Satu bulan setelah meninggalnya Fidel Castro pada 25 November kemarin, alangkah baiknya kita mencoba mengkaji kembali Revolusi Kuba dan reaksi pers borjuis terhadap peristiwa bersejarah ini. Kematian Fidel Castro mengejutkan dunia. Bagaimana tidak, ketika dunia kapitalis dirudung krisis, kematian Fidel digunakan oleh media dan pers borjuis untuk menyerang Marxisme dan Komunisme. Tak jarang mereka menyematkan bahwa apa yang terjadi di Kuba merupakan Utopia Marxis, seperti pula di Rusia adalah Utopia-nya Lenin dalam mewujudkan humanisme di dunia. Mereka tidak henti-hentinya mengatakan bahwa Komunisme dan Marxisme telah mati. Semenjak jatuhnya Tembok Berlin sampai kematian Fidel upaya ini tidak pernah surut, sekalipun fakta-fakta yang ada membuktikan sebaliknya.
Revolusi Kuba yang telah berhasil menggulingkan kediktatoran Fulgencio Batista telah membawa transformasi besar-besaran terhadap kehidupan rakyat Kuba. Tidak bisa disangkal lagi bahwa angka melek huruf mencapai 94,4%, jauh melampaui Brazil 71,7%, dan berhasil menurunkan angka kematian bayi 5,93 per seribu kelahiran. Selain itu, Kuba memiliki rasio dokter tertinggi di dunia yakni 1:180, jauh dari Amerika Serikat yang hanya 1:480. Capaian ini tentu tidak terlepas dari ekonomi terencana di bawah kekuasaan Fidel Castro. Bahkan ekonomi terencana ini terdemonstrasikan jauh lebih megah di Uni Soviet, yang dalam waktu sekejap mampu menghapuskan keterbelakangan Rusia dan mampu menyamai negeri-negeri kapitalis maju.
Kendati demikian, Revolusi Kuba jauh dari selesai. Meskipun telah berhasil membuat capaian-capaian penting, Kuba tetaplah negara yang terisolasi. Sebuah pulau di tengah lautan kapitalis. Salah satu alasan bertahannya Revolusi Kuba begitu lama adalah hasil kerja sama Kuba dengan Uni Soviet. Ketergantungan Kuba dengan dunia sangat dirasakan ketika impor Kuba turun mencapai 70% sebagai hasil restorasi kapitalis di Uni Soviet pada 1989-1992 yang saat itu sebagai salah satu negara pengimpor barang-barang Kuba terbesar khususnya komoditas gula. Kerja sama ini menciptakan keuntungan bertahun-tahun bagi Kuba, karena Uni Soviet membeli komoditas Kuba dengan harga terbaik. Tapi setelah Uni Soviet runtuh, situasi ini memburuk. Situasi ini tergambarkan dari catatan perjalanan di bawah ini:
“Ratusan anak muda hilir mudik menjajakan dagangan cerutu, koran, dan bunga di jalanan Kuba. Bahkan ada yang menjadi tukang semir sepatu dan tukang asah gunting!
Kuba, khususnya Havana, hidup dalam kemiskinan yang parah (nampak dari maraknya pasar barang selundupan, kartu ransum, dan prostitusi). Bahkan jika Libreta hendak membantu warga Kuba untuk mencapai taraf hidup minimal, maka agenda pertama yang akan diberikan bagi sebagian besar Habaneros adalah makanan. Tanpa adanya Libreta, yaitu kartu ransum yang mengatur pembatasan jatah gas, beras, dan kopi, mustahil mereka mampu bertahan hidup.”
Selain itu, tekanan besar juga dirasakan ketika krisis 2008 melanda Amerika Serikat dimana perdagangan luar negeri mereka turun mencapai 38% serta mengalami defisit terbesar, sekitar 6,7% dari total PDB mereka. Untuk alasan ini, Kuba mengadakan pengurangan besar pada impor, khususnya pada makanan. Semenjak jatuhnya Uni Soviet, sekitar 80% dari produk makanan yang dikonsumsi Kuba dipenuhi dari impor, dan porsi yang cukup besar datang dari Amerika Serikat. Kondisi ini menciptakan tekanan tersendiri bagi pemerintahan Kuba serta merupakan ancaman terhadap hasil-hasil yang diperoleh dari Revolusi Kuba. Norma hubungan produksi kapitalis dan ekonomi terencana sosialis merupakan dua kecenderungan yang berbeda. Kedua kecenderungan ini saling berlawanan dan saling merasuki satu sama lain. Entah hubungan produksi kapitalis menang atas ekonomi terencana, atau sebaliknya, akan sangat ditentukan oleh perjuangan proletariat seluruh dunia.
Keterbelakangan sosialisme di Kuba bukanlah hasil langsung dari teori Marxis seperti yang menjadi hingar-bingar para akademisi dan pers borjuasi saat ini. Jauh dari itu, keterbelakangan ini adalah hasil langsung keterisolasian Kuba dengan dunia. Kita telah melihat bagaimana kerja sama mutual antara negeri-negeri sosialis jauh menciptakan keuntungan-keuntungan bagi negeri-negeri kecil―seperti hubungan Kuba dengan Uni Soviet―daripada kerja sama antara negeri-negeri kapitalis yang saling memangsa satu sama lain. Globalisasi dan kerja sama ekonomi bagi kelas kapitalis hanyalah ungkapan pemanis untuk menutupi nafsu predator mereka. Inilah kenyataannya dan mereka mencoba untuk ingkari dengan menyerang sosialisme secara membabi-buta. Inilah kepentingan mereka di balik segala hingar-bingar mereka selama ini mengenai Marxisme dan Komunisme.
Upaya untuk mendorong Kuba ke arah “Model Cina”, yakni ke arah restorasi kapitalis, telah menjadi diskusi yang umum di jajaran birokrat pemerintahan Kuba. Namun, seperti kita ketahui Cina dan Kuba memiliki perbedaan yang besar. Cina tidak bisa dibandingkan dengan Kuba yang memiliki populasi yang kecil. Cina memiliki populasi yang sangat besar di desa-desa dengan upah murah. Alasan inilah mengapa kelas kapitalis di Cina mampu bertahan dan meraih keuntungan besar-besaran selama bertahun-tahun. Alih-alih mencapai hasil yang sama dengan model kapitalis Cina, Kuba akan mendapati dirinya kembali pada tahun-tahun sebelum 1959, ketika Fulgencio Batista belum digulingkan, di mana kemiskinan, pengangguran, dan buta huruf merajalela.
Kampanye dan serangan yang dilakukan terus-menerus ini merupakan bentuk ketakutan mereka akan validitas Marxisme. Borjuasi dan para jurnalis bayaran mereka jauh lebih sadar akan hal ini. Sosialisme di Kuba, kendati dalam bentuknya yang terdistorsi, merupakan warisan paling berharga dari praktek Marxisme, untuk itu mereka berusaha mati-matian untuk menghapusnya dari sejarah. Tapi sejarah berkata lain, Revolusi Kuba tetap hidup meskipun berkali-kali percobaan pembunuhan terhadapnya.
Kematian Fidel Castro mungkin akhir dari sebuah bab dari Revolusi Kuba, tetapi jauh dari akhir dari seluruh kisah dari Revolusi Kuba yang masih menyala dan hidup. Tugas kaum revolusioner saat ini adalah bagaimana melanjutkan perjuangan Fidel, yakni membawa sosialisme ke muka bumi. Seperti yang coba dilakukan oleh Che Guevara ketika ia berangkat ke Bolivia untuk menyebarkan revolusi ke negeri tersebut – walaupun metode gerilya yang digunakannya sangatlah keliru, alih-alih mengorganisir aksi massa di kota-kota. Biarlah para anjing-anjing kelas penguasa berteriak dan mengutuki Revolusi Kuba, Marxisme dan Komunisme. Tapi kita sangat ingat dengan baik, apa yang dikatakan oleh kamerad Fidel: “Kutuklah aku. Tak masalah. Toh sejarah akan membebaskanku.”