Kasus gagal ginjal akut pada anak kini tengah merebak di Indonesia. Lebih dari 200 anak terjangkit penyakit ini. Setidaknya 141 di antaranya meninggal dunia. Merebaknya penyakit ini diduga karena penggunaan bahan kimia berbahaya dalam obat sirup. Ini mengekspos ketidakmampuan BPOM, Kemenkes dan sistem kesehatan kita dalam menjamin keamanan obat-obatan bagi rakyat luas.
Sejak bulan Agustus, Kemenkes telah menerima laporan peningkatan kasus gangguan ginjal akut yang tajam pada anak-anak. Penyebab pasti peningkatan ini awalnya tidak diketahui dengan jelas. Sampai kemudian pada September peneliti dari WHO menemukan keterkaitan antara obat sirup dengan kematian puluhan anak di Gambia, Afrika Barat. Puluhan anak di sana menjadi korban dari pemberian obat sirup yang telah tercemar bahan berbahaya yang bisa meningkatkan risiko gagal ginjal akut. Tentu saja hal ini sangat meresahkan mengingat kegunaan obat seharusnya adalah untuk mengobati penyakit bukan malah memunculkan risiko penyakit baru.
WHO mengatakan, meskipun produk yang terkontaminasi sampai saat ini masih terdeteksi di Gambia mereka mungkin telah didistribusikan ke negara lain. WHO menganjurkan semua negara harus menemukan dan menghapus produk ini dari peredaran untuk mencegah bahaya lebih lanjut bagi pasien.
Namun, tindakan pemerintah Indonesia untuk segera mengidentifikasi penyebab penyakit ini masih sangat lamban dan ambigu. BPOM memang telah merilis sejumlah merek obat sirup yang diduga mengandung cemaran kimia berbahaya. BPOM juga telah memerintahkan produsen merek obat sirup tersebut untuk menarik produknya dari pasar. Tetapi langkah ini belum cukup, karena hingga saat ini BPOM maupun Kemenkes belum memberikan penjelasan pasti mengenai keterkaitan penggunaan obat sirup tersebut dengan gagal ginjal akut. Justru BPOM masih mempersoalkan kemungkinan lain penyebab penyakit ini, di antaranya infeksi bakteri ataupun virus. Padahal semua bukti sudah mengarah ke obat sirup yang tercemar.
Bahan kimia berbahaya yang diduga sebagai penyebab gagal ginjal akut ini adalah ethylene glycol (EG) dan diethylene glycol (DEG). Kedua bahan ini digunakan sebagai pengganti bahan propylene glycol yang selama ini digunakan sebagai zat pelarut dalam produksi obat sirup. Produsen obat sengaja mengganti bahan propylene glycol dengan kedua bahan kimia berbahaya tersebut untuk menghemat biaya produksi, karena EG dan DEG jauh lebih murah. Masalahnya ketika kandungan EG dan DEG terlalu tinggi, dan ini bisa menyebabkan gagal ginjal.
Kejadian ini bukan pertama kalinya. Penemuan kandungan berbahaya dalam pasien gagal ginjal akut sudah diteliti sebelumnya. Berdasarkan penelitian epidemiologis dari Amerika Serikat Katherine L. O’Brien, kasus serupa pernah terjadi di Haiti pada 1998.
“Kami mengidentifikasi 109 kasus gagal ginjal akut pada anak-anak. Gejala klinisnya meliputi gagal ginjal, hepatitis, pankreatitis, gangguan sistem saraf pusat, koma, dan kematian … Sirup asetaminofen produksi lokal (Haiti) sangat terkait dengan penyakit ini. Diethylene glicol ditemukan dalam botol sirup yang dikonsumsi pasien dengan konsentrasi rata-rata 14,4%,” tulis O’Brien.
Kasus serupa pun pernah terjadi di Panama. Menurut penelitian Laura Conklin dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat, pada 2006 ada 32 orang di Panama yang menderita keracunan diethylene glycol.
“Diethylene glycol dapat menjadi nefrotoksik (racun bagi ginjal) dan neurotoksik (racun bagi saraf). Keracunan ditandai dengan cedera ginjal akut, gangguan neurologis, dan kematian,” kata Conklin. … Sekurang-kurangnya 13 kasus keracunan massal terkait obat diethylene glicol telah terjadi sejak 1937,” ungkapnya.
Kandungan kimia berbahaya dengan konsentrasi tinggi seperti ini tidak seharusnya dalam sirup obat. Tapi semua diabaikan atas nama profit. Seperti yang dikatakan Menteri Kesehatan Budi Sadikin, “Beberapa sirup yang digunakan oleh pasien anak AKI (gagal ginjal akut) di bawah lima tahun terbukti mengandung etilen glikol dan dietilen glikol yang tidak seharusnya ada, atau jumlahnya sangat sedikit.”
Produsen farmasi biasanya menggunakan bahan propylene glycol sebagai bahan pelarut obat sirup. Tapi karena kelangkaan harga bahan ini menjadi mahal, sehingga banyak perusahaan farmasi menggunakan bahan EG dan DEG yang lebih murah. Fakta tersebut mengungkapkan motif busuk kapitalis farmasi yang dengan sengaja mengubah komposisi obat demi memaksimalkan profit.
Maraknya penyakit gagal ginjal akut saat ini semakin mengungkapkan bahwa tidak ada jaminan sistem kesehatan yang baik di bawah sistem yang bermotif laba. BPOM dan Kemenkes terbukti abai. Seharusnya pejabat-pejabat ini jauh lebih ketat dalam memeriksa kadar kandungan kimia berbahaya pada obat sebelum mendapatkan izin edar. Tetapi, bila pihak berwajib melakukan pemeriksaan yang ketat terhadap perusahaan farmasi, ini akan mengganggu keberlangsungan profit. Seperti banyak hal lainnya, pemerintah selalu melonggarkan peraturan bila ini berurusan dengan bisnis. Bahkan bila ada aturannya, penerapannya tidak dilakukan dengan serius.
Dengan terungkapnya kasus ini di hadapan publik, BPOM dan Kemenkes terpaksa melakukan sesuatu. Sejumlah merek obat sirup telah ditarik dari peredaran. Dua perusahaan farmasi kabarnya akan dipidanakan. Tetapi setelah kasus ini mereda dan menghilang dari sorotan media, segala sesuatu akan kembali ke sedia kalanya. Karena dorongan profit, perusahaan farmasi akan mengabaikan standar keamanan produk mereka guna menekan biaya produksi. Kesehatan rakyat pekerja akan dikorbankan lagi di altar profit, dimana obat pun ternyata bisa jadi racun.
Selama motif profit mendominasi dunia kesehatan, selama itu pula sistem kesehatan tidak memadai dalam melayani masyarakat. Pengawasan dan pengendalian terhadap keamanan produksi obat-obatan tidak akan bisa dilakukan dengan efektif selama perusahaan farmasi ini adalah milik kapitalis yang tujuan utamanya adalah profit. Misalnya, BPOM hanya melakukan pengujian kadar cemaran bahan kimia setelah banyak anak yang meninggal. Ini terlalu terlambat. Sedari awal, sejak produksi sudah harus ada pengujian langsung oleh pabrik. Tetapi tentunya pemilik pabrik tidak ingin melakukan ini karena dapat mengganggu bisnis mereka. Selama tidak ketahuan, mereka akan terus beroperasi. Intinya, kita tidak bisa mengendalikan apa yang bukan milik kita. Produksi obat-obatan yang begitu penting bagi hajat banyak orang harus menjadi milik publik. Dengan menasionalisasi industri farmasi di bawah kontrol pekerja, maka kita dapat memiliki kontrol langsung terhadap bagaimana obat-obatan diproduksi. Keputusan untuk memproduksi obat-obatan yang berkualitas dan aman akan jadi milik rakyat, dan bukan lagi diputuskan oleh segelintir dewan direktur atau pemegang saham yang hanya menghitung segala sesuatu berdasarkan profit. Uji kualitas dapat dilakukan setiap saat langsung di titik produksi, dengan data yang langsung bisa diakses publik. Keselamatan pasien jelas tidak bisa diserahkan pada pasar bebas kapitalisme. Satu-satunya solusi sejati adalah nasionalisasi industri farmasi di bawah kontrol pekerja. Singkirkan motif profit dari industri farmasi khususnya dan industri kesehatan umumnya.