facebooklogocolour

download 2Pernyataan kami berikut ini menyatakan solidaritas kami terhadap rakyat Palestina, dan menjawab kemunafikan menjijikkan dari imperialisme barat dan antek-anteknya, yang mendukung negara reaksioner Israel ketika melancarkan pembalasan berdarah terhadap Gaza, menyusul serangan mendadak Hamas pada 7 Oktober. Kami juga menjelaskan mengapa kebebasan bagi Palestina hanya dapat dicapai melalui cara-cara revolusioner dan menggulingkan kapitalisme di seluruh kawasan Timur Tengah.

Serangan kilat yang dilancarkan Hamas pada Sabtu 7 Oktober menimbulkan gelombang kejutan di seluruh dunia. Ini langsung ditanggapi dengan kecaman keras dari pemerintah Barat.

Serangan itu langsung disajikan oleh media sebagai aksi barbar yang paling mengerikan. Opini publik dipersiapkan oleh apa yang disebut “pers bebas” untuk memihak dalam konflik tersebut, yang, seperti biasa, digambarkan sebagai pertempuran antara Kekuatan Baik versus Kekuatan Jahat.

Dalam komedi ini, peran diputar balik. Korban menjadi agresor, dan agresor menjadi korban. Kebohongan ini disertai dengan arus kecaman moral yang terus-menerus disiarkan oleh media, yang mengecam kekerasan, pembunuhan, dan segala atribut keji terorisme lainnya.

Di Washington, menurut New York Times, Presiden Biden “sangat marah” dan menggambarkan tindakan tersebut sebagai “kejahatan setan murni”, dan bersumpah dengan tegas untuk mendukung Israel melawan terorisme.

Presiden negara terkaya dan terkuat di dunia segera mengumumkan bahwa AS akan mempercepat pengiriman senjata dan amunisi ke Israel, serta mengirimkan kapal induk terbaru dan tercanggihnya, lengkap dengan pesawat tempurnya, ke Mediterania Timur.

Kaum munafik imperialis dan relativitas moral

Pembunuhan terhadap manusia adalah sesuatu yang secara alami menimbulkan perasaan jijik pada kebanyakan orang. Kita terus-menerus diingatkan akan perintah Alkitab: “jangan membunuh.”

Perintah ini sekilas mempunyai karakter yang mutlak. Namun, jika dicermati lebih dekat, menjadi jelas bahwa penolakan kelas penguasa dan media borjuis terhadap kekerasan dan pembunuhan sama sekali tidak mutlak, melainkan relatif.

Ketika rakyat jelata mengungkapkan kengerian dan kemarahan mereka atas kekejaman yang mereka baca di media, itu adalah reaksi manusiawi yang normal yang dapat kita pahami dan maklumi.

Namun ketika kata-kata yang sama diucapkan oleh seorang presiden Amerika, yang tangannya berlumuran darah orang-orang tak berdosa yang tak terhitung jumlahnya, kita hanya bisa mengangkat bahu dan berpaling dengan rasa jijik.

Para bajingan imperialis ini, yang berpura-pura terkejut dengan kekerasan, telah berulang kali melancarkan perang agresi yang kejam. Mereka tidak segan-segan meluncurkan perang berdarah ke Irak dan Afghanistan yang berlangsung selama dua dekade, yang menewaskan ratusan ribu warga sipil. Mereka membom Libya, Suriah, Sudan, Serbia, tanpa mempedulikan warga sipil yang tidak bersalah.

Kasus yang paling mengerikan akhir-akhir ini adalah perang barbar terhadap rakyat Yaman, salah satu negara termiskin di dunia, yang dilancarkan oleh Arab Saudi dengan dukungan penuh, keterlibatan dan partisipasi aktif dari Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara imperialis lainnya.

Jika ada perang yang dapat digambarkan sebagai genosida, maka Yaman adalah salah satunya. Menurut PBB, lebih dari 150.000 orang telah terbunuh di Yaman, dan diperkirakan lebih dari 227.000 orang tewas akibat kelaparan parah yang sengaja diciptakan oleh Saudi dan sekutunya, yang juga bertanggung jawab atas kehancuran rumah sakit dan fasilitas kesehatan.

Namun di manakah kutukan atas kebiadaban ini? Di manakah protes dari Washington dan London? Di manakah berita utama yang meneriakkan “terorisme”? Mereka diam, karena pemerintah Barat secara aktif terlibat dalam perang pemusnahan terhadap rakyat miskin dan tertindas.

Mereka tidak punya hak untuk mengeluhkan kekerasan, atau menuduh siapa pun melakukan “terorisme”. Jika menyangkut perang, tidak ada gunanya menggunakan pertimbangan moral atau kemanusiaan. Perang adalah tentang membunuh orang. Dan tidak pernah ada perang humanis dalam sejarah.

Itu hanyalah ungkapan sinis, yang saat ini digunakan oleh para agresor untuk membenarkan agresi mereka di hadapan publik.

Gaza dan Ukraina, atau relativitas “hak membela diri”

Mengenai apa yang disebut hak Israel untuk membela diri, di sini sekali lagi kita melihat standar ganda imperialisme Barat. Ketika menyangkut Ukraina, mereka mempersenjatai Ukraina dengan sekuat tenaga untuk melawan Rusia, dengan alasan bahwa bangsa yang diokupasi mempunyai hak untuk melawan.

Namun jika menyangkut warga Palestina, tiba-tiba hak tersebut hilang sama sekali. Alih-alih membela kaum tertindas, kaum imperialis malah mempersenjatai dan menyuplai kaum penindas. Jelas sekali hak untuk menentukan nasib sendiri tidak berlaku bagi semua orang!

Mengikuti logika imperialisme yang keji, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky membandingkan invasi Rusia ke negaranya dengan Hamas, dan menambahkan suara kecilnya yang serak ke dalam paduan suara membela “hak membela diri” Israel! Apakah kita memerlukan bukti lagi mengenai sifat reaksioner sosok ini?

Bisa ditebak, Zelensky menuduh Rusia menginginkan perang di Timur Tengah untuk melemahkan dukungan internasional terhadap Ukraina, dalam komentar yang mencerminkan kekhawatiran bahwa perang antara Israel dan Hamas dapat mengalihkan perhatian dari perang Ukraina.

“Rusia tertarik untuk memicu perang di Timur Tengah, sehingga sumber penderitaan dan kesengsaraanbaru dapat merusak persatuan dunia, meningkatkan konflik dan kontradiksi, dan dengan demikian membantu Rusia menghancurkan kebebasan di Eropa,” katanya.

Zelensky adalah orang yang putus asa, yang akan melakukan apa pun yang menurutnya dapat mengamankan aliran senjata dan uang, ketika Ukraina menderita kekalahan telak di medan perang dan ada tanda-tanda jelas goyahnya dukungan di antara sekutunya, termasuk AS, Slovakia, dan Polandia.

Balas dendam

Ketika seseorang telah menerima teori relativitas yang diterapkan pada moralitas, maka akan menjadi mudah untuk membenarkan pembunuhan – asalkan dilakukan oleh “pihak kita”. Kita melihat relativitas moral yang nyaman ini diterapkan saat ini.

Tanggapan Israel terhadap serangan Hamas pada hari Sabtu sangat cepat dan brutal. Benjamin Netanyahu telah menyatakan bahwa Israel sedang berperang. Dia telah berjanji untuk menjadikan Gaza sebagai “pulau yang kosong”.

Jet tempur telah menggempur wilayah yang diduduki, merobohkan gedung-gedung tinggi di daerah pemukiman, menghantam sekolah, rumah sakit, dan masjid tanpa pandang bulu.

Sebuah sekolah yang dikelola oleh Badan PBB untuk Pengungsi Palestina, di mana tidak ada “militan”, menerima serangan langsung. Dan banyak blok perumahan yang menjadi sasaran, tanpa peringatan sebelumnya.

Israel terus menggempur Gaza dengan serangan udara, membuat banyak bangunan menjadi puing-puing. Para pejabat di Gaza mengatakan rumah sakit dan sekolah terkena serangan, dan 900 warga Palestina telah terbunuh, termasuk 260 anak-anak [Ini statistik pada 11 Oktober. Statistik korban terbaru, tertanggal 20 Oktober: 4000 rakyat Palestina telah terbunuh, termasuk 1400 anak, dengan lebih dari 15.000 luka-luka]

Semua ini tidak ada hubungannya dengan pembelaan diri, tapi semuanya berkaitan dengan rasa haus akan balas dendam. Bukan kali ini saja negara Israel berupaya menghukum rakyat jelata Gaza atas tindakan para pemimpinnya, dengan sengaja menyasar warga sipil.

Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant memerintahkan “pengepungan total” terhadap Jalur Gaza: “Saya telah memerintahkan pengepungan total terhadap Jalur Gaza. Tidak akan ada listrik, tidak ada makanan, tidak ada bahan bakar, semuanya ditutup.”

Merampas makanan, air dan listrik bagi laki-laki, perempuan dan anak-anak seharusnya merupakan kejahatan di bawah “hukum internasional”. Bahkan PBB yang menyedihkan itu pun merasa perlu untuk mengingatkan Israel akan detail kecil ini. Tetapi ini tidak akan digubris.

“Manusia binatang”

Dan bagaimana mereka membenarkan semua ini? Sangat sederhana.

Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant menyatakan hal ini dengan jelas ketika dia mengatakan: “Kami memerangi manusia binatang dan kami bertindak sesuai dengan fakta tersebut.”

Kita mengenal bahasa itu. Sudah menjadi praktik umum kaum imperialis untuk membenarkan pembantaian dengan mendehumanisasi musuh mereka. Jika kita menerima bahwa musuh kita bukanlah manusia seperti kita, melainkan hanya binatang, kita merasa berhak memperlakukan mereka sesuka kita.

Mari kita ingatkan diri kita sendiri bahwa selama berpuluh-puluh tahun, orang Yahudi tidak dianggap sebagai manusia, melainkan sebagai sub-manusia. Itu berarti mereka bisa dipukuli, dibuat lapar, dan dibunuh. Siapa yang peduli? Bagaimanapun, mereka “hanya binatang”, atau “manusia binatang”. Perbedaannya murni semantik.

Namun penduduk Gaza bukanlah binatang. Mereka adalah manusia, sama seperti penduduk Israel adalah manusia. Dan semua umat manusia berhak untuk diperlakukan sama.

Paduan suara orang-orang munafik

Seolah-olah direncanakan bersama, para pemimpin politik di seluruh dunia dengan serentak dan tergesa-gesa mendeklarasikan dukungan tanpa syarat mereka terhadap “hak Israel untuk membela diri”. Politisi kanan dan ‘kiri’, Partai Republik dan Demokrat, semuanya bernyanyi dengan lantang dari buku himne yang sama.

Media yang sama yang tetap bungkam mengenai kejahatan imperialisme juga sangat lalai dalam melaporkan kejahatan teror yang dilakukan negara Israel terhadap warga Palestina selama beberapa dekade. Rakyat Palestina telah menjadi korban provokasi kekerasan yang terus-menerus dilakukan oleh pemukim Yahudi sayap kanan.

Propaganda ini dimaksudkan untuk memberikan dukungan material bagi hak Israel untuk “membela diri” dengan menghancurkan sebidang tanah kecil yang dihuni oleh dua setengah juta orang miskin. Gaza telah digambarkan sebagai penjara terbuka terbesar di dunia.

Seluruh kubu imperialis berdiri di belakang Israel yang bergerak untuk membantai warga Palestina di Gaza. Dan jika bom, peluru artileri, dan rudal tidak membunuh cukup banyak warga Palestina, Uni Eropa berencana memusnahkan lebih banyak lagi dengan kelaparan.

Uni Eropa mengumumkan bahwa mereka menangguhkan bantuan keuangan kepada Palestina, yang sangat mereka andalkan untuk kelangsungan hidup mereka. Keputusan tersebut sangat memalukan sehingga kemudian dibatalkan.

Dalam beberapa baris kalimat saja, kita saksikan esensi utama dari “peradaban barat”.

Tidak mengherankan jika para pemimpin sayap kanan “Buruh” seperti Sir Keir Starmer di Inggris segera menambahkan suara melengking mereka pada paduan suara munafik ini. Tuan dan nyonya ini sudah lama menjual jiwa mereka kepada Iblis. Mereka hanyalah agen imperialisme.

Namun kaum reformis sayap kanan bukanlah satu-satunya. Yang memalukan, banyak reformis 'kiri' yang ikut serta dalam kecaman tersebut (Sanders, Ilhan Omar, AOC, Partai 'Komunis' Prancis, dan lain-lain.)

Bukan untuk pertama kalinya, sayap kiri ini menunjukkan sikap pengecut dan tidak punya prinsip. Mereka segera menyerah di bawah tekanan media massa kapitalis dan opini publik borjuis dan akhirnya mengikuti garis kelas penguasa.

Kami tidak akan bergabung dengan paduan suara munafik dari kaum imperialis dan pengikut mereka.

Dimana kami berdiri?

Dalam setiap perang, pihak-pihak yang berperang selalu menggunakan cerita-cerita kekejaman – baik yang nyata maupun yang dibuat-buat – untuk membenarkan tindakan kekerasan dan pembunuhan mereka. Sikap Marxis terhadap perang tidak boleh didasarkan pada propaganda sensasional yang digunakan secara sinis untuk memberikan pembenaran pada satu pihak atau pihak lain. Perang juga tidak bisa dibenarkan berdasarkan siapa yang menyerang terlebih dahulu. Sikap kita terhadap perang harus didasarkan pada alasan lain.

Posisi kami sangat sederhana:

Dalam setiap perjuangan, kami akan selalu berpihak pada rakyat miskin yang tertindas, tidak pernah berpihak pada penindas yang kaya dan berkuasa.

Dalam kasus ini, pertanyaan yang harus diajukan adalah: siapakah yang menindas dan siapakah yang tertindas? Apakah orang-orang Palestina yang menindas Israel? Tidak ada orang waras yang mempercayai hal itu.

Bukan orang-orang Palestina yang menduduki tanah yang bukan milik mereka dan menguasainya secara paksa. Bukan mereka yang mengusir pemukim Israel dari tanah yang mereka duduki selama beberapa generasi, namun justru sebaliknya.

Bukan mereka yang mengabaikan hak-hak dasar warga negara Israel, atau menerapkan blokade brutal dan merendahkan mereka menjadi kaum paria di tanah air mereka sendiri.

Perlukah mengingat daftar panjang kejahatan yang dilakukan negara reaksioner Israel terhadap Palestina?

Kami tidak mempunyai ruang untuk menyebutkan kejahatan-kejahatan ini, yang terus berlanjut, hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun, dan menjadikan kehidupan orang-orang Palestina seperti neraka.

Rakyat Palestina telah direduksi menjadi budak. Dan para budak, ketika semua haknya dirampas, hanya dapat menggunakan satu hak yang tersisa: hak untuk memberontak.

Sepanjang sejarah, pemberontakan budak biasanya disertai dengan tindakan kekerasan ekstrem, yang hanya mencerminkan penindasan ekstrem yang mereka derita di tangan pemilik budak.

Ini adalah fakta yang disesalkan. Namun hal ini tidak membebaskan kita dari kewajiban membela pemberontakan para budak melawan pemilik budak. Marx membahas pertanyaan ini dalam sebuah artikel yang ditulis pada 1857, di mana ia menjawab artikel-artikel di pers Inggris yang mengutuk kekejaman yang dilakukan rakyat India selama pemberontakan India melawan Inggris:

“Kekejaman yang dilakukan oleh para pemberontak Sepoy di India sungguh mengerikan, buruk, tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata – seperti yang siap dihadapi – hanya dalam perang pemberontakan, perang kebangsaan, ras, dan terutama agama; dalam satu kata, seperti orang-orang Inggris yang terhormat biasanya bertepuk tangan ketika dilakukan oleh orang-orang Vendean di “Blues,” oleh gerilyawan Spanyol terhadap orang-orang Prancis yang tidak setia, oleh orang-orang Serbia terhadap tetangga mereka di Jerman dan Hongaria, oleh orang-orang Kroasia terhadap para pemberontak di Wina, oleh Garde Mobile yang dipimpin Cavaignac atau pasukan Desembris Bonaparte terhadap kaum proletar Prancis.

“Betapapun kejamnya tindakan pasukan Sepoy, itu hanyalah refleksi, dalam bentuk terkonsentrasi, tindakan Inggris di India, tidak hanya selama masa berdirinya Kerajaan Timurnya, namun bahkan selama sepuluh tahun terakhir. Untuk mencirikan kekuasaan Inggris di India, cukuplah dikatakan bahwa penyiksaan merupakan bagian organik dalam kebijakan finansialnya. Dalam sejarah manusia, ada itu retribusi: dan sudah menjadi hukum sejarah bahwa senjata retribusi tersebut tidak ditempa oleh kaum tertindas, namun oleh kaum penindas itu sendiri.” (Karl Marx, The Indian Revolt)

Apakah kita mendukung Hamas?

Musuh kami akan berkata: maka Anda mendukung Hamas. Terhadap tuduhan ini kami akan menjawab: kami tidak pernah mendukung Hamas. Kami tidak menganut ideologi yang sama, kami juga tidak menerima metode yang digunakannya.

Kami adalah Marxis dan mempunyai gagasan, program dan metode kami sendiri, berdasarkan perjuangan kelas antara kaya dan miskin, penindas dan tertindas. Inilah yang menentukan sikap kita dalam setiap hal.

Namun perbedaan kita dengan Hamas, meskipun mendasar, tidak terlalu mendasar dibandingkan dengan perbedaan yang memisahkan kita dari imperialisme AS – kekuatan paling reaksioner di planet ini – dan kaki tangan kejahatannya, yaitu kelas penguasa Israel.

Kritikus kami akan bertanya: apakah Anda setuju dengan pembunuhan begitu banyak warga sipil tak berdosa? Kami akan menjawab bahwa kami tidak pernah menganjurkan hal-hal seperti itu. Kami juga tidak menganjurkan metode seperti itu.

Tugas pertama kita, mengutip Spinoza, bukanlah menangis atau tertawa, tapi memahami. Pertimbangan moral sama sekali tidak berguna untuk menjelaskan apa pun. Untuk memahami apa yang terjadi, kita perlu mengajukan pertanyaan dengan cara yang berbeda: apa yang menyebabkan serangan Hamas?

Bisakah ini dipisahkan dari penindasan, kekerasan, dan pendudukan Palestina selama berpuluh-puluh tahun yang dilakukan oleh negara reaksioner Israel?

Tentu saja tidak.

Israel adalah negara yang kuat dan kaya yang selama beberapa dekade telah merampas dan menindas rakyat Palestina dengan kombinasi kekerasan brutal dan kekuatan ekonomi.

Dan kita juga harus melihat rangkaian peristiwa yang mengarah langsung pada situasi saat ini. Itu tidak jatuh dari langit biru cerah, seperti yang digambarkan media.

Pengkhianatan

Kaum imperialis menjanjikan keadilan bagi Palestina – jika saja mereka mau menunggu lebih lama lagi. Namun mereka telah menunggu dan menunggu dan satu-satunya hasil yang mereka terima adalah semakin hancurnya tanah air mereka dan semakin hilangnya hak-hak mereka.

Ketika kesabaran kaum tertindas habis, cepat atau lambat mereka akan menyerang penindasnya. Pada saat seperti ini, ekses dan kebrutalan pasti akan terjadi. Hal ini tentu saja patut disesalkan. Namun sebenarnya siapa yang bertanggung jawab?

Jika seorang laki-laki atau perempuan melakukan pembunuhan berdarah dingin, tidak diragukan lagi itu adalah kejahatan dan akan dihukum demikian.

Namun jika seorang perempuan menjadi sasaran kebrutalan yang kejam selama bertahun-tahun oleh suaminya dan suatu hari berbalik melawan penyiksanya dan membunuhnya, kebanyakan orang akan mengatakan bahwa kita harus mempertimbangkan keadaan perempuan tersebut.

Mari kita kembali ke kasus ini. Beberapa minggu sebelum serangan Hamas, provokasi terus-menerus dilakukan oleh kaum Yahudi fanatik. Mereka menyerbu kompleks Masjid Al-Aqsa, salah satu tempat paling suci di dunia Islam. Mereka bertindak di bawah perlindungan polisi dan militer.

Provokasi

Netanyahu bersekutu dengan kelompok sayap kanan Zionis, yang beberapa di antaranya secara terbuka adalah fasis. Tujuan mereka adalah untuk memprovokasi Nakba baru – yaitu, secara fisik mengusir warga Palestina dari tanah tempat mereka tinggal sekarang, dimulai di Yerusalem dan Tepi Barat.

Kebijakan ini bukanlah hal baru, namun telah dieskalasi dalam beberapa bulan terakhir. Para pemukim, yang sebagian besar didatangkan dari AS dan direkrut dari kalangan fundamentalis agama yang paling ekstrem, telah membangun permukiman di Tepi Barat.

Wilayah ini dihubungkan oleh jaringan jalan yang dilindungi militer, yang membelah wilayah yang secara resmi berada di bawah kendali wilayah Palestina.

Para pemukim yang reaksioner merasa berani dan dilindungi oleh pemerintah ultra-nasionalis Israel.

Geng-geng bersenjata pemukim fanatik telah melakukan pogrom terhadap warga Palestina dengan dukungan terbuka atau terselubung dari tentara dan polisi Israel. Perampasan tanah ini dianggap ilegal menurut “hukum internasional”. Namun semua resolusi saleh yang disahkan oleh PBB dalam ritual yang tidak berarti tidak melakukan apa pun untuk menghentikan tindakan kriminal ini.

Dalam kondisi seperti ini, tidak ada yang terkejut jika rakyat Palestina melakukan perlawanan. Rakyat yang tertindas punya hak untuk melawan.

Orang-orang munafik akan berpendapat bahwa kedua belah pihak harus disalahkan karena sama-sama menggunakan kekerasan. Secara formal, pernyataan ini benar. Namun kontennya pada dasarnya salah. Kekerasan yang satu tidak bisa disamakan dengan kekerasan yang lain. Sama sekali tidak ada kesetaraan antara kedua belah pihak .

Di satu sisi, kita saksikan sebuah negara kapitalis modern yang maju, dilengkapi dengan senjata nuklir, jet tempur yang dipersenjatai dengan rudal yang kuat, teknologi canggih dan peralatan pengawasan, yang mengandalkan dukungan material dan finansial penuh dari negara imperialis paling kuat di dunia.

Di sisi lain, kita melihat rakyat Palestina yang tertindas, berperang dengan senjata apa pun yang bisa mereka dapatkan

Bila kita terkejut dengan kejadian baru-baru, ini sebenarnya sangatlah bodoh. Dengan keadaan seperti ini, ledakan besar tidak dapat dihindari, meskipun kapan dan bagaimana ini tidak dapat diperkirakan, bahkan oleh dinas rahasia Israel sekalipun.

Israel dipermalukan

Kita perlu melakukan pendekatan terhadap perang berdasarkan fakta yang ada, dan tidak memperkenalkan pertimbangan-pertimbangan eksternal yang asing bagi perang. Apa yang menimbulkan kemarahan di kalangan penguasa Israel bukanlah jumlah orang yang kehilangan nyawa. Kekhawatiran mereka murni bersifat praktis.

Dari sudut pandang militer saja, serangan Hamas berhasil. Serangan kilat yang tak terduga ini benar-benar mengejutkan badan intelijen Israel yang sangat dibanggakan. Kelompok komando bersenjata lengkap menembus pertahanan Israel, menerobos garis perbatasan yang seharusnya tidak dapat ditembus dan menimbulkan kerugian besar pada pasukan Israel.

Ketika ini diketahui, ini menimbulkan gelombang kepanikan dan ketakutan di Israel, dimana masyarakatnya telah terbuai oleh pemerintah dengan keyakinan bahwa mereka dilindungi oleh garis pertahanan yang kebal. Dalam semalam, kepercayaan masyarakat terhadap mitos kekebalan Israel hancur. Fakta ini akan memiliki konsekuensi yang tak terhitung di masa depan.

Sebaliknya, berita tentang serangan itu dirayakan di jalan-jalan di banyak ibu kota Arab. Massa merayakan kenyataan bahwa, pada akhirnya, negara Israel yang perkasa mengalami kekalahan yang memalukan. Dibandingkan dengan fakta ini, semua pertimbangan lain tampaknya tidak terlalu penting.

Netanyahu merasa sangat percaya diri karena ia mendapat dukungan kuat dari imperialisme AS, yang memasok Israel dengan dolar dalam jumlah tak terbatas dan senjata mematikan.

Mereka telah memindahkan kedutaan mereka ke Yerusalem – sebuah tamparan bagi seluruh rakyat Palestina. Presiden Trump mengambil keputusan provokatif itu. Namun Presiden Biden belum membatalkannya. Ia sangat ingin mengamankan suara warga Amerika-Yahudi pada pemilu tahun depan, serta mempertahankan salah satu dari sedikit sekutu AS yang masih tersisa di wilayah tersebut.

Perdamaian atau kekerasan?

Musuh kita sering kali menyerang kita dengan pertanyaan: apakah Anda mendukung kekerasan?

Menjawab secara negatif saja tidak ada gunanya. Kita harus menjelaskan keadaan konkrit di mana kekerasan digunakan: untuk tujuan apa? Dan untuk kepentingan siapa? Tanpa informasi tersebut, sangat mustahil memberikan jawaban yang akurat. Itulah yang terjadi di setiap konflik, dan hal yang sama juga terjadi saat ini.

Banyak dari kelompok “kiri” (seperti biasa) membatasi diri mereka pada kecaman terhadap kekerasan secara umum , menyerukan “penyelesaian secara damai” melalui “negosiasi” dan intervensi “lembaga internasional”. Tapi ini adalah kebohongan dan penipuan.

Selama 75 tahun, telah terjadi perundingan yang tiada habisnya dan ini tidak memberikan kemajuan sedikitpun terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina. Selama beberapa dekade, PBB telah mengeluarkan banyak resolusi yang mengutuk pendudukan Israel di wilayah Palestina pada tahun 1967, namun tidak ada yang berubah. Faktanya, situasinya menjadi jauh lebih buruk.

Meningkatnya konflik saat ini sebenarnya merupakan akibat dari kegagalan total Perjanjian Oslo. Gagasan untuk mendirikan negara Palestina di samping Israel di atas basis kapitalisme pasti akan gagal, seperti yang telah kami peringatkan pada saat itu.

Tujuan Israel dalam Perjanjian Oslo adalah untuk menyerahkan tugas mengawasi rakyat Palestina kepada Otoritas Nasional Palestina, yang dipimpin oleh kaum nasionalis borjuis Fatah, yang benar-benar mengalami demoralisasi dan secara organik tidak mampu memajukan perjuangan pembebasan nasional Palestina.

Selama 30 tahun terakhir telah terungkap kegagalan besar solusi dua negara yang diterapkan oleh imperialisme AS dan kapitalisme Israel terhadap Palestina.

Tidak mengherankan jika dalam jajak pendapat baru-baru ini, 61 persen warga Palestina mengatakan bahwa keadaan mereka lebih buruk dibandingkan sebelum Oslo, dan 71 persen mengatakan bahwa penandatanganan perjanjian tersebut merupakan suatu kesalahan.

Meskipun demikian, kelompok pasifis kiri yang putus asa berpendapat bahwa Palestina seharusnya hanya menggunakan cara perjuangan damai. Namun ketika mereka mencoba melakukan hal ini, apa hasilnya?

Protes massa pada 2018 (The March of Return) dilakukan oleh warga sipil tak bersenjata. Tentara Israel menggunakan peluru tajam yang menewaskan ratusan orang dan melukai lebih dari sepuluh ribu orang, termasuk anak-anak, wanita, jurnalis, dan petugas medis.

Inilah yang meyakinkan rakyat Palestina bahwa satu-satunya jalan ke depan adalah menghadapi kekerasan dengan kekerasan. Kita mungkin menyesali fakta ini, tapi ini adalah satu-satunya kesimpulan yang bisa diambil oleh rakyat Palestina. Dan itu 100 persen menjadi tanggung jawab negara Israel dan pendukung imperialisnya.

Berdasarkan jajak pendapat yang sama, 71 persen percaya solusi dua negara tidak lagi praktis karena perluasan pemukiman Yahudi, 52 persen mendukung pembubaran Otoritas Palestina dan 53 persen berpendapat perjuangan bersenjata adalah satu-satunya cara untuk memecahkan kebuntuan.

Rencana imperialis hancur

Sebelum peristiwa 7 Oktober, ada proses “normalisasi” yang sedang berlangsung: yang pada dasarnya berarti bahwa Israel membangun hubungan diplomatik dan ekonomi yang normal dengan negara-negara Arab (terutama Arab Saudi). Sebagai konsekuensinya, masalah Palestina dinyatakan telah berakhir.

Ini digarisbawahi oleh intervensi Netanyahu di Majelis Umum PBB pada bulan September, di mana ia menunjukkan peta wilayah yang menunjukkan Israel dan negara-negara yang melakukan normalisasi hubungan. Namun Israel dalam peta tersebut mencakup Dataran Tinggi Golan, Gaza, dan Tepi Barat. Palestina sudah tidak ada di peta tersebut.

Sinisme terang-terangan ini menunjukkan sikap keji, tidak hanya dari Netanyahu dan kelompok reaksionernya, tetapi juga dari negara-negara demokrasi imperialis, yang memperlakukan bangsa-bangsa kecil sebagai recehan dalam intrik mereka.

Aneksasi yang mengerikan ini dilakukan di belakang punggung rakyat Palestina. Keberadaan mereka dianggap sebagai ketidaknyamanan yang menjengkelkan. Keluhan tanpa-henti mereka dapat diabaikan dengan aman, sementara tugas yang tidak menyenangkan namun perlu untuk menjaga ketertiban dapat dipercayakan kepada angkatan bersenjata Israel.

Itulah teorinya. Namun sayangnya, kehidupan tidak selalu selaras dengan teori-teori terbaik sekalipun. Dan yang satu ini begitu mencolok: asumsinya rakyat Palestina sudah ditundukkan, begitu remuk, sehingga mereka tidak akan mampu melakukan perlawanan. Asumsi itu hancur berkeping-keping pada Sabtu, 7 Oktober.

Sejumlah sumber menuding Iran sebagai pihak yang bertanggung jawab. Meskipun ada penolakan dari Teheran, ada kemungkinan Iran terlibat. Eksekusi serangan Hamas yang terampil dan bagaimana dengan pesat mereka dapat menembus pertahanan Israel yang kuat menunjukkan tingkat profesionalisme yang tidak dapat dilakukan oleh Hamas sendiri saja.

Selain itu, Iran memiliki kepentingan dalam keberhasilannya. Dampak langsungnya adalah menghancurkan rencana Netanyahu untuk menjalin hubungan dekat dengan Arab Saudi. Geng reaksioner di Riyadh cukup siap untuk menjual rakyat Palestina dan membuat kesepakatan dengan Israel.

Namun rencana tersebut – yang tentu saja didukung oleh Amerika Serikat – gagal. Mohammed bin Salman dengan tegas menolak untuk bergabung dengan kelompok yang mendukung “hak membela diri” Israel. Dia akan menempatkan monarki dalam bahaya jika dia berani menentang perasaan rakyat Saudi, yang merupakan pendukung setia Palestina.

The Guardian menerbitkan artikel berjudul: ‘Serangan Hamas tiba-tiba mengubah gambaran diplomasi Timur Tengah’. Judul ini menjelaskan permasalahan yang ada dengan sangat baik. Patrick Wintour, editor diplomatik The Guardian menulis :

“Iran ingin membuat Arab Saudi tidak mungkin mencapai kesepakatan dengan Israel, sementara negeri-negeri lain di kawasan ini tidak menginginkan kekacauan di Gaza.”

Itu betul. Para pemimpin Arab tidak menginginkan kekacauan di Palestina, karena dampaknya yang sangat meresahkan terhadap masyarakat di negara mereka sendiri. Ancaman pemberontakan di jalanan selalu mengganggu benak klik penguasa Arab, yang tidak melupakan pelajaran dari pemberontakan massal yang dikenal sebagai Arab Spring.

Ini adalah mimpi buruk bagi para penguasa Arab dan Washington. Namun versi baru Revolusi Arab adalah satu-satunya harapan bagi solusi jangka panjang terhadap permasalahan Palestina.

Rakyat Palestina yang tertindas tidak boleh percaya pada janji-janji pemerintah asing. Satu-satunya kepentingan pemerintahan asing ini adalah membuat pernyataan kosong mengenai dukungan terhadap Palestina, dan mencitrakan diri mereka sebagai pembela kaum tertindas, tetapi ini sepenuhnya palsu.

Sudah jelas bahwa janji-janji kaum imperialis sama sekali tidak ada nilainya, begitu pula dengan resolusi-resolusi fiktif yang secara rutin disahkan oleh PBB.

Rakyat Palestina hanya bisa membebaskan diri melalui usaha mereka sendiri. Dan satu-satunya sekutu yang dapat mereka andalkan adalah kaum buruh dan tani di kawasan ini dan di seluruh dunia yang juga tertindas dan tereksploitasi.

Israel berada di jalur yang berbahaya

Ada satu faktor lain yang tidak dapat diabaikan. Selama negara Israel dapat mengandalkan dukungan mayoritas penduduk Yahudi, akan sangat sulit untuk menggulingkannya. Hanya dengan memecahkan masyarakat Israel seturut garis kelas maka hal ini akan menjadi proposisi yang memungkinkan.

Dalam kondisi saat ini, ini tampaknya merupakan skenario yang tidak mungkin terjadi. Ini sebagian disebabkan oleh keterbatasan ideologi dan metode Hamas, yang meyakinkan banyak warga Israel bahwa hidup mereka terancam oleh “teroris” Palestina.

Sayangnya, penyerangan dan pembunuhan warga sipil baru-baru ini telah meyakinkan banyak warga Israel bahwa satu-satunya solusi adalah dengan mendukung pemerintahan mereka. Ini didorong oleh tindakan memalukan dari kelompok oposisi, yang segera menarik mundur semua oposisi mereka terhadap kebijakan reaksioner pemerintahan Netanyahu dan segera menawarkan diri untuk membentuk pemerintahan yang disebut pemerintahan persatuan nasional. Ini adalah tindakan yang membawa bencana.

Rakyat Israel harus bertanya pada diri mereka sendiri: bagaimana mungkin setelah bertahun-tahun konflik, begitu banyak peperangan, dan begitu banyak kemenangan militer, mereka kini merasa lebih tidak aman dibandingkan kapan pun sejak berdirinya Negara Israel? Semua kebijakan yang katanya dirumuskan untuk menjamin keselamatan mereka, pada kenyataannya, tidak berarti apa-apa.

Benar bahwa Israel, dengan kekuatan militernya yang sangat besar, dapat dengan mudah mengalahkan Hamas secara militer. Namun, invasi darat ke Gaza, dengan gang-gangnya yang sempit, banyak sekali terowongan, dan populasi yang bermusuhan dan geram, tidak mungkin tidak menyebabkan banyak korban jiwa di kedua sisi. Dan setelah Gaza menjadi tumpukan puing, lalu bagaimana? Anda tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk menduduki dan menahan 2,3 juta orang yang bermusuhan untuk selama-lamanya. Cepat atau lambat, ledakan baru dan pertumpahan darah akan terjadi.

Dan permasalahannya tidak berakhir di situ. Penindasan terhadap rakyat Palestina mengobarkan kemarahan di seluruh dunia Arab. Upaya untuk menjalin hubungan dengan Arab Saudi kini gagal. Israel kini mendapati dirinya lebih terisolasi dibandingkan sebelumnya. Dikelilingi oleh jutaan musuh di semua sisi, prospek Israel sungguh suram. Dan pertumpahan darah baru-baru ini merupakan peringatan serius akan terjadinya hal yang lebih buruk lagi, kecuali ada perubahan mendasar di Israel sendiri.

Marx sudah lama menyatakan bahwa tidak ada bangsa yang bisa bebas selama negara tersebut menindas dan menundukkan bangsa lain: “Adalah tugas khusus dari Dewan Pusat di London untuk menyadarkan kaum buruh Inggris bahwa bagi mereka emansipasi nasional Irlandia bukanlah masalah keadilan yang abstrak atau sentimen kemanusiaan, namun merupakan syarat pertama bagi emansipasi sosial mereka sendiri.” (Marx to Sigfrid Meyer and August Vogt, 1870)

Saat ini, suara nalar di Israel sedang dibungkam oleh gemuruh kontra-revolusi. Namun mereka yang mendukung persatuan dengan kekuatan reaksioner Netanyahu dan kelompok fanatik ultra-religius justru tengah membawa Israel ke jurang kehancuran.

Apa sekarang?

Selama bertahun-tahun, rakyat Palestina berulang kali menunjukkan keberanian dan kesediaan mereka untuk berjuang. Persoalannya, mereka belum memiliki kepemimpinan yang mampu menjalankan tugas.

Setelah berpuluh-puluh tahun yang penuh dengan pengkhianatan dan ingkar janji, kesabaran rakyat Palestina kini telah habis. Bagi pemuda militan Palestina yang ingin berjuang melawan negara kuat Israel, roket Hamas tampaknya memberikan semacam jawaban. Keyakinan ini mendapat dorongan kuat setelah peristiwa baru-baru ini.

Tidak ada keraguan bahwa keberhasilan Hamas, dalam menerobos pertahanan Israel, yang katanya paling perkasa, dan melancarkan serangan terhadap Israel, telah dipandang sebagai kemenangan oleh banyak orang di dunia Arab, yang ingin membuat Israel rendah diri.

Dalam jangka pendek, ini akan meningkatkan prestise Hamas secara signifikan. Namun dalam jangka panjang, keterbatasan keberhasilan Hamas akan menjadi sangat jelas. Perimbangan kekuatan militer sangat berpihak pada Israel.

Kaum muda militan telah menyimpulkan bahwa satu-satunya jalan ke depan bukanlah melalui perundingan namun melalui perjuangan revolusioner. Ini melibatkan aksi massa, pemogokan massal, dan ya, dalam analisis terakhir, perjuangan melawan negara Israel harus berarti pertahanan diri dan perjuangan bersenjata.

Namun, penting untuk mempertimbangkan segala hal secara terukur. Perjuangan revolusioner rakyat Palestina, selama masih terisolasi, tidak akan cukup untuk mengalahkan keperkasaan negara Israel.

Perjuangan ini memerlukan upaya gabungan dari gerakan massa revolusioner di seluruh Timur Tengah. Namun ada hambatan besar yang menghadangnya: rezim-rezim Arab borjuis yang reaksioner hanya mendukung perjuangan Palestina dalam kata-kata saja, namun setiap saat mereka siap untuk mengkhianati Palestina dan membuat kesepakatan dengan imperialisme.

Hanya melalui penggulingan rezim-rezim korup inilah jalan terbuka bagi kemenangan revolusi sosialis di Timur Tengah – yang merupakan syarat utama bagi pembebasan Palestina.

Dalam analisis terakhir, hanya pembentukan front persatuan antara rakyat Palestina dan kelas pekerja serta lapisan progresif masyarakat Israel yang akan menciptakan kemungkinan memecahkan masyarakat Israel berdasarkan garis kelas, membuka jalan bagi penyelesaian masalah Palestina secara berkelanjutan dan demokratis.

Ini akan menjadi produk sampingan dari revolusi Arab, yang hanya bisa berhasil jika dituntaskan sampai akhir. Penggulingan rezim yang korup hanyalah setengah dari solusi. Pembebasan rakyat yang sesungguhnya hanya dapat dicapai melalui ekspropriasi tuan tanah, bankir, dan kapitalis.

Revolusi Sosialis – satu-satunya solusi!

Sudah terlalu lama Timur Tengah, dengan potensi yang sangat besar, sumber daya alam, dan surplus tenaga kerja serta generasi muda terpelajar yang belum termanfaatkan, telah mengalami balkanisasi –warisan kolonialisme yang memecah belah wilayah tersebut menjadi bangsa-bangsa kecil yang dapat dengan mudah didominasi dan dieksploitasi.

Warisan beracun ini telah menjadi tempat berkembang biaknya peperangan tanpa akhir, kebencian nasional dan agama, serta kekuatan destruktif lainnya. Masalah Palestina hanyalah ekspresi paling jelas dan mengerikan dari fakta ini.

Kaum buruh tidak mempunyai kepentingan untuk menaklukkan wilayah asing atau menindas orang lain. Ketika kekuasaan berada di tangan rakyat pekerja, maka seluruh permasalahan yang dihadapi dunia Arab dapat diselesaikan secara damai, demokratis, dan melalui kesepakatan.

Di bawah federasi sosialis demokratis, akan dimungkinkan untuk membangun hubungan persaudaraan di antara rakyat luas – Arab dan Yahudi, Sunni dan Syiah, Kurdi dan Armenia, Drus dan Koptik. Pada akhirnya, jalan akan terbuka untuk menyelesaikan masalah Palestina secara langgeng dan demokratis.

Terdapat cukup lahan untuk menciptakan negara Palestina yang benar-benar otonom, makmur dan sejahtera, dengan otonomi penuh bagi orang-orang Arab dan Yahudi, serupa dengan Republik Soviet yang didirikan oleh kaum Bolshevik setelah Revolusi Oktober.

Orang yang berpikiran sempit akan mengatakan bahwa ini adalah utopia. Namun orang-orang yang sama selalu berpendapat bahwa sosialisme adalah utopia. Kaum “realis” ini berpegang teguh pada status quo, yang menurut mereka merupakan satu-satunya realitas yang mungkin terjadi – hanya dengan alasan bahwa status quo memang ada.

Menurut ‘teori’ yang bangkrut ini, revolusi tidak mungkin terjadi. Tapi semua yang ada layak untuk binasa. Dan seluruh sejarah memberitahu kita bahwa revolusi tidak hanya mungkin terjadi, tetapi juga tidak bisa dihindari. Sistem kapitalis sudah busuk sampai ke akar-akarnya. Fondasinya tengah runtuh dan terhuyung-huyung.

Kita hanya perlu mendorongnya untuk menumbangkannya. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa dorongan ini bisa datang dari pemberontakan baru di dunia Arab. Ini adalah satu-satunya jalan ke depan bagi masyarakat Timur Tengah. Revolusi Palestina akan menang sebagai bagian integral dari revolusi sosialis, atau tidak akan menang sama sekali.

11 Oktober 2023