Dua kasus kekerasan seksual yang jadi sorotan baru-baru ini, yang satu melibatkan pengasuh pesantren di Jombang dan yang satu lagi pejabat Papua, kembali lagi mengingatkan kita akan realitas kejam kehidupan kaum perempuan. Kenyataan kalau pelaku adalah “tokoh masyarakat” memberi kontras yang tajam akan ketimpangan relasi kuasa (power imbalance) antara pelaku dan korban. Ini diperparah oleh ketidakseriusan kepolisian – ataupun masyarakat umumnya – dalam menanggapi laporan kekerasan seksual.
Sudah menjadi pengetahuan umum kalau korban kekerasan seksual kebanyakan tidak melaporkan kekerasan yang mereka alami karena besarnya rintangan yang harus mereka hadapi hanya untuk didengar. Misalnya dalam kasus kekerasan seksual di pesantren Jombang, korban justru dikeluarkan dari pesantren ketika melaporkannya ke pimpinan pondok atau ayah pelaku. Lalu, ketika melaporkan ke polisi pada November tahun lalu, sampai hari ini pelaku masih melenggang bebas dan tidak ditahan untuk pemeriksaan oleh kepolisian. Pihak polisi jelas segan menyentuh lingkungan pemuka agama, terutama ketika hampir seluruh jajaran kepemimpinan pesantren Jombang membela pelaku dan menuduh korban memfitnah MSA. Tekanan sosial yang besar dari masyarakat menekan korban dan melindungi pelaku.
Begitu juga dengan kasus di Papua. Setelah pelaku dilaporkan ke polisi, dia menggunakan posisinya sebagai tokoh Papua untuk meredam kasus ini. Banyak orang menekan keluarga korban untuk “berdamai”, dengan alasan kalau ini dikuak akan merusak nama Papua, dan bahkan katanya akan merusak perjuangan Papua.
Gerakan “I Believe Her” atau “Saya Percaya Dia” merupakan respons terhadap masalah ini, bahwa laporan korban tidak hanya tidak ditanggapi serius tetapi bahkan tidak dipercaya. Ini terutama benar ketika pelaku adalah “tokoh masyarakat”, yang lebih dilihat sebagai teladan atau panutan masyarakat yang tidak mungkin melakukan tindakan senonoh, apalagi pemerkosaan. Jejaring rapat otoritas keagamaan, kultural-sosial, politik dan ekonomi bersatu padu melindungi pelaku dari kredibilitas laporan korban.
Salah satu kritik terhadap gerakan “Saya Percaya Dia” adalah ini bertentangan dengan asas praduga tak bersalah. Tersangka sudah divonis bersalah bahkan sebelum proses hukum berlangsung dan menemui kesimpulannya. Ini tidak adil bagi tersangka. Harus ada proses pengadilan yang mempertimbangkan semua bukti sebelum seorang dianggap bersalah dan dijatuhi hukuman. Asas praduga tak bersalah dilihat sebagai pilar keadilan yang tidak bisa diganggu gugat keabsahannya.
Bayangkan, kata para kritikus kita ini, apa yang akan terjadi kalau masyarakat percaya begitu saja setiap laporan kekerasan seksual? Banyak laki-laki yang dituduh yang akan dikucilkan dari masyarakat, kehilangan nama baik mereka, dipecat dari tempat kerja mereka, dan menerima stigma sosial. Kalau kita perhatikan dengan baik, pada kenyataannya hal-hal inilah yang hari ini justru menimpa kaum perempuan korban kekerasan seksual ketika mencoba mencari keadilan dari proses hukum.
Sesungguhnya gerakan “Aku Percaya” bukan menuntut agar semua tuduhan menjadi vonis bersalah otomatis tanpa investigasi dan pembuktian, tetapi agar laporan korban ditanggapi tidak hanya dengan keseriusan tetapi juga empati oleh seluruh roda gir hukum: polisi, jaksa dan hakim; agar korban menerima dukungan penuh dari aparat hukum untuk menggali bukti yang dibutuhkan untuk laporannya, agar penyelidikan dilakukan dengan segera dan konsekuen, tertuduh langsung diperiksa alih-alih bebas berbulan-bulan seperti kasus di atas, dan proses hukum bergulir dengan cepat dan bukan terlunta-lunta. Inilah esensi gerakan “Aku Percaya”. Inilah yang dituntut oleh kaum perempuan, dimana 1 dari 10 perempuan setiap tahunnya mengalami kekerasan fisik dan seksual.
“Tetapi, bagaimana dengan asas praduga tak bersalah?” tekan para kritikus kita. Baiklah, mari kita periksa apa yang disebut asas praduga tak bersalah ini.
Tujuan awal dari penerapan asas praduga tak bersalah adalah untuk memastikan agar proses hukum berlangsung dengan jujur, adil dan tidak memihak, dengan menerapkan bahwa beban bukti ada di pundak yang menuduh. Ei incumbit probatio qui dicit, non qui negat. Beban bukti ada pada orang yang menuduh, bukan yang menyangkal tuduhan. Yang tertuduh tidak harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Yang menuduhlah yang harus membuktikan kalau yang tertuduh adalah bersalah.
Akan tetapi asas praduga tak bersalah bukanlah asas yang absolut, yang benar di manapun dan kapanpun. Secara umum asas ini berlaku di bawah asumsi bahwa penuduh dan tertuduh setara tidak hanya di mata hukum, tetapi juga di dalam masyarakat, yakni perbedaan seks, gender, status sosial, status ekonomi, dsb. tidak menjadi halangan berarti dalam mengakses keadilan.
Dalam masalah kekerasan seksual, kaum perempuan secara historis telah diperlakukan sebagai warga kelas dua, atau bahkan non-entitas. Perempuan telah diperlakukan bagai objek atau properti belaka. Tidak ada kesetaraan di antara kaum perempuan dan laki-laki. Kita lihat saja dari dua kasus di atas bahwa yang menuduh, yakni korban, tidak bisa mendapatkan akses layak ke hukum bahkan untuk melayangkan tuduhannya. Dengan demikian maka asas praduga tak bersalah runtuh di hadapan realitas yang hidup ini.
Gerakan “Aku Percaya” adalah respons terhadap bagaimana di mata hukum asas praduga tak bersalah diselewengkan untuk menjadi berpihak pada tertuduh. Bahkan korban justru dibebankan dengan “asas praduga bersalah”, bahwa kekerasan seksual yang dialaminya adalah kesalahannya korban yang menaruh ikan asin di depan kucing.
Untuk itu, dibutuhkan sistem pengadilan yang memulai kerjanya dari mempercayai laporan korban kekerasan seksual, yang memulai kerjanya dengan empati terhadap korban, dengan pemahaman akan dinamika masyarakat patriarki yang ada. Ini minimum setidaknya sebelum kita mampu menumbangkan masyarakat patriarki yang ada, kapitalisme serta masyarakat kelas.
Akan tetapi ada limit dari gerakan “Aku Percaya”, yang harus kita sadari hanya bersifat reaktif alih-alih proaktif dalam melihat basis material dari penindasan perempuan itu sendiri. Memperjuangkan agar korban kekerasan seksual dapat mengakses keadilan jelas adalah langkah maju. Namun kita harus menghancurkan ketimpangan relasi kuasa yang memungkinkan kekerasan fisik dan seksual terhadap perempuan. Untuk itu reforma sistem peradilan semata tidak mencukupi.
Bahkan pengalaman gerakan telah menunjukkan kebuntuan dari pendekatan yang parsial dan gradual seperti ini, yang membuat kita layaknya Sisipus, terus mendorong batu ke atas gunung hanya untuk menemukannya menggelinding ke bawah kembali. Aktivis terjebak dalam siklus abadi advokasi.
Batas dari reformisme, atau perubahan gradual yang tidak mengubah secara fundamental relasi sosio-ekonomi yang ada (baca kapitalisme), menjadi jelas ketika kita membaca Global Gender Gap Report 2020 oleh World Economic Forum pada akhir tahun lalu. Menurut laporan ini, berdasarkan laju perubahan sekarang, maka dibutuhkan 257 tahun untuk menutup ketimpangan ekonomi antara kaum perempuan dan laki-laki. Ini meningkat dibandingkan laporan tahun sebelumnya, yang memberi estimasi 202 tahun. Untuk menutup ketimpangan gender dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan dan kesehatan, laporan yang sama melaporkan – setidaknya untuk 103 negara – ini membutuhkan waktu hampir 100 tahun. Ini bukan berita yang menggembirakan bagi separuh populasi dunia. Inilah wajah kapitalisme hari ini, yang sudah bangkrut dan tidak bisa lagi memberikan kesetaraan bagi kaum perempuan, yang diminta menunggu 250 tahun.
Kita membutuhkan perubahan yang revolusioner. Kita membutuhkan revolusi.
Gerakan “Aku Percaya Dia” harus bisa melompat menjadi “Aku Percaya Revolusi”, yakni percaya pada kapasitas rakyat pekerja – perempuan maupun laki-laki – untuk bersatu mengakhiri patriarki, kapitalisme, serta masyarakat kelas.
Patriarki bukanlah karakter yang terpatri secara kodrati dalam watak kaum laki-laki. Kalau kita percaya bahwa laki-laki secara kodrati – atau bahkan ada yang percaya secara genetika – selalu ingin menindas perempuan, maka satu-satunya solusi untuk mengakhiri penindasan kaum perempuan adalah dengan menghapus laki-laki dari muka bumi. Kalau kita percaya kalau semua laki-laki diuntungkan dari penindasan kaum perempuan, maka kita tiba ke kesimpulan yang sama pula: satu-satunya cara untuk mengakhiri penindasan kaum perempuan adalah menaklukkan kaum laki-laki (menghapusnya), karena tentunya tidak ada kelompok yang akan secara suka rela melepaskan keuntungan dan privilesenya.
Sesungguhnya patriarki dipertahankan oleh kelas penguasa kapitalis untuk memecah belah rakyat pekerja. Prasangka seksisme ditanamkan di antara kaum pekerja laki-laki untuk memperbodoh mereka, memecah belah mereka agar dapat dengan mudah dieksploitasi. Selain itu, untuk melanggengkan proses eksploitasi kapitalis, peran sosial kaum perempuan dibatasi pada kerja rumah tangga dan membesarkan anak guna mencetak kaum buruh yang baru yang siap bekerja di pabrik-pabrik dan memberi profit bagi pemilik modal.
Di permukaan, kaum pekerja laki-laki terlihat diuntungkan dari patriarki. Misalnya laki-laki gajinya lebih tinggi dari perempuan; di dalam keluarga suami mendominasi istri; perempuan adalah korban kekerasan fisik dan seksual oleh laki-laki, dsb.. Tetapi privilese-privilese ini adalah metode kelas penguasa untuk mengekang kaum pekerja laki-laki pada sistem kapitalisme. Sebagai kelas, kaum pekerja laki-laki tidak punya kepentingan mempertahankan prasangka-prasangka patriarkal, dan justru harus memeranginya kalau mereka sungguh ingin bebas dari penindasan kelas kapitalis.
Dalam sejarah perjuangan kelas, kita lihat bagaimana solidaritas kelas adalah senjata terampuh dalam menghancurkan prasangka-prasangka patriarkal (dan yang lainnya, seperti rasisme, dsb.) yang bersemayam di benak rakyat pekerja. Dengan memahami watak kapitalisme sebagai kekuatan yang mempertahankan prasangka-prasangka terbelakang ini, maka rakyat pekerja bisa bersatu melawan musuh bersama: kapitalis dan serta Negara yang mewakili kepentingan mereka. Kita harus percaya ini kalau kita sungguh ingin mengakhiri patriarki.
Tentunya ini bukan tugas yang mudah, tetapi tidak ada yang mudah dalam revolusi. Yang jelas ini adalah prospek yang lebih realistis dibandingkan menunggu 250 tahun untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.