Kasus penganiayaan Mario Dandy berbuntut panjang. Awalnya ini hanya masalah bullying, tetapi kini merembet ke masalah korupsi. Kasus ini menghebohkan bukan hanya karena kekerasan brutal yang dilakukan Mario tetapi juga karena dilakukan oleh anak pejabat kaya. Kasus ini semakin menggelinding membuat banyak pejabat lainnya ketar-ketir sebab mengekspos kekayaan haram mereka. Rakyat sudah muak dipertontonkan korupsi dan kesewenang-wenangan yang dilakukan orang-orang yang memiliki kekuasaan. Sekarang rakyat semakin sinis terhadap mereka.
Belakangan ini diketahui bahwa Mario adalah anak Rafael Alun Trisambodo, pejabat eselon II Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang memiliki kekayaan senilai Rp 56,1 miliar. Tidak hanya itu, kekayaan ini dipertontonkan secara vulgar oleh anaknya. Sejumlah harta kekayaan diketahui belum jelas asal usulnya, seperti motor Harley Davidson serta mobil mewah Jeep Rubicon. Belum lagi kehidupan glamor istrinya yang diketahui memiliki koleksi tas-tas mewah yang harganya sampai miliaran rupiah.
Rakyat yang mulai geram mulai berkomentar sinis: “Ayo segera bayar pajak! Buruan, sebab banyak pejabat pajak yang belum kebagian Rubicon dan Harley”. Beberapa orang juga menyerukan untuk tidak membayar pajak karena ini hanya akan memperkaya para pejabat. Seruan boikot pajak jadi ramai dibicarakan di media sosial, sampai-sampai Menteri Keuangan Sri Mulyani cemas ini akan berimbas pada penerimaan pajak. Sinisme ini menunjukkan kredibilitas lembaga negara borjuasi mulai tergerus di mata rakyat.
Namun, gaya hidup pamer kekayaan ini tidak hanya spesial milik keluarga Mario Dandy. Banyak pejabat Dirjen Pajak lainnya juga memiliki gaya hidup mewah dan bahkan memiliki daftar kekayaan yang sangat besar. Pejabat-pejabat ini juga terkenal korupnya. Sebagai contoh kasus Gayus Tambunan (2010-2011) yang sangat menghebohkan. Dia memiliki kekayaan sekitar Rp 100 miliar, padahal dia pejabat pajak golongan IIIA yang gajinya hanya berkisar 12 jutaan. Kasus Gayus pun menyeret 12 nama pejabat Ditjen Pajak lainnya. Motif kasusnya adalah memanipulasi laporan pajak perusahaan agar pembayaran pajaknya kecil.
Juga kasus pencucian uang oleh Angin Prayitno pada 2021. Angin Prayitno mendapatkan gratifikasi berupa tanah, rumah, apartemen, hingga mobil mewah dari perusahaan yang dia bantu melakukan rekayasa laporan pajak. Dari kasus rekayasa ini saja Angin Prayitno mendapatkan Rp 44 miliar.
Febrian, salah seorang saksi dalam persidangan kasus Angin Prayitno, mengungkapkan fakta mencengangkan. Diketahui bahwa uang-uang ini mengalir hampir ke sebagian besar pejabat struktural pajak. Dia menyebutkan bahwa fee dari hasil rekayasa pajak ini 50 persen diberikan kepada pejabat struktural Kemenkeu, dan 50 persen lainnya dibagi rata di tim pemeriksa pajak yang jumlahnya 4 orang. Bayangkan bila semua pejabat ini mendapatkan uang miliaran rupiah dari hasil manipulasi pajak, betapa kayanya mereka. Jadi ketika para pejabat ini memiliki motor gede, mobil serta barang-barang mewah lainnya, sudah bisa dipastikan ini datangnya dari mana.
Selain itu, Mahfud MD juga menyebut Rafael terindikasi melakukan pencucian uang sejak 2013. Lalu mengapa setelah lebih dari 10 tahun kasus ini tidak disoroti? Dan mengapa hanya setelah publik mulai bersuara, pemerintah baru bertindak? Jawaban mudah. Semua lembaga negara dan pejabatnya memang sudah busuk dan korup dari cabang sampai ke akar-akarnya.
Rafael, ayah Mario, sudah dicopot dari jabatannya dan mulai diperiksa oleh KPK. Tetapi dia hanya akan dijadikan kambing hitam oleh pemerintah guna menenangkan massa. Pemerintah harus mempertahankan citra adanya keadilan, dan dalam satu dua kesempatan akan mengorbankan satu dua orang dari barisannya demi keselamatan seluruh jajarannya yang busuk.
Bila KPK ingin menangkapi para tikus-tikus kantor ini tentu sangat mudah karena lembaga pajak ini adalah sarangnya. Tapi karena KPK sudah ompong, kita meragukan mereka bisa melakukan tugas ini. Dalam konferensi pers di Kompas TV pada 1 Maret kemarin, KPK terlihat tidak begitu serius mengusut kasus ini. Seperti halnya kasus Sambo, pemerintah baru “bekerja” hanya ketika publik terus memberikan tekanan pada mereka.
KPK hanya menangani kasus yang tampak di publik dan tidak akan pernah bisa membersihkan korupsi yang sudah mengakar ini. Korupsi dan suap menyuap sudah inheren di dalam kapitalisme. Selama kekayaan dan kekuasaan ada di tangan segelintir orang, mereka akan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan diri mereka sendiri. Mereka akan menemukan seribu satu cara untuk melakukan korupsi dan mengamankan diri. Seperti dalam lirik lagu Iwan Fals: Otak tikus memang bukan otak udang.
Sinisme terhadap lembaga negara borjuasi bukan hanya dalam kasus ini saja. Kasus Mario hanyalah salah satu dari sekian kekecewaan rakyat terhadap lembaga negara borjuasi secara keseluruhan. Kasus-kasus korupsi dan suap menyuap sudah sangat menjamur di berbagai badan pemerintahan. Permasalahan ini sudah tidak bisa lagi direformasi. Rakyat yang semakin melarat melihat dirinya hanya menjadi penonton bagi kekayaan mereka yang berkuasa. Ketimpangan yang semakin lebar membuat mereka semakin benci terhadap mereka yang kaya dan berkuasa. Awalnya rakyat hanya mengeluh, lalu menuntut, dan di kemudian hari ketika penderitaan mereka sudah tidak tertanggungkan, rakyat akan membuang semua lembaga negara ke tong sampah sejarah. Akan ada saatnya rakyat menjadi hakim. Dan itu adalah revolusi sosial.