Tahun 2016 telah berlalu dan kini kita memasuki tahun yang baru. Tetapi peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam setahun terakhir menunjukkan bahwa apa yang nampaknya berlalu tidak akan berhenti begitu saja, tetapi justru semakin menuju pada sebuah titik, yakni krisis kapitalisme yang semakin akut.
Ledakan-ledakan peristiwa di berbagai negeri yang sebelumnya tidak diprediksi oleh kaum borjuasi seperti referendum Brexit dan krisis di Uni Eropa, kemenangan Donald Trump, kemenangan Jeremy Corbyn sebagai pemimpin Partai Buruh yang baru, munculnya tendensi proteksionisme di negeri-negeri maju dan lain sebagainya menunjukkan bahwa dunia sedang bergejolak. Dan tahun yang baru ini akan menjadi kelanjutan dari gejolak-gejolak yang tengah berlangsung. Tahun baru ini, kita memasuki dunia yang penuh dengan gejolak.
Situasi dunia saat ini dicirikan oleh krisis di semua level: sosial, politik, finansial, diplomasi, militer. Penyebab utama dari ini semua adalah ketidakmampuan kapitalisme dalam mengembangkan tenaga produktif dalam skala dunia. Di awal tahun lalu, kejatuhan-kejatuhan yang tajam terjadi di pasar saham Tiongkok yang menyebabkan kegaduhan dan kepanikan luar biasa di kalangan investor. Para ekonom borjuasi bahkan menyebutkan bahwa situasi ini dapat mendorong ke arah sebuah kejatuhan yang baru dan yang lebih parah di hari depan. Mereka telah bersiap dengan apa yang dinamakan periode “stagnasi sekuler”, yakni tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah dan bahkan tidak mengalami kenaikan signifikan, yang diprediksi akan berlangsung selama 50 tahun ke depan.
Stagnasi sekuler ini disebabkan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah, inflasi yang rendah dan tingkat suku bunga nol. Setidaknya, hal itu ditunjukkan secara jelas pada laporan-laporan IMF yang begitu muram, dimana pada 2020 mendatang mereka memprediksi penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) di negara maju seperti Amerika Serikat menurun 6% , kawasan Eropa 3%, Tiongkok 14%, negara-negara berkembang 10% dan 6% untuk dunia secara keseluruhan. Bahkan pertumbuhan ekonomi untuk negeri-negeri terindustrialisasi tidak melampaui 2% untuk empat tahun terakhir.
Situasi internasional yang tengah berlangsung tentu saja berpengaruh pada situasi nasional di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dalam 2 tahun kepemimpinan Jokowi, presiden yang dielu-elukan sebagai tokoh populis yang akan membawa kebijakan pro rakyat nyatanya justru berada di garis depan membuat kebijakan upah murah berpayung hukum, yang mana kebijakan ini menambah berat beban hidup kelas buruh. Dengan lolosnya PP78 maka tidak ada lagi mekanisme survei barang kebutuhan; tidak ada lagi fungsi dari Dewan Pengupahan, yang jikapun ada hanya sekedar formalitas. Upah untuk 2016 naik tidak sampai 9%, lebih tepatnya 8,25%, yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dimana upah bisa naik sampai 30-40%.
Untuk bisa mempertahankan tingkat laba mereka di tengah pertumbuhan ekonomi dunia yang lambat dan bahkan stagnan, kelas borjuasi seluruh dunia harus menyerang taraf hidup buruh. Sementara triliunan dolar ditumpuk dan tidak diinvestasikan secara produktif. Kapitalis tahu bahwa sekarang ini bukan merupakan waktu yang tepat untuk menginvestasikan uangnya karena barang-barang masih menumpuk di gudang. Krisis overproduksi ini menyebabkan kapitalisme kelimpungan mencari pasar.
Indonesia tidak luput dari krisis global ini. Hal ini tercermin dari banyaknya kebijakan yang secara drastis membuat kehidupan rakyat semakin tercekik, namun tetap harus diambil dengan dalih menyelamatkan ekonomi Indonesia dari krisis yang ada. Di masa-masa damai dimana kapitalisme tidak mengalami krisis, kaum borjuasi bisa memberikan konsesi-konsesi terhadap tuntutan rakyat. Namun tidak demikian dengan kondisi hari ini. Kelas buruh telah meluncurkan perlawanan secara bertubi-tubi terhadap PP78 di berbagai daerah, namun belum juga mampu melahirkan konsesi baru. Proses ini cepat atau lambat akan memunculkan benturan-benturan tak terelakkan yang semakin masif. Di satu sisi kelas buruh yang berjuang bagi kondisi normatif yang lebih baik dan di sisi lain, kapitalisme yang berpegang teguh pada penghematan.
Tuntutan referendum rakyat Papua dari Indonesia juga menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah. Semakin banyaknya aksi-aksi di berbagai daerah, tidak hanya oleh rakyat Papua, tetapi juga oleh lapisan termaju kaum muda Indonesia yang mendukung hak demokratik untuk menentukan nasib sendiri mengindikasikan bahwa masalah kebangsaan ini akan terus menjadi duri dalam daging bagi rejim. Borjuasi Indonesia harus siap dengan ancaman gejolak yang baru, yang tidak hanya akan datang dari kondisi ekonomi dunia tetapi juga dari dalam negeri sendiri.
Di tengah kondisi sosial yang ada hari ini, satu-satunya hal yang masih luput adalah bagaimana menyiapkan partai revolusioner. Seperti halnya kita percaya bahwa sejarah kapitalisme adalah sejarah boom dan slump, yang hari ini telah dibuktikan berkali-kali di panggung sejarah, maka kita pun percaya bahwa dengan absennya Partai Revolusioner kematian kapitalisme hanyalah mimpi. Seperti yang pernah dikatakan oleh kamerad Trotsky: “Situasi politik dunia dalam keseluruhannya digambarkan oleh sebuah krisis kepemimpinan proletariat di dalam sejarah”. Oleh karenanya, pada tahun yang baru ini, mari kita bangun kepemimpinan revolusioner yang akan mampu membawa perjuangan kita ke kesimpulan akhirnya: penegakan sosialisme di seluruh dunia.