Teori konspirasi dan berbagai klaimnya mengenai asal muasal pandemi Covid-19 telah menyebar begitu cepat. Teori-teori yang tidak masuk akal, seperti virus korona yang menyebar melalui jaringan seluler, menarik minat banyak orang. Teori ini banyak disebarkan oleh selebriti, musisi dan influencer yang memiliki pengikut besar di media sosial mereka. Tidak jarang apa yang disarankan oleh mereka memiliki implikasi yang berbahaya. Mereka tiba pada kesimpulan menolak karantina dan vaksin. Terjadi pula aksi-aksi perusakan, seperti di Amerika dan Eropa dimana tower telepon seluler yang dikira tower 5G dibakar sekelompok orang karena dianggap bisa menyerang kekebalan tubuh manusia dan menfasilitasi penyebaran Covid-19.
Banyak orang mempercayai teori konspirasi bukan karena mereka bodoh. Asal-usul penyebaran Covid-19 yang tidak jelas serta media-media arus utama yang sering kali tertangkap basah berbohong telah menciptakan kebingungan besar di antara rakyat. Semua ini mendorong narasi-narasi berbahaya bertebaran di masyarakat.
Dalam masa krisis seperti ini, banyak orang ketakutan dan ingin mencari penjelasan. Ketika orang takut dan merasa tidak memiliki kendali atas situasi, mereka akan merangkul gagasan apapun. Dalam artian tertentu, teori konspirasi menenangkan secara psikologis. Teori konspirasi memberikan penjelasan yang memungkinkan orang untuk mempertahankan keyakinan mereka sendiri di masa yang tidak pasti.
Ketakutan akan ketidakpastian merupakan hal yang alami dalam menghadapi bencana. Pandemi ini merupakan peristiwa besar yang mengguncang kesadaran dari atas hingga bawah. Kehidupan normal tiba-tiba dikejutkan oleh satu peristiwa yang tampaknya acak. Mereka yang tidak mempunyai persiapan teoritis akan dengan mudah memeluk teori konspirasi, tidak terkecuali sebagian aktivis. Peristiwa besar yang tampak tidak masuk akal membutuhkan penjelasan yang sama-sama tidak masuk akal juga. Oleh karenanya, dalam masa kebingungan besar seperti ini, tidak mengherankan bila banyak orang menginginkan jawaban, bahkan bila itu kadang-kadang berarti menghubungkan titik-titik kesimpulan yang salah.
Konspirasi Elite Global
Bill Gates, seorang miliarder filantropis dan pendiri Microsoft telah menjadi target utama berbagai konspirasi yang muncul selama pandemi. Namanya dihubungkan sebagai konspirator elite global yang menyebarkan Covid-19 karena presentasinya di Ted Talk 2015 yang mengatakan bahwa dunia tidak siap menghadapi epidemi selanjutnya. Video ini diputar ulang ribuan kali dalam waktu yang singkat dan dijadikan pembenaran bagi para pendukung teori konspirasi bahwa elite-elite global seperti Bill Gates menyebar virus ini untuk keuntungan mereka.
Namun, hanya karena Bill Gates memperingatkan dunia tidak siap menghadapi pandemi, lantas bukan berarti kita bisa mengalamatkan tuduhan kalau dia ada di belakang semua bencana ini. Ini sama seperti menyalahkan seorang dokter untuk kematian seseorang hanya karena sebelumnya sang dokter telah memperingatkan bahwa si pasien punya potensi penyakit jantung. Jelas tuduhan ini sangat tidak masuk akal. Virus yang penularannya diperantarai oleh hewan adalah hal yang alami dan telah terjadi berulang kali. Sebelumnya sudah ada wabah Ebola, SARS, MERS, dan tentunya wabah Flu Spanyol yang hebat itu. Dengan melihat lemahnya sistem pelayanan kesehatan yang ada saat ini, akibat pemotongan serta privatisasi, siapapun dapat memperoleh gambaran bahwa masyarakat kita tidak siap dengan bencana pandemi. Pengetahuan Gates mengenai ini – dan tentunya pengetahuan ini disediakan untuknya oleh tim peneliti yang digajinya – memungkinkan dia memperoleh gambaran mengenai ancaman pandemi global di hari depan.
Tuduhan “elite global” ini juga bukan hal aneh bila kita teliti latar belakang ekonomi dan sosialnya. Dengan ketimpangan yang besar antara yang kaya dan miskin, wajar bila orang-orang terkaya menjadi sasaran kebencian bagi banyak rakyat. Bill Gates merupakan 2 dari 10 orang terkaya dunia. Untuk menghabiskan kekayaannya membutuhkan 285 tahun, dengan catatan dia harus membelanjakan 1 juta dollar AS alias Rp 13,9 miliar dalam sehari. Tuduhan elite global yang dialamatkan pada Bill Gates hanyalah salah satu manifestasi dari kebencian ini.
Selain itu, aktivitasnya sebagai seorang filantropis adalah hal yang dirasa asing bagi banyak orang. Seorang kapitalis dilihat banyak orang hanya melakukan sesuatu kalau ini memberikan untung besar bagi dirinya, dan oleh karenanya kegiatan kemanusiaan Bill Gates – terutama kali ini dalam bidang kesehatan – dilirik dengan penuh rasa curiga. Ada udang di balik batu, begitu pikir banyak orang.
Dalam praktik, kapitalis kerap melakukan kegiatan kemanusiaan demi kepentingan sempit mereka. Semisal, demi pencitraan, dengan konsep “Corporate Sosial Responsibility” yang jadi kedok untuk eksploitasi buas mereka. Selain itu, banyak celah dalam hukum perpajakan yang memberi keuntungan pajak bagi kapitalis yang memberi donasi. Kegiatan kemanusiaan korporasi juga sering kali jadi kesempatan untuk menancapkan monopoli mereka di pasar-pasar baru. Semisal, Facebook yang memberi wifi gratis di sejumlah negeri Afrika. Ini telah dikritik sebagai usaha marketing terselubung Facebook untuk mendominasi penyediaan internet dan media sosial di Afrika.
Ada alasan lain mengapa kapitalis melakukan kegiatan kemanusiaan, yakni demi menjaga keberlangsungan sistem kapitalisme mereka secara keseluruhan. Gates mengatakan sendiri bahwa investasi di bidang pengembangan kesehatan jauh lebih menguntungkan daripada ancaman nyata terhadap kehancuran ekonomi – dan bisa kita tambahkan, juga kehancuran sosial – akibat pandemi, yang bila dijumlahkan akan mengurangi kekayaan dunia senilai 3 triliun dolar AS. Itu artinya kelangsungan akumulasi kekayaan yang dia miliki sebagai orang terkaya dunia juga terancam oleh bencana ini. Seperti yang pernah dikatakan oleh Marx, “Sebagian dari kaum borjuasi berkehendak memperbaiki kepincangan-kepincangan sosial untuk menjamin kelangsungan masyarakat borjuis.” Selanjutnya, kaum borjuasi “menghendaki segala kebaikan dan manfaat dari kondisi-kondisi sosial modern (baca kapitalisme) tanpa perjuangan [kelas] dan bahaya-bahaya yang mesti timbul dari situ.” Inilah mengapa Bill Gates ingin memperbaiki ketimpangan-ketimpangan yang ada dengan mendirikan badan-badan amal dan mendukung riset-riset kesehatan, serta sangat vokal mengenai pandemi ini. Ketimpangan yang terlalu berlebihan dapat memercikkan gejolak sosial dan mempertajam perjuangan kelas, yang pada gilirannya dapat mengancam keberadaan kapitalis sebagai kelas penguasa.
Manipulasi dan konspirasi adalah cara bagi kelas kapitalis untuk meraih keuntungan, menjatuhkan saingannya dan merebut pasar. Sejauh istilah elite global dipakai untuk menyalurkan kemarahan terhadap tatanan sosial saat ini adalah hal positif. Tapi untuk menjelaskan watak eksploitasi dari sistem kapitalisme, istilah ini tidak memadai. Istilah elite global sangatlah kabur dan cenderung dipakai untuk mengkambing-hitamkan individu atau kelompok etnis tertentu, seperti rasisme terhadap kaum Yahudi yang dianggap sebagai biang kerok atas segala sesuatu, atau belakangan ini rasisme terhadap orang China terkait Covid-19. Teori konspirasi sangat disukai pemerintah dan kelas penguasa karena mengalihkan perhatian rakyat dari kegagalan mereka dalam menjaga kesejahteraan dan kesehatan rakyat. Pada kenyataannya, kapitalisme-lah yang menciptakan bencana. Bertahun-tahun era pengetatan anggaran telah membuat rumah sakit-rumah sakit kekurangan fasilitas dan tempat tidur yang dibutuhkan. Pengembangan vaksin yang seharusnya mengurangi dampak pandemi terhambat karena diserahkan pada pasar dan motif laba. Ini bukan kesalahan elite global yang sedang berkonspirasi, melainkan kesalahan kapitalisme. Oleh karena itu istilah elite global tidak memadai menjelaskan problem masyarakat. Bila kita ingin memahami sesuatu kita harus melampaui kebencian dan beralih ke metode yang mampu menjelaskan eksploitasi kapitalisme dan bagaimana mengakhirinya.
Konspirasi Kapitalisme
Menurut KBBI, kata “konspirasi” berarti persekongkolan atau komplotan orang dalam merencanakan sebuah kejahatan yang dilakukan dengan rapi dan sangat dirahasiakan. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal banyak bentuk konspirasi. Dalam politik kita mengenal plot-plot politik dan konspirasi kudeta misalnya: imperialisme AS memasang Juan Guidao sebagai presiden boneka untuk melakukan kudeta terhadap presiden Maduro; konspirasi imperialisme AS melalui CIA yang berusaha menggulingkan pemerintahan-pemerintahan demokratik di Kuba dan Timur Tengah; serta konspirasi kerajaan Saudi dalam plot pembunuhan Jamal Khashoggi. Dalam ekonomi, kita mengenai berbagai konspirasi korupsi, kolusi dan nepotisme. Pengusaha yang bersekongkol dengan aparat untuk menindas buruh, tani dan rakyat miskin.
Kelas penguasa tidak membuat semua rencana mereka transparan kepada massa, sebaliknya mereka memutuskan kebijakan secara rahasia, jauh dari massa. Setiap ruang rapat majikan adalah konspirasi melawan para pekerja, yakni sebuah konspirasi untuk mengeksploitasi mereka. Setiap ruang perencanaan militer imperialis adalah konspirasi untuk menjarah negara-negara miskin. Korporasi, agen militer dan intelijen mereka sering berkolaborasi dalam melakukan operasi rahasia yang kriminal.
Tentu saja tidak setiap orang yang berkonspirasi mendapatkan keuntungan yang sama. Konspirasi yang dilakukan kelas penguasa tentu berbeda dengan konspirasi yang dilakukan kelas bawah, misalnya buruh yang mengorganisir serikat buruh secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari hukuman PHK dari manajemen. Konspirasi kelas buruh dalam hal ini dilakukan karena posisi mereka yang lemah, sementara kelas penguasa memiliki semua sarana berkuasa dalam jumlah besar yang tidak dimiliki kelas bawah. Mereka mempunyai penjabat, polisi, hakim dan penjara.
Kapitalisme sangat terorganisir dalam penggunaan propaganda dan operasi rahasia. Kelas penguasa kapitalis memiliki posisi kuat dalam jaringan korporasi, pemerintah, intelijen dan militer yang luas. Mereka mampu melakukan konspirasi skala besar yang melibatkan taktik canggih, dukungan keuangan besar, dan kampanye propaganda yang luas melalui perusahaan media. Itulah mengapa konspirasi hanya mungkin bisa dilakukan oleh kelas yang memiliki kendali atas ekonomi.
Kelas yang berpunya jelas melakukan konspirasi terstruktur untuk memperkaya dirinya dari mengeksploitasi rakyat. Namun para penganut teori konspirasi mencampur aduk fakta ini dengan beragam prasangka SARA, pseudosains (ilmu semu), dan tahayul. Dengan demikian, teori-teori konspirasi justru menyembunyikan konspirasi yang sesungguhnya, yakni kapitalisme dan imperialisme.
Inilah mengapa banyak penguasa yang gemar menyebarkan teori konspirasi untuk mengalihkan perhatian massa. Semisal, untuk membersihkan tangan mereka dari ketidakbecusan dalam menangani pandemi, AS menuduh China sebagai penyebar virus. Tentunya ini sejalan tuduhan Trump selama ini – dan juga banyak politisi lainnya, Republiken ataupun Demokrat – bahwa China bertanggung jawab atas kesulitan ekonomi yang diderita AS dan rakyatnya. Tidak hanya Trump, banyak politisi dunia yang menyalahkan kebangkitan China sebagai penyebab kemunduran bangsa mereka. Tetapi dalam persaingan bebas kapitalisme, dimana yang kuat memangsa yang lemah, wajar saja ketika China naik daun maka bangsa-bangsa lain justru mundur. Teori konspirasi tower 5G juga terkait dengan China, dimana sebelumnya banyak politisi AS dan Eropa telah menyebarkan rumor bahwa China meluncurkan 5G untuk mematai-matai mereka dan mendominasi sektor komunikasi. Sesungguhnya, persaingan 5G ini adalah kompetisi antara Barat dan China, bagian dari perang dagang besar yang tengah berkecamuk. Dari sini, hanya perlu loncatan kecil saja untuk mencapai teori konspirasi 5G/Covid-19, terutama di tengah kepanikan yang melanda masyarakat.
Rusia pun tidak ketinggalan. Sebagai timbal balik atas tuduhan bahwa Rusia meretas demokrasi AS dan bertanggung jawab atas menangnya Trump, rejim Putin menyebar insinuasi bahwa virus korona adalah senjata biologi ciptaan AS. Ketika rejim AS telah terimplikasi dalam banyak operasi gelap, dan terbukti berbohong mengenai senjata pemusnah massal di Irak, maka teori konspirasi ini menjadi tampak mungkin. Dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya.
Semakin rumit dan tampak tidak masuk di akal, maka semakin efektif teori-teori konspirasi ini dalam mengaburkan akar dari problem yang ada, yakni kapitalisme. Teori konspirasi – dengan keberagamannya seturut prasangka penganutnya – tidak akurat karena tidak dapat memberikan penjelasan mengenai perkembangan sejarah umum masyarakat, kontradiksi-kontradiksinya, serta jalan keluarnya. Hanya pendekatan kelas Marxis yang mampu menjelaskan ini. Meskipun kami mengakui adanya konspirasi dan plot-plot politik dari kelas penguasa, tapi bagi kami konspirasi, plot-plot politik dan operasi rahasia, seperti halnya semua fenomena material lainnya, masing-masing memiliki proses pengembangan sejarah yang dapat dipelajari sejauh fakta dan bukti tersedia. Seperti halnya ilmuwan, kaum Marxis menggunakan bukti untuk mendukung klaim mereka dan tidak bergantung pada kepercayaan, takhayul, asumsi tak berdasar, desas-desus, atau dogma untuk membuat argumen mereka.
Benar! Ada konspirasi selama pandemi Covid-19! Ada konspirasi pemangkasan anggaran kesehatan publik selama periode sebelumnya, untuk menutup defisit APBN karena pemerintah telah memberi stimulus dan bail-out besar pada kapitalis selepas krisis 2008. Walhasil, pelayanan kesehatan kita tidak memadai untuk menghadapi pandemi dan ratusan ribu jiwa melayang. Ada persekongkolan antara pejabat dan kapitalis untuk membuka ekonomi secepat mungkin tanpa mengindahkan keselamatan pekerja demi lancarnya profit. Ada banyak perusahaan-perusahaan farmasi yang kini berlomba-lomba ingin mendulang emas dari pandemi ini. Setiap tragedi adalah kesempatan juga bagi kapitalis untuk menjual sesuatu. Semua ini tidak memerlukan teori konspirasi. Marxisme telah menjelaskannya: mekanisme eksploitasi kapitalis, bagaimana kapitalis meraup profit, teori nilai-lebih, apa itu negara, apa itu kepemilikan pribadi, komoditas, uang, dsb. Dan Marxisme juga telah memaparkan jalan keluar dari semua ketidakadilan ini.
Meskipun teori konspirasi kritis terhadap status quo, tapi teori ini asing bagi gerakan proletariat. Alih-alih mengarahkan kemarahan pada sistem kapitalisme dan pemerintahan mereka, teori konspirasi menyalurkan kemarahan pada segelintir konspirator. Teori ini tidak membuat kita memahami masyarakat untuk lalu mengubahnya. Tapi dengan mengatakan ini bukan berarti Marxis mengabaikan semua konspirasi secara kategoris sebagai sebuah omong kosong. Ini sama saja menghindari keberadaan konspirasi yang secara aktual telah terjadi sepanjang sejarah. Hanya saja supaya kelas tertindas bisa memahami semua manuver dan plot-plot politik rahasia adalah penting memahami semua ini dalam konteks perjuangan kelas. Kami percaya bahwa menggulingkan penindasan dibutuhkan sebuah teori yang mampu menganalisa rantai penindasan, sebuah teori yang mampu membongkar semua konspirasi, kebohongan dan rahasia-rahasia politik dari kelas penguasa. Teori ini adalah Marxisme.