Pada Desember 2020 pemerintah melaksanakan pilkada serentak. Rakyat Indonesia kembali berpartisipasi dalam apa yang disebut sebagai “pesta demokrasi”. Namun, seperti pemilu dan pilkada sebelumnya, “pesta demokrasi” ini hanyalah sebuah tradisi tukar menukar kekuasaan di antara kelas penguasa. Selama masa pilkada ini, sejumlah aktivis memiliki tradisi melakukan agitasi kepada rakyat bahwa tidak ada pilihan dalam pilkada saat ini, serta menyerukan golput sebagai bentuk protes mereka. Namun bila kita jujur, agitasi golput ini merupakan seruan pasif terhadap ketidakberdayaan mereka melawan demokrasi borjuis. Seruan ini tidak mengubah apapun dalam hasil pilkada.
Tahun 2020 juga menunjukkan bahwa pemerintah semakin mengabaikan kepentingan rakyat melalui proses pengesahan Omnibus Law. Aksi menolak pengesahan Omnibus Law ditanggapi secara brutal oleh pemerintah yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan terhadap demonstran dan jurnalis. Tetapi ini tidak berdampak pada tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu. Dengan kinerja pemerintah yang buruk sepanjang tahun 2020, partisipasi rakyat pada pilkada 2020 masih tinggi, yakni sebesar 76%. Ini menunjukkan perlunya sebuah perspektif bagi gerakan bila ingin mengubah ranah politik Indonesia. Seruan Golput saja tidak memadai, karena rakyat pekerja mayoritas masih melihat pemilu sebagai saluran aspirasi mereka.
Jika kita mencoba melakukan introspeksi, aksi golput dilakukan karena tidak adanya politisi yang mampu mewakili rakyat Indonesia. Dengan demikian, perjuangan ini tidak cukup dengan hanya mengajak masyarakat untuk golput.
Tapi apa yang dibutuhkan? Gerakan perlu membangun partai mereka sendiri. Sebuah partai yang mewakili kepentingan kelas buruh. Dengan terbentuknya partai buruh, perjuangan buruh akan memasuki tahapan yang lebih tinggi. Perjuangan ini akan berubah menjadi perjuangan politik, yang tidak terbatas pada tuntutan-tuntutan parsial seperti tuntutan ekonomi, perlindungan terhadap lingkungan, dsb.
Partai buruh ini akan berdiri menjadi oposisi dalam melawan partai bentukan kaum borjuasi. Dengan demikian, rakyat pekerja memiliki pilihan yang sesungguhnya dalam sistem elektoral yang ada, tidak hanya terbatas memilih terbaik di antara yang terburuk. Partai buruh tidak hanya akan jadi mesin elektoral saja, tetapi menjadi organisasi yang tujuannya membangun kesadaran kelas rakyat pekerja serta meruntuhkan ilusi dari demokrasi yang cacat ini. Dengan demikian, partai buruh akan menjadi partai yang berbeda dari partai-partai yang ada.
Namun partai buruh ini tidak bisa didirikan begitu saja dengan ultimatum dari segelintir aktivis. Partai buruh ini harus terbentuk dari kesadaran bersama buruh-buruh terorganisir dalam serikat-serikat buruh, bukan hanya bentukan dari satu dua kelompok intelektual saja.
Partai buruh akan mengirim delegasinya untuk masuk ke dalam rawa elektoral borjuis yang korup dan busuk untuk mengekspose kebuntuan demokrasi borjuis saat ini. Agar tidak tenggelam dalam rawa busuk ini, partai buruh harus memiliki gagasan dan program sosialis revolusioner sebagai fondasinya. Dengan bersenjatakan program dan metode sosialis, partisipasi politik buruh di dalam sistem elektoral tidak akan menghambat perjuangan revolusioner dan justru akan membuka jalan menuju perebutan kekuasaan oleh kelas buruh dan transformasi sosialis.
Partai Bolshevik Rusia telah menunjukkan bagaimana menggunakan sistem elektoral secara taktis, fleksibel, dan revolusioner untuk beragitasi tentang cacatnya demokrasi borjuis dan menawarkan sosialisme sebagai sistem yang lebih baik. Ada kalanya Partai Bolshevik menyerukan boikot pemilu, ada kalanya pula mereka terlibat dalam pemilu. Dan ada kalanya mereka campakkan sistem elektoral borjuis sepenuhnya ketika organ demokrasi buruh yang lebih unggul – yakni Soviet – telah lahir. Partai Bolshevik tidaklah dogmatis; di satu sisi mereka bukankah sektarian ultra-kiri yang menolak sistem pemilu borjuasi secara prinsipil, dan di sisi lain mereka bukanlah parlementeris yang terikat tak-berdaya pada sistem elektoral borjuis. Kita harus belajar dari sejarah Partai Bolshevik
Bila taktik Bolshevik ini diadopsi, maka gerakan akan melangkah ke tahap yang menentukan. Dalam menghadapi sistem elektoral Indonesia, jelaslah diperlukan perubahan taktik. Mengubah kesadaran rakyat hanya dengan taktik golput saja tidak akan membawa kita ke mana-mana. Dengan melihat sejarah, jelaslah munculnya perwakilan kaum buruh melalui partai buruh di sistem elektoral dapat mempercepat proses kematangan politik rakyat pekerja. Dengan demikian, pendirian partai buruh tidak bisa diabaikan lagi. Krisis kapitalisme yang semakin dalam akan menyeret umat manusia ke jurang kehancuran, dan hanya kelas buruh – dengan kendaraan politik miliknya sendiri – yang dapat menyelamatkan umat manusia.