Satu abad yang lalu satu peristiwa besar mengguncang dunia. “Kaum buruh dan Bolshevik merebut kekuasaan,” begitu kira-kira tajuk yang menghiasi hampir semua koran di seluruh dunia. Kaum kapitalis terhenyak. Untuk pertama kalinya mereka saksikan sebuah peristiwa yang tak pernah mereka bayangkan dapat terjadi: buruh dan tani menumbangkan kapitalisme! Konkretnya, kekeramatan dari kepemilikan pribadi kaum kapitalis dan tuan tanah dilanggar. Pabrik disita untuk buruh, dan tanah disita untuk petani.
Ada satu fitur revolusi yang dari jaman ke jaman tak pernah berubah. Revolusi itu seperti virus. Ia menyebar dan menjangkiti batin rakyat yang tertindas dimanapun mereka berada. Pada 1917 tidak ada internet dan media sosial. Walaupun demikian berita kemenangan revolusi buruh dan tani Rusia membahana ke seluruh penjuru dunia. Dari mulut ke mulut, lewat selebaran lusuh yang sudah berpindah tangan entah berapa kali, dan lewat 1001 cara lainnya, kabar gembira ini menyebar bak api liar di padang rumput kering. “Kita bisa menang dan tumbangkan penindas kita,” begitu kira-kira pikir setiap buruh dan tani yang mendengar berita kemenangan Revolusi Oktober. Apa yang tampaknya mustahil sebelumnya tiba-tiba menjadi mungkin.
Indonesia tidak luput dari gaung Revolusi Oktober. Perjuangan kemerdekaan nasional melawan Belanda mendapat dorongan besar dari kemenangan revolusi proletariat di Rusia. Buruh dan tani, di bawah kepemimpinan Partai Komunis Indonesia, untuk pertama kalinya menggunakan aksi massa guna memenangkan kemerdekaan.
Revolusi Oktober menjadi usaha pertama kaum buruh dan tani untuk membangun sebuah masyarakat tanpa penindasan, tanpa eksploitasi, dan tanpa kelas. Untuk pertama kalinya rakyat pekerja tidak hanya berani bermimpi untuk membangun surga di atas dunia, tetapi bahkan mencoba membangunnya dengan kedua tangan mereka.
Seratus tahun kemudian, gaung Revolusi Oktober masih terdengar. Walau samar-samar, gaung ini semakin hari semakin keras. Mengapa tidak? Ketika rakyat pekerja dimana-mana masih tertindas, diperas keringatnya untuk upah yang begitu rendah, dirampas tanahnya dan digusur rumahnya untuk pembangunan katanya, sementara yang kaya menjadi semakin kaya, tidak heran kalau ada banyak telinga yang siap menyambut gaung Revolusi Oktober. Ketidakmampuan kapitalisme untuk mensejahterakan rakyat pekerja akan selalu menyediakan tanah yang subur bagi Revolusi-revolusi Oktober selanjutnya.
Hari ini kita harus belajar dari pengalaman Revolusi Oktober kalau kita ingin menghancurkan kapitalisme. Untuk mempelajarinya, dibutuhkan sebuah usaha yang luar biasa keras. Kebohongan demi kebohongan telah ditumpuk begitu tinggi di atasnya sehingga kita harus menggalinya dengan tekun, sabar dan hati-hati pula. Tetapi sesuatu yang berharga memang membutuhkan usaha keras dan sabar.
Menumbangkan kapitalisme bukanlah mimpi. Ini pernah dilakukan 100 tahun yang lalu oleh buruh dan tani Rusia. Tugas kaum buruh hari ini adalah bagaimana mengulang Revolusi Oktober ini di tingkatan yang lebih tinggi, dengan mengambil pelajaran selama seratus tahun terakhir. Kapitalisme yang sudah mulai membusuk ini harus digantikan dengan sosialisme. Kalau tidak ia akan menyeret umat manusia ke barbarisme.