DPR telah menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Padahal, RUU ini sudah dirancang sejak 4 tahun yang lalu. Jauh sebelumnya sudah banyak kalangan yang mendesak disahkannya RUU ini. Namun DPR terus menundanya. Bahkan sekarang pun, mereka berdalih akan memasukkan RUU ini ke dalam program legislasi tahun depan.
Desakan untuk segera mengesahkan RUU ini memiliki alasan yang kuat. Kekerasan seksual menjadi masalah yang sangat mengakar di masyarakat kita. Setiap hari kasus kekerasan seksual terus terjadi. Komnas Perempuan menyatakan sepanjang 2019 saja terdapat 431.471 kasus atau naik 6% dari tahun 2018. Bahkan selama 12 tahun terakhir kasus kekerasan seksual terhadap perempuan naik 792%. Dan, kita tahu apa yang dilaporkan Komnas Perempuan hanyalah yang tercatat saja.
Melihat bagaimana pemerintah dan wakil rakyat mengabaikan masalah yang sangat serius ini, apa yang harus dilakukan? Untuk menjawabnya kita perlu memeriksa akar sejarah munculnya kekerasan seksual pada kaum perempuan. Karena hanya dengan menelusuri asal-usulnya, kita bisa menelusuri bagaimana proses perkembangannya, serta proses kemusnahannya.
Sejarah Munculnya Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual terkait erat dengan penempatan perempuan menjadi manusia kelas dua dalam keluarga, yang tugas utamanya adalah melayani kaum lelaki. Dan tidak seperti anggapan umum masyarakat, penurunan derajat perempuan ini bukanlah karena takdir atau kodrat perempuan itu sendiri, tetapi karena perubahan corak produksi dalam sejarah, yang lalu mengubah peran kaum perempuan dalam relasi produksi tersebut. Ini pada gilirannya menentukan posisi perempuan dalam keluarga dan dalam masyarakat secara keseluruhan.
Pada abad ke-19, antropolog Lewis Henry Morgan meneliti kehidupan masyarakat Indian primitif yang masih bertahan di benua Amerika dan Kepulauan Hawaii kala itu. Cara hidup masyarakat ini seperti berhenti dalam waktu, tidak berubah secara signifikan selama puluhan ribu tahun, karena keterisolasian dan faktor geografi. Oleh karenanya, ini memberi kita semacam jendela untuk bisa melihat bagaimana bentuk masyarakat di masa-masa pra-sejarah umat manusia.
Dari hasil penelusurannya, ia menemukan bahwa masyarakat primitif Hawaii memiliki corak pernikahan yang jauh berbeda dari bentuk pernikahan sekarang. Mereka menikah secara kelompok (group), di mana semua anak lelaki sebuah keluarga menikah dengan semua anak perempuan dari keluarga lain. Jika kita lelaki, maka anak saudara lelaki kita adalah anak kita juga. Sedangkan anak saudara perempuan kita adalah keponakan kita. Begitu juga jika kita perempuan, maka anak saudara perempuan kita adalah anak kita juga. Dan, anak saudara laki-laki kita adalah keponakan kita. Satu keluarga besar yang terdiri dari banyak ayah, ibu, dan anak ini tinggal di satu rumah besar. Mereka bercocok tanam bersama, di mana hasil pertanian dinikmati bersama pula. Dalam bentuk pernikahan grup seperti ini, posisi perempuan dan laki-laki setara. Bahkan, kaum perempuan sangat dihormati karena merekalah yang telah melahirkan anak-anak ke dunia. Bukan itu saja, pernikahan grup tidak memungkinkan seorang ayah untuk mengetahui siapa anak kandungnya. Hanya perempuan lah yang bisa mengetahui siapa anak kandungnya dari anak-anak lainnya. Kondisi ini juga turut membuat derajat perempuan tinggi dan dihormati. Dari sini, garis keturunan ikut ke jalur ibu, yang sering disebut matrilineal.
Corak pernikahan ini berbeda dengan bentuk pernikahan di masyarakat Yunani dan Romawi Kuno, yang secara garis besar masih diteruskan sampai hari ini. Bentuk pernikahan dan keluarga masyarakat Yunani dan Romawi kuno adalah monogami dan patriarkal: seorang laki-laki berpasangan dengan seorang perempuan, dan garis keturunan ikut ke jalur ayah. Tapi umumnya, pernikahan monogami ini hanya berlaku di pihak perempuan. Sedangkan di pihak lelaki, yang kerap terjadi adalah poligami. Jadi, satu suami memiliki banyak istri, sedangkan sang istri hanya memiliki satu suami. Dalam bentuk keluarga yang monogami dan patriarkal ini, kaum perempuan menjadi manusia kelas dua.
Engels, dengan menerapkan metode dialektika materialis ke dalam studi sejarah umat manusia, mencapai kesimpulan bahwa perubahan bentuk pernikahan ini terjadi karena corak produksi yang berlaku di masyarakat juga berubah. Masyarakat Yunani Kuno sudah memasuki tahap Perbudakan, sedangkan masyarakat Indian baru memasuki tahapan yang disebut Lewis H. Morgan sebagai tahapan “Barbarisme” (atau, lebih tepatnya, tahapan peralihan dari corak produksi berburu meramu ke pertanian awal).
Barbarisme awal adalah tahap di mana pertanian baru pertama kali muncul. Awalnya, pertanian hanyalah menggantikan tugas mengumpulkan buah-buahan & akar-akaran (food gathering) yang diemban oleh kaum perempuan di tahapan berburu-meramu sebelumnya. Sehingga artinya, bercocok tanam pada awalnya dikerjakan oleh kaum perempuan. Sedangkan kaum lelaki tetap bertugas untuk berburu binatang. (The Meaning of Marxism, Paul Damato)
Dalam masyarakat pertanian awal ini, hasil pertanian masihlah belum melampaui jumlah yang dibutuhkan masyarakat, dan pertanian juga belum menjadi moda produksi utama. Sehingga, belum ada surplus alias kelebihan panen. Ketiadaan surplus ini membuat seluruh masyarakat terlibat dalam produksi, di mana lelaki berburu dan perempuan bercocok tanam. Dan karena setiap orang (baik laki-laki maupun perempuan) terlibat dalam produksi serta alat-alat produksi dimiliki bersama, maka semua orang memiliki posisi yang setara, termasuk laki-laki dan perempuan. Tidak ada orang kaya dan orang miskin. Tidak ada tuan dan hamba.
Kondisi berubah drastis ketika pertanian mulai menghasilkan surplus akibat perkembangan alat-alat pertanian yang semakin maju. Peralihan ini dikenal sebagai Revolusi Neolitik, dengan ledakan peradaban karena kemajuan teknik pertanian, yang terjadi sekitar 10.000 tahun sebelum masehi. Adanya surplus mendorong pembagian kerja lebih lanjut dalam masyarakat, terutama antara lelaki dan perempuan. Dengan semakin produktifnya masyarakat, ini memungkinkan perempuan untuk kini memiliki lebih banyak anak dibandingkan selama masa berburu-meramu. Selain itu, pertanian juga menuntut lebih banyak tenaga kerja, yang mendorong keluarga untuk memiliki lebih banyak keturunan. Ini lalu semakin meningkatkan produktivitas pertanian, dan seterusnya. Dengan demikian, waktu dan tenaga kaum perempuan semakin didedikasikan ke melahirkan dan membesarkan anak. Bertani dan beternak menjadi tugas utama kaum laki-laki. Dengan ini, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan mulai bergeser ke arah kaum laki-laki, sebagai pihak yang menguasai alat produksi.
Ada sementara lelaki yang bekerja di ladang dan peternakan, sedangkan yang lainnya menjaga hasil pertanian; yang lainnya lagi membarter hasil pertanian dengan binatang buruan atau batu-batu jimat dari kelompok masyarakat yang lebih primitif (Man Makes Himself, Gordon Childe). Sedangkan perempuan bekerja di rumah untuk memasak, bereproduksi, dan melayani kebutuhan kaum lelaki.
Inilah yang pada awalnya melahirkan kelas sosial (miskin-kaya, tuan-budak) di masyarakat. Pemegang alat-alat produksi pertanian menduduki posisi yang lebih tinggi karena perkembangan masyarakat tergantung padanya. Dan, inilah juga yang membuat posisi perempuan menjadi lebih rendah dibanding laki-laki.
Bukan hanya itu, pembagian kerja juga melahirkan konsep pernikahan monogami. Ini karena pembagian kerja tidak memungkinkan alat-alat produksi dan harta benda lainnya dimiliki bersama. Setiap orang memiliki apa yang menjadi tanggung jawabnya (petani memiliki alat-alat pertanian; penjaga surplus memiliki senjata; tukang pandai besi memiliki alat-alat tempa besinya). Sehingga, masyarakat yang awalnya hidup bersama dalam satu keluarga pun lama-lama tercerai berai. Dan saat alat-alat produksi menjadi kepemilikan pribadi, maka pernikahan pun berubah menjadi monogami.
Selanjutnya, bersamaan dengan monogami maka garis keturunan pun berpindah dari pihak perempuan (matrilineal) ke pihak lelaki atau yang sering disebut patrilineal. Dalam corak matrilineal, kaum lelaki tak bisa mewariskan kepemilikannya kepada anak-anaknya karena menurut “hukum” yang lama (hukum yang merupakan warisan dari pernikahan grup) klan seorang bapak berbeda dengan klan anaknya. Setiap anak mengikuti klan ibunya karena garis keturunan adalah matrilineal. Dan setiap anak (termasuk kaum lelaki yang sudah beranak) hanya bisa mewarisi dan mewariskan kekayaan kepada klan ibunya yakni ibu, saudara-saudara ibu (baik laki-laki maupun perempuan) dan anak-anak dari saudara perempuan ibu. Agar kaum lelaki – yang kini menguasai alat produksi – bisa mewariskan kekayaan kepada anak-anaknya, maka garis keturunan diubah mengikuti garis bapak. Maka lengkaplah sudah corak keluarga monogami.
Dengan situasi seperti ini, posisi perempuan hanyalah sebagai pelayan kaum lelaki, baik dalam urusan rumah tangga maupun dalam urusan seksual, dan sebagai penghasil anak. Dan sejak saat itulah, derajat perempuan turun serendah-rendahnya. Perempuan dianggap tidak memiliki kehidupan sendiri karena kehidupannya dipersembahkan untuk melayani kaum lelaki. Kisah bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk lelaki adalah salah satu buktinya.
Dan, sejak perempuan dianggap hanya sebagai pelayan kaum lelaki, dan bahkan sebagai properti laki-laki, serta aksesnya pada alat-alat produksi dilucuti sehingga mereka kehilangan kekuatannya, maka sejak saat itulah mulai muncul perilaku kekerasan seksual terhadap perempuan. Pakaian dan pergaulan perempuan diatur. Perempuan yang bergaul dengan sembarang lelaki akan dianggap murahan dan pendosa, yang karenanya sah-sah saja untuk dilecehkan, diperkosa, dan mengalami kekerasan seksual. Di era ini jugalah pelacuran, di mana perempuan menjual diri mereka untuk mendapatkan uang, muncul.
Kapitalisme dan Perempuan Hari Ini
Sampai hari ini, keadaannya tidak banyak berubah. Meskipun sistem kapitalisme telah membebaskan sebagian perempuan dari kerja domestik (pekerjaan rumah tangga) dan melibatkan mereka dalam produksi (di pabrik-pabrik dan perkantoran), tapi faktanya perempuan masih dianggap manusia kelas dua.
Masih sering kita temui bagaimana seorang perempuan yang meskipun telah menghasilkan uang sendiri tapi masih harus melakukan tugas-tugas domestik mengurus suami dan rumah tangga. Masih sering kita dengar bagaimana perempuan yang berkarir selalu diingatkan akan “kodratnya” yang tak lain adalah melayani suami, mempunyai dan mengurus anak. Bahkan ketika seorang perempuan sangat mandiri, yang terjadi adalah mereka dijauhi lelaki karena dianggap mengancam posisi lelaki.
Lalu, apakah ini artinya kemandirian perempuan tidak akan bisa membebaskan mereka dari dominasi lelaki?
Dalam melihat hal ini, kita tidak boleh berpikir mekanis, melainkan harus dialektis. Tak serta-merta ketika perempuan terlibat dalam proses produksi atau mandiri secara ekonomi maka dia akan lepas dari penindasan seksual. Sistem patriarkal dan supremasi laki-laki yang telah mengakar dalam masyarakat kelas selama lebih dari 10 ribu tahun kini telah menjadi bagian integral yang tak terpisahkan dari corak produksi kapitalisme dan menjadi pilar penopangnya.
Meskipun perempuan sudah banyak yang bekerja di pabrik-pabrik dan perkantoran, namun corak produksi yang berlaku di masyarakat masihlah berdasarkan kepemilikan pribadi oleh segelintir kapitalis, dan segelintir kapitalis ini mayoritas adalah kaum lelaki. Dari 2095 milyarder terkaya di dunia dalam daftar Forbes 2020, hanya ada 241 perempuan. Karena alat-alat produksi masih dipegang kaum lelaki, maka kaum lelaki (kapitalis) punya kebutuhan untuk mempertahankan corak pernikahan monogami dan patriarkal agar bisa mewariskan kekayaan ke anak biologisnya. Sementara, bagi mayoritas rakyat pekerja miskin, yang tidak punya apapun untuk diwariskan selain penderitaan dan kesengsaraan, tidak ada kepentingan sebenarnya bagi mereka untuk mempertahankan sistem pewarisan kekayaan seturut garis ayah.
Kedua, kapitalisme adalah modus produksi yang berdasarkan kerja upahan, dimana kapital berinteraksi dengan buruh untuk menghasilkan kekayaan. Kapitalis membutuhkan pasukan buruh cadangan. Pasukan buruh cadangan adalah buruh pengangguran dalam jumlah tertentu yang keberadaannya menguntungkan kaum kapitalis. Dengan adanya pasukan buruh cadangan, kapitalis bisa menghargai tenaga kerja buruh dengan harga yang sangat rendah, dengan dalih persaingan tenaga kerja yang sangat ketat karena adanya pasukan buruh cadangan. Dan untuk memastikan agar pasukan buruh cadangan selalu tersedia di masyarakat, salah satu cara terutama adalah dengan mengatur reproduksi masyarakat, dan mengatur reproduksi masyarakat berarti mengatur kaum perempuan dan alat reproduksinya. Perempuan lantas diberi kodrat sebagai penghasil dan pengasuh anak, dikungkung di persalinan dan dapur.
Ketiga, diskriminasi seks dan gender menguntungkan bagi kapitalis, karena dengan ini maka ada separuh pekerja – yakni pekerja perempuan – yang bisa diupah lebih rendah daripada laki-laki untuk kerja yang sama. Dengan melanggengkan mitos bahwa perempuan itu lebih bodoh, lebih lemah, lebih lamban, maka mereka bisa diupah lebih rendah. Upah perempuan yang lebih rendah juga menjadi penekan upah laki-laki agar tetap rendah. Penindasan perempuan oleh karenanya adalah bisnis yang sangat menguntungkan.
Dengan alasan-alasan di atas, maka masih dipertahankanlah status perempuan sebagai manusia kelas dua. Kalau pun perempuan harus ikut bekerja karena kebutuhan ekonomi, maka diaturlah bahwa perempuan tetap tidak boleh melupakan “kodrat”nya, yakni mengurus rumah tangga, melayani lelaki dan punya anak.
Inilah mengapa RUU PKS tak kunjung disahkan. Kalau pun RUU ini disahkan, bisa dipastikan RUU ini akan bias pada pelaku kekerasan seksual, sama seperti hukum yang sekarang berlaku. Ini karena kekuatan-kekuatan ekonomi dan sosial di bawah kapitalisme tidak akan mengizinkan terwujudnya kesetaraan sejati antara perempuan dan laki-laki.
Sebagai kaum revolusioner yang memperjuangkan terhapusnya semua bentuk penindasan manusia atas manusia, tentu kami sangat mendukung perjuangan penghapusan kekerasan seksual. Setiap pencapaian sekecil apapun harus kita perjuangkan. Namun dari paparan di atas, kita sampai pada kesimpulan bahwa jalur hukum tidaklah cukup. Kita perlu mengubah secara radikal bentuk masyarakat dan corak produksi yang ada, yang melanggengkan penindasan terhadap kaum perempuan. Kita harus membongkar kapitalisme.
Sosialisme sebagai Solusi Final
Banyak yang mengatakan bahwa solusi untuk menghapus pola pikir patriarkis adalah dengan mendidik masyarakat untuk menghormati perempuan. Namun masalahnya, pendidikan yang efektif membutuhkan lingkungan yang mendukung tertanamnya apa yang diajarkan. Sedangkan kapitalisme adalah lingkungan yang sangat buruk bagi tumbuhnya gagasan akan kesetaraan. Karena seperti yang tadi disebutkan, kapitalisme berkepentingan untuk menempatkan perempuan di posisi yang rendah. Agar pendidikan benar-benar bisa melahirkan kesetaraan dan menghapuskan kekerasan seksual, maka corak produksi yang hari ini berlaku harus diganti, yakni dengan melucuti kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dari tangan segelintir kapitalis.
Sosialisme lah yang akan menghapus kepemilikan pribadi dengan merebut alat-alat produksi dari kapitalis dan menjadikannya milik bersama serta menjalankannya secara terencana dan demokratis. Semua orang akan terlibat dalam aktivitas produksi baik kaum lelaki maupun kaum perempuan. Tidak ada lagi tekanan ekonomi untuk mengupah perempuan lebih rendah, karena ekonomi kini dimiliki dan diatur secara kolektif dan demokratik oleh semua rakyat pekerja, perempuan maupun laki-laki.
Dengan akses dan kepemilikan yang setara atas alat produksi, maka perempuan akan menemukan kembali kekuatannya yang hilang 10 ribu tahun yang lalu. Karena sebagaimana dijelaskan Engels, ketika perempuan telah kembali memiliki akses terhadap alat-alat produksi, maka kehidupan mereka sudah tidak lagi bergantung kepada lelaki. Dan, ketika perempuan sudah tidak lagi bergantung pada lelaki, maka dia sudah bukan lagi properti sang suami. Perempuan memasuki relasi dengan laki-laki secara bebas, dan bukan karena tekanan ekonomi. Ia bisa memutuskan untuk berpisah tanpa perlu mengkhawatirkan lagi kondisi ekonominya. Dan, ia pun bebas memilih lelaki yang disukainya. Seperti kita ketahui, banyak kekerasan domestik terjadi karena istri tidak memiliki kemandirian ekonomi untuk bisa meninggalkan suaminya yang memukulnya.
Sosialisme juga akan menjamin cuti hamil dan melahirkan dengan upah penuh, serta akses universal dan gratis ke tempat penitipan anak. Dengan demikian, tugas membesarkan anak tidak lagi dibebankan sepenuhnya ke perempuan, tetapi menjadi tugas bersama komunitas. Bukan lagi kodrat perempuan untuk melahirkan dan mengasuh anak. Ini seperti kembali ke cara hidup masyarakat adat, dimana anak diasuh bersama oleh seluruh komunitas secara kolektif.
Kami tidak memungkiri bahwa hari ini kelas pekerja (sebagai pengemban tugas revolusioner untuk menggulingkan kapitalisme dan membangun tatanan sosialisme) masihlah banyak yang terperangkap dalam pola pikir patriarkisme. Inilah mengapa perjuangan pembebasan perempuan dan penghapusan kekerasan seksual tidak dilakukan dengan sekadar mendidik kelas pekerja tentang kesetaraan, melainkan dengan perjuangan kelas, menggulingkan kapitalisme dan membangun sosialisme.
Pendidikan akan kesetaraan justru akan dilakukan masif ketika tuas-tuas ekonomi telah direbut dari kapitalis dan dijadikan milik bersama. Karena ketika tuas-tuas ekonomi telah menjadi milik bersama akan lahir lingkungan yang mendukung tumbuh suburnya gagasan tentang kesetaraan. Dan, gagasan akan kesetaraan akan semakin kokoh tertanam di benak masyarakat ketika generasi lama telah digantikan dengan generasi yang baru, yang tidak pernah mengenal patriarkisme. Saat patriarkisme terhapus, gagasan untuk melecehkan perempuan pun lenyap dengan sendirinya. Generasi sosialisme tidak mengenal konsep budak seksual, dengan sendirinya perempuan akan dihormati dan kekerasan seksual akan menjadi sampah dalam tong sejarah.