Selama beberapa tahun terakhir, perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan yang luar biasa, yakni di atas 6% selama 3 tahun berturut-turut. Ini terjadi di tengah perekonomian dunia yang sedang lesu dan dilanda krisis. Pertumbuhan ekonomi ini memberikan kepercayaan diri kepada kelas penguasa di Indonesia untuk terus menerapkan kebijakan-kebijakan kapitalisnya (seperti kenaikan BBM, penerapan MP3EI, dan lolosnya RUU Ormas), dan juga pada tingkatan tertentu memberikan legitimasi pada pemerintahan ini. Kendati dilanda oleh berbagai skandal, korupsi, dan mis-manajemen, kendati popularitasnya sangat rendah di antara rakyat pekerja, pemerintahan SBY masih bercokol dan tampaknya akan dapat menyelesaikan masa jabatannya.
Akan tetapi mimpi indah ini akan segera berakhir. Para ahli strategi kapital telah memberikan peringatan yang penuh kekhawatiran mengenai laju ekonomi Indonesia pada awal bulan Agustus ini. Koran The Wall Street Journal, pada 2 Agustus, dalam artikel yang berjudul “Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Melamban” menulis:
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus melamban pada kuartal kedua tahun ini, dan memperbesar tekanan terhadap pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakannya lebih ramah bagi para investor sebelum pemilu tahun depan ini. … Ini menandai kuartal keempat perlambanan pertumbuhan secara berturut-turut dan pertama kalinya dalam 3 tahun terakhir dimana pertumbuhan jatuh di bawah 6%.”
Perlambatan ekonomi ini bukanlah fenomena yang terpisah dan unik untuk Indonesia saja, tetapi merupakan bagian dari sebuah proses global. Pada sampul depan majalah The Economist kita temui gambar empat pelari cepat (Brasil, Rusia, India, dan China, yang kerap disebut BRIC) yang berlari di atas pasir hisap, dengan tajuk utama “The Great Deceleration” (“Perlambatan yang Hebat”). Keempat negara ini tumbuh pesat selama 2 dekade terakhir, menaiki gelombang book ekonomi kapitalis. Namun dengan melambannya perekonomian dunia akibat krisis yang tak kunjung selesai, basis pertumbuhan bagi BRIC – dan juga negeri-negeri berkembang seperti Indonesia dan Turki – juga mulai menghilang. Pada 2007, ekonomi China tumbuh sebesar 14,2%. India 10,1%, Rusia 8,5%, dan Brasil 6,1%. Hari ini, IMF memproyeksikan China hanya akan tumbuh 7,5%, India 5,6%, Rusia dan Brasil 2,5%.
Penjelasan ini dapat kita temui dalam lembar-lembar karya Marx dan Engels, yakni overproduksi. Ledakan boom kapitalis pada 2 dekade terakhir justru adalah alasan mengapa krisis kapitalis kali ini sangatlah dalam. BRIC menjadi penyedia tenaga kerja murah dan bahan mentah murah untuk pertumbuhan ekonomi periode sebelumnya, dan menciptakan krisis over produksi yang sekarang menghantam seluruh perekonomian dunia. Tidak ada satupun ekonomi yang bisa luput dari krisis dunia ini.
Pada akhirnya, analisa ekonomi kita bukanlah pekerjaan akademis. Kita tertarik pada analisa ekonomi bukan supaya kita tampak pintar, tetapi agar kita dapat memahami proses perkembangan perjuangan kelas yang sedang bergulir. Tidak ada hubungan yang mekanis tentunya antara ekonomi dan kesadaran kelas. Hubungannya dialektis, dan ini yang harus kita kuak supaya dapat mencapai pemahaman umum akan laju dan tempo perjuangan kelas, dan bagaimana kita dapat mengorientasikan diri kita secara politik dan organisasional.
Ekonomi Indonesia dan Gerakan Buruh
Pertumbuhan ekonomi Indonesia, selain memberikan kepercayaan diri dan legitimasi sementara kepada kelas kapitalis, juga memiliki efek yang besar pada perkembangan kelas buruh. Pada beberapa tahun terakhir, kita saksikan investasi asing besar yang masuk ke Indonesia. Investasi asing yang besar ini mengalir deras ke Indonesia justru ketika ekonomi dunia sedang kesulitan. Di satu artikel analisa kita, kita menulis:
“Indonesia bisa terus tumbuh pesat pada periode krisis ini bukanlah karena keunggulan para kapitalis Indonesia dibandingkan para kapitalis Eropa yang ekonominya sekarang terseok-seok, atau karena hebatnya dan pintarnya para penjabat kita. Justru krisis ekonomi dunia lah yang merupakan alasan mengapa ekonomi Indonesia bisa mencetak pertumbuhan 5-6%. Di hampir semua negeri-negeri kapitalis maju, kemandegan ekonomi berarti bahwa tidak ada lagi profit besar yang bisa mereka dapatkan dengan berinvestasi di negeri mereka masing-masing. Di Kanada, korporasi-korporasi besar duduk di atas tumpukan uang sebesar $500 milyar yang tidak mereka investasikan, sampai-sampai Gubernur Bank Kanada, Mark Carnery, mengkritik perusahaan-perusahaan tersebut agar menggunakan uang ini untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang hari ini sangat dibutuhkan. Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat menyimpan cadangan uang sebesar $5000 milyar – yakni 5 kali lipat dari ekonomi Indonesia – yang tidak mereka gunakan. Begitu juga di seluruh Eropa. Tidak semua kapital ini duduk diam. Sebagian kecil kapital ini lalu mencari lahan investasi yang masih dapat memberikan keuntungan, dan Indonesia adalah salah satu lahan subur tersebut. Gaji buruh yang murah, serikat buruh yang relatif lemah karena baru lahir kembali setelah 1998, infrastruktur yang cukup kondusif; inilah beberapa alasan utama yang menyebabkan masuknya investasi asing yang besar. Pada 2009, investasi asing hanya sebesar $4,9 milyar, lalu menjadi $18,9 milyar pada 2011, dan lalu $23 milyar pada 2012. Inilah sumber dari pertumbuhan ekonomi 6% selama beberapa tahun terakhir ini, yakni meningkatnya investasi asing yang berarti juga semakin diperasnya nilai lebih dari keringat buruh.” (Sedikit evaluasi dari Kegagalan Kita, 2 Juli 2013)
Marx mengatakan, dengan semakin tumbuhnya kapitalisme, maka semakin besar pula kelas proletariat. Ia mengatakan “Kapitalisme menciptakan penggali liang kuburnya sendiri.” Dengan membangun lebih banyak pabrik, maka kapitalisme menciptakan batalion-batalion proletar yang lebih besar. Di Indonesia, pada 2011 terjadi pertumbuhan di sektor suku cadang otomotif sebesar 29,8 persen. Begitu juga di banyak sektor industri berat lainnya. Oleh karenanya, tidak mengherankan kalau tahun 2012 adalah tahunnya gerakan buruh: gelombang pemogokan dan demo buruh, May Day raksasa 2 tahun berturut-turut, terbentuknya MPBI, sweeping dan grebek pabrik, kelas-kelas ekopol berjamuran, dan Getok Monas.
Namun gerakan buruh bukanlah sesuatu yang bergerak dalam garis lurus, yang dapat terus naik. Pasang naik dan surut adalah sesuatu yang wajar. Belakangan ini memang sudah terlihat penurunan mobilisasi ini. Indikasinya adalah ketidakmampuan gerakan buruh untuk menghentikan kenaikan BBM dan RUU Ormas. Namun ini bukan karena massa buruh yang tidak berani. Ini adalah persoalan kepemimpinan. Radikalisasi massa buruh – terutama yang ada di dalam serikat-serikat besar – terbentur dengan kepemimpinan mereka. Adalah sebuah hukum di dalam gerakan buruh dimanapun, bahwa dengan semakin radikalnya massa buruh maka akan menjadi semakin konservatif pemimpin mereka. Ini bahkan dapat terjadi di antara serikat-serikat yang katanya “merah”.
Bila pada tahun lalu pemogokan, demo, dan mogok nasional dapat memaksa kapitalis dan pemerintah untuk memenuhi tuntutan buruh, maka hari ini konsensi semacam itu akan semakin sulit didapati. Tekanan dari perekonomian dunia yang sedang mengalami krisis berarti bahwa akan semakin menjadi mustahil bagi buruh untuk dapat hidup sejahtera. Periode yang sedang kita masuki adalah periode penghematan, periode pemangkasan, dan ini juga benar di Indonesia. Taktik-taktik pemogokan biasa sudah tidak lagi memadai. Kita bisa melihat Yunani, dimana sudah terjadi 29 pemogokan umum nasional dalam 3 tahun terakhir, dan ini sama sekali tidak menyelesaikan persoalan yang dihadapi rakyat pekerja Yunani. Dalam periode ke depan, kemenangan-kemenangan yang diraih buruh tahun lalu akan semakin sulit didapati. Buruh luas akan belajar bahwa mereka harus menggunakan taktik-taktik yang lebih radikal, dan mengadopsi perspektif politik yang lebih revolusioner. Buruh luas akan belajar, dan mereka akan belajar dengan cepat.
Di sisi lain, para pemimpin reformis di dalam serikat-serikat buruh justru akan menjadi semakin kecut. Mereka akan menjadi penghambat yang semakin besar bagi perkembangan kesadaran kelas para anggota mereka. Ketika kapitalisme sudah terseok-seok dan hidup segan mati tak mau, para pemimpin reformis justru akan merangkul kapitalisme dengan lebih bersemangat. Trotsky mengatakan, pengkhianatan adalah implisit di dalam reformisme. Ini bukan karena para pemimpin reformis tersebut tidak jujur, tidak amanah (walau ada juga yang memang tidak amanah), tidak tulus dalam pembelaan mereka terhadap buruh. Ini karena mereka percaya bahwa dalam batas-batas kapitalisme maka buruh bisa sejahtera. Kalau kau mempercayai kapitalisme, maka kau akan didikte oleh logika kapitalisme dan akan jadi pelayan kepentingan kapitalis secara sadar atau tidak. Justru yang paling berbahaya adalah pemimpin reformis yang benar-benar jujur dan amanah. Mereka sungguh-sungguh jujur dan tulus ingin membela buruh, dan oleh karenanya meraih kepercayaan yang besar dari buruh. Namun dengan tulus pula mereka akan menyeret kelas buruh ke dalam kekalahan karena paham reformismenya.
Di masa mendatang akan terjadi penajaman konflik antara elemen radikal-revolusioner dan elemen konservatif-reformis di dalam serikat-serikat buruh besar seperti MPBI. Proses konflik ini akan terjadi secara tertutup dan terbuka, tetapi tidak ada penyangkalan kalau proses ini sedang terjadi. Kita akan saksikan krisis di dalam serikat-serikat buruh ini, dimana para anggota yang semakin radikal berbenturan dengan para pemimpin reformis-konservatif yang mengekang mereka. Ini akan menjadi proses pembelajaran berikutnya bagi buruh luas.
Pemilu 2014
Pada pemilu mendatang, jelas tidak ada satupun partai politik yang mewakili kepentingan kelas buruh. Partai-partai yang turut serta semua adalah partai-partai kelas borjuasi. Namun pernyataan umum ini tidak akan membantu kita sama sekali untuk memahami proses yang lebih dalam, terutama berkaitan dengan radikalisasi buruh yang terjadi 18 bulan terakhir ini.
Meledaknya gerakan buruh telah mendorong kelas buruh sebagai kekuatan politik riil di dalam percaturan politik Indonesia. Ini adalah kenyataan yang harus diakui bahkan oleh elit-elit politik borjuasi. Penampakan kekuatan buruh sebagai kekuatan yang teorganisir tidak bisa diabaikan oleh partai-partai politik borjuis yang sedang mencari dukungan untuk pemilu yang akan datang. Manuver-manuver sedang dilakukan oleh berbagai partai politik untuk memenangkan dukungan buruh.
Di sisi lain, buruh juga menjadi semakin percaya diri. Setelah melihat apa yang bisa mereka lakukan dan capai lewat serikat buruh mereka dan aksi massa, bahwa mereka telah menjadi kekuatan politik yang tidak bisa dianggap remeh karena berhasil mendorong pemerintah dan kapitalis untuk memenuhi sejumlah tuntutan mereka, tidak heran kalau buruh mulai melirik ke arena politik sebagai satu arena lain untuk perjuangan mereka. Tidak cukup di pabrik saja, buruh mulai merasa bahwa mereka harus ke luar dari gerbang pabrik dan masuk ke gerbang parlemen. Ini merupakan bagian dari proses perkembangan kesadaran kelas buruh.
Akan tetapi, kenyataannya adalah buruh Indonesia hari ini belum memiliki kendaraan politik mereka sendiri. Tidak ada partai buruh massa di Indonesia. Kendati demikian, harapan buruh hari ini untuk “go politik” tidak dapat menunggu terbentuknya partai buruh massa. Sejumlah aktivis buruh sudah mulai mendaftarkan diri mereka sebagai caleg lewat sejumlah partai borjuasi (seperti PDI-P, PAN, PPP, PKS) dan mendapatkan dukungan dari sejumlah lapisan buruh. Ada sedikit kenaifan dari para buruh ini, yang juga lahir karena kemenangan yang mereka cicipi satu tahun terakhir. Buruh sungguh-sungguh percaya bahwa mereka akan bisa mempertahankan kemandirian kelas para caleg buruh mereka walaupun mereka bergabung dengan partai borjuasi.
Kemandirian kelas dari para perwakilan buruh akan dapat tercapai bila buruh punya kendaraan politik mereka sendiri, yang dikontrol secara demokratis oleh buruh sendiri. Tentunya keberadaan partai buruh saja tidak memberikan jaminan 100% akan kemandirian kelas dari para pemimpinnya. Kita cukup lihat apa yang sekarang terjadi di dalam Partai Buruh Brasil (PT), dimana para pemimpinnya telah melakukan kebijakan kolaborasi kelas dengan borjuasi.
Kehendak buruh untuk go politic harus kita salurkan pada slogan “Bentuk Partai Buruh dari buruh, oleh buruh, dan untuk buruh”, bukan dengan membonceng partai politik borjuasi. Ini harus kita jelaskan kepada buruh dengan sabar. Yang pasti, ini akan menjadi proses pembelajaran bagi buruh. Sementara, kita kaum revolusioner tidak boleh terjebak pada oportunisme, dan lalu mendukung kebijakan membonceng partai politik borjuasi. Kita harus dengan sabar menjelaskan bahwa ini adalah langkah yang keliru, walaupun penjelasan kita mungkin awalnya tidak populer di antara buruh. Kita harus menjelaskan dengan cara yang santun dan penuh kesabaran, tetapi tegas dalam prinsip. Seperti kata Lenin, “Menjelaskan dengan sabar”.
Munculnya fenomena Jokowi-Ahok merupakan gejala dari krisis perpolitikan yang akut di Indonesia. Rakyat Indonesia memimpikan akan munculnya seorang pemimpin ideal yang dalam khasanah mistisisme politik Jawa disebut “Satrio Piningit”, yakni seorang pemimpin yang mampu membawa keadilan dan kemakmuran bagi rakyat. Perspektif mistik seperti ini mencerminkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia sedang putus asa dengan perilaku politik kaum borjuis. Tidak ada satupun partai atau tokoh politik yang dapat menangkap imajinasi rakyat pekerja. Pada pemilihan presiden mendatang, survey demi survey menunjukkan bahwa tokoh-tokoh politik utama di Indonesia sama sekali tidak punya dukungan besar, sementara Jokowi mendapatkan dukungan luas. Pada survey baru-baru ini pada bulan Juli, tingkat elektibilitas Jokowi mencapai 32,4 persen, sementara di ranking kedua adalah Prabowo dengan 8,2%, lalu diikuti Wiranto 6,7%; Dahlan Iskan 6,3%; Megawati 6,1%, dan Bakrie 3,3%. Inilah potret kebangkrutan politik di Indonesia.
Akan menjadi kegiatan yang sia-sia bagi kita untuk meramalkan apakah Jokowi akan ikut pilpres atau tidak. Yang lebih penting adalah memahami bahwa naiknya popularitas Jokowi adalah gejala dari pembusukan politik yang terjadi di Indonesia. Ada krisis kepemimpinan di Indonesia. Rakyat sedang resah. Mereka tidak bisa menunggu datangnya Partai Bolshevik dan Lenin, dan akan mengekspresikan gairah politik mereka lewat saluran manapun yang mereka temui. Harapan massa terhadap Jokowi akan segera hancur ketika mereka melihat ketidakberdayaan Jokowi untuk menyelesaikan masalah-masalah rakyat, seperti halnya Obama-mania berubah menjadi kekecewaan yang mendalam. Di momen krisis kapitalis yang paling besar ini, pilihannya hanya ada dua: kebijakan penghematan kapitalis atau sosialisme.
Krisis Kepemimpinan Revolusioner Proletariat
Ada sejumlah tema umum yang bisa kita lihat dari sini: (1) Hari ini partai-partai borjuis di Indonesia tengah mengalami jalan buntu, dan partai penguasa sedang kebingungan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat yang hampir meledak (persoalan kebutuhan dasar, carut marut politik, bobroknya institusi hukum, dll.); (2) ketidakpuasan yang meningkat dari seluruh masyarakat terhadap pemerintah; dan (3) kesadaran kelas yang sedang berkembang di kalangan proletariat dan kesiapannya untuk melakukan aksi-aksi revolusioner. Semua ini akan menciptakan situasi yang meledak-ledak di Indonesia, dengan opini publik yang berayun-ayun secara cepat dan mendadak, ke kiri dan bahkan ke kanan. Absennya kepemimpinan revolusioner proletariat akan menciptakan periode gejolak yang berkepanjangan.
Trotsky mengatakan: “Situasi politik dunia dalam keseluruhannya digambarkan oleh sebuah krisis historis kepemimpinan proletariat”. Karena inilah maka periode yang kita masuki selanjutnya di Indonesia dan juga dunia akan penuh dengan gejolak yang berkepanjangan, dengan fenomena-fenomena politik yang unik dan partikular. Kita harus siap menghadapi ini dan tidak terkejut serta kebingungan.
Tugas kita masih sama semenjak jamannya Marx, yakni membangun kepemimpinan revolusioner. Tugas ini menjadi semakin mendesak hari ini ketika kapitalisme sedang memasuki krisisnya yang paling dalam. Perjuangan kelas buruh bukan hanya melawan kaum kapitalis di luar, tetapi melawan gagasan-gagasan asing di dalam tubuh gerakan buruh itu sendiri. Disinilah tendensi Marxis — yakni partai kader Marxis — menjadi krusial di dalam gerakan buruh. Kader-kader Marxis harus giat dan sabar menjelaskan kepada buruh bahwa jalan satu-satunya adalah menumbangkan kapitalisme dan bergerak menuju sosialisme. Sebuah perekonomian yang ternasionalisasi, yang direncanakan secara demokratis oleh buruh, akan dapat menyelesaikan permasalahan pengangguran dan kemiskinan yang melanda Indonesia. Kita harus jelaskan bagaimana krisis kapitalisme dapat terjadi dan apa jalan keluarnya. Kita harus bisa menjelaskan berbagai peristiwa politik — nasional dan internasional – kepada kaum buruh yang mulai bertanya-tanya, dan memberikan kesimpulan revolusioner yang dibutuhkan. Inilah tugas dari organisasi Marxis.
Reformisme jelas masih mewarnai pemikiran banyak buruh. Dalam periode kebingungan seperti saat ini, gagasan-gagasan reformis terlihat mujarab, sebagai obat sesaat bagi organisasi-organisasi buruh. Reformisme ini mengambil berbagai bentuk, dari tendensi “superaktivisme”, pengabaian pendidikan politik dan pembangunan kader, dan kepercayaan bahwa buruh akan bisa sejahtera di bawah kapitalisme. Gagasan-gagasan baru yang terlihat ”kreatif”, yang menawarkan Sosial Demokrasi untuk mengatasi kelumpuhan ideologis dan politik gerakan buruh selama ini—dengan metode parlementer dan kolaborasi kelas, yang menganggap bahwa perjuangan buruh melalui mekanisme parlementer merupakan suatu cara yang diperlukan untuk mentransformasikan kapitalisme menuju sosialisme—masih merupakan ilusi yang kental di antara buruh. Ilusi terhadap reformisme ini menjadi semakin sulit dipertahankan ketika kapitalisme sedang memasuki krisis, namun proses ini tidak otomatis. Kita harus bergerak untuk menjelaskan kepada buruh batas-batas dari reformisme dan perlunya gagasan Marxis.
Dengan radikalisasi buruh dan kaum muda di Indonesia, yakni sebuah proses yang juga terjadi di hampir seluruh sudut dunia, kaum Marxis tidak kekurangan elemen-elemen yang bisa kita menangkan ke dalam barisan kita. Dengan gagasan kita, dengan kepercayaan revolusioner kita akan masa depan sosialisme, kita akan bangun kepemimpinan revolusioner proletariat yang dibutuhkan.