Uang kuliah tunggal (UKT) yang mahal menjadi topik yang saat ini meresahkan rakyat dan kaum muda terutama. Banyak perguruan tinggi negeri menaikkan biaya pendidikan dengan nominal yang semakin sulit terjangkau oleh rakyat. Konsekuensinya, banyak mahasiswa terancam putus kuliah.
Di berbagai media memberitakan banyak mahasiswa yang baru saja diterima masuk di perguruan tinggi harus mengundurkan diri karena tidak mampu membayar UKT. Nasib yang tak jauh berbeda pun dialami oleh mahasiswa yang masih menjalani masa perkuliahan. Banyak yang terpaksa cuti kuliah.
Kenaikan biaya pendidikan di jenjang universitas ini tentu akan membawa dampak yang besar terhadap akses pendidikan. Ketika biaya pendidikan menjadi semakin mahal, maka pendidikan akan semakin sulit diakses oleh rakyat. Perguruan tinggi secara terang-terangan menempatkan dirinya sebagai tempat untuk mencari keuntungan sebanyak banyaknya. Pendidikan tak ubahnya seperti komoditas lainnya dalam kapitalisme. Siapa yang punya uang, dialah yang bisa mengaksesnya.
Pemerintah tak peduli dengan problem mahalnya biaya pendidikan. Alih-alih membantu mereka yang tidak mampu membayar UKT, pemerintah tanpa rasa malu menawarkan pinjaman online dengan dalih membantu mahasiswa. Mahasiswa dipaksa untuk mengambil pinjaman berbunga agar bisa membayar tagihan kuliah.
Salah satu pejabat Kemendikbudristek berdalih bahwa pendidikan tinggi tidak termasuk program wajib belajar sehingga anggaran pemerintah tidak difokuskan untuk pendanaan perguruan tinggi. “Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK, itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan. Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib. Berbeda dengan wajib belajar yang SD, SMP, begitu, ya,” ucap Tjitjik.
Bahkan bila dalih ini kita terima, pemerintah pun masih tidak serius memperhatikan nasib Wajib Belajar 12 Tahun. Masih ditemukan jumlah anak tidak sekolah (ATS) yang masih menggunung. Berdasarkan data BPS 2023, ATS masih ditemukan di tiap jenjang, SD (0,67%), SMP (6,93%), dan SMA/SMK (21,61%). Ini jumlah yang sangat besar. Faktor utama penyebab ATS ini adalah soal ekonomi, yakni kemampuan untuk membayar biaya sekolah. Artinya, sekolah di Indonesia hari ini masih berbayar. Selain itu kualitas sekolah-sekolah ini sangatlah buruk, sehingga banyak murid yang tertinggal kemampuan akademiknya.
Pada kenyataannya, pemerintah selalu menempatkan pendidikan di nomor sekian setelah anggaran-anggaran lainnya. Untuk menarik investor, rejim Jokowi menghabiskan Rp 2.778 triliun untuk berbagai proyek infrastruktur. Proyek Ibu Kota Nusantara, yang sesungguhnya tidak dibutuhkan rakyat dan hanya untuk kenyamanan dan gengsi pejabat, diestimasi akan menghabiskan lebih dari Rp 400 triliun. Mereka selalu ada uang untuk kepentingan kapitalis dan juga pejabat, namun tidak ada uang untuk rakyat.
Seharusnya pendidikan adalah hak setiap orang. Tapi ini menjadi pernyataan hampa di bawah kapitalisme. Kapitalisme menghapus hak setiap orang mendapatkan pendidikan atas nama profit. Hanya si kaya yang mampu bersekolah dan si miskin harus putus sekolah karena tak punya uang.
Untuk mengakhiri ini privatisasi dan komodifikasi pendidikan harus dihapus. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi harus dibiayai secara penuh oleh pemerintah. Namun semua ini mustahil bisa tercapai ketika kapitalisme masih berkuasa. Sistem yang hanya berorientasi pada profit tak mungkin mampu memberikan pendidikan gratis kepada semua orang. Kapitalisme harus digulingkan sehingga pendidikan kembali ke hakikatnya, yakni mencerdaskan kehidupan seluruh rakyat.
Hanya sosialisme yang mampu mewujudkan hak pendidikan gratis untuk seluruh rakyat. Dalam sosialisme semua lembaga pendidikan akan dinasionalisasi dan ditempatkan di bawah kontrol kelas pekerja. Tidak ada privatisasi pendidikan, sehingga tidak akan ada institusi pendidikan yang berlomba-lomba mencari keuntungan sebesar besarnya.