Pada 27 November, Indonesia menggelar pilkada serentak. Tampaknya masyarakat mulai jenuh dengan slogan-slogan, janji-janji, dan sumpah kosong yang kerap dilontarkan para kandidat kepala daerah. Tingginya angka golput menjadi indikasi jelas dari rasa jenuh masyarakat. Rata-rata tingkat golput dalam pilkada di tujuh provinsi terbesar tahun ini mencapai 37%. Angka ini meningkat dibandingkan Pilkada 2019 yang mencatat golput sebesar 31%. Di Jakarta, angka golput melonjak dari 23% menjadi 42%.
Selain tingginya angka golput, kita melihat juga kemenangan kotak kosong di Pilkada Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka. Ini merupakan fenomena yang kedua kalinya. Sebelumnya kotak kosong juga dinyatakan menang di Pilkada Kota Makassar pada 2018. Kemenangan kotak kosong merupakan bentuk penolakan terhadap maraknya fenomena calon tunggal dalam pilkada.
Ada 37 pasangan calon tunggal dalam Pilkada 2024. Banyaknya calon tunggal di pilkada kali ini menunjukkan dua hal. Pertama, mahalnya biaya politik. Bayangkan saja untuk menjadi kepala daerah, seseorang harus mengeluarkan Rp 20-30 miliar. Politik dagang sapi mendominasi, di mana calon harus membayar sejumlah besar uang untuk bisa masuk dalam nominasi. Akibatnya, hanya orang-orang kaya dan berkuasa yang dapat mencalonkan diri, dan sejumlah daerah pun dikuasai oleh politik dinasti. Kedua, partai-partai yang ada pada dasarnya mewakili kepentingan yang sama, yaitu kepentingan kapitalis. Kali ini mereka merasa hanya perlu mengajukan satu kandidat bersama untuk mewakili kepentingan bersama mereka pula.
Terlepas dari siapa yang terpilih, tidak ada perubahan signifikan yang dirasakan oleh rakyat. Ini karena semua partai dan kandidat utama yang berlaga adalah perwakilan kapitalis. Inilah esensi dari demokrasi borjuis. Sistem demokrasi semacam ini hanya melayani kepentingan orang-orang kaya.
Sementara, Partai Buruh yang katanya merupakan partainya kelas pekerja justru digiring oleh para pemimpin konservatif mereka ke kubu borjuis. Di Jakarta misalnya Partai Buruh mendukung pasangan Ridwan Kamil-Suswono. Tanpa adanya pilihan alternatif yang mewakili kepentingan rakyat pekerja, selapisan besar rakyat pun memilih golput. Sementara, banyak pula yang mencoblos hanya karena kebiasaan atau inersia politik.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita akan terus menerima demokrasi borjuis ini sebagai takdir, atau saatnya kita, mengambil alih kendali masa depan politik kita?
Rakyat sudah cukup menderita di bawah cengkeraman demokrasi borjuis yang penuh kepalsuan. Tingginya angka golput dalam Pilkada 2024 bukan hanya tanda kejenuhan, tapi sebuah pernyataan: kami muak dengan sistem ini! Namun rasa muak ini perlu diberikan ekspresi politik yang terorganisir, yaitu ide dan program sosialis. Bila tidak, rasa muak ini hanya akan menguap sia-sia. Seperti yang kita lihat dalam pemilu Amerika Serikat, rasa muak ini bahkan dapat tersalurkan lewat demagog-demagog kanan seperti Donald Trump. Oleh karena itu, kerja sabar dan gigih untuk terus memperjuangkan gagasan sosialisme di dalam gerakan yang penuh dengan oportunisme – yaitu penyembahan pada capaian-capaian jangka pendek semata – menjadi sangat esensial.
Sosialisme bukan sekadar alternatif; ia adalah keharusan. Sistem ini akan menghancurkan fondasi kapitalisme yang hanya mementingkan profit untuk segelintir kapitalis dan menggantikannya dengan kepemilikan kolektif dan kendali demokratik rakyat pekerja atas ekonomi, politik, dan sumber daya.
Namun, sosialisme perlu diperjuangkan. Kita tidak bisa menunggu perubahan datang dari atas. Kita harus merebutnya dengan tangan kita sendiri melalui kerja membangun organisasi revolusioner.
Pemilu dan Pilkada hari ini hanyalah panggung sandiwara untuk memberikan legitimasi pada kekuasaan kapitalis. Kita hanya diberi kebebasan untuk memilih perwakilan kapitalis mana yang akan menginjak-injak kita. Tidak ada kebebasan di bawah sistem yang menjadikan rakyat budak ekonomi dan politik. Kebebasan sejati hanya bisa dicapai ketika kita menghancurkan kapitalisme sampai ke akar-akarnya, sehingga tidak ada lagi eksploitasi, tidak ada lagi penindasan, dan rakyat pekerja menjadi tuan mereka sendiri. Dunia yang lama tengah tertatih-tatih berjalan ke liang kubur, sementara dunia baru menanti dilahirkan dengan susah payah. Hanya tangan rakyat pekerja yang sadar kelas dan paham akan tugas historis mereka yang akan dapat mengubur untuk selama-lamanya dunia yang lama itu dan membimbing kelahiran dunia baru.