Ada yang berbeda dengan pertemuan Brics tahun ini yang baru saja diselenggarakan pada 22 Agustus kemarin. Pertemuan ini menjadi sorotan dunia karena ini jelas menjadi satu lagi arena pergulatan antar-imperialis, antara poros China-Rusia di satu sisi dan G7 yang dipimpin AS di sisi lain. Kendati pernyataan diplomatis dari Xi Jinping sendiri bahwa pertemuan BRICS ini bukan “bukan untuk meminta negara-negara mitra mereka. untuk memihak atau menciptakan konfrontasi [melawan G7] dengan membentuk blok baru, akan tetapi adalah upaya untuk memperluas upaya penciptaan perdamaian dan pembangunan bersama”, bagi siapapun yang bisa melihat dan berpikir KTT Brics ini jelas merupakan bagian dari usaha China untuk menghimpun sekutu dalam pergulatan antar-imperialis dengan AS..
Brics sendiri telah mengalami perubahan selama 20 tahun terakhir. Pada awal 2000an, ada optimisme besar di antara pengamat ekonomi mengenai potensi ekonomi Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan yang digadang-gadang dapat menandingi ekonomi G7. Lahirlah blok BRICS yang selama beberapa tahun menjadi akronim jargonistik yang memenuhi kolom-kolom laporan finansial.
Optimisme besar ini bersandar pada boom ekonomi dunia pada masa tersebut. Ungkapan-ungkapan seperti “emerging economies” atau “emerging markets” menggantikan “negara miskin” atau “negara dunia ketiga”, dengan harapan yang membuncah-buncah dari borjuasi BRICS dan negeri-negeri eks-kolonial lainnya kalau mereka akan keluar dari keterbelakangan historis mereka dan memasuki jajaran negeri-negeri maju. Kapitalisme akan mengangkat semua bangsa dari lembah kemiskinan dan umat manusia sedunia akan memasuki epos kemakmuran yang abadi. Mimpi di siang bolong ini pupus di hadapan realitas.
Selepas krisis finansial global 2007-08, harapan tersebut meredup dengan cepat. Krisis kapitalis yang terbesar dan terdalam ini dengan tanpa pilih kasih menghantam semua negara. Tidak hanya itu saja. Resesi ini bukanlah seperti resesi-resesi sebelumnya, yang biasanya disusul dengan pemulihan besar. Krisis 2007-08 menjadi titik balik yang membawa dunia ke periode krisis berkepanjangan. Yang menyusul adalah krisis demi krisis. Kecuali China dan India, anggota BRICS lainnya menderita stagnasi ekonomi pada 2010an. Bahkan pertumbuhan China pun pada 2010an berdasarkan stimulus besar dan spekulasi real-estate tanpa preseden, yang hari ini telah kehilangan dayanya. Pamor Brics sebagai kekuatan ekonomi baru meredup dan akronim Brics semakin jarang mengunjungi bibir para pengamat ekonomi.
Ini berubah dengan KTT BRICS pada 22 Agustus baru-baru ini di Johannesburg, Afrika Selatan. Brics seperti menemukan kehidupan baru kembali.
Namun Brics hari ini sungguh berbeda dengan BRICS 20 tahun yang lalu. Bila BRICS pada awal 2000an lahir di tengah kapitalisme yang penuh dengan optimisme, hari ini BRICS menemukan dirinya di tengah kapitalisme yang sakit-sakitan. Ini sungguh menentukan karakter Brics di tengah relasi dunia yang semakin menegang.
Ketika Brics awalnya terbentuk, blok ini dianggap sebagai rival negeri-negeri Barat, tetapi rival yang kurang lebih bersahabat. Brics dan emerging economies lainnya dilihat sebagai kekuatan ekonomi yang tengah mengejar ketertinggalan mereka dengan cepat, dan fakta ini disambut dengan cukup hangat oleh kapitalis Barat. Dengan pasar yang semakin matang, dengan lapisan kelas menengah yang semakin membesar, ini berarti pasar yang semakin besar pula bagi korporasi-korporasi Barat untuk menjajakan produk dan menanamkan kapital mereka. Investasi asing mengalir deras ke Brics dan banyak negeri berkembang lainnya.
Bukan kebetulan kalau akronim BRIC diciptakan pada 2001 oleh ekonom korporasi finansial Goldman Sachs, Jim O’Neill, yang melihat BRIC dan negeri-negeri berkembang lainnya sebagai tempat investasi yang akan memberikan return yang tinggi. Maka, walaupun BRICS dilihat sebagai rival negeri-negeri Barat, tetapi mereka kurang lebih dipandang oleh Barat sebagai rival bersahabat dalam kompetisi kapitalis yang “sehat”. Tetapi ini hanya benar ketika kapitalisme tampaknya melangkah maju tanpa henti, ketika laju globalisasi berderap dengan penuh percaya diri dan ada cukup profit untuk semua. Ketegangan imperialis menjadi lebih lunak ketika semua kecipratan profit. Namun ini bukan berarti persaingan imperialisme telah terdamaikan.
Dengan masuknya kapitalisme ke dalam periode krisis organik, semua terjungkir balik. Globalisasi berbalik menjadi proteksionisme, ketika tiap-tiap negara kini berusaha melindungi pangsa pasarnya sendiri dengan mengorbankan kepentingan negeri lain. Perang dagang menajam, terutama antara AS dan China, tetapi juga bahkan antara AS dan Uni Eropa. Keperluan dari tiap-tiap kekuatan ekonomi besar untuk mempertahankan bagian mereka dalam pasar dunia, dan juga untuk mencaplok pasar lainnya, adalah fitur utama dari kapitalisme pada tahapan tertingginya, imperialisme. Dan keperluan ini menjadi semakin tak tertanggungkan di tengah krisis kapitalisme.
Perkembangan kekuatan ekonomi China kini telah berbenturan dengan tatanan global yang sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua didominasi secara absolut oleh AS. Kapitalisme China, yang sudah bukan lagi hanya pabrik dan sumber buruh murah untuk AS dan Barat, kini menuntut bagian mereka dalam perekonomian global. Demikianlah ciri-ciri Imperialisme yang dijabarkan oleh Lenin, pembagian dan pembagian ulang dunia ke dalam “lingkaran pengaruh”.
Bersamaan dengan naiknya China, kita juga saksikan melemahnya pengaruh global AS secara relatif. Melemahnya AS membuat negara-negara sekutu yang sebelumnya bergantung pada AS menjadi lebih berani dalam mendorong kepentingannya sendiri, bahkan bila kepentingan ini berbenturan dengan AS.
Sebut saja wilayah Timur Tengah. Israel, yang sebelumnya adalah sekutu AS yang dapat diandalkan di Timur Tengah, kini mulai mengejar kepentingannya sendiri yang tidak searah dengan kebijakan dan kepentingan AS. Sementara rejim AS mencoba menavigasi “ladang ranjau” Timur Tengah dengan berbagai manuver diplomatis dan perjanjian multi-lateral, rejim Netanyahu dengan kepentingan sempitnya justru memprovokasi Iran dan mempertajam represi terhadap rakyat Palestina, yang mengancam stabilitas wilayah tersebut. Ini bukanlah karena pribadi Netanyahu, tetapi karena selapisan kelas penguasa Israel sudah tidak merasa seyakin dulu dalam mempercayai AS sebagai kekuatan yang bisa menjaga kepentingannya. Setelah kekalahan AS yang memalukan dalam perang Irak dan Afghanistan, serta revolusi Arab 2011 dan kekacauan yang menyusul di Suriah dan Libya, pengaruh AS di wilayah Timur Tengah ada di level terendah, sementara Iran dan Rusia, serta Turki dan Arab Saudi, mengisi kevakuman yang ada. Negara-negara Arab yang sebelumnya sangat dekat dengan AS juga sudah mulai menarik diri dari lingkaran pengaruh AS. Fakta ini tercatat dengan begitu jelasnya ketika pada pertemuan Brics tahun ini Arab Saudi dan United Arab Emirates direncanakan akan bergabung dengan Brics.
Selain kedua negara tersebut, 4 negara lain rencananya juga akan bergabung: Argentina, Mesir, Ethiopia, dan Iran. Dengan 6 anggota baru, koalisi Brics-plus-six ini akan mencakup 47 persen populasi dunia dengan total 37 persen GDP dunia. Sekilas, raksasa baru ini membuat G7 (AS, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris dan Uni Eropa) tampak kerdil. G7 mencakup 9,8 persen populasi dunia dan 29,8 persen GDP dunia. Fakta ini membuat banyak pengamat terpesona sampai buta oleh kekuatan Brics baru ini. “BRICS, Dulu Kelompok Tersisihkan, Kini Siap Gantikan G7,” begitu misalnya salah satu tajuk di koran Kompas.
Tetapi komparasi ini tidak akurat dan mengalihkan perhatian dari indikator yang paling menentukan: produktivitas tenaga kerja. Dengan hanya 9,8 persen populasi, G7 menguasai hampir sepertiga perekonomian dunia, bila dihitung dari GDP secara kasar. Pendapatan per kapita G7 masih berlipat dari Brics. Sama pentingnya adalah keseragaman ekonomi di antara anggota koalisi tersebut. G7 beranggotakan negara-negara yang rata-rata perkembangan ekonominya ada di tingkatan serupa. Tidak begitu dengan Brics. Ambil contoh saja China dan India, dua anggota terbesar Brics, dengan GDP per kapita China lima kali lipat lebih besar daripada India. Ketimpangan demikian tidak hanya membuat kerja sama ekonomi setara yang diharapkan oleh para partisipan KTT Brics sulit tercapai, tetapi juga menyingkap satu fakta yang tak terbantahkan: Brics bukanlah apa-apa tanpa China sebagai kekuatan yang mendominasinya.
Tidak semua anggota Brics memiliki visi yang sama seperti China dalam melihat Brics. Bila China berupaya membangun Brics sebagai platform untuk menantang dominasi AS, banyak anggota lainnya lebih melihat Brics sebagai kesempatan untuk mendulang manfaat dari persaingan antara China dan AS. Dalam kata lain, ini adalah kesempatan bermain di dua kaki. India misalnya mulai disasar menjadi salah satu negara tujuan investasi bagi Barat dalam kebijakan “de-risking” atau “friend-shoring”, yaitu kebijakan Barat untuk mulai membangun rantai pasok di luar China. Juni kemarin, perdana menteri India Narendra Modi melakukan kunjungan ke AS dan disambut dengan jamuan makan malam besar di Gedung Putih. Tidak seperti China dan Rusia, India jelas tidak terburu-buru memposisikan dirinya sebagai lawan AS. Investasi asing dari Barat terlalu menggiurkan untuk ditolak oleh borjuasi India, terutama dalam iklim perang dagang AS dan China. India tidak ingin menutup pintunya dengan AS, karena negeri ini berpotensi mendapat keuntungan dari strategi “derisking” AS, yang ingin membuka rantai pasok dari India. Begitu juga dengan Brasil dan Afrika Selatan. Menteri luar negeri Afrika Selatan Naledi Pandor mengatakan bahwa akan menjadi kesalahan besar bila ekspansi Brics dilihat sebagai kebijakan anti-Barat. Presiden Brazil Lula menekankan selama KTT bahwa tujuan Brics bukanlah untuk bersaing dengan lembaga Barat. “Kami tidak ingin menjadi tandingan G7, G20, atau AS. Kami hanya ingin mengorganisir diri sendiri,” tegas Lula.
Fakta inilah yang membuat Xi mengeluarkan pernyataan diplomatik bahwa KTT Brics ini bukanlah upaya untuk menciptakan dua blok yang eksklusif. China harus menerima kenyataan, setidaknya untuk sekarang ini, bahwa Brics bukanlah blok rapat yang berhadap-hadapan langsung dengan G7. Ada begitu banyaknya kepentingan yang berbenturan dalam Brics, China harus bisa mengakomodir ini, sementara tetap menggunakan platform Brics untuk memperluas pengaruh dan prestise mereka, dan menggerus secara bertahap dominasi AS.
Kendati keluhan dari negeri-negeri non-G7 mengenai dominasi Barat yang mencekik, dan ketidakadilan dalam lembaga-lembaga finansial seperti WTO, Bank Dunia, dan IMF, ketergantungan borjuasi dari negeri-negeri eks-kolonial pada kekuatan imperialis besar masih merupakan ciri-ciri utama mereka. Dari waktu ke waktu, kelas penguasa negeri eks-kolonial mengeluarkan pernyataan mengenai pentingnya kedaulatan nasional dalam relasi global, sebagian untuk menenangkan rakyat pekerja, sebagian untuk memperoleh konsesi kecil dari tuan mereka. Tetapi pada akhirnya borjuasi ini akan menghamba pada kekuatan imperialis ini atau itu, dan hari ini China telah menjadi salah satu kekuatan imperialis tersebut.
Hanya orang bodoh dan naif yang akan percaya bahwa Brics berniat membangun relasi dunia dan kerja sama ekonomi yang setara, adil, dan inklusif. Ini seperti percaya bahwa kelas kapitalis melakukan bisnis demi menyejahterakan buruhnya, dan bukan demi profit. Kebijakan luar negeri kelas penguasa hanyalah kelanjutan dari kebijakan dalam negeri mereka, yakni kebijakan yang dimotivasi oleh profit demi segelintir kapitalis. Pergulatan antar kelas penguasa dari berbagai negeri untuk meraup lebih banyak pasar dan profit bagi diri mereka bukanlah urusan rakyat pekerja. Bila pemilik 100 budak berkonflik dengan pemilik 200 budak untuk distribusi budak yang lebih “adil”, akan jadi kebodohan bila budak-budak tersebut berpihak pada satu atau pemilik budak lainnya. Kaum revolusioner tidak berpihak pada satu pihak pun, tetapi dengan konsisten mengekspos kontradiksi yang inheren dalam kapitalisme-imperialisme guna membuka mata rakyat pekerja yang diperbudak.
AS adalah kekuatan imperialis yang paling reaksioner, parasit yang menghisap seluruh dunia. Tetapi ini tidak lantas membuat Brics atau China progresif dalam kapasitas apapun. Kita tengah memasuki periode di mana tatanan dunia yang lama mulai goyah, atau lebih persisnya, posisi AS sebagai kekuatan absolut yang mendominasi dunia mulai terancam oleh kekuatan baru, yaitu China. China adalah kekuatan imperialis baru yang menuntut “haknya” untuk porsi dunia yang lebih besar, seperti halnya Jepang pada permulaan abad ke-20. Fakta bahwa Jepang adalah negeri yang lebih kecil, dan bahkan sempat berada di bawah jempol AS, tidak membuat Jepang progresif sama sekali. Justru selama paruh pertama abad ke-20 imperialis Jepang menutupi kebijakan predatoris mereka dengan kedok Greater East Asia Co-Prosperity Sphere (Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya), sebuah perserikatan Asia yang menyatakan tujuannya untuk membangun solidaritas Asia dan menciptakan kesejahteraan bersama yang bebas dari kolonialisme Barat. Terdengar sangat akrab bukan? Setiap kekuatan imperialis akan selalu mencoba menutupi kebijakan predatoris mereka dengan retorika yang muluk-muluk mengenai demokrasi, kesejahteraan, kesetaraan, keadilan, dan perdamaian.
Rakyat pekerja sedunia mendambakan relasi antar-bangsa yang setara dan adil. Kita bisa memahami aspirasi ini. Tetapi ketika kapitalis dan perwakilan politik mereka berbicara mengenai kesetaraan dan keadilan, ini hanyalah kedok sinis bagi kerakusan modal. Relasi dunia yang setara dan adil hanya bisa tercapai bila moda produksi masyarakat kita telah dibebaskan dari relasi ekonomi kapitalis yang mengaturnya. Selama kapitalisme masih berlaku, maka kaum kapitalis akan selalu memangsa rakyat pekerja, dan kekuatan imperialis besar akan selalu mendominasi bangsa-bangsa kecil. Tidak akan ada keadilan dan kesetaraan dalam relasi apapun. Kapitalis dan pemerintahan mereka hanya memahami bahasa dominasi. Persemakmuran dunia yang setara dan adil, yang bebas dari perang dan konflik, yang bebas dari eksploitasi, hanya bisa tercapai di bawah tatanan masyarakat sosialis.