Zaman Pencerahan Yunani Kuno adalah salah satu periode terpenting dalam sejarah manusia. Ada revolusi dalam politik, pemikiran, dan budaya, dan mereka semua berkait kelindan. Zaman ini dapat dibandingkan dengan masa Renaisans pada abad ke-15 dan ke-16 dan Pencerahan abad ke-18.
Athena adalah pusat dunia Yunani pada abad ke-5 dan ke-4 SM, yang terkenal dengan para filsuf, ilmuwan, dan demokratnya, serta bentuk seninya yang baru dan orisinal: drama.
Ketika konstitusi demokratik Yunani ditegakkan, festival teater Athena dirombak ulang untuk menjadi komponen penting dalam demokrasi yang baru saja bersemi di Yunani. Para penyair drama besar Athena menulis drama mereka dengan tujuan untuk mendiskusikan dan mengembangkan ide-ide dalam masyarakat.
Drama tragis, Belenggu Prometheus, karya Aeschylus pada abad ke-5 SM, merupakan ekspresi dari periode yang luar biasa ini. Ide-ide politik dan ilmiah paling maju yang beredar dalam demokrasi Athena yang baru diekspresikan melalui tragedi Yunani yang paling megah dan spektakuler ini.
Belenggu Prometheus tidak hanya merupakan karya yang hebat pada masanya, tetapi juga telah menginspirasi elemen-elemen yang paling progresif dalam masyarakat selama berabad-abad.
Plot drama ini banyak diambil dari mitos Prometheus dalam puisi epik Hesiod pada abad ke-8 SM. Warga Athena pasti sangat akrab dengan karya Hesiod, yang bersama dengan puisi-puisi Homer, secara kolektif dapat dianggap sebagai “Alkitab”-nya orang Yunani Kuno.
Dalam versi Hesiod dan Aeschylus, rezim baru dewa-dewi Olimpus, yang dipimpin oleh Zeus, baru saja berkuasa setelah mengalahkan pasukan Titan dari dewa-dewa lama, yang dipimpin oleh ayah Zeus, Cronus.
Pada periode awal pemerintahan Zeus ini, Prometheus, seorang Titan dari tatanan lama, mencuri api dari para dewa dan menyembunyikannya dalam tangkai adas, lalu membawanya turun ke manusia. Atas tindakannya ini, Zeus menghukum Prometheus dengan mengikatnya di tebing yang menghadap ke laut. Karena Prometheus adalah makhluk abadi, dia akan tetap di sana untuk menderita selama-lamanya.
Di tangan Aeschylus, kisah ini dikembangkan ke arah yang berbeda dari mitos Hesiod, dengan mengedepankan pandangan dunia yang sama sekali baru.
Theogony dan Works and Days karyaHesiod menggambarkan kemenangan Zeus atas Cronus sebagai kemenangan keteraturan atas kekacauan. Meskipun Zeus orangnya keras dan mudah marah, dia pada dasarnya bijaksana dan adil, memerintah jagat raya dengan tangan besi namun adil. Prometheus adalah seorang penipu yang cerdik, yang gagal dalam upayanya mengecoh Zeus dan harus menerima konsekuensinya.
Sebaliknya, dalam Belenggu Prometheus, Aeschylus menggambarkan Zeus sebagai perampas kekuasaan yang tidak sah, yang memimpin kediktatoran yang brutal, yang menggunakan kekuasaannya secara represif dan sewenang-wenang. Prometheus digambarkan sebagai seorang martir yang heroik, yang dihukum bukan karena ia menipu para dewa, melainkan karena ia memberontak melawan tiran dan menyelamatkan umat manusia.
Tema politik ini sama eksplisitnya dengan apa yang terjadi di Athena saat itu. Perjuangan Prometheus melawan Zeus menggambarkan perjuangan kelas yang berhasil menegakkan demokrasi Athena, serta tantangan-tantangan yang masih harus dihadapinya.
Aeschylus secara inovatif menggunakan bentuk drama yang baru ini untuk menyampaikan visinya. Warga Athena melihatnya sebagai ahli tragedi besar pertama, diikuti oleh Sophocles dan kemudian Euripides. Aristoteles menganggapnya sebagai orang pertama yang menggunakan aktor kedua, yang sangat meningkatkan peran dialog, dan dengan demikian dia menjadi perintis seni dialog.
Karakter rezim Zeus disampaikan secara grafis dalam adegan pembukaan yang mengerikan, di mana Prometheus dibelenggu. Tidak hanya tangan dan kakinya yang diikat ke tebing dengan penjepit logam dan rantai, dia juga ditusuk di dadanya, yang menyerupai penyaliban yang diperuntukkan bagi penjahat paling rendah di Athena. Dia dibelenggu di “batas dunia” untuk dihantam oleh unsur-unsur alam untuk selama-lamanya.
Hephaestus, dewa pandai besi Olimpus dan putra Zeus, dipaksa untuk melakukan prosedur yang menyiksa ini di bawah arahan antek-antek Zeus, Kratos dan Bia, yang merupakan personifikasi dari Tenaga dan Kekuatan (Might and Force).
Prometheus dihukum demikian untuk membuatnya jeri sehingga “dia dapat belajar menerima kekuasaan Zeus dan berhenti mencintai manusia.” Tema pemberontakan terhadap despotisme, serta ide-ide baru humanisme yang tercerahkan, diterangkan dengan jelas dalam bagian pembukaan.
Prometheus yang terikat kemudian tetap terpaku di atas panggung sepanjang drama, dan menjadi titik fokus drama, yang mewujudkan penderitaan di bawah rezim Zeus.
Tema politik yang begitu gamblang dalam drama ini telah dikritik oleh banyak ahli klasik. Misalnya ahli klasik dari University of Oxford Oliver Taplin menyebutnya “megah dan hampa” dan mengatakan: “Ini semua sangat bagus sebagai visi romantis tentang pembangkangan terhadap kekuatan tirani, tetapi tidak bagus sebagai sebuah drama.”
Kritik-kritik seperti ini jelas datang dari sudut pandang kelas, karena lakon ini memang menyajikan gerakan dramatik yang sangat tajam, yang melaluinya ide-ide dimunculkan.
Di awal drama ini, Prometheus tampak sepenuhnya luluh lantak, terdegradasi menjadi gambaran penderitaan yang mengenaskan. Namun, melalui serangkaian episode di mana Prometheus dikunjungi secara bergantian oleh karakter-karakter yang berbeda, perlahan-lahan terungkap bahwa Prometheus sebenarnya memegang kunci kejatuhan Zeus.
Seiring dengan semakin jelasnya latar belakang cerita, kita menjadi tahu bahwa Prometheus mengetahui sebuah ramalan rahasia bahwa seorang perempuan, yang namanya tidak diketahui, yang dihamili oleh Zeus, akan melahirkan seorang anak laki-laki yang lebih kuat dari ayahnya.
Jadi, dibelenggunya Prometheus bukan hanya hukuman atas kejahatannya terhadap Zeus, tetapi juga merupakan siksaan untuk memaksa Prometheus mengungkapkan rahasia ramalan tersebut. Jika Zeus tahu siapa perempuan tersebut, dia bisa menghindari ramalan itu terjadi.
Oleh karena itu, nasib Zeus benar-benar berada di tangan Prometheus. Ini hampir pasti merupakan tambahan yang unik dari Aeschylus. Seiring berjalannya drama, Prometheus menjadi semakin berani dan menantang.
Hampir tanpa disadari, drama ini berubah dari gambaran penderitaan dan kesengsaraan menjadi benturan kosmik antara kekuatan yang tak terbendung dan objek yang tak dapat bergerak.
Sementara karakter lain dalam drama ini semuanya tunduk pada tirani Zeus, hanya Prometheus yang sendirian berdiri menantangnya sampai akhir.
Oceanus, dewa laut yang lama, yang di bawah rezim Olimpus digantikan oleh Poseidon, mengunjungi Prometheus untuk bersimpati. Namun, nasihat yang ia berikan kepada Prometheus adalah nasihat seorang pragmatis yang pengecut, yang telah tunduk kepada rezim. Oceanus menawarkan dirinya untuk menengahi kesepakatan antara Prometheus dan Zeus, sehingga Prometheus dapat hidup berdampingan dengan rezim Zeus seperti dewa-dewa lama lainnya. Namun, Prometheus mencemooh tawaran Oceanus.
Putri-putri Oceanus, para Oceanid, mengunjungi Prometheus dan tetap bersamanya di atas panggung sebagai paduan suara lakon tersebut. Ini merupakan ciri khas semua drama Yunani, yang juga menghadirkan sekelompok pemain yang bernyanyi dan menari mengikuti musik, serta berinteraksi dengan karakter lainnya. Meskipun mereka menawarkan belas kasihan dan simpati kepada Prometheus, mereka dilumpuhkan oleh rasa takut pada Zeus. Mereka berulang kali mempertanyakan tindakan Prometheus dan meratapi bahwa tidak ada yang bisa berubah.
Di bagian akhir drama, Hermes, utusan Zeus, dan, dalam kata-kata Prometheus, “antek para Dewa”, datang untuk menghancurkan Prometheus. Dia mengancam bahwa jika Prometheus tidak membeberkan rahasia ramalan tersebut, Zeus akan mengirimkan badai yang dahsyat untuk menghempaskan Prometheus ke gunung, dan dari situ dia akan dikirim ke dunia bawah. Setelah sekian lama di Tartarus (neraka), dia akan kembali dibelenggu ke tebing – tetapi penyiksaannya akan menjadi semakin kejam, karena Zeus akan mengirim seekor elang untuk mencabik dan memakan hati Prometheus setiap dua hari, yang, karena dia abadi, akan terus beregenerasi.
Namun, Prometheus tetap menantang:
“… tidak ada aib dalam penderitaan
di tangan musuh, ketika kita saling memusuhi.
Jadi, biarkan sulur api yang melengkung
dari sambaran petir menyambarku: biarlah
udara diaduk dengan petir, angin
dalam ledakan dahsyat menggetarkan seluruh dunia.
Biarkan bumi sampai ke fondasinya berguncang, ya, sampai ke akarnya,
di hadapan badai yang mengamuk: biarkan badai itu mengacaukan
orbit bintang-bintang surgawi dan ombak laut
dalam arus deras yang bergelombang liar: di sinilah tubuhku
biarkan Dia [Zeus] mengangkatnya ke atas dan menghempaskannya
Seperti yang dijanjikan, Zeus mengirimkan badainya, yang begitu kuat hingga langit dan laut menjadi satu. Hermes memberi tahu paduan suara bahwa mereka harus pergi, agar mereka tidak terjebak dalam dunia penderitaan yang akan ditimpakan pada Prometheus. Namun, secara mengejutkan, paduan suara menolak:
“Beraninya kau menawari kami mempraktikkan kehinaan? Kami
akan menanggung bersama dengan dia apa yang harus kami tanggung.
Saya telah belajar untuk membenci semua pengkhianat: tidak ada
penyakit yang membuat saya merasa lebih jijik daripada pengkhianatan.”
Tindakan solidaritas terakhir ini menutup tragedi tersebut.
Dengan ini, drama tersebut berakhir dengan penolakan total terhadap kompromi, dan dengan berani menggarisbawahi nilai-nilai baru yang telah dikembangkan oleh kaum demokrat radikal. Ahli klasik Yunani Isabel Ruffell menyatakan bahwa drama ini “tampaknya mengkristalisasi tahap-tahap embrio teori demokrasi radikal.”
Demokrasi Athena lahir dari periode perjuangan kelas yang berkepanjangan. Selama dua abad sebelumnya, ada ketidakpuasan, perang saudara, dan revolusi di seluruh dunia Yunani Kuno, yang disebut sebagai ‘stasis’.
Hanya beberapa abad sebelumnya, masyarakat Yunani berada pada tahap yang disebut sebagai ‘tahap atas barbarisme’ oleh antropolog Lewis Henry Morgan, di mana masyarakat Yunani hampir seluruhnya terdiri dari para petani yang terorganisir secara sosial ke dalam gente dan suku.
Pada abad ke-8 SM, gelombang ekspedisi kolonisasi Yunani mendorong pertumbuhan dalam perdagangan, memfasilitasi perkembangan produksi komoditas dan ekonomi uang yang baru. Karena komoditas yang dihasilkan sebagian besar merupakan hasil pertanian, seperti zaitun, anggur, dan sebagainya, para pemilik tanah yang lebih kaya mulai menjadi lebih kaya, dengan mengapropriasi surplus yang dihasilkan oleh tenaga kerja budak yang semakin banyak.
Perbedaan kelas mulai tumbuh, dan dari organisasi gente yang lama muncullah bentuk-bentuk awal poleis, yang kemudian kita kenal sebagai ‘negara-kota’. Pada zaman Hesiod, poleis bersifataristokratis, di mana posisi-posisi utama dimonopoli oleh segelintir keluarga pemilik tanah terkaya.
Petani miskin terlilit hutang kepada kaum kaya, dan beban utang ini mulai menjadi tidak terkendali pada abad berikutnya, sehingga memicu ketidaksetaraan dan kebencian kelas.
Pada saat yang sama, kelas pedagang baru mulai muncul, banyak di antaranya bukan anggota keluarga aristokrat. Pada pertengahan abad ke-7, kelas pedagang ini mulai merasakan posisi ekonomi mereka semakin menguat dalam masyarakat, dan mereka mulai menantang kekuasaan turun-temurun kaum aristokrat. Masalah pertentangan antara aristokrasi dan demos (istilah yang mencakup semua warga kecuali kaum aristokrat, tetapi juga mengesampingkan kaum perempuan dan budak) mulai dibahas dan berkembang menjadi proporsi yang revolusioner.
Periode yang penuh gejolak ini meledak dengan munculnya para Tiran Yunani. Mereka adalah individu-individu dari berbagai latar belakang, terkadang bangsawan dan terkadang bukan, yang merebut kekuasaan politik dengan kekerasan dan menjalankan negara dengan otoritas absolut. Zeus secara eksplisit disebut sebagai ‘tiran’ dalam drama ini.
Selama periode tersebut banyak tiran yang bermunculan, walaupun mereka umumnya berkuasa relatif singkat. Ini memukul tatanan aristokrasi, dan semakin memperdalam stasis dalam masyarakat. Selama abad ke-6 SM, selain tirani satu penguasa, banyak aristokrasi digantikan dengan oligarki, di mana kekuasaan turun-temurun digantikan dengan kualifikasi properti.
Namun di beberapa negara-kota, prosesnya melampaui oligarki. Di Athena, Korintus, Megara, dan Syracuse, kaum demosmemperjuangkan dan memenangkan kesetaraan politik penuh bagi orang-orang bebas, tanpa memandang kepemilikan harta benda.
Di Athena, konstitusi demokratis dicanangkan oleh Cleisthenes pada tahun 508 SM. Namun, ini hanyalah awal dari serangkaian panjang reformasi yang memperluas demokrasi dan menyerang aristokrasi selama dua abad berikutnya.
Namun, bahkan setelah kemenangan kaum demos, kaumaristokrat masih tetap ada dan selalu berusaha merebut kembali kekuasaan.
Athena juga dikelilingi oleh negara-negara kuat yang memusuhi demokrasi, terutama Sparta dan Kekaisaran Persia yang despotik.
Belenggu Prometheus adalah bagian dari perjuangan untuk melawan kemunduran politik. Drama ini menarik garis yang jelas antara nilai-nilai demokrasi dan unsur-unsur tirani – tidak hanya despotisme Tiran Yunani, tetapi juga semua pemberangusan hak-hak politik yang didorong oleh kaum aristokrat dan oligarki.
Cita-cita revolusioner yang telah dikembangkan selama perjuangan ini dipertahankan dalam drama ini dengan mewujudkannya dalam karakter heroik Prometheus. Namun, drama ini tidak hanya membela cita-cita demokratik Athena – drama ini menyatukannya dengan, dan menjadikannya bagian integral dari, pandangan dunia materialis yang sama sekali baru.
Hanya 100 tahun sebelum Belenggu Prometheus, pada abad ke-6 SM, filsafat lahir di negara-kota Yunani Miletus, yang terletak di Turki modern. Di sinilah dimulainya upaya pertama untuk memahami alam secara rasional, tanpa bantuan mitos dan dewa.
Para filsuf Milesian memulai dengan pertanyaan tentang asal-usul dan susunan alam semesta. Bersamaan dengan perkembangan filsafat materialisme, bidang-bidang ilmu pengetahuan baru dengan cepat terbuka di seluruh dunia Yunani. Biologi, sejarah alam, mekanika, meteorologi, kartografi, geologi, dan kedokteran, semuanya ditempatkan pada pijakan ilmiah.
Dengan bangkitnya demokrasi menjelang akhir abad ke-6 SM, cara berpikir baru yang dikembangkan dengan mempelajari alam sekarang diterapkan pada problem-problem sosial. Politik, moralitas, sejarah, linguistik, dan logika menjadi bidang studi.
Mekarnya ilmu pengetahuan dan budaya adalah produk dari masyarakat yang didasarkan pada perbudakan, yang memungkinkan satu lapisan untuk mendedikasikan dirinya untuk kegiatan intelektual, sehingga menghasilkan ledakan perkembangan kekuatan produktif, teknologi, dan budaya yang tidak pernah terlihat sebelumnya.
Belenggu Prometheus menyatukan semua ide baru yang sedang berkembang ini ke dalam satu kesatuan yang dramatis.
Kita dapat melihat bagaimana Aeschylus melakukan ini dengan sekali lagi membandingkan dramanya dengan puisi-puisi Hesiod. Dalam Hesiod, Cronus memimpin “golden age of man”, tetapi di sini “man” secara harfiah berarti laki-laki, karena tidak ada perempuan. Kaum laki-laki hidup dalam kebahagiaan surgawi, bebas dari penderitaan dan kerja keras. Hesiod menulis dalam puisinya Theogony:
“… seperti para dewa, mereka menghabiskan hidup mereka bebas dari rasa cemas, bebas dari kerja keras dan kesukaran. […] ladang menghasilkan panen dengan sendirinya, berlimpah dan tak ada habis-habisnya…”
Kehidupan yang damai dan indah ini berakhir, bukan karena naiknya Zeus ke tampuk kekuasaan, tetapi setelahnya, karena kebodohan Prometheus.
Setelah Zeus berkuasa, Prometheus ditugaskan untuk mengawasi upacara persembahan kurban yang dilakukan manusia untuk para dewa. Prometheus dalam puisi Hesiod adalah seorang penipu yang penuh muslihat, dan dia menemukan cara untuk menipu Zeus dan para dewa Olimpus, sehingga alih-alih daging kurban yang empuk mereka menerima tulang yang dilumuri lemak. Sebagai hukuman, Zeus merebut api dari manusia, tetapi Prometheus mencurinya kembali dan mengembalikannya kepada manusia. Prometheus lalu dihukum oleh Zeus karenanya.
Untuk menghukum manusia atas keterlibatan mereka dalam kejahatan ini, Zeus menciptakan wanita pertama, Pandora:
“… dia telah menciptakan sesuatu yang indah namun jahat ini sebagai ganti untuk sesuatu yang baik [api] […] Karena darinya lahirlah kaum perempuan, ras dan suku perempuan yang mematikan, suatu celaka besar bagi manusia…”
Zeus kemudian membuat sebuah kendi yang penuh dengan kejahatan dan penderitaan, yang kemudian dibuka oleh Pandora, dan melepaskan semua kejahatan yang kemudian menjangkiti umat manusia.
Dengan demikian dimulailah era kemerosotan umat manusia, yang memuncak pada ‘zaman besi’, yaitu zamannya Hesiod, di mana manusia “tidak akan pernah bebas dari kerja keras dan kesukaran di siang hari, atau dari kelelahan karena penderitaan di malam hari, dan para dewa akan memberi mereka keprihatinan yang menyedihkan.”
Belenggu Prometheus karya Aeschylus mengemukakan cara pandang yang berlawanan. Alih-alih laki-laki yang jatuh dari kehidupan yang indah ke kehidupan yang penuh derita, umat manusia (tidak ada ‘Pandora’ yang bergender) awalnya menjalani kehidupan yang lebih sukar di masa lalu, hidup seperti hewan dan diperbudak oleh alam. Dalam versi Aeschylus, karunia api dari Prometheus memicu perkembangan umat manusia yang tak terbatas dan membuat mereka berkuasa atas alam.
Dalam salah satu ode yang paling terkenal, Prometheus mendaftarkan tonggak-tonggak kemajuan manusia secara kronologis, yang semuanya berasal dari api yang diberikannya kepada manusia.
Pertama-tama, ia menjelaskan bahwa manusia tidak selalu memiliki kesadaran. Sebelum adanya api, kita hidup seperti binatang lainnya di bumi, tidak dapat memahami atau mempengaruhi lingkungan kita:
“… Saya menemukan [manusia] tanpa pikiran
membuat mereka menjadi tuan atas akal mereka. […]
Awalnya mereka memiliki mata tetapi tidak bisa melihat,
dan telinga tetapi tidak mendengar. Seperti bentuk-bentuk dalam mimpi
mereka menjalani kehidupan mereka yang panjang dan kacau balau,
Prometheus kemudian menggambarkan progres maju manusia yang dipicu oleh karunia api. Pertama, kita belajar memahami siklus musim, yang memungkinkan perkembangan pertanian. Prometheus kemudian menyebutkan matematika, bahasa, domestikasi hewan, obat-obatan, perkapalan, dan pertambangan, dua hal terakhir ini sangat penting di Athena saat itu, yang memiliki armada laut yang besar dan tambang yang menguntungkan.
Dia mengakhiri dengan: “setiap seni manusia berasal dari Prometheus”. Namun harus diingat bahwa Prometheus hanya memberi kita api dan harapan, setelah itu dia dihukum dan tidak lagi campur tangan lebih jauh, seperti yang dia jelaskan di awal drama:
“Aku memburu sumber rahasia api,
yang memenuhi tangkai adas, yang ketika terungkap
menjadi guru dan sumber daya besar bagi manusia.
Inilah dosa yang telah kulakukan
yang menjadi tanggung jawabku, dan aku membayarnya
dengan dibelenggu di bawah langit terbuka.”
Setelah dorongan awal dari Prometheus, tidak ada kekuatan supernatural yang terlibat. Yang ada hanyalah manusia dan alam, dan kemajuan kita bersumber dari kemajuan teknologi dan, pada saat yang sama, kemampuan akal kita. Oleh karena itu, drama ini mengedepankan penjelasan materialis mengenai perkembangan manusia dari dunia hewan ke peradaban.
Penjelasan materialis ini beredar pada saat itu dalam berbagai bentuk. Misalnya, filsuf Milesian dari abad ke-6 SM, Anaximander, mengemukakan gagasan bahwa manusia, dan semua hewan, berevolusi dari ikan. Filsuf Xenophanes dari abad ke-5/6 SM mengemukakan pandangan ateis tentang perkembangan manusia: “Para dewa tidak memberikan semua hal kepada manusia sejak awal, tetapi seiring berjalannya waktu, dengan bertanya, manusia menjadi lebih baik.”
Drama ini mungkin juga menggemakan, atau merupakan pengaruh dari pandangan filsuf abad ke-5, Anaxagoras, yang menyatakan bahwa perkembangan tangan manusia adalah “penyebab manusia menjadi makhluk yang paling cerdas di antara semua hewan”. Wawasan mendalam tentang hubungan dialektis antara pikiran dan tubuh dalam evolusi manusia ini telah terbukti oleh sains modern selama abad terakhir.
Masih banyak lagi kesamaan antara drama ini dengan ide-ide filsafat dan ilmu pengetahuan alam pada masa tersebut. Dan dengan mengedepankan ide-ide ini dalam bentuk drama mitologis, drama ini benar-benar menyajikan sesuatu yang orisinal, mengembangkan ide-ide ini dengan mensintesiskannya bersama dalam kesatuan yang menyeluruh.
Seni simbolisme memungkinkan ide-ide filsafat, politik, dan budaya untuk diwujudkan dalam berbagai komponen drama, dan melalui medium drama, ide-ide ini kemudian dapat dibuat untuk berinteraksi, berbenturan, dan berpadu satu sama lain.
Sebagai contoh, api kemungkinan besar melambangkan konsep yang oleh orang Yunani Kuno disebut ‘techne’, yang secara luas mencakup tindakan, keterampilan atau seni praktik, kerajinan atau produksi.
Sosok Prometheus sering dianggap melambangkan techne. Namun, seperti yang akan kita lihat, sosok Prometheus dari Aeschylus tidak mewujudkan satu aspek dari kecerdasan manusia, tetapi kondisi manusia secara keseluruhan.
Prometheus sebenarnya memberikan hadiah kedua kepada manusia: ‘harapan buta’. Ini terdengar seperti hal yang cukup negatif, namun dalam drama ini dijelaskan bahwa pada zaman Cronus, manusia tahu kapan mereka akan mati. Karunia ‘harapan buta’ telah menghilangkan pengetahuan ini. Para Oceanid setuju bahwa ini adalah hadiah yang luar biasa, karena jika kita tidak tahu kapan kita akan mati, maka kita sebenarnya memiliki alasan untuk mencoba memperbaiki kehidupan kita.
Ini juga merupakan perubahan lain dari versi Hesiod. Dalam mitos Pandoranya yang agak berbelit-belit, harapan dimasukkan ke dalam kendi kejahatan bagi manusia. Namun ketika kendi itu dibuka, dan semua kejahatan keluar untuk menjangkiti manusia, harapan terjebak di dalam kendi itu dan tidak bisa keluar, sehingga membuat manusia ‘tanpa harapan’.
Namun, Prometheus dari Aeschylus, memberikan harapan kepada manusia, yang tampaknya melambangkan optimisme untuk masa depan dan juga kemampuan berpikir abstrak.
Di satu sisi, anugerah kembar api dan harapan adalah inti dari semua kemajuan manusia – sarana dan motif kita untuk memperbaiki kehidupan kita. Dalam hal ini, ‘harapan’ mewujudkan keinginan dan upaya kita untuk memperbaiki kehidupan kita.
Di sisi lain, dengan ‘membutakan’ pengetahuan ilahi kita tentang masa depan, kita sekarang dipaksa untuk memprediksi masa depan kita sendiri, dan mengembangkan kemampuan kita untuk bernalar. Orang Yunani Kuno menggunakan istilah ‘nous’ untuk secara luas mencakup pemikiran rasional, pemahaman, abstraksi, konseptualisasi, dan sebagainya.
Oleh karena itu, Prometheus, dengan ‘anugerah’ harapan dan apinya, mewakili kemanusiaan kita dalam semua aspeknya – nous dan techne, nalar dan praktik, sains dan seni, perasaan dan pikiran.
Ode Prometheus untuk progres manusia adalah titik sentral dalam drama ini, yang menambahkan dimensi yang lebih luas pada tema politik yang diekspresikan dalam perjuangan Prometheus melawan Zeus.
Drama ini mengedepankan pandangan bahwa semua aspek masyarakat manusia lahir melalui perjuangan, dan telah berkembang melalui perjuangan.
Zeus merupakan perwujudan dari semua belenggu atas masyarakat manusia, sementara Prometheus mewakili semangat kreatif, dorongan maju, dan optimisme kita dalam perjuangan melawan belenggu-belenggu sosial serta kekuatan alam.
Pandangan dialektis tentang perubahan menyatukan semua tema. Namun, ini bukanlah pandangan tentang perubahan yang acak dan kacau; melainkan tentang perubahan yang kreatif ke tingkatan yang lebih tinggi dan progresif.
Prometheus menubuatkan apa yang tampaknya tak terbayangkan, bahwa keadaan saat ini akan berubah menjadi kebalikannya:
“Jadi, dalam kejatuhannya yang dahsyat, Zeus akan menemukan
betapa berbedanya kekuasaan dan perbudakan.”
Gagasan tentang alam semesta yang terus berubah, yang didorong oleh perjuangan, mengingatkan kita pada gagasan filsuf abad ke-6 SM, Heraclitus, bapak dialektika. Dalam salah satu fragmennya, ia berkata:
“Homer salah ketika ia berkata: “Kiranya konflik itu lenyap dari antara para dewa dan manusia!” Ia tidak melihat bahwa ia sedang berdoa untuk kehancuran alam semesta, karena jika doanya didengar, maka segala sesuatu akan lenyap.”
Konsepsi tentang perubahan dan kontradiksi (‘konflik’) yang tidak dapat dipisahkan dari realitas adalah kebenaran yang mendalam, dan dengan jelas diekspresikan dari berbagai sudut pandang dalam Belenggu Prometheus. Aeschylus mengisi pandangan dunia yang dialektis ini dengan ide-ide politik dan ilmiah baru yang berkembang sejak zaman Heraclitus.
Belenggu Prometheus diakui banyak orang sebagai bagian dari sebuah trilogi, seperti Oresteia karya Aeschylus, meskipun dua drama lainnya sayangnya telah hilang. Namun, dengan mempertimbangkan apa yang kita ketahui tentang karya-karya Aeschylus yang lain, dan karakter masyarakat Athena pada saat itu, kemungkinan drama terakhirnya akan mengisahkan perdamaian antara Prometheus dan Zeus.
Harus diingat bahwa Athena yang demokratik itu masih merupakan masyarakat berkelas. Hanya minoritas populasi yang berhak menjadi warga Athena, yaitu kaum laki-laki bebas. Sementara, orang asing, budak, dan semua perempuan Athena tidak memiliki hak politik. Warga Athena itu sendiri juga terbagi dalam kelas-kelas. Meskipun ada kesetaraan politik untuk semua warga, tidak ada pretensi kesetaraan ekonomi.
Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa lapisan kaum demokrat yang lebih kaya tidak menginginkan stasis lebih lanjut. Perjuangan revolusioner untuk demokrasi memang penting dan heroik, tetapi sekarang segala sesuatu harus kembali tenang dan semua orang mulai bekerja kembali. Oleh karena itu, kompromi yang menyimpulkan trilogi Prometheus akan mencerminkan mood ini.
Namun, Belenggu Prometheus itu sendiri tidak mengungkapkan banyak sisi konservatif dalam masyarakat Athena. Meskipun drama ini merupakan produk dari zaman tertentu, gagasannya yang dengan berani menjunjung tinggi pemberontakan, kebebasan, kemajuan manusia, dan pencerahan telah melampaui Athena pada abad ke-5 SM.
Prometheusnya Aeschylus menemukan gaungnya di antara para seniman dan kaum radikal era revolusi demokratik di seluruh Eropa.
Percy Shelley, penyair Romantik Inggris yang revolusioner, menulis sekuelnya sendiri untuk Belenggu Prometheus, yang diberi judul Prometheus Unbound (Prometheus Bebas), di mana tidak ada kompromi, dan kita menyaksikan berakhirnya kekuasaan Jupiter (nama Romawi Zeus). Dalam kata pengantar dramanya, ia merangkum mood di antara lapisan seniman muda yang optimis ini:
“… Saya menjauhi bencana di mana Sang Juara didamaikan dengan Penindas umat manusia. […] Prometheus merupakan teladan kesempurnaan tertinggi dari sifat moral dan intelektual yang didorong oleh motif yang paling murni dan paling benar untuk tujuan yang paling mulia.”
Goethe muda mengambil banyak ide dari Belenggu Prometheus,dan bahkan menulis sebuah puisi berjudul Prometheus, yang dapat digambarkan sebagai seruan perjuangan ateisme. Beethoven menggubah The Creatures of Prometheus, sebuah balet yang mengisahkan perjalanan umat manusia menuju pencerahan.
Karl Marx juga terinspirasi oleh drama ini. Dia mengutip Aeschylus sebagai penyair favoritnya, dan beberapa kali menyebut Prometheus dalam karyanya. Dalam mahakaryanya, Capital, Marx menulis bahwa produksi kapitalis “membelenggu buruh ke kapital lebih kuat daripada rantai Vulcan (nama Romawi Hephaestus) yang membelenggu Prometheus ke batu karang.”
Yang sangat menarik di sini adalah, bagi Marx, bukan lagi hanya alam atau tirani politik, tetapi hukum sistem kapitalisme itu sendiri yang menindas manusia. Namun, tirani inilah yang mendorong perjuangan kelas buruh untuk menggulingkannya.
Hari ini, ide-ide dalam drama Prometheus telah didistorsi oleh para akademisi yang sinis dan pesimis, terutama yang disebut ‘kiri’, yang menggunakan istilah ‘Prometheanisme’ untuk secara mengejek merujuk pada keyakinan naif terhadap revolusi atau ilmu pengetahuan. Ini tidak lebih dari ekspresi impotensi borjuis-kecil di tengah-tengah era kebusukan kapitalisme yang renta.
Faktanya, kelas buruh telah mewarisi perjuangan Prometheus yang telah dikobarkan oleh kaum tertindas melawan penindas mereka sepanjang sejarah.
Kapitalisme tidak hanya telah menjadi penghambat produksi, tetapi juga menjadi penghambat budaya, filsafat, ilmu pengetahuan, dan perkembangan umat manusia secara keseluruhan. Bersanding dengan sumber daya material, teknologi, dan sebagainya yang melimpah, ada juga warisan ide, seni, dan budaya yang sangat kaya yang dikembangkan manusia selama berabad-abad.
Seperti halnya perjuangan orang Yunani Kuno melawan kaum aristokrat dan perjuangan kaum borjuis radikal melawan kaum bangsawan feodal, perjuangan kelas buruh melawan kapitalisme terikat dengan pencerahan baru.
Dan dengan mengambil alih kekuatan produktif yang sangat besar yang telah dibangun oleh kapitalisme, kelas buruh dapat menempatkan umat manusia di jalan menuju kebebasan sejati untuk pertama kalinya.