Memasuki bulan ketiga, bara api perang Rusia-Ukraina tidak kunjung padam, tetapi justru semakin berkobar dengan kipasan kencang dari NATO. Pada pertemuan di Jerman kemarin (26/4) yang disponsori oleh Amerika, menteri-menteri pertahanan NATO berkomitmen mengirim lebih banyak lagi alat-alat militer berat, seperti meriam howitzer, drone bersenjata, amunisi berat, dan banyak lainnya. Tujuan sesungguhnya AS dalam perang ini terpampang jelas oleh pernyataan Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin belum lama ini: “Kami ingin melihat Rusia menjadi lemah sampai titik di mana mereka tidak bisa lagi melakukan hal seperti menyerang Ukraina.” Jelas, ini bukan perang antara Rusia dan Ukraina, tetapi antara Rusia dan AS, dan imperialisme AS berkomitmen akan berjuang sampai titik penghabisan darah terakhir rakyat pekerja Ukraina. Tetapi yang jadi korban perang ini tidak hanya rakyat pekerja Ukraina, tetapi juga rakyat pekerja di seluruh dunia. Gemuruh dentum bom perang ini melampaui perbatasan Ukraina.
Sejak perang ini meletus, Barat telah mengucurkan $5 miliar bantuan militer. Pemerintahan Biden mengumumkan akan mengalokasikan ekstra $713 juta bantuan militer, dan tentunya untuk keperluan propaganda ini diumumkan di depan tumpukan popok bayi seakan-akan ini adalah bantuan kemanusian. Miliaran dolar bantuan militer ini dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa bila didedikasikan untuk pelayanan kesehatan publik. 45 ribu warga Amerika mati setiap tahunnya karena tidak mampu membayar asuransi kesehatan. Bila untuk keperluan perang, pemerintah tampaknya tidak terlalu cemas mengenai defisit anggaran. Tidak ada penghematan kalau ini berurusan dengan anggaran militer. Untuk setiap dolar yang digunakan untuk membeli peluru, tidak hanya peluru ini membunuh tetapi juga di tempat lain akan ada kekurangan obat dan dokter yang bisa menyelamatkan nyawa.
Tidak hanya itu. Perang ini telah memperparah krisis inflasi di mana-mana, terutama inflasi sembako. Rusia dan Ukraina adalah eksportir gandum terbesar pertama dan kelima. Perang ini telah mengganggu suplai gandum dan meningkatkan harganya sampai 35 persen pada minggu-minggu pertama perang. Melejitnya harga migas akibat perang juga berimbas pada harga pupuk, yang telah melonjak 100 persen sejak awal 2022. Ini semakin mempersulit kehidupan petani, dan juga konsumen karena naiknya biaya produksi bahan makanan..
Krisis pangan global ini datang tumpah tindih, dan pasar kapitalis yang katanya adalah mekanisme ekonomi yang paling ampuh tidak mampu menanggulanginya. Justru kapitalisme akan memperparahnya. Tujuan utama kapitalisme adalah laba, dan dari sudut pandang kapitalis bukan masalah besar bila ratusan juta rakyat kelaparan selama mereka bisa menimba laba besar dari kekacauan pasar ini. Bukankah perusahaan-perusahaan senjata hari ini meraup laba miliaran dolar di tengah perang Ukraina-Rusia yang berdarah-darah? Di mana-mana spekulan-spekulan berkeliaran memanfaatkan krisis pangan global, dan biasanya berkolusi dengan pejabat pemerintah. Ini bukan mafia minyak goreng, tetapi kapitalisme berfungsi seperti biasanya. Kapitalis eksis bukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi demi profit.
Tiap-tiap pemerintah kini mencoba melindungi pasar mereka sendiri dengan menerapkan kebijakan proteksionis. Berbagai negeri seperti Rusia, Ukraina, Argentina, Hungaria, dan juga Indonesia, telah mengetatkan ekspor bahan makanan mereka. Setelah gagal mengatasi mahalnya harga minyak goreng (yang juga dipicu oleh perang Ukraina-Rusia karena kedua negara tersebut memproduksi 60% minyak bunga matahari dunia, dan kelangkaan minyak bunga matahari ini dicoba ditutupi dengan suplai minyak goreng nabati lainnya), pemerintahan Jokowi kemarin melarang ekspor minyak kelapa sawit dan semua bahan baku minyak goreng. Tiap-tiap negeri mencoba menyelamatkan diri mereka sendiri, tetapi kebijakan proteksionis ini akan menjadi bumerang. Kebijakan proteksionis ini akan menciptakan dislokasi dalam rantai pasok global, dan efek dominonya akan terasa ke semua sendi ekonomi. Tiap-tiap pemerintah akan merespons kebijakan proteksionis negeri lain dengan kebijakan proteksionisnya sendiri, dan ini akan menjadi spiral ke bawah. Yang jadi korban adalah rakyat pekerja, dengan epidemi kelaparan dan malnutrisi yang menyebar luas, sementara korporasi meraup super profit dari kelangkaan.
Kapitalisme, dengan pasar bebas yang bermotif profit, dengan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi oleh segelintir, serta sekat-sekat negara-bangsa, sungguh telah menjadi penghalang bagi kemakmuran umat manusia. Kekuatan produksi umat manusia memiliki potensi riil untuk menanggulangi krisis pangan dan inflasi yang ada, dengan syarat tuas-tuas ekonomi ini dibebaskan dari profit kapitalis, diletakkan di tangan buruh dan tani yang bekerja, dengan sistem perencanaan ekonomi yang demokratis, dikelola untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sumber daya ekonomi seluruh dunia bisa direncanakan dengan semangat solidaritas internasional yang menerobos sekat-sekat negara bangsa, dan bukannya saling memangsa ataupun cari selamat sendiri seperti yang ditunjukkan oleh kebijakan-kebijakan proteksionis sekarang. Bebaskan ekonomi dunia dari sekat-sekat negara bangsa dan imperialisme, kita akan saksikan lompatan besar seluruh umat manusia.
Krisis pangan ini adalah resep jitu untuk gejolak sosial dan revolusi. Kenaikan harga makanan adalah pemicu Revolusi Prancis lebih 200 tahun yang lalu, seperti halnya ini memicu Revolusi Arab pada 2010. Inflasi bahan makanan di Sri Lanka yang mencapai 30 persen juga baru-baru ini memicu insureksi massa yang terbesar sejak 1953. Tetapi jangan kita lalu mengira ini hanya masalah nasi saja. Rakyat pekerja yang memberontak dengan tepat melihat bahwa mahalnya sembako merupakan hasil tak terelakkan dari rejim yang korup, yang di setiap langkahnya mempertahankan tatanan yang tidak adil ini, di mana segelintir bergelimang emas dan mayoritas lainnya tidak tahu besok akan makan apa. Keresahan rakyat telah menyentuh seluruh sendi masyarakat kapitalisme. Yang diperlukan sekarang adalah sebuah organisasi revolusioner yang bisa menyediakan ekspresi terorganisir dari keresahan umum ini dan memetakan jalan ke solusinya: Sosialisme. Selama sistem ini masih bercokol, maka perang, krisis pangan, inflasi, kelaparan, kerusakan lingkungan hidup, semua kejahatan kapitalis di muka bumi ini akan terus terulang dan bahkan dengan intensitas yang semakin dalam dan tinggi. Rakyat pekerja akan terus melawan. Tetapi pemberontakan spontan dan sporadis saja tidak akan mumpuni. Kekuatan rakyat pekerja ini perlu dihimpun ke dalam program sosialis, yang diemban oleh partai sosialis revolusioner. Partai ini perlu dibangun hari ini juga, dan tugas urgen ini tidak bisa lagi ditunda.