Kemunculan tagar #indonesiabutuhkerja yang beberapa waktu lalu diviralkan para influencer menuai kecaman dari banyak rakyat pekerja. Tagar itu dinilai mendukung Omnibus Law yang merugikan buruh dan rakyat kecil lainnya. Kecaman juga meluas setelah Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan adanya anggaran influencer sebesar 90 milyar di beberapa kementrian.
Pengamat politik Djayadi Hanan merespons bahwa pemerintah sah-sah saja memanfaatkan influencer untuk mensosialisasikan program-program mereka. Di tempat terpisah, analis media sosial Ismail Fahmi menyiratkan hal serupa: “Semua orang ketika tidak melihat ada yang kurang, mendukung influencer pada awalnya. Namun, ketika ada satu, dua, yang bisa tunjukkin kekurangannya, itu bisa ramai-ramai menjadi serangan. Artinya, model media sosial itu bisa dikatakan gagasan yang unik, yang bisa menunjukkan benar dan salah, itu bisa sangat viral dan cerdas. Influencer itu di antara publik bisa jadi lebih cerdas. Mereka saling belajar, saling amplifikasi.” Jadi menurut Fahmi, media sosial memastikan keterbukaan informasi, di mana pertarungan gagasan dimenangkan dengan debat dan menjelaskan secara detail kepada masyarakat kenapa sebuah gagasan perlu didukung atau ditolak.
Terdengar sangat indah. Tapi, berbicara tentang influencer, tentang media sosial, tentang internet, tentu tak bisa lepas dari pertanyaan: kelas mana yang memegang kendali instrumen-instrumen ini? Apakah dengan demokrasi yang ada sekarang, apakah dengan mode produksi yang ada sekarang, keterbukaan informasi (digital) sudah benar-benar terwujud?
Keterbukaan informasi digital di era demokrasi borjuis
Menjawab pertanyaan apakah keterbukaan informasi digital sudah terwujud, kita cukup mengingat demonstrasi besar-besaran rakyat Papua di tahun 2019 di mana pemerintahan “demokratis” Indonesia memblokir internet di tanah Papua. Meskipun alasan yang diberikan adalah untuk mengantisipasi penyebaran hoax, tetapi yang pasti dengan pemblokiran ini keterbukaan informasi telah diberangus. Pemerintah telah membungkam kebenaran yang disuarakan rakyat Papua. Dari sini jelas terlihat bagaimana keterbukaan informasi yang dimungkinkan dengan adanya media sosial tidaklah memadai.
Di Amerika Serikat, merespons eskalasi demonstrasi anti rasisme, Facebook memblokir berbagai akun organisasi kiri anti rasisme dengan dalih akun-akun tersebut mengajak masyarakat untuk melakukan kekerasan. Meskipun Facebook juga memblokir akun-akun kanan yang rasis, tapi terlihat jelas bahwa memblokir akun-akun kiri adalah upaya untuk mengerem perjuangan rakyat AS sedemikian rupa agar jangan sampai mengancam tatanan yang ada.
Bahkan merespons Gerakan Anti Omnibus Law hari ini, polisi cyber disebar untuk menangkapi para aktivis anti Omibus Law yang aktif di media sosial.
Ya, media sosial dan internet akan dibuka sebebas-bebasnya selama para penggunanya tidak mengancam tatanan penguasa. Manakala para pengguna sudah mulai menyerang status quo, dengan ancaman yang nyata seperti di Amerika dan Papua, maka dengan sangat mudah demokrasi ini dibungkam. Dengan memiliki akses media sosial dan internet, penguasa sangat mudah membungkam suara kelas pekerja dan rakyat kecil. Hal ini dikarenakan, demokrasi yang berlaku di negara-negara “demokratis” termasuk Indonesia dan Amerika Serikat adalah demokrasi kelas borjuis.
Logika pasar dibalik konsumsi informasi digital
Penguasaan media sosial dan juga berbagai portal berita online dalam sistem kapitalisme bukan hanya memustahilkan keterbukaan informasi tapi juga mendikte konsumsi informasi di masyarakat. Media sosial dan berita online beroperasi tak jauh berbeda dari stasiun TV yang memberlakukan rating sebagai standar kelayakan sebuah tayangan. Semakin banyak penonton atau pembaca, semakin banyak iklan atau endorsement yang dipasang, maka semakin besar imbalan yang diberikan kepada pemilik akun/pembuat konten.
Mari kita bedah bagaimana mekanisme seperti ini menentukan jenis informasi yang dikonsumsi masyarakat. Data yang diperoleh media Tirto.id dari laman Social Blade menyebutkan, per Juli 2019, dari 100 Youtuber teratas Indonesia, genre terlaris antara lain:
Genre |
persentase |
|
1 |
Vlog (didominasi vlog keluarga) |
39% |
2 |
Game |
19% |
3 |
Music |
14% |
4 |
Informasi populer (semacam On The Spot di Trans7) |
11% |
5 |
Animasi |
3% |
6 |
Teknologi |
3% |
7 |
Mistis |
3% |
8 |
Kuliner |
2% |
9 |
Kecantikan |
2% |
10 |
DIY |
1% |
11 |
Prank/challenge |
1% |
12 |
Mainan |
1% |
Dari 10 Youtuber teratas Indonesia (berdasarkan jumlah subscriber), mayoritas bergenre vlog-family dan vlog-populer (semacam program On the Spot). Dan, kalau kita amati, vlog-family ini kontennya gado-gado mulai dari challenge, prank, gossip artis, hingga pamer harta. Dari survey Cheetah Global Lab, kategori konten digital yang paling diminati masyarakat Indonesia adalah kategori hiburan, terutama infotainment. Dan dari laman Accurate Partners, 10 selebgram terkaya di Indonesia mayoritas bergenre hiburan (Ria Ricis, Anya Geraldyn, Awkarin, Rachel Vanya, dst).
Dari data-data ini, kesan yang diperoleh adalah seolah masyarakat lebih menyukai konten ringan dibanding konten berbobot semata-mata karena mereka memang lebih suka hal-hal ringan. Ini seolah selera merekalah yang mendikte jenis tayangan. Tapi ini tidak sepenuhnya tepat. Mekanisme pasar media digital (baik berita online maupun media sosial) yang memberikan fee berdasarkan jumlah viewer pada akhirnya mendorong konten kreator untuk berlomba-lomba membuat konten ringan karena justru konten-konten ringanlah yang lebih mendatangkan uang, terlebih konten-konten ini disajikan secara gratis.
Sedangkan kreator-kreator yang masih mempertahankan idealisme mereka, pada akhirnya tersingkir akibat usaha mereka untuk mencari uang dari platform digital tidak membuahkan hasil. Modal yang mereka keluarkan untuk membuat konten berbobot jauh lebih besar dibanding pendapatan yang mereka hasilkan dari konten-konten itu. Maka akhirnya, kalau mereka masih ingin mencari penghidupan lewat platform digital mereka terpaksa harus menurunkan kualitas konten mereka. Dengan demikian, pada akhirnya media digital mengerucut pada konten-konten tak berbobot. Dari proses ini jugalah muncul para influencer yang sebetulnya sama sekali tidak memiliki kualifikasi untuk memberikan influence/pengaruh di masyarakat dalam masalah politik dan ekonomi seperti Omnibus Law.
Influencer, konten berita, dan ideologi borjuis
Dalam “Sebuah Sumbangan untuk Kritik Terhadap Ekonomi Politik,” Marx menulis “Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya, tetapi, sebaliknya, keberadaan sosial mereka (yang) menentukan kesadaran mereka.” Artinya, kesadaran seseorang dan pola pikirnya bukanlah murni hasil dari buah pikirnya sendiri, melainkan dibentuk oleh masyarakat di mana dia hidup. Dan, kita hidup di dalam masyarakat yang didominasi corak produksi kapitalisme, maka cara pandang yang mendominasi adalah yang mendukung dan menopang keberadaan kapitalisme.
Corak produksi kapitalisme adalah corak produksi di mana masyarakat terbagi menjadi 2 kelas utama, yakni kelas kapitalis dan kelas proletar/buruh. Kapitalis menguasai pabrik-pabrik, tanah-tanah luas, dan mesin-mesin produksi, di mana dengan semua itu mereka memproduksi barang-barang untuk dijual. Sedangkan buruh tidak memiliki apapun kecuali kemampuan kerja. Satu-satunya cara agar mereka bisa bertahan adalah dengan menjual kemampuan kerjanya kepada kelas kapitalis. Hanya dengan mempekerjakan kelas buruh-lah kelas kapitalis mampu menghasilkan dan melipatgandakan laba. Tanpa adanya kelas buruh, maka kelas kapitalis hanya bisa mengakumulasi uang dengan menabung, bukan melipatgandakan uang yang dimiliki. Inilah rahasia kekayaan kelas kapitalis. Tapi rahasia ini disimpan rapat sedemikian sehingga mayoritas masyarakat tidak mengetahui dan memahaminya. Masyarakat melihat hubungan buruh-pengusaha sebagai hubungan yang simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan. Karena, seperti itulah yang tampak di hadapan mereka. Bahkan, seringkali kelas buruh tampak jauh lebih membutuhkan kelas kapitalis dibanding kelas kapitalis membutuhkan buruh. Kapitalis-lah yang dijunjung tinggi dalam masyarakat sebagai pencipta kekayaan, inovator, penggerak ekonomi dan penyedia lapangan pekerjaan. Apa yang baik bagi kapitalis, baik pula bagi seluruh masyarakat.
Dan influencer serta para penulis berita online yang juga lahir, hidup, dan dibesarkan di masyarakat ini pun, pandangan, pemikiran, dan pola pikirnya juga dibentuk oleh kelas yang dominan, yakni kelas kapitalis. Sekalipun kelas kapitalis tidak sengaja menanamkan pandangan-pandangan mereka pada para influencer dan penulis berita ini, tapi para influencer dan penulis berita pemikirannya akan tetap dibentuk oleh pemikiran yang khas masyarakat kapitalis. Inilah mengapa mereka bersedia dibayar untuk mengajak masyarakat menerima Omnibus Law.
Hari ini, kelas pekerja masih bisa mendesak sejumlah influencer untuk menghapus tagar #indonesiabutuhkerja, atau mengkritik para influencer ini. Tapi kelas pekerja tak mungkin bisa memantau 24 jam mana saja konten influencer dan berita online yang merugikan mereka. Celakanya, para influencer dan portal berita online ini jauh lebih dikenal dibanding media-media kelas pekerja akibat logika pasar tadi. Belum lagi, sewaktu-waktu negara juga bisa memberangus media kelas buruh kalau media-media itu mengancam eksistensi kapitalisme.
Sosialisme untuk keterbukaan informasi yang sejati
Selama masih ada kelas-kelas dalam masyarakat, maka keterbukaan informasi yang sepenuhnya tidak akan pernah terwujud. Kelas yang dominan akan selalu mendikte jenis informasi yang beredar di masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung. Dalam masyarakat hari ini, kapitalis adalah kelas yang menguasai informasi. Agar bisa mewujudkan keterbukaan informasi yang sejati, kelas-kelas di masyarakat harus lenyap. Dan ini hanya bisa dilakukan dengan menghancurkan tatanan kapitalisme dan menggantinya dengan sosialisme.
Sosialisme adalah tatanan masyarakat di mana alat-alat produksi (termasuk juga alat produksi informasi, telekomunikasi, dsb.), tanah, dan perbankan dikuasai secara bersama bukan untuk kepentingan profit melainkan untuk kepentingan seluruh rakyat. Dan satu-satunya kelas yang mampu mewujudkan tatanan ini adalah kelas pekerja, karena kelas pekerjalah yang hari ini bersinggungan langsung dengan alat produksi. Kelas pekerja juga memiliki kepentingan yang bertentangan dengan kapitalis. Demi melancarkan kepentingannya, kelas pekerja harus menguasai pabrik-pabrik beserta mesin-mesinnya, bank-bank, juga kendali internet, media sosial, portal berita, maupun stasiun TV ke tangan mereka. Semua tuas ekonomi inilah yang menjadikan kapitalis dominan.
Kelas pekerja menyadari bahwa kepentingannya bukanlah untuk mendapatkan profit.
Untuk itu penguasaan pabrik-pabrik, mesin-mesin, dan media-media di tangan kelas buruh harus dijalankan secara demokratis dan terencana untuk kepentingan seluruh rakyat. Kekayaan yang tercipta bukan untuk segelintir pemilik modal, tetapi untuk kesejahteraan seluruh rakyat. Pabrik-pabrik yang dikuasai buruh menjadi hak milik bersama seluruh rakyat dan digunakan bersama-sama untuk kepentingan seluruh rakyat.
Untuk itu, buruh harus membangun pemerintahan buruh yang demokratis yang bertugas untuk merencanakan perekonomian skala nasional, di mana semua pabrik, bank-bank, dan media-media yang dikuasai buruh harus terintegrasi dengan pemerintahan ini. Pemerintahan pekerja yang terdiri dari kaum buruh itu sendiri berkumpul secara berkala dalam sebuah kongres untuk mendiskusikan dan membuat rencana ekonomi setahun ke depan. Di sini, pemerintahan buruh memikirkan bagimana agar kebutuhan seluruh rakyat satu tahun ke depan bisa dipenuhi. Di kongres ini juga didiskusikan bagaimana internet, media sosial, portal media online, dan statiun TV dijalankan sedemikian rupa untuk kepentingan rakyat.
Dengan penguasaan internet, media sosial, dan portal berita di tangan kelas pekerja, mekanisme pasar dan fee dihapus. Tanpa fee, motif untuk memproduksi konten-konten sampah pun lenyap. Masyarakat akan menggunakan media untuk mengekspresikan karya-karya yang berkualitas. Idealisme mereka yang awalnya tergadai kebutuhan mencari sesuap nasi kini mereka dapatkan kembali.
Penguasaan ekonomi di tangan kelas pekerja akan memenuhi semua kebutuhan hidup mereka, sehingga mereka tidak perlu lagi membuat konten dengan motif memenuhi kebutuhan hidup. Kini, mereka bisa memproduksi konten sesuai tujuan idealis mereka: entah demi seni, pengetahuan, edukasi, dst. Mereka bebas berkreasi tanpa takut kontennya tak menghasilkan uang.
Dengan penguasaan yang demokratis atas media, masyarakat sosialis yang baru ini dapat secara efektif dan serius memerangi berita hoax, distorsi, konten-konten kebencian, diskriminasi SARA, pornografi, dsb., yang kini memenuhi kanal-kanal media. Sampai hari ini kelas penguasa tidak pernah serius memerangi berita-berita hoaks yang sarat dengan prasangka-prasangka SARA karena memecah belah rakyat pekerja adalah hal yang menguntungkan.
Namun, yang terpenting, tidak ada lagi monopoli media oleh segelintir konglomerat yang menentukan isi berita yang diakses masyarakat; tidak ada lagi segelintir pemilik modal yang menguasai akses media sosial. Penggunaan media menjadi bebas dan demokratis, karena dimiliki oleh seluruh rakyat pekerja. Influencer-influencer tidak akan lagi mendominasi kanal-kanal media hanya karena mekanisme pasar atau popularitas komersial mereka, atau karena mereka disokong oleh dana miliaran rupiah. Mereka akan dinilai oleh masyarakat lewat gagasan mereka semata.
Dengan sosialisme, untuk pertama kalinya potensi internet dan media sosial dapat dimaksimalkan, sehingga dapat membebaskan umat manusia dari kebodohan dan keterbelakangan. Keterbukaan informasi akan tercapai sepenuhnya karena tidak ada lagi kepentingan ekonomi kapitalis yang mengekangnya.