada putusan Mahkamah Agung, karena mereka mengatakan bahwa pemerintah masih diizinkan untuk mengubah rasio kuota yang direkomendasikan.
Salah satu koordinator protes reformasi kuota, mengatakan kepada DW bahwa keputusan ini belum memenuhi tuntutan mereka, karena pada dasarnya itu sama halnya dengan menyerahkan kepada pemerintah untuk memutuskan penerapan sistem kuota itu.
“Pengadilan mengatakan bahwa masalah kuota adalah keputusan kebijakan pemerintah dan pihak berwenang masih bisa mengubah rasio kuota jika mereka menginginkannya,” kata Sarjis Alam. Mahasiswa juga masih menunggu keputusan pemerintah dan akan mengorganisir protes bila ini tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan.
Kita harus memahami bahwa konsesi ini hanyalah langkah mundur sementara dari pemerintah guna mencegah revolusi dari bawah. Tanpa menggulingkan kapitalisme, rezim Hasina akan terus melanjutkan korupsi dan kronisme mereka seperti sedia kala.
Masalah kuota telah meledakkan kemarahan rakyat terhadap rezim Hasina, tapi ini belum mengakhirinya. Untuk itu kita perlu mempersiapkan perlawanan besar-besaran dan mempersiapkan pemberontakan ke seluruh negeri: dari kampus ke kampus dari pabrik ke pabrik.
Selama pemberontakan ini tidak menyentuh kantong profit kapitalis, kelas penguasa akan merasa dirinya aman. Mahasiswa harus bersekutu dengan buruh-buruh di pabrik untuk membangun pemogokan umum nasional habis-habisan. Mahasiswa, buruh, tani dan rakyat tertindas perlu disatukan ke dalam komite-komite revolusioner.
Komite-komite revolusioner harus dipersenjatai dengan program revolusioner menendang keluar pemerintah Hasina. Ini harus pula dibarengi dengan menyita tuas-tuas ekonomi penting yang selama ini menguasai hajat hidup orang banyak. Ada banyak pabrik-pabrik yang seharusnya memberikan pekerjaan bagi kaum muda pengangguran, tetapi pabrik dimiliki segelintir kapitalis. Ini perang kelas! Kita harus menendang mereka semua. Biarlah komite-komite revolusioner ini mengekspropriasi dan menjalankan pemerintahan sendiri tanpa bos dan jenderal; tanpa tentara dan polisi; dan tentu saja tanpa pemerintahan Hasina yang dibenci!