Dengan gembar-gembor Revolusi Industri 4.0 selama dekade terakhir, yang terutama menjadi semakin mencolok dengan perkembangan kecerdasan artifisial (AI) baru-baru ini, banyak rakyat pekerja yang cemas dengan masa depan mereka. Mereka khawatir kehilangan pekerjaan mereka, digantikan oleh robot-robot yang dapat bekerja 24 jam sehari tanpa kenal lelah. Tidak usah cemas, kata pemerintah dalam usahanya untuk menenangkan rakyat. Dengan mengembangkan kecakapan baru, rakyat pekerja dapat beradaptasi dengan perubahan teknologi mutakhir dan bahkan mendulang lebih banyak manfaat darinya. Namun, bila kita memeriksa kondisi pendidikan hari ini di Indonesia, yang tidak hanya berkualitas buruk tetapi juga semakin mahal sehingga tak terjangkau mayoritas rakyat, penjelasan pemerintah sungguh tidak menenangkan hati sama sekali. Sebaliknya, ini harus membuat semakin cemas setiap insan yang mampu berpikir.
Berbagai indikator pendidikan telah menunjukkan betapa tertinggal negeri ini. Skor PISA (Programme for Internasional Student Assessment) pada 2018 menempatkan bangsa ini di urutan ke-74, yaitu peringkat keenam dari bawah. Ini bukan karena orang Indonesia tidak memiliki kapasitas intelektual tinggi yang membuat mereka mampu bersaing dengan siswa dari negeri-negeri maju. Tercatat lebih dari 50 persen ruang kelas sekolah ada dalam kondisi rusak. Bagaimana kita mengharapkan siswa kita belajar dengan baik, bila kelas mereka dalam kondisi rusak dan tak terurus?
Kondisi fasilitas yang buruk ini bersandingan secara setia dengan kualitas tenaga pengajar yang ada. Tidak hanya kualitas guru tak memadai, guru-guru ini pun diperlakukan dengan begitu hinanya oleh pemerintah. Upah rendah dan kondisi kerja buruk; kondisi guru honorer yang rentan, sampai-sampai ada yang menyambi menjadi kuli bangunan; jumlah guru yang tidak mencukupi jumlah siswa, sehingga kelas berdesakan; pelatihan guru yang ala kadarnya. Pemerintah selalu sedia memberikan dana talangan dan stimulus puluhan triliun untuk pemodal, selalu sedia menggelontorkan uang untuk membeli alat-alat perang. Tetapi bila menyangkut anggaran pendidikan, sikapnya sangat berbeda.
Pemerintah dengan bangga menyatakan bahwa anggaran pendidikan tahun ini adalah yang tertinggi sepanjang sejarah, yang tembus Rp 600 triliun. Namun kita patut mempertanyakan ke mana uang ini karena kualitas pendidikan masih mengenaskan. Di setiap jenjang instansi pemerintah, dari atas sampai ke bawah, dari pusat sampai ke level kepala sekolah dan guru, anggaran pendidikan dikorupsi sehingga ketika sampai ke siswa hanya tersisa sedikit. Sebut saja kasus korupsi dana Program Indonesia Pintar belum lama ini, atau kontroversi Kartu Prakerja dan Ruang Guru. Kemungkinan besar hanya separuh dari anggaran ini yang sungguh sampai ke tangan rakyat.
Tetapi permasalahannya bukan hanya masalah pembiayaan saja. Bahkan bila anggaran pendidikan dilipatgandakan, ini tidak akan mengubah secara fundamental watak pendidikan dalam masyarakat hari ini. Sesungguhnya, tujuan utama pendidikan adalah membangun manusia yang seutuh-utuhnya; tidak hanya membangun kemampuan intelektual, yang membuat kita mampu berpikir secara rasional dan kritis, tetapi juga memperdalam kepribadian, wawasan, dan kemanusiaan kita. Di bawah kapitalisme, tujuan pendidikan sangatlah jauh dari tujuan tersebut. Ini karena kapitalisme melihat segala sesuatu dari sudut pandang profit yang bisa diterimanya, dan dengan demikian pendidikan hanya dilihat dari segi laba. Kaum buruh cukup dididik untuk bisa menghasilkan profit bagi modal. Lebih dari itu tidak diperlukan.
Dengan semakin diperkenalkannya mesin dan teknologi ke dalam industri, dengan pembagian kerja yang semakin hari semakin rinci, maka kerja menjadi semakin monoton, mengulang-ulang, sederhana, dan tak membutuhkan kecakapan. Dengan demikian, kapitalis tidak membutuhkan pekerja yang terdidik secara utuh. Buruh hanya perlu dilatih sebagai pelengkap mesin semata, sebagai roda gir kecil dalam mesin industri. Tidak lebih dan tidak kurang. Kaum buruh bukan dilihat sebagai manusia yang patut dikembangkan secara utuh.
Ini sudah merupakan nasib kelas tertindas sedari awal. Kaum budak di masa Romawi kuno disebut instrumentum vocale, atau alat atau instrumen yang bisa berbicara. Mereka tidak dilihat sebagai manusia. Hari ini kondisi budak dan buruh tidak banyak perbedaan. Buruh mungkin sudah tidak lagi dirantai kaki dan tangannya, namun pikirannya masih dirantai.
Bahkan di negeri paling maju sekalipun, kaum buruh hanya menerima pendidikan yang minimal dibutuhkannya untuk bisa diperkerjakan oleh kapitalis. Semakin banyak lulusan perguruan tinggi yang kesulitan mencari pekerjaan yang sesuai dengan jurusan mereka. Tidak sedikit yang berakhir bekerja sebagai sopir Uber atau barista di kafe. Banyak lulusan sekolah doktoral atau S3 yang dianggap overqualified. Majalah The Economist menulis artikel dengan tajuk Why doing a PhD is often a waste of time (“Mengapa memperoleh gelar PhD itu sering kali buang-buang waktu”). Talenta mereka disia-siakan, walaupun sebenarnya masih banyak sekali problem dan misteri yang perlu dipecahkan oleh manusia, dari masalah perubahan iklim, penjelajahan ruang angkasa, penelitian sejarah dan antropologi, dan berbagai penelitian dasar lainnya. Masalahnya, penelitian semacam ini tidak mendatangkan laba bagi kapitalis. Tugas kapitalis bukanlah mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi menjual barang untuk profit.
Ada kontradiksi yang absurd dalam sistem kapitalisme. Dengan inovasi yang merevolusionerkan alat-alat produksi, seperti teknologi AI baru-baru ini, justru semakin banyak pekerja terampil yang tidak lagi dibutuhkan. Ini telah diramalkan oleh Marx lebih dari 170 tahun yang lalu: “Berkat penggunaan mesin secara luas, dan pembagian kerja, kerja kaum proletariat telah kehilangan semua karakter individualnya, dan, sebagai konsekuensinya, semua daya tariknya. Dia menjadi pelengkap mesin, dan yang dibutuhkan darinya hanyalah kecakapan yang paling sederhana, paling monoton, dan paling mudah dipelajari. Dengan demikian, biaya produksi dari seorang buruh dibatasi, hampir sepenuhnya, pada kebutuhan pokok yang ia perlukan untuk bertahan hidup dan berkembang biak.”
Lembaga pendidikan tujuannya bukan mengaktualisasikan potensi manusia seutuhnya, tetapi mencetak calon pekerja selanjutnya. Kita dapat melihat ini dari kurikulum pendidikan yang ada, dari tingkat sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi: kurikulum yang kaku dan menyesakkan pikiran, yang melihat peserta didik sebagai subjek pasif, layaknya tanah liat kasar untuk dibentuk sesuai dengan kepentingan modal, bukan sebagai agen yang hidup, aktif, mandiri, dan bebas. Sistem pembelajaran satu-arah, dari atas ke bawah,
Terlebih, gagasan yang dominan adalah gagasannya kelas penguasa. Kelas penguasa memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekuasaannya, dan salah satu alat yang paling ampuh adalah kendalinya terhadap pendidikan. Kaum tertindas menerima pendidikan yang penuh dengan bias dan prasangka borjuis, yang membuatnya tidak kritis, sehingga membuatnya menerima status quo. Pendidikan bukannya membebaskan tetapi merantai pikiran dan jiwanya.
Lebih parah lagi, pendidikan juga dilihat sebagai komoditas untuk diperjual-belikan. Privatisasi dan komersialisasi terus merangsek ke ranah pendidikan. Pertama, ini menciptakan ketidaksetaraan dalam akses pada pendidikan bermutu. Hanya kaum kaya yang dapat menikmati pendidikan terbaik. Bagi mayoritas rakyat, pendidikan semakin tak terjangkau. Kedua, ini mendistorsi makna pendidikan itu sendiri, karena kini memperoleh pendidikan itu seperti membeli ikan di pasar. Ijazah jadi status sosial. Orang mengejar titel sarjana demi kebanggaan hampa, terlepas ada atau tidak nilai pendidikan yang diperolehnya.
Dengan semakin sulitnya memperoleh pekerjaan baik, ini menciptakan pasar besar dalam sektor pendidikan. Pendidikan semakin dikomersialisasi. Buruh didorong untuk berlomba-lomba “mengejar” pendidikan, dengan janji bahwa ijazah yang mereka peroleh akan memberi mereka pekerjaan yang baik. Setelah menghabiskan puluhan juta dan bahkan ratusan juta, berhutang ke sana kemari dan menggadai tanah orang tua, para sarjana muda ini luntang-lantung menjadi pengangguran.
Ketika pemerintah menyalahkan kebodohan sebagai penyebab kemiskinan rakyat, yang sesungguhnya terjadi adalah sistem kapitalisme-lah yang membodohkan rakyat. Motif profit kapitalis bertentangan dengan tujuan luhur pendidikan.
Ada kebuntuan dalam kapitalisme. Sistem ini telah menjadi penghalang bagi kemajuan umat manusia. Ada banyak sekali calon-calon Einstein di negeri kita, tetapi kapitalisme tidak lagi membutuhkan Einstein. Mereka hanya membutuhkan pekerja tak-terampil yang bisa diupah murah, yang perannya hanyalah menjadi pelengkap mesin yang bisa diganti kapan saja. Oleh karenanya transformasi pendidikan yang menyeluruh hanya bisa dicapai dengan mengakhiri sistem kapitalisme.
Dengan sosialisme, kaum buruh akan mengambil ke tangannya kepemilikan sarana produksi dan mengelolanya secara kolektif dan demokratik demi kebutuhan rakyat, bukannya demi profit segelintir orang. Ini akan dengan segera mengubah watak pendidikan.
Pertama: dengan kekuatan ekonomi sepenuhnya di tangannya, kaum buruh bisa melipatgandakan anggaran pendidikan: perbaikan fasilitas pendidikan serta peningkatan kualitas pengajar; upah layak bagi semua tenaga pengajar; sekolah gratis bagi semua dari SD hingga universitas. Pendidikan sudah bukan lagi komoditas untuk diperjual-belikan, tetapi menjadi hak dasar rakyat. Kita memiliki kekayaan yang cukup untuk membiayai semua ini, tetapi hari ini kekayaan ini tertumpuk di tangan segelintir miliarder. Ekspropriasi kekayaan ini dari tangan kapitalis ke tangan kelas yang sesungguhnya bekerja menciptakan kekayaan ini, maka kita akan dapat meningkatkan secara drastis anggaran pendidikan, kesehatan, dll.
Kedua: dengan sistem ekonomi sosialis yang terencana, untuk pertama kalinya kita dapat mendayagunakan sumber daya manusia sepenuhnya. Dunia membutuhkan lebih banyak ilmuwan, dokter, perawat, guru, teknisi, insinyur, dsb. untuk menyelesaikan problem-problem masyarakat. Tidak ada kekurangan pekerjaan sebenarnya. Hanya kapitalisme yang menciptakan kekurangan lapangan pekerjaan. Hanya pasar bebas kapitalis yang begitu absurd sehingga membuat banyak orang terpelajar menganggur dan menyia-nyiakan potensi mereka.
Ketiga: ketika motif profit kapitalis sudah tidak lagi ada, maka makna pendidikan yang sesungguhnya bisa dicapai. Orang akan belajar demi mengaktualisasi dirinya, untuk menjadi manusia yang utuh. Dorongan untuk belajar akan datang dari dalam diri manusia itu sendiri, untuk menjadi individu yang lebih baik, dan bukan karena dorongan ekonomi semata. Ini terkait erat juga dengan bagaimana kita mengelola pendidikan. Demokrasi sejati akan diterapkan di semua lembaga pendidikan, sehingga melibatkan secara aktif semua orang: guru, siswa, staf, orang tua, warga setempat. Pendidikan bukan lagi diorganisir secara sepihak dari atas ke bawah oleh birokrasi. Untuk pertama kalinya, pendidikan akan menjadi milik rakyat.
Rejim Jokowi sering berbicara mengenai revolusi mental. Tetapi revolusi mental ini tidak akan terjadi tanpa revolusi yang sesungguhnya, yaitu revolusi sosialis oleh kelas buruh Hanya sosialisme yang bisa membebaskan pikiran manusia dari rantai yang mengikatnya, dan untuk pertama kalinya merancang sistem pendidikan yang memungkinkan kita mengembangkan potensi penuh kita.