Pemilu Presiden 2014 semakin dekat, dengan dua calon yang sudah dipastikan akan melenggang di kursi kepresidenan untuk lima tahun mendatang, yakni Jokowi bersanding dengan Jusuf Kalla, serta rivalnya Prabowo dan Hatta Rajasa. Mungkin ini adalah salah satu di antara Pilpres yang paling mendapatkan sorotan paling banyak di antara berbagai kalangan. Selain diikuti dua pasangan calon, lebih daripada itu, Pilpres kali menebar banyak kebingungan di kalangan partai-partai borjuasi, sampai-sampai di menit-menit terakhir mereka masih sibuk otak-atik untuk menentukan koalisi.
Tidak ada pemandangan dalam Pemilu Presiden sebelum-sebelumnya di mana kita menyaksikan bagaimana partai-partai borjuasi berbulan-bulan lamanya menentukan koalisi serta nama-nama pasangan Capres dan Cawapres mereka. Partai-partai borjuasi yang mempunyai signifikasi kecil merapat ke partai yang lebih besar yang mempunyai signifikasi yang memungkinkan untuk menang, dan setelah itu kursi-kursi jabatan menteri akan dibagikan. Hal terpenting bagi mereka-mereka adalah kue jarahan. Namun, kue jarahan yang besar membutuhkan sebuah pisau pemotong, dan hanya Prabowo dan Jokowi yang memiliki kemungkinan untuk memperebutkan ini. Bagi mereka-mereka yang tidak memiliki kemungkinan tersebut, tak jarang mereka terpaksa harus mengantre di belakang untuk mendapatkan kue tersebut. Sebagaimana watak borjuasi nasional kita yang sangat menghamba pada imperialis, begitu pula watak politisi borjuasi kita yang lebih memilih menghamba daripada tidak mendapatkan jatah kekuasaan. Untuk itu mereka yang sebelumnya saling serang kini bisa bergandeng tangan.
Di menit terakhir diumumkannya dua calon kandidat tersebut, Partai Demokrat, sang partai incumbent belum memutuskan untuk bergabung di poros mana. Entah karena malu atau tidak—yang karena posisinya sebagai partai incumbent —yang jelas posisi mereka bukan ditentukan oleh perasaan itu, karena untuk setiap jengkal kekuasaan, apapun mereka akan tanggalkan termasuk rasa malu mereka. Misalnya, Dahlan Iskan telah memutuskan untuk tidak mengikuti instruksi Partai Demokrat. Ia lemparkan dukungannya kepada Jokowi. Dan apa yang bisa dilakukan oleh Partai Demokrat terhadap kader-kadernya yang melanggar instruksi? “[Pelanggaran ini] tentu saja akan dicatat. Selain itu mereka [jadi bukan hanya Dahlan saja] akan mendapatkan sanksi sosial dari partai,” ujar Ruhut Sitompul. Sanksi sosial, yang artinya tidak ada yang bisa dilakukan oleh PD, karena kalau partai ini mencoba menerapkan disiplin partai terkait masalah Pilpres, partai ini akan terpecah belah.
Begitu juga dengan partai-partai dan organisasi-organisasi borjuasi lainnya. Koalisi formal yang terbentuk tidak mencegah anggota-anggota partai untuk memberikan dukungannya pada kubu yang lain. Golkar de facto pecah, dengan sebagian besar kadernya menyebrang ke kubu Jokowi: dimulai dari mantan ketua umumnya sendiri Jusuf Kalla, dan menyebar ke hampir seluruh jajaran, Luhut Pandjaitan (Wakil Ketua Dewan Pertimbangan), Fahmi Idris (DP Golkar), Gumiwang Kartasasmita, Andi Hartanto (Ketua Departemen Badan Pemenangan Pemilu), dan banyak lainnya.
Apa yang akan dilakukan oleh kepemimpinan Golkar terhadap kader-kadernya yang mbalelo? “Lebih baik diajak bicara,” tutur Ketua DPP Partai Priyo Budi Santoso. Dalam kata lain, tidak ada yang bisa dilakukan oleh mereka. Memecat para pembelot ini berarti mendorong partai ini ke dalam krisis internal yang tidak mereka inginkan. Melihat apa yang terjadi di PPP ketika para pemimpin bersikeras menerapkan disiplin partai, mereka dapat melihat apa yang akan terjadi kalau mereka mencoba melakukan hal yang sama.
Sedangkan partai-partai lain yang tidak signifikan seperti Hanura di dalam internalnya sendiri telah berpisah arah. Meskipun secara resmi tubuh partai ini mendukung Jokowi-JK, namun pentolan utama partai, yakni Hary Tanoe, memilih berpisah dengan Wiranto dan mendukung Prabowo. Rachmawati Soekarnoputri, Ketua Dewan Pertimbangan Nasdem, menyebrang ke kubu Prabowo. Nasdem juga tidak bisa melakukan apa-apa, dengan dalih bahwa ini adalah sikap politik pribadi Rachmawati.
Berbeda dengan negeri-negeri maju seperti halnya Amerika yang dibedakan dua kubu partai Republiken dan Demokrat yang mewakili kepentingan lapisan-lapisan borjuasi yang berbeda, yang cukup kuat mewakili kepentingan mereka masing-masing. Sedangkan di Indonesia partai-partai borjuasi kita lemah dan cair, bahkan di dalam mengusung kepentingan mereka sendiri. Keterbelakangan borjuasi kita tercermin di dalam perpolitikan nasional kita.
Dalam beberapa bulan sebelum Jokowi resmi bersanding dengan Jusuf Kalla, euforia melanda gerakan Kiri kita bahwa ini adalah figur “merakyat”, “populis”, dsb. Ilusi mereka sudah terjawab saat ini, ketika Jokowi resmi menggandeng Jusuf Kalla, yang notabene adalah anggota dari Golkar, yang juga warisan dari Orde baru. Perspektif Kiri kita yang dangkal tidak mampu menganalisa peristiwa yang begitu kompleks. Saat dihadapkan dengan kenyataan bahwa Jokowi dan Jusuf Kalla ternyata juga didukung para jenderal di belakangnya, bayangan mereka sebelumnya pun seakan-akan patah arang. Dari beberapa di antaranya, “Ada dari (jenderal) bintang empat dan belasan bintang tiga yang dukung Jokowi-JK.” Adalah mustahil untuk menyandarkan perspektif kita dengan menunggu serta berharap-harap cemas agar Jokowi bergerak sesuai apa yang diinginkan oleh Kiri kita. Kita harus berangkat pada analisa basis kelas dan bagaimana kondisi di dunia sekarang bergerak.
Terombang-ambingnya gerakan Kiri kita sangat tepat menggambarkan mood partai-partai borjuasi kita yang juga sedang mengalami kebingungan. Kalau partai-partai borjuasi bingung untuk mendapatkan kue jarahan, maka Kiri kita bingung antara mana yang terbaik di antara mana yang terburuk. Kiri kita lebih sering menyebut pertarungan Pilpres kali ini sebagai pertarungan demokrasi versus fasisme, demokrasi versus militerisme, dsb,dsb. Oleh karenanya, menurut mereka, seperti yang dituturkan oleh Ken Ndaru dari PRP, “Kita sekarang dijepit. Pilihan yang ada di hadapan kita jelas: tangan besi [Prabowo] atau politik etis [Jokowi]. Sikap kita harus disesuaikan dengan kepentingan kita sendiri, dengan rencana strategi, dengan game plan kita sendiri.” (Jokowow dan Komidi Putar Gerakan Kiri) Sepintas kilas pernyataan ini sangatlah bergairah, namun kegairahan di sini sangatlah impoten untuk menjelaskan apa itu demokrasi dan apa itu militerisme. Demokrasi, lebih tepatnya demokrasi borjuis, adalah atribut dari mesin negara borjuis, yang setelah kita lucuti segala atribut dan tetek-bengeknya, kita akan mendapati bahwa ia tidak lebih daripada badan khusus orang-orang bersenjata yang memiliki penjara, dll., di bawah komandonya, yang dalam situasi-situasi revolusioner sering kali mereka gunakan—lebih-lebih di dalam peristiwa 65, serta gerakan Reformasi 1998 digunakan untuk memberangus serikat-serikat buruh, aktivis-aktivis pergerakan.
Ada usaha untuk mengkait-kaitkan antara Prabowo, yang seorang individu, dengan peristiwa yang terjadi pada 1998 saat itu, seolah-olah “Militerisme” itu adalah tabiat individu, yang akan di ulanginya lagi ketika ia menjabat sebagai presiden. Kita terpaksa harus mengulangi ABC Marxisme kepada mereka, yakni ABC Marxisme mengenai Negara. Kita tahu bahwa,“Republik demokratis adalah selubung politik terbaik yang mungkin bagi kapitalisme dan karena itu kapital, setelah menguasai selubung yang terbaik itu … menegakkan kekuasaannya yang dengan begitu aman, begitu pasti, sehingga tidak ada perubahan apapun baik perubahan orang, lembaga maupun partai dalam republik borjuis-demokratis yang dapat menggoyang kekuasaan itu.” (Lenin, Negara dan Revolusi.)
Jadi, selama kapitalisme mampu menjaga kapitalnya dengan selubung politik terbaiknya itu – yakni demokrasi borjuis – mereka tidak perlu menampakkan wajah sebenarnya dari Negara, mereka tidak perlu menggunakan militerisme atau fasisme untuk mempertahankannya di dalam ‘batas-batas tata tertib’. Dalam hal ini, Kiri kita mencoba mengaburkan watak sebenarnya dari Negara borjuis; menempatkan watak tersebut pada individu – bahwa itu: militerisme, adalah tabiat asli; bawaan individu. Sejarah perjuangan kelas buruh melengkapi ini dengan baik, bahwa figur-figur, bahkan yang semula yang dari rakyat biasa, yang “sosialis” seperti Mussolini menjadi individu yang mewakili fasisme untuk menindas kelas buruh di Italia. Persoalan apakah Prabowo akan mengikuti jalan militerisme atau fasisme bukan ditentukan oleh tabiat individu ataupun kehendak pribadinya, melainkan akan sangat ditentukan oleh perimbangan kekuatan-kekuatan sosial yang ada.
Ada ketakutan-ketakutan yang luar biasa di kalangan Kiri kita yang sering kali mengaburkan perjuangan kelas yang sesungguhnya. Ketakutan tersebut menelan segala apa yang mereka pelajari selama ini mengenai Marxisme, yang justru membawa mereka bersatu dengan musuh kelas buruh; serta berkolaborasi kelas—yang dalam hal-hal tertentu— mereka asumsikan sebagai seorang populis. Ini sama sekali bukan kebijakan Marxis yang mengedepankan independensi kelas proletariat terhadap borjuasi. Ini adalah kebijakan kolaborasi kelas, kebijakan yang sangat reaksioner.
Pembaca akan tahu lebih detail pada tulisan kita sebelumnya, Perspektif Marxis untuk Pemilu 2014: Kritik, Analisa, dan Tugas Kita, yangtelah mengungkap dengan cukup jelas posisi-posisi sejumlah Kiri kita. Di lingkaran-lingkaran terpelajar kita di seputaran Indoprogress, dengan berbagai dalih kejahatan HAM di masa lalu, Coen Husein Pontoh, telah memutuskan mendukung Jokowi, yang menurutnya adalah “representasi kubu status quo demokrasi.” Dari sini kita dihadapi oleh Kiri kita yang di satu sisi mendukung Prabowo dan di sisi lain mendukung Jokowi. Sungguh sebuah pemandangan yang menjijikkan, melihat wakil dari gerakan kita satu sama lain menghisap jempol tuan majikan mereka masing-masing sambil memberikan pembenaran teoritis mereka.
PRD boleh menyombongkan diri, karena bagi mereka majikannya adalah “anti imperialis”, progresif dan membela teguh kemandirian nasional atas modal asing. Apa yang dimaksud dengan kemandirian nasional atas modal asing kemudian adalah membela setiap jengkal hak milik borjuasi nasional terhadap sejengkal tanah dan air Indonesia dari modal asing. Demagog-demagog anti-modal asing yang luar biasa dari PRD dan juga tuannya Prabowo tak perlu diragukan lagi.
Setiap hari, bahkan setiap detik, kita melihat bagaimana kartel-kartel, sindikat-sindikat, dan perserikatan-perserikatan perusahaan, semakin tumbuh, bahkan lebih besar memonopoli perdagangan-perdagangan dunia serta memusatkan kepada dirinya kapital yang begitu besar di seluruh dunia kepada segelintir kapitalis. Era sekarang, yakni era imperialisme, telah menghancurkan mimpi borjuis nasional kita untuk berkuasa atas modal nasional serta mendirikan kemandirian nasional. Setiap harinya mereka terancam dan sedang dihancurkan oleh imperialis yang maha kuasa itu. Mereka lebih takut terhadap gerakan buruh, karena takut kelas buruh akan merampas secuil kapital yang mereka miliki. Oleh karenanya, borjuasi nasional kita memilih menghamba pada kepada modal asing, kepada tuan imperialisnya, daripada dirampas secara tidak terhormat oleh kelas buruh kita. PRD mengejar kebijakan bersatu dengan borjuasi nasional, sedangkan borjuasi nasional mengejar tuan imperialisnya. Garis PKI yang mengejar Soekarno telah terbukti gagal dan berakhir bencana. Akan lebih konyol lagi bila PRD mengulangi garis ini untuk kedua kalinya. Inilah kekonyolan kolaborator kelas kita.
Mereka-mereka yang menyebut dirinya, Kiri, “Marxis”, dan berbagai varian-variannya tak kalah latahnya untuk merespons Pilpres ini dengan berbagai cara. Namun, sebenarnya apa yang mereka ungkapkan sama sekali tidak menyentuh apa yang kita sebutkan di sini sebagai pendekatan Marxis, yakni pendekatan sudut pandang proletariat terhadap dunia realitas. Apa yang menarik dari upaya mereka, yang mengklaim dirinya Marxis, adalah mereka tidak lebih daripada mengekspos sudut pandang kelas mereka masing-masing.
Salah satunya dapat ditemui di dalam lingkaran terpelajar Indoprogress yang mana tulisan Martin, Marxisme dan Artikulasi Politik, sangatlah jelas di dalam usahanya untuk mereduksi Marxisme pada kenyataan bahwa, “…tugas utama yang diemban kaum Marxis dalam perjuangan menuju masyarakat tanpa kelas adalah meyakinkan sebanyak mungkin orang—dengan kepentingan yang tentu saja berbeda-beda—pada tujuan-tujuan sosialisme dan komunisme.” Marrtin, dalam hal ini mengingatkan kembali pada filsafat pencerahan abad ke-18—dan mungkin Martin juga adalah produk dari sekolah filsafat pencerahan tersebut—yang sangat percaya akan kuasa Nalar. Martin menganggap persoalan keberhasilan sosialisme dan komunisme akan bisa terwujud dengan mengungkapkan kelebihan ajaran Marx supaya dapat dipahami dan dihargai oleh kelas kapitalis itu sendiri.
Kaum Sosialis Utopis 200 tahun yang lalu juga dipenuhi dengan semangat ini. Mereka percaya bahwa sosialisme akan terwujud karena ia adalah gagasan yang sangat baik, dan yang perlu dilakukan hanyalah meyakinkan semua orang – terlepas kepentingan kelasnya – akan keunggulan sosialisme sebagai sebuah sistem sosial ekonomi. Akan tetapi 200 tahun yang lalu relasi produksi kapitalisme masihlah mentah. Kelas kapitalis dan proletariat belumlah terkristalisasi, sehingga ini membatasi apa yang dapat diteorikan oleh para jenius seperti Robert Owen, Fourier, dan Saint Simon. Mereka dibatasi oleh situasi historis yang ada. Dengan alasan yang sama Marx dan Engels masih menganggap mereka figur-figur yang revolusioner dan memberikan hormat besar mereka. Akan tetapi, terkutuklah orang-orang yang hari ini masih berpegang pada kerangka berpikir sosialisme utopis, apalagi mencoba menyeludupkan ini ke dalam Marxisme. Martin, yang pernah menyerang kami sebagai “tak lebih dari Rusia, Rusia, dan Rusia, seabad yang lalu”, dan mengira bahwa dia telah menemukan gagasan-gagasan baru dan modern, ternyata hanya memuntahkan gagasan dari 200 tahun yang lalu, yang tidak hanya sudah usang tetapi telah berubah menjadi reaksioner sepenuhnya.
Setelah mencoba mencari Tuhan lewat Marxisme, dalam tulisan sebelumnya, Marxisme dan Ketuhanan Yang Maha Esa; yangmereduksinya Marxisme hingga semacam Panteisme yang vulgar, sekarang dalam, Marxisme dan Artikulasi Politik, Martin mereduksi Marxisme sampai pada tingkatan Idealis. Adalah usaha yang sangat utopis dan dangkal bila artikulasi Marxis dipahami seperti itu. Akhirnya, Marxisme di sini dijauhkan dari wataknya yang revolusionernya, dikebiri hingga ia dapat diterima oleh kelas kapitalis, dan benar ini sudah dilakukan oleh Martin yang sama licinnya seperti yang dilakukan Struve, Bulgakov, Tugan-Baranovsky, dan Berdyayev, di dalam periode-periode perkembangan Marxisme Legal di Rusia. Gagasan Martin sangatlah asing bagi Marxisme Revolusioner yang menganggap bahwa keberhasilan sosialisme dan komunisme hanya dapat berhasil bila kaum buruh ambil bagian di dalam perjuangan revolusioner untuk emansipasinya, karena emansipasi kaum buruh adalah tugas kaum buruh itu sendiri, maka untuk menjamin keberhasilan tersebut kaum buruh haruslah membentuk partai buruh mereka sendiri, yang berdisiplin baja, militan, yang dilengkapi dengan teori revolusioner yang maju, dalam hal ini adalah Marxisme. Bila kebingungan dari Kiri kita belum menemui refleksi filosofisnya, maka sangat tepat kebingungan filosofis tersebut kita temui di dalam tulisan-tulisan Martin.
Munculnya figur-figur seperti Jokowi dan Prabowo akan selalu hadir dalam satu lain bentuk. Lewat satu lain cara kita akan dihadapkan pada pilihan-pilihan seperti ini. Adalah tugas kaum revolusioner untuk memahami bahwa kemunculan ini adalah konsekuensi dari ketidakhadiran kepemimpinan revolusioner kelas buruh. Pemberian dukungan kepada kedua calon presiden ini mengungkapkan bahwa Kiri-Kiri kita sangatlah lemah, begitu mudahnya mereka bertekuk lutut ketika dihadapkan dengan palu peristiwa seperti ini, begitu mudahnya mereka menyeberang ke kamp borjuasi.
Kekuatan revolusioner kita masihlah kecil untuk mengintervensi segala peristiwa yang hadir di depan mata kita. Tugas yang hadir di depan mata kita adalah mempersiapkan kepemimpinan revolusioner ini. Tidak ada hal praktis segera untuk meraihnya. Seorang pelaut yang handal tidak hanya mampu membaca peta, kompas, perbekalan, mengembangkan layar, dsb., dan lebih daripada itu, pelaut yang handal adalah dia yang mampu memahami seluk beluk badai, mana badai yang mampu membawa ke tujuan dan mana badai yang bisa menghancurkan badan kapal beserta awak kapal. Adalah pelaut handal yang mampu membawa kapal dalam periode badai dalam keadaan sedikit kerusakan yang di akibatkan olehnya. Apabila kita memahami itu, nukleus tendensi Marxis Revolusioner yang sedang kita bangun akan tumbuh jauh lebih kuat, seperti sebuah janin yang menyerap segala nutrisi yang diberikan selama di dalam kandungan. Jadi, tugas diemban kaum Marxis masih tetap yakni, mempersiapkan kepemimpinan revolusioner kelas buruh ini sedini mungkin. Usaha untuk menjauhkan tugas ini dari hadapan kaum buruh sama halnya menunda tujuan sosialisme ke hari depan yang sangat jauh.