Pada 2 Maret 1921, para pelaut di Kronstadt mengangkat senjata melawan pemerintah Soviet yang muda. Pemberontakan ini berumur pendek dan berhasil ditumpas pada 18 Maret. Namun legenda pemberontakan Kronstadt bertahan jauh lebih lama dan telah dikisahkan berulang kali tanpa memperhatikan fakta dan analisis serius. Karya ini tidak akan mengkaji ulang kronologis rinci pemberontakan Kronstadt, yang dapat ditemukan pembaca di banyak karya lainnya. Sebaliknya, karya ini akan menguraikan proses-proses mendasar yang memicu terjadinya pemberontakan itu, untuk mengkajinya lebih dari sekadar penampakan luarnya saja dan mengungkapkan karakter sesungguhnya, dan menjelaskan tindakan yang diambil oleh kaum Bolshevik terhadap pemberontakan tersebut.
Kaum liberal, ultra-kiri, dan anarkis telah memuji pemberontakan tersebut, dan kaum anarkis bahkan menyebutnya sebagai Revolusi Rusia ketiga, “Komune Paris Kedua”, pemberontakan terakhir kaum proletar melawan Bolshevik yang merampas kekuasaan darinya. Penumpasan pemberontakan Kronstadt disebut-sebut sebagai bukti kekejaman kediktatoran Bolshevik, bahwasanya benih Stalinisme akan selalu tumbuh dari Marxisme. Namun, refleksi yang lebih dekat dan lebih tenang hanya dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa Pemberontakan Kronstadt hanyalah sebuah manifestasi dari sebuah revolusi yang sudah letih, yang diluluhlantakkan oleh perang sipil dan terisolasi dalam keterbelakangan ekonominya sendiri. Pemberontakan ini merupakan salah satu episode dalam rangkaian peristiwa yang menggarisbawahi kemustahilan membangun sosialisme di satu negeri, khususnya negeri yang mayoritas penduduknya adalah petani miskin.
Buruh mana pun yang pernah mogok dan berdiri di garis piket bisa lebih mengapresiasi peristiwa ini dibandingkan kaum filistin borjuis-kecil. Pemogokan yang telah berlangsung terlalu lama, dan terus-menerus dikepung dari segala sisi, pasti akan memicu krisis internal dan perpecahan yang sengit di antara para buruh yang melakukan pemogokan. Inilah yang sebenarnya terjadi dalam Pemberontakan Kronstadt, dan banyak pemberontakan petani lainnya yang meletus di akhir perang sipil yang panjang dan pahit itu. Konflik antara kota dan desa, antara proletariat dan kaum tani, menjadi semakin tegang sampai titik yang tak tertanggungkan karena kebijakan Komunisme Perang yang keras.
Dalam meninjau kembali peristiwa penting ini, kami terutama akan menggunakan bahan-bahan yang disediakan oleh sejarawan anarkis Paul Avrich dalam bukunya Kronstadt 1921 . Dengan begitu, kami tidak akan dituduh mengarang fakta agar sesuai dengan narasi kami. Di sini kita akan melihat bagaimana fakta-fakta yang dikemukakan oleh Avrich secara tidak sengaja mendukung posisi kaum Bolshevik.
Kondisi Rusia menjelang Pemberontakan Kronstadt
Pemberontakan Kronstadt tidak dapat dipahami secara terpisah. Kita perlu melihat kondisi rezim muda Soviet pada akhir Perang Sipil (1918-21). Bahkan sebelum Revolusi Oktober, Rusia telah menumpahkan begitu banyak darah sampai kering akibat Perang Dunia (1914-1918). Kekuasaan Soviet yang muda ini, yang lahir dari Kongres Soviet Seluruh Rusia Kedua, mewarisi situasi yang hampir mustahil.
Namun demikian, Revolusi Oktober menjadi mercusuar bagi kelas buruh di seluruh dunia. Seperti yang dikatakan Rosa Luxemburg tentang kaum Bolshevik dan Revolusi Oktober: “Semua kehormatan dan kapasitas revolusioner yang tidak dimiliki oleh Sosial Demokrasi Barat telah diwakili oleh kaum Bolshevik. Pemberontakan Oktober mereka bukan hanya merupakan keselamatan bagi Revolusi Rusia saja, tetapi juga keselamatan bagi kehormatan sosialisme internasional.”[1] Dan sungguh ini adalah keselamatan. Revolusi Oktober mengilhami tentara dari semua negara untuk mengarahkan moncong senjata mereka ke komandan mereka dan memicu gelombang revolusi di seluruh Eropa, sehingga mengakhiri pembantaian besar-besaran Perang Dunia Pertama.
Revolusi Oktober bukanlah petualangan yang diluncurkan oleh Lenin dan Trotsky dalam upaya membangun sosialisme di negeri terbelakang. Mereka dengan tegas mendasarkan tindakan mereka pada perspektif revolusi sosialis sedunia, yang mana Revolusi Rusia akan menjadi tembakan pembukanya. Harapannya, kesulitan-kesulitan awal yang dihadapi oleh Revolusi Rusia – keterisolasian dalam perekonomian yang terbelakang, populasi yang sudah terkuras tenaganya, hilangnya wilayah-wilayah penting akibat perjanjian Brest Litovsk, dan lain-lain – akan dapat diatasi dengan kemenangan proletariat di negeri-negeri kapitalis yang lebih maju.
Bagi Lenin dan Trotsky, keselamatan Revolusi Rusia tidak dapat dipisahkan dari nasib revolusi sosialis dunia. Pada Kongres Ketujuh Partai Bolshevik pada bulan Maret 1918, Lenin menulis dalam laporan politiknya: “Dilihat dari sudut pandang historis-dunia, tidak diragukan lagi tidak akan ada harapan bagi kemenangan akhir revolusi kita jika revolusi kita tetap sendirian, jika tidak ada gerakan revolusioner di negeri-negeri lain. Ketika Partai Bolshevik mengemban tugas ini sendirian, mereka melakukannya dengan keyakinan kuat bahwa revolusi sudah semakin matang di semua negeri dan bahwa pada akhirnya – bukan pada awalnya – tidak peduli kesulitan apa pun yang kita alami, tidak peduli kekalahan apa pun yang kita alami, revolusi sosialis dunia akan tiba—karena revolusi itu sedang tiba; akan matang—karena ia tengah matang dan akan mencapai kematangan penuh. Saya ulangi, keselamatan kita dari semua kesulitan ini adalah revolusi seluruh Eropa.” [2] Lenin terutama mengarahkan pandangannya pada Revolusi Jerman yang tengah bergulir: “Bagaimanapun, di bawah semua keadaan yang mungkin terjadi, jika revolusi Jerman tidak tiba, kita akan hancur.”[3]
Dengan kemenangan revolusi sosialis dunia, kekuatan produktif yang lebih tinggi di negara-negara barat akan dikembangkan 10 kali lipat, jika bukan 100 kali lipat, oleh metode produksi sosialis, yang di bawah perekonomian yang direncanakan secara internasional akan dengan cepat mengangkat Rusia dari keterbelakangannya. Secara praktis, ini berarti kemampuan industri perkotaan untuk menyediakan barang-barang konsumsi bagi kaum tani sebagai imbalan atas gandum mereka, sekaligus mempercepat industrialisasi produksi pertanian, yang pada gilirannya akan memungkinkan perkembangan pertanian kolektif untuk mengatasi pertanian perseorangan yang kecil.
Revolusi Oktober memang memicu gelombang gerakan revolusioner di seluruh Eropa. Jutaan tentara, buruh, dan petani yang lelah berperang bangkit melawan. Kita menyaksikan, antara lain, Revolusi Hongaria 1919 , Revolusi Finlandia 1917-1918 , Revolusi Italia 1919-1920 , pembentukan Republik Soviet Bavaria pada 1919 , pemogokan massal di Austria pada 1919 , dan yang paling gemilang, Revolusi Jerman 1918-19 . “Seluruh Eropa dipenuhi dengan semangat revolusi,” ujar Lloyd George kepada Perdana Menteri Perancis Clemenceau pada Maret 1919. Kaum buruh telah menunjukkan keberanian dan inisiatif revolusioner mereka dalam meluncurkan revolusi. Dalam beberapa kasus, kekuasaan ada di tangan mereka. Di Jerman, para buruh, pelaut dan tentara telah mendirikan soviet dan menggulingkan dinasti Hohenzollern. Tidak ada lagi yang bisa diminta dari mereka. Namun, satu demi satu revolusi tersebut berakhir dengan kekalahan. Kepemimpinan kelas buruh terbukti tidak mampu memenuhi tugas yang ada atau, dalam kasus kaum sosial demokrat, mengkhianati revolusi.
Dengan kekalahan revolusi-revolusi ini, bantuan yang ditunggu-tunggu dari Barat tidak kunjung datang. Revolusi Rusia terisolasi. Satu-satunya hal yang datang adalah invasi oleh 21 pasukan imperialis yang menghidupkan kembali kekuatan Putih, yang lalu memicu Perang Sipil yang panjang dan berdarah-darah (1918-21), yang menghancurleburkan seluruh Rusia. Kita akan mengutip Avrich untuk mengilustrasikan kehancuran total yang menimpa rezim Soviet yang muda ini:
“Pada akhir tahun 1920, total output industri telah menyusut menjadi sekitar seperlima dari level tahun 1913… kerusakan [pada ladang minyak Baku dan cekungan batubara Donets] sangat parah dan sangat sulit untuk diperbaiki. Banyak tambang yang terendam air… Total produksi batu bara di Rusia pada akhir tahun 1920 hanya seperempat, dan minyak hanya sepertiga, dari level sebelum perang… produksi besi tuang turun menjadi kurang dari 3 persen dari tingkat tahun 1913, dan produksi tembaga hampir berhenti. Karena kekurangan bahan-bahan baku ini, pusat-pusat industri besar Rusia terpaksa mengurangi produksinya secara drastis… di perusahaan-perusahaan barang konsumsi, total produksi turun menjadi kurang dari seperempat level sebelum perang. Produksi sepatu berkurang hingga sepersepuluh dari level normal, dan hanya satu dari dua puluh pabrik tekstil yang masih beroperasi.” [4]
Kota-kota kehabisan makanan, barang konsumsi, bahan mentah, dan bahkan manusia. Ketika pabrik-pabrik tutup karena kekurangan bahan baku, dan makanan tidak dapat ditemukan, penduduk kota berbondong-bondong ke pedesaan untuk mencari makanan. Antara bulan Oktober 1917 dan Agustus 1920, populasi Petrograd menyusut sebesar 70 persen, dari hampir 2,5 juta menjadi sekitar 0,75 juta. Populasi Moskow berkurang separuh pada periode yang sama. Secara keseluruhan, populasi perkotaan yang awalnya kecil di Rusia telah berkurang sepertiganya hanya dalam beberapa tahun.[5]
Sementara itu, lapisan buruh yang paling berani dan rela berkorban di kota-kota besar adalah yang pertama meninggalkan bangku kerja mereka untuk bergabung dengan Tentara Merah dalam perjuangan hidup dan mati demi keselamatan rejim Soviet. Tingginya angka kematian di garis depan melahap dengan rakus barisan proletar. Pada Agustus 1920, di Petrograd hanya tersisa sepertiga dari hampir 300.000 buruh pabrik yang ada menjelang Revolusi Oktober. Secara keseluruhan, jumlah kaum proletar Rusia berkurang lebih dari separuh.[6] Ini menghantarkan pukulan telak terhadap basis sosial utama Revolusi Oktober, dengan menghilangkan unsur-unsur yang paling sadar kelas, dan menyisakan unsur-unsur yang lebih bimbang dan lebih mementingkan diri sendiri. Kenyataannya adalah, revolusi melahap kaum revolusioner, baik secara fisik maupun spiritual.
Kebijakan sentral untuk mengalahkan Tentara Putih adalah Komunisme Perang, dan pilar utama dari kebijakan ini adalah rekuisisi gandum. Kota-kota dan pabrik-pabrik telah dikosongkan, dan apa yang tersisa dalam kapasitas produksi digunakan untuk keperluan perang. Walhasil, kota tidak lagi mampu memproduksi barang-barang konsumsi untuk membayar gandum yang dibelinya dari pedesaan. Jadi, untuk memberi makan kota dan tentara, petani diminta untuk menyerahkan surplus gandum mereka secara cuma-cuma. Tentu saja, kebijakan ini sangat tidak populer di kalangan petani, yang ingin menggarap tanah yang baru saja mereka peroleh dari Revolusi Oktober tanpa gangguan dan intervensi dari luar. Tinggalkan kami sendirian, begitu pikir para petani. Tetapi kebijakan rekuisisi gandum ini pada awalnya ditoleransi oleh para petani, karena mereka lebih takut pada kemenangan Tentara Putih.
Namun, setiap kali detasemen bersenjata pemerintah berkunjung untuk mengosongkan lumbung mereka, kebencian para petani menjadi semakin besar. Mereka mulai menyembunyikan gandum mereka, yang mau tidak mau mengarah pada penggunaan kekerasan untuk mengumpulkan gandum. Karena dilarang menjual gandum mereka, para petani tidak melihat adanya insentif untuk menanam gandum dan mulai mengurangi semaian mereka. Pada 1921, output pertanian turun hingga kurang dari separuh level sebelum perang, dan jumlah ternak menjadi sekitar dua pertiga. Ini pada gilirannya menyebabkan rekuisisi atas porsi gandum petani yang bahkan lebih besar lagi untuk memenuhi kuota yang sangat dibutuhkan oleh perang. Kian hari jurang pemisah antara kaum proletar dan kaum tani semakin melebar. Para petani, dari sudut pandang mereka, berpikir: apa gunanya memiliki sebidang tanah ketika pemerintahan pusat atau kota yang jaraknya ratusan kilometer dari kami merampas hasil bumi kami dan mendikte kami bagaimana mengerjakan tanah kami? Dalam situasi seperti ini, bentrokan kekerasan sedang dipersiapkan dan semakin menjadi tak terelakkan.
Pada musim gugur tahun 1920, dengan kekalahan pasukan Jenderal Wrangel, ancaman kemenangan Tentara Putih menjadi semakin kecil. Dari sudut pandang kaum tani, tuan-tuan lama mereka telah dikalahkan dan tidak akan lagi kembali untuk mengklaim tanah yang telah disita dari mereka, dan oleh karena itu, ketakutan terhadap kembalinya kekuatan Putih semakin digantikan dengan kebencian terhadap rezim Bolshevik. Kebencian ini dengan cepat berubah menjadi pembangkangan terbuka. Gelombang pemberontakan petani melanda Rusia dari satu ujung ke ujung lainnya.
Sepanjang musim dingin 1920-21, jumlah pemberontakan di pedesaan meningkat dengan kecepatan yang mengerikan. Pada Februari 1921 saja, menjelang pemberontakan Kronstadt, pemerintah mencatat 118 pemberontakan petani yang meletus di berbagai wilayah di Rusia.[7] Jumlah sebenarnya kemungkinan besar lebih tinggi. Pembelotan tentara menjadi hal biasa karena sebagian besar tentara adalah petani berseragam, anak-anak muzhik (petani) yang tergugah oleh penderitaan orang tua mereka yang berjuang melawan rekuisisi gandum. Untuk menjaga kedisiplinan tentara, unit-unit dan perwira-perwira Cheka yang terdiri dari anggota Partai Komunis yang setia dikerahkan, yang hanya memperparah kebencian petani terhadap Partai Komunis.
Di mana-mana, pemberontakan petani yang tersebar ini tersatukan dalam slogan-slogan yang sama: “Hentikan Rekuisisi,” “Hancurkan detasemen penyita gandum,” “Jangan serahkan surplus Anda,” “Hancurkan Kaum Komunis dan Yahudi” (seperti yang akan kami jelaskan nanti di bawah, prasangka anti-Yahudi yang terbelakang ini juga merupakan faktor dalam pemberontakan).[8] Tidak ada program yang koheren, namun karakter kelas dan tuntutan pemberontakan ini jelas. Para petani menuntut untuk ditinggalkan sendiri dengan bidang tanah mereka dan untuk dapat menjual hasil panen mereka di pasar sesuai keinginan mereka.
Mereka ini petani pemilik tanah kecil, dan karena tidak adanya kepemimpinan kelas buruh yang mampu mendorong mereka maju dan memberi mereka reforma, maka mereka tidak memiliki wawasan sosialisme. Kaum anarkis yang membayangkan bahwa pemberontakan-pemberontakan petani ini akan menjadi pertanda komunisme sejati atau masyarakat anarkis tanpa kelas dan tanpa negara akan sangat kecewa mengetahui bahwa para petani tidak mempunyai pemikiran seperti itu.
Pemberontakan Kronstadt adalah pemberontakan petani berseragam. Pemberontak Kronstadt memiliki meriam yang diarahkan ke Petrograd dan keuntungan taktis karena berada di pangkalan angkatan laut yang dibentengi yang dapat menjadi basis untuk serangan militer lebih lanjut ke jantung kekuasaan Soviet. Inilah yang mendorong Lenin menjuluki Pemberontakan Kronstadt sebagai “ledakan yang menyinari kenyataan lebih baik dari apa pun”. Kenyataannya demikian: ada jurang pemisah yang semakin melebar antara revolusi yang sudah letih dan kaum tani, dan perdagangan bebas harus diterapkan kembali untuk memenangkan dukungan kaum tani kembali, dan mendorong kaum tani untuk berproduksi lagi.
Kekuatan Putih
Penting untuk memahami kekuatan-kekuatan sosial utama di balik Pemberontakan Kronstadt. Jelas bahwa para pelaut Kronstadt pada 1921 bukanlah pahlawan yang sama pada Revolusi 1917. Lapisan terbaik telah dikirim ke garis depan, dan bahkan mereka adalah lapisan pertama yang menjadi relawan untuk melawan pasukan Putih. Fakta ini bahkan diakui oleh Avrich, yang menyatakan bahwa mereka yang “memainkan peran penting di Kronstadt selama tahun 1917 sudah tidak ada lagi empat tahun kemudian.”[9]
Dia melanjutkan dalam bukunya Kronstadt 1921 :
“Tidak ada keraguan bahwa selama tahun-tahun Perang Sipil memang terjadi pergantian besar-besaran di Armada Baltik, dan banyak tentara lama telah digantikan oleh tentara baru yang direkrut dari daerah pedesaan yang membawa serta ketidakpuasan kaum tani Rusia. Pada 1921, menurut data resmi, lebih dari tiga perempat pelaut berasal dari petani, proporsi yang jauh lebih tinggi dibanding tahun 1917, ketika buruh industri dari wilayah Petrograd merupakan bagian yang cukup besar dalam armada Baltik. Petrichenko sendiri kemudian mengakui bahwa banyak rekan seperjuangannya adalah petani dari selatan yang tergerak oleh penderitaan warga desa di kampung halamannya.”[10]
Fakta inilah yang dipahami Trotsky tentang perubahan komposisi sosial para pelaut Kronstadt pada 1921, bahwa mereka terdiri dari lapisan yang lebih terbelakang secara politik, yang lebih rentan menyerah di bawah tekanan situasi yang sulit. Trotsky menulis dalam Hingar Bingar Kronstadt:
“Di bawah tekanan kebutuhan dan kemiskinan, kaum buruh sendiri kadang-kadang terpecah menjadi kelompok-kelompok yang bermusuhan, tergantung pada kuat atau lemahnya ikatan mereka dengan desa. Tentara Merah juga menemukan dirinya di bawah pengaruh desa. Selama tahun-tahun perang sipil, perlu lebih dari sekali melucuti resimen-resimen yang tidak puas. … Benar, Kronstadt menulis sebuah halaman heroik dalam sejarah revolusi. Namun perang sipil memulai depopulasi sistematis di Kronstadt dan seluruh armada Baltik.”[11]
Namun, bahkan dengan fakta di depan matanya, Paul Avrich mencoba bergeliat dan mencapai kesimpulan yang berlawanan: bahwa Kronstadt pada 1921 pada dasarnya sama dengan Kronstadt pada 1917 dan 1905: “Pada 7 November, pada ulang tahun ketiga perebutan kekuasaan oleh Bolshevik, mereka [para pelaut Kronstadt] berdiri di barisan depan iring-iringan”; “Petrichenko [sang pemimpin pemberontakan] telah bergabung dengan armada Kronstadt sejak tahun 1912”; dst. Hanya orang bodoh yang naif yang percaya bahwa para pelaut Kronstadt yang revolusioner pada tahun 1917 akan tetap bermalas-malasan di benteng dan di kapal mereka sementara kamerad-kamerad seperjuangan mereka mempertaruhkan nyawa mereka berperang melawan Jenderal Wrangel, Kolchak, Denikin, dll.
Beberapa komentar penting harus disampaikan tentang Petrichenko. Beberapa halaman setelah membuat pernyataan bahwa Kronstadt pada tahun 1917 pada dasarnya tidak berubah empat tahun kemudian, Avrich menulis:
“[Ketika] Petrichenko pulang ke kampung halamannya pada April 1920… setelah memiliki cukup waktu untuk menyaksikan tindakan detasemen penyita gandum Bolshevik dan memupuk kebencian mendalam terhadap pemerintah… Dia bahkan mencoba bergabung dengan Tentara Putih, hanya saja ditolak karena dianggap mantan Bolshevik.”[12] Avrich tidak mengatakan apa-apa lagi tentang episode ini, di mana pemimpin masa depan dari apa yang dia dan rekan-rekan anarkisnya sebut sebagai “Komune Paris Kedua” telah mencoba untuk bergabung dengan kekuatan Putih setahun sebelumnya.
Selama pemberontakan, Petrichenko dan “Komite Revolusioner Provisional” yang dipimpinnya membuat banyak pernyataan bombastis bahwa mereka adalah pewaris sejati Revolusi Oktober, berjuang untuk membebaskan soviet dari Bolshevik yang merampas kekuasaan dari rakyat; bahwa pemberontakan mereka tidak ada hubungannya dengan kekuatan Putih; dan pemberontakan ini mewakili hasrat revolusioner buruh dan tani. Namun celoteh revolusioner ini segera terungkap sebagai taktik yang sinis. Beberapa bulan setelah dikalahkan, kepemimpinan Pemberontakan Kronstadt yang mengasing segera beraliansi dengan Tentara Putih yang reaksioner, seperti yang dinyatakan oleh Avrich sendiri:
“Namun, kita dapat melihat ada semacam kesepakatan yang dicapai antara para pemberontak dan para emigran [eksil Putih] setelah pemberontakan berhasil ditumpas dan para pemimpinnya melarikan diri ke Finlandia. Pada Mei 1921, Petrichenko dan sejumlah rekannya di kamp Fort Ino memutuskan untuk menyumbangkan jasa mereka kepada Jenderal Wrangel. Pada akhir bulan Mei, mereka menulis surat kepada Profesor Grimm, perwakilan Wrangel di Helsingfors, dan menawarkan untuk bergabung dalam kampanye baru untuk menggulingkan kaum Bolshevik dan memulihkan ‘pencapaian Revolusi Februari 1917.’”[13]
Tetapi, mungkin ada bertanya: apa arti sebenarnya dari “memulihkan pencapaian Revolusi Februari 1917”? Revolusi Februari berhasil menggulingkan Tsar. Namun Revolusi tersebut lebih dari itu. Revolusi Februari membuka pintu dam bagi Soviet-soviet yang terbentuk di seluruh Rusia. Melalui Soviet-soviet ini, massa revolusioner menyampaikan aspirasi mereka untuk mengakhiri perang imperialis, tanah untuk penggarap, roti untuk buruh, diselenggarakannya Majelis Konstituante, hak bangsa tertindas untuk menentukan nasib sendiri, dan lain-lain. Para pemimpin Menshevik dan Sosialis-Revolusioner di Soviet mengkhianati aspirasi ini dengan mendukung Pemerintahan Provisional yang borjuis. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk mempertahankan pencapaian Revolusi Februari dan memenuhi aspirasi massa adalah dengan terus maju menuju kesimpulan akhirnya: Revolusi Oktober, di mana kaum buruh mengambil alih kekuasaan dengan kaum Bolshevik sebagai pemimpinnya. Jadi, ketika Petrichenko berbicara tentang “memulihkan pencapaian Revolusi Februari 1917”, yang dia maksud adalah mengembalikan waktu ke masa kekuasaan Pemerintahan Provisional borjuis, yang dalam praktiknya akan menihilkan Revolusi Oktober.
Avrich melanjutkan:
“Para pelaut Kronstadt mengajukan enam poin program sebagai basis kerja sama [dengan Jenderal Wrangel]: (1) semua tanah untuk petani, (2) serikat buruh bebas untuk buruh, (3) kemerdekaan penuh untuk bangsa-bangsa di perbatasan, (4) kebebasan bagi para buronan Kronstadt, (5) pencabutan tanda pangkat di bahu dari semua seragam militer, dan (6) tetap mempertahankan slogan mereka ‘semua kekuasaan untuk soviet tetapi tidak untuk partai-partai.’ Namun yang mengejutkan, slogan tersebut hanya dipertahankan sebagai ‘manuver politik yang nyaman’ sampai kaum Komunis digulingkan. Ketika kemenangan sudah di tangan, slogan tersebut akan ditarik dan kediktatoran militer sementara akan diberlakukan [!] untuk mencegah anarki melanda negara tersebut. Poin terakhir ini, tidak diragukan lagi, dimaksudkan sebagai kompromi untuk Wrangel. Para pelaut Kronstadt, bagaimanapun juga, bersikeras bahwa pada waktunya [!] rakyat Rusia harus ‘bebas memutuskan untuk diri sendiri pemerintahan seperti apa yang mereka inginkan.’”[14]
Wrangel menerima persyaratan tersebut, karena setiap oposisi serius terhadap Bolshevik pada saat itu wajib memberi layanan bibir pada masalah tanah dan masalah kebangsaan, dan meniru slogan “semua kekuasaan untuk Soviet”. Tetapi, seperti yang ditunjukkan di atas, slogan tersebut hanyalah kedok untuk kediktatoran militer, yang disetujui oleh Petrichenko dan rekan-rekan pemimpinnya. Fakta bahwa Avrich ‘terkejut’ dengan hal ini hanya menunjukkan formalismenya. Meskipun perhatiannya sangat ketat terhadap fakta-fakta material, keyakinannya yang kaku bahwa para pemberontak mewakili perjuangan ‘progresif’ melawan tirani Bolshevik membuat dia mengabaikan kebenaran yang tidak menyenangkan.
Para pengungsi Kronstadt kemudian bergabung dengan Pusat Nasional (atau Persatuan Nasional): sebuah koalisi Kadet, Oktobris (kaum monarkis konstitusional), dan kelompok anti-Bolshevik lainnya yang dibentuk pada tahun 1918, yang bekerja sama dengan para jenderal Tentara Putih untuk menggulingkan kaum Bolshevik. Avrich menulis:
“Pada Juni 1921, Kongres Persatuan Nasional, yang digelar oleh Pusat Nasional untuk menyatukan para emigran yang berpikiran sama dalam perang anti-Bolshevik, menerima pesan dari sekelompok pemberontak Kronstadt di Finlandia yang dengan hangat mendukung program mereka. Selain itu, dalam arsip Pusat Nasional terdapat dokumen rahasia tertanggal 30 Oktober 1921, yang ditandatangani oleh Petrichenko dan Yakovenko (sebagai ketua dan wakil ketua Komite Revolusioner Provisional), yang memberi wewenang kepada Vsevolod Nikolaevich Skosyrev untuk bergabung dengan Komite Nasional Rusia di Paris sebagai perwakilan para pengungsi untuk ‘mengkoordinasi kerja aktif dengan organisasi-organisasi lain yang berdiri di atas platform perjuangan bersenjata melawan Komunis.’”[15]
Apa lagi yang bisa dikatakan? Kendati semua fakta ini, bahwa bahkan sebelum pemberontakan Petrichenko sendiri telah mencoba untuk bergabung dengan Tentara Putih, dan tidak lama setelah pemberontakan yang gagal dia dan “Komite Revolusioner Provisional” yang dipimpinnya sungguh bergabung dengan kaum Putih, Avrich masih mencoba menyangkal sifat reaksioner dari kepemimpinan pemberontakan Kronstadt.
“Tentu saja semua ini,” Avrich berusaha mengelak, “tidak membuktikan adanya ikatan antara Pusat [Nasional] dan Komite Revolusioner [Provisional Kronstadt] baik sebelum atau selama pemberontakan.”[16] Memang benar bahwa tidak ada ikatan organisasi antara kaum Putih dan kepimpinan Kronstadt yang terjalin secara resmi selama pemberontakan. Namun ini hanya karena kedua belah pihak tidak mempunyai kesempatan yang baik dan tepat-waktu untuk bertemu satu sama lain, karena pasukan Putih sedang mundur dan tidak terorganisir sepenuhnya pada akhir tahun 1920. Ketika mereka akhirnya memiliki kesempatan, setelah kekalahan pemberontakan, aliansi jahat ini segera terbentuk, tanpa banyak kesulitan. Aliansi semacam itu hampir pasti akan terbentuk seandainya pemberontakan dapat bertahan lebih lama.
Avrich mencoba menjelaskan aliansi ini sebagai hasil dari “pengalaman bersama mengalami kepahitan dan kekalahan”. Leon Trotsky dan Oposisi Kiri juga menghadapi kepahitan dan kekalahan dalam perjuangan mereka melawan birokrasi Stalinis, namun tidak pernah sekalipun mempertimbangkan untuk menerima bantuan dari emigran Putih mana pun: Kadet, SR Kanan, kaum monarkis, jenderal Putih, dst. Terlebih lagi, kaum emigran Putih ini mafhum betul apa yang diwakili oleh Oposisi Kiri – yaitu tendensi proletar sejati dalam Revolusi Rusia – dan oleh karenanya tidak pernah mempertimbangkan untuk membentuk front bersama untuk melawan pemerintah Soviet. Tujuan kaum emigran Putih dan Oposisi Kiri tidak dapat didamaikan. Sebaliknya, mereka gembira melihat kaum Oposisi Kiri dan kaum Bolshevik Tua memenuhi Lubyanka (ruang penyiksaan OGPU, polisi rahasia Stalinis) dan gulag di tangan inkuisitor Stalinis. Sementara itu, kaum Putih paham betul bahwa karakter pemberontakan petani dan pemberontakan Kronstadt yang penuh dengan kebingungan itu merupakan kendaraan yang cocok untuk ditunggangi demi tujuan-tujuan reaksioner mereka.
Selama minggu pertama pemberontakan, Alexander Kerensky [kepala Pemerintahan Provisional borjuis yang ditumbangkan oleh Revolusi Oktober] dan Victor Chernov [pemimpin Sosialis-Revolusioner yang menjadi menteri dalam kabinet Kerensky] mengirim radiogram ke Komite Revolusioner Provisional, menawarkan “jasa mereka bagi revolusi rakyat” dan “kemenangan akhir massa pekerja”. Mereka telah mengumpulkan dana dan suplai yang cukup besar dari para emigran Putih dan siap mengirimkannya ke Petrichenko. Meskipun hanya satu anggota Komite yang menyetujui penerimaan bantuan tersebut, dan satu menolaknya sepenuhnya, Petrichenko dan yang lainnya berargumen bahwa jalan terbaik adalah menolak bantuan tersebut untuk saat ini :
“Komite Revolusioner Provisional Kronstadt mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua saudara kita di luar negeri atas simpati mereka. Komite Revolusioner Provisional berterima kasih atas tawaran Chernov, namun menolaknya untuk saat ini [!], sampai perkembangan lebih lanjut menjadi lebih jelas. Sementara itu, semuanya akan dipertimbangkan.”[17]
Setelah mencitrakan diri mereka sebagai penyelamat Soviet dari Bolshevik yang haus kekuasaan, para pemberontak Kronstadt berkorespondensi dengan hangat dengan para pendukung Pemerintahan Provisional yang busuk. Pintu menuju aliansi dengan musuh-musuh Revolusi Oktober ini tidak tertutup, namun ditunda sampai saat yang tepat tiba.
Pimpinan pemberontakan Kronstadt secara sinis mencoba memanfaatkan ketidakpuasan massa. Kaum revolusioner yang mampu berpikir dapat dan harus memahami keinginan tulus kaum tani untuk menggarap tanah mereka tanpa detasemen bersenjata yang datang untuk merampas hasil panen mereka, dan rasa frustrasi sebagian besar massa buruh atas kesulitan-kesulitan yang timbul akibat Perang Sipil dan banyak kebijakan keras yang diambil oleh pemerintah selama perang tersebut. Kepada pasukan yang dikirim untuk merebut kembali pangkalan Kronstadt dari pemberontak, Trotsky mengatakan: “Kita telah menunggu selama mungkin hingga kamerad-kamerad pelaut kita yang buta dapat melihat dengan mata kepala sendiri ke mana pemberontakan ini akan membawa mereka.”[18]
Adalah suatu kebodohan besar untuk menyamakan ketidakpuasan ini dengan semacam kesadaran kelas yang maju, karena tanpa disadari berdiri di balik ketidakpuasan ini adalah kekuatan-kekuatan reaksioner. Aliansi Petrichenko-Wrangel akhirnya mengungkap isi sebenarnya dari program yang diajukan oleh pemberontak Kronstadt. Di balik seruan mereka untuk “Soviet yang bebas” bersembunyi kediktatoran militer. Lenin dan Trotsky tidak salah jika percaya bahwa kemenangan pemberontakan Kronstadt akan menyalakan kembali Perang Sipil dan memberi Tentara Putih pangkalan yang sangat strategis untuk meluncurkan serangan militer terhadap Soviet. Dan fakta bahwa pemberontakan petani umumnya berhenti setelah penerapan Kebijakan Ekonomi Baru menunjukkan motivasi sebenarnya dari pemberontakan petani ini: kebebasan untuk menjual hasil panen mereka di pasar.
Anti-semitisme
Prasangka terbelakang – seperti antisemitisme – juga bersembunyi di balik tabir retorika “Soviet bebas” yang terdengar revolusioner dan memenuhi surat kabar harian Kronstadt, Izvestia. Seperti disebutkan sebelumnya: “Hancurkan kaum Komunis dan Yahudi” adalah slogan umum pemberontakan petani pada 1920-21. Avrich mencatat bahasa anti-semit yang terdengar di antara petani dan buruh yang memprotes pemerintahan Bolshevik: “Anti-Semitisme dan anti-intelektualisme mulai muncul, sering kali secara bersamaan; kaum Bolshevik dituduh sebagai generasi intelektual Yahudi asing yang telah mengkhianati rakyat Rusia dan mencemari kemurnian revolusi.”[19]Avrich, seperti yang diperkirakan, mencoba meremehkan hal ini dengan mengatakan bahwa “anti-Semitisme adalah respons tradisional [!] dari petani dan buruh Rusia selama masa-masa yang luar biasa sulit.”[20] Tetapi respons ini tradisional dalam artian mewakili prasangka lama dari lapisan masyarakat yang paling terbelakang, bukan lapisan masyarakat yang maju.
Pandangan anti-semit seperti itu juga lazim di kalangan pemberontak Kronstadt, seperti yang disoroti oleh Avrich sendiri dari memoar salah satu pelaut Kronstadt selama pemberontakan:
“Fantasi seperti ini [konspirasi Yahudi untuk mengambil alih dunia] yang beredar di Armada Baltik terlihat jelas dari memoar seorang pelaut yang ditempatkan di pangkalan angkatan laut Petrograd pada saat pemberontakan Kronstadt. Dengan teramat keras ia menyerang rezim Bolshevik sebagai ‘Republik Yahudi pertama’; dan tema ‘boyar jahat’ [boyar, bangsawan feodal Eropa Timur], yang sangat kental dalam mitos Rusia, jelas muncul ketika ia menyebut kaum Yahudi sebagai ‘kelas berprivilese’ baru, kelas ‘pangeran Soviet.’ … Sentimen ini, tegasnya, sangat kuat dan menyebar luas di antara rekan-rekan pelautnya, yang yakin bahwa orang-orang Yahudi, bukan petani dan buruh Rusia, adalah pihak yang sesungguhnya diuntungkan oleh revolusi: orang-orang Yahudi memegang jabatan penting dalam partai Komunis dan negara Soviet; mereka memenuhi setiap kantor pemerintah, khususnya Komisariat Pangan, memastikan agar orang-orang Yahudi tidak kelaparan… Keyakinan seperti itu, tidak diragukan lagi, sama lazimnya di Kronstadt seperti halnya di Petrograd [di antara buruh Petrograd yang mogok pada Februari 1921], jika tidak lebih.”[21]
Dan salah jika kita berpikir bahwa pandangan anti-semit semacam itu hanya terbatas di antara pelaut bawahan. Ketika Vershinin, salah satu anggota Komite Revolusioner Provisional Kronstadt, pada 8 Maret berunding dengan detasemen Soviet, dia menggunakan seruan anti-semit: “Cukup sudah dengan ‘hoorah’ kalian, dan bergabunglah dengan kami untuk mengalahkan orang-orang Yahudi. Dominasi terkutuk merekalah yang harus ditanggung oleh kami para pekerja dan petani.”[22] Kepemimpinan “Komune Paris Kedua” seperti inilah yang menjadi harapan kaum anarkis.
Partai Bolshevik meluncurkan perjuangan keras dan prinsipil melawan segala bentuk anti-semitisme. Revolusi sosialis yang sejati tidak bisa dinodai oleh prasangka yang memecah-belah kelas buruh. Ideologi anti-semitisme yang beracun ini selalu menjadi senjata pilihan reaksi, untuk menggalang lapisan masyarakat yang paling terbelakang melawan lapisan masyarakat yang paling maju. Sentimen anti-semit digunakan oleh kaum reaksioner Putih untuk menyerang para pemimpin Bolshevik, dan kemudian oleh reaksi kaum Stalinis terhadap Revolusi Oktober, di mana Stalin dan pengikutnya membangkitkan kembali anti-semitisme dalam perjuangan mereka melawan Oposisi Kiri Trotsky dan kaum Bolshevik Tua. Oleh karena itu, maraknya anti-semitisme dalam pemberontakan Kronstadt merupakan indikator lain bahwa pemberontakan ini bukanlah “revolusi Rusia ketiga”, namun merupakan reaksi borjuis kecil yang datang dari lapisan kelas pekerja yang lebih terbelakang.
Merebut kembali Kronstadt
Perang Sipil telah menciptakan kesengsaraan mengerikan di seluruh Rusia. Kedinginan dan kelaparan, ditambah dengan jatah makanan yang terus berkurang, telah menghasilkan ketegangan besar di banyak kota. Pada 22 Januari, karena gangguan transportasi kereta api, pemerintah mengumumkan bahwa jatah roti di kota-kota yang sudah sedikit itu akan segera dipotong sepertiga. Ini memicu gelombang demonstrasi dan pemogokan di Moskow dan Petrograd, di mana para pekerja membawa “spanduk dan plakat yang menuntut ‘perdagangan bebas’, jatah makanan yang lebih besar, dan penghapusan rekuisisi gandum”. Beberapa spanduk bahkan memuat slogan “Hancurkan kaum Komunis dan Yahudi”.[23]
Soviet setempat mengumumkan darurat militer dan memberlakukan jam malam. Detasemen dikerahkan untuk membubarkan demonstrasi dan pemogokan. Cheka menangkapi anggota-anggota SR, Menshevik, dan agitator lainnya yang memanfaatkan krisis pangan untuk menghasut massa yang kelaparan untuk melawan negara buruh. Soviet Petrograd meluncurkan kampanye seruan besar-besaran kepada para pemogok untuk kembali bekerja, dengan menjelaskan kepada mereka bahwa kelaparan, kelelahan, dan kedinginan ini adalah ongkos yang tidak dapat dihindari dalam mempertahankan revolusi, dan satu-satunya pihak yang diuntungkan dari pemogokan dan demonstrasi ini adalah Tentara Putih. Gejolak ini akhirnya mereda ketika pemerintah segera menyediakan bantuan sosial kepada masyarakat yang kelaparan dan kedinginan: jatah tambahan dibagikan dan batu bara didatangkan dari luar negeri. Namun yang paling penting, Zinoviev, ketua Petrograd Soviet, untuk pertama kalinya mengungkapkan bahwa pemerintah sedang dalam proses mengganti kebijakan rekuisisi gandum dengan kebijakan pajak.[24] Dalam pengertian ini, kita dapat melihat bahwa buruh yang mogok di Moskow dan Petrograd mewakili lapisan yang lebih terbelakang, yang berada di bawah pengaruh borjuis kecil. Sebagaimana diuraikan di atas, lapisan buruh yang paling berdedikasi dan sadar telah menjadi sukarelawan di medan perang sipil. Mereka yang tersisa adalah yang paling egois, dan paling tidak mau berkorban demi kepentingan umum revolusi.
Pada 2 Maret, ketertiban di Petrograd telah pulih. Namun berita mengenai demo dan pemogokan di Petrograd telah sampai ke Kronstadt, dan dicampur dengan “berbagai macam rumor palsu, yang dengan cepat membuat geram para pelaut. Misalnya, dikatakan bahwa pasukan pemerintah telah menembaki para demonstran Pulau Vasilii dan para pemimpin pemogokan dieksekusi di ruang tahanan Cheka.”[25] Hal seperti itu tidak pernah terjadi. Namun Petrichenko memanfaatkan rumor ini untuk menghasut para pelaut untuk memberontak.
Pada 1 Maret, M.I. Kalinin dan N.N. Kuzmin diutus dari Petrograd untuk menjelaskan situasi sebenarnya pada pertemuan massal di Kronstadt dan menenangkan para pelaut yang resah. Namun mereka tidak diberi kesempatan untuk berbicara karena kata-kata mereka “ditenggelamkan oleh siulan dan cemoohan.”[26] Kalinin bahkan ditahan beberapa saat sebelum diizinkan meninggalkan pulau Kronstadt. Anggota-anggota Bolshevik di Kronstadt juga diperlakukan seperti itu ketika berbicara dalam pertemuan massa. Seperti yang ditulis Avrich: “Ketika berbicara kepada kamerad-kamerad mereka, mereka [kaum Komunis] dicemooh dan disela dengan cara yang sama seperti Kalinin dan Kuzmin sehari sebelumnya. Di garnisun utama, misalnya, komisaris Bolshevik hampir tidak diberi waktu untuk memprotes prosedur rapat yang tidak lazim tersebut sebelum dipotong oleh ‘spesialis militer’ yang bertanggung jawab atas artileri, seorang mantan jenderal Tsar bernama Kozlovsky.”[27]
Pada 2 Maret, selama konferensi Soviet Kronstadt, Petrichenko memerintahkan penangkapan tiga pemimpin utama Bolshevik: Kuzmin; ketua Kronstadt Soviet Vasiliev; dan komisaris Skuadron Kapal Perang Kronstadt Korshunov. Ini benar-benar mengekspos betapa kosongnya tuntutan kebebasan berpendapat yang diusung para pemberontak. Penangkapan tersebut mendorong konferensi menuju pemberontakan terbuka. Namun konferensi ini sungguh berubah menjadi pemberontakan terbuka ketika seseorang berteriak bahwa “15 truk penuh kaum Komunis bersenjatakan senapan dan senapan mesin sedang dalam perjalanan untuk membubarkan pertemuan”[28]. Rumor yang tidak berdasar ini, yang kemudian terbukti palsu, membuat konferensi menjadi heboh. Alih-alih menyelidikinya, ketua konferensi Petrichenko malah memprovokasi situasi dengan mengumumkan bahwa satu detasemen yang terdiri dari 2.000 orang Komunis memang sedang dalam perjalanan untuk menangkap mereka. Di bawah suasana panik dan kebingungan, yang diciptakan oleh rumor palsu tersebut, Petrichenko memperoleh dalih yang dia perlukan untuk menunda pemilihan Soviet yang baru dan membentuk Komite Revolusioner Provisional dengan dia sebagai pemimpinnya. Kaum Komunis ditangkap; semua pintu keluar kota ditutup; jam malam diberlakukan. Pemberontakan diluncurkan.
Berita pemberontakan tersebut segera membangkitkan harapan baru di antara semua kekuatan kontra-revolusioner. Kerensky yang diasingkan percaya bahwa pemberontakan tersebut akan menandai keruntuhan Bolshevisme dalam waktu dekat. Pemimpin Kadet Milyukov menyambut baik pemberontakan tersebut dan “mengekspresikan optimisme bahwa pemerintahan Lenin akan segera berakhir dan meminta pemerintah Amerika untuk mengirimkan suplai makanan kepada para pemberontak.” Pusat Nasional sangat gembira dan menulis: “Pemberontakan di Kronstadt mendapat simpati dari dalam sanubari semua kaum eksil.” Perserikatan Dagang dan Industri Rusia di Paris menjanjikan bantuan awal sebesar dua juta mark Finlandia untuk “tujuan suci pembebasan Rusia” dan membentuk komite khusus untuk mengorganisir rantai pasok yang efektif ke Kronstadt.[29] Kita dapat mengetahui banyak hal tentang siapa seseorang melalui teman-teman yang berkumpul di sekitarnya. Kaum emigran Putih dengan jelas memahami sifat kontra-revolusioner dari pemberontakan ini.
Oleh karena itu, pemberontakan Kronstadt sama sekali bukanlah “Komune Paris Kedua”, melainkan reaksi borjuis-kecil, yang dipicu oleh kesulitan-kesulitan yang disebabkan oleh kondisi keras yang dihadapi revolusi proletar. Kemenangan pemberontakan ini akan menjadi landasan bagi serangan kontra-revolusioner yang baru. Garis kelas yang memisahkan kedua kubu – pemerintah Soviet di satu sisi, dan Pemberontakan Kronstadt di sisi lain – terlihat jelas. Tidak ada jalan tengah dalam pertanyaan ini. Tidak ada ruang untuk kebimbangan moralistik. Keragu-raguan berarti kematian revolusi itu sendiri. Dalam menumpas Pemberontakan Kronstadt, kaum Bolshevik membela Revolusi Oktober dalam melawan reaksi borjuis dan borjuis kecil.
Operasi militer untuk merebut kembali Kronstadt dimulai pada 7 Maret. Tentara Merah berpacu dengan waktu. Dengan musim semi yang sudah dekat, dalam hitungan minggu es yang mengelilingi pulau akan mencair, sehingga serangan infanteri terhadap benteng akan menjadi mustahil dan suplai dan bala bantuan dari luar dapat mencapai Kronstadt melalui laut. Ini akan menjadikan Kronstadt basis strategis untuk invasi baru Tentara Putih.
Namun, merebut kembali Kronstadt bukanlah tugas yang mudah. Tidak hanya bentengnya yang kuat, tetapi Kronstadt juga berdiri tinggi di atas lapangan es yang terbuka. Ribuan serdadu dan buruh Tentara Merah kehilangan nyawa mereka dalam serangan heroik untuk merebut kembali benteng tersebut. Mereka maju dengan gagah berani melintasi es terbuka, tanpa perlindungan dari hujan tembakan senapan mesin. Di bawah serangan artileri yang berat, banyak yang tenggelam ke dalam es. Ketika benteng tersebut akhirnya ditaklukkan 10 hari kemudian, korban jiwa di pihak Soviet diperkirakan mencapai 10.000-25.000 orang. 300 delegasi Kongres Partai Bolshevik Kesepuluh, yang berlangsung selama pemberontakan, meninggalkan aula kongres untuk menjadi sukarelawan untuk merebut kembali Kronstadt, dan 15 di antaranya kehilangan nyawa. Inilah semangat pengorbanan sesungguhnya yang mewakili sisi terbaik revolusi.
Sementara itu, dari pihak pemberontak Kronstadt, 600 orang tewas dan 1.000 lainnya luka-luka.[30] Petrichenko dan anggota Komite Revolusioner lainnya melarikan diri ke Finlandia dan tak lama kemudian bergabung dengan pasukan Putih di bawah pimpinan Jenderal Wrangel. Terlepas dari kegaduhan yang dilontarkan oleh lawan-lawan mereka, kaum Bolshevik memenuhi tugas mereka dengan terhormat untuk mempertahankan kemenangan Revolusi Oktober.
Para musuh Bolshevisme hingga hari ini tidak pernah berhenti menyamakan Teror Merah rezim muda Soviet (1917-1921) – termasuk penumpasan pemberontakan Kronstadt – dengan teror Stalinis yang menyusul di periode berikutnya. Stalinisme dipandang sebagai kelanjutan sah dari Bolshevisme, dengan penumpasan Kronstadt sebagai jembatannya. Namun, analisis yang serius dan jujur terhadap sejarah Revolusi Rusia akan menunjukkan bahwa Teror Merah ditujukan terhadap kekuatan-kekuatan yang memusuhi Revolusi Oktober. Sayangnya elemen-elemen yang bermusuhan ini mencakup beberapa lapisan tani dan buruh, yaitu lapisan yang paling tidak sadar kelas, yang jatuh di bawah pengaruh kekuatan anti-Bolshevik karena kesulitan dan kesengsaraan yang mereka hadapi. Sebaliknya, teror Stalinis ditujukan terhadap kaum proletar, khususnya terhadap lapisan yang paling mewakili tradisi sejati Revolusi Oktober. Agar Stalin dan birokrasi dapat memperkuat cengkeraman kekuasaan mereka, mereka harus memusnahkan semua kaum Bolshevik Tua. Mayoritas anggota Komite Pusat Bolshevik yang memimpin Revolusi Oktober tewas di bawah kekuasaan Stalin. Dari 30 anggota KP, delapan orang meninggal karena sebab alamiah sebelum Stalin mengambil alih kekuasaan pada tahun 1927; 18 orang dieksekusi di bawah perintah Stalin; dan hanya tiga yang selamat: Muranov yang dipaksa pensiun dini pada 1939; Kollontai yang secara efektif diasingkan dengan dikirim sebagai diplomat asing; dan Elena Stasova, yang menurut Stalin tidak berbahaya. Hanya Stalin yang tersisa. Ada sungai darah yang memisahkan Bolshevisme dari Stalinisme. Stalinisme bukanlah produk Bolshevisme, melainkan produk dari keterisolasian Revolusi Rusia.
Basis ekonomi Pemberontakan Kronstadt
Pada analisa terakhir, pemberontakan Kronstadt menggarisbawahi problem upaya membangun sosialisme di negeri terbelakang dengan basis industri yang kecil dan jumlah petani yang besar. Problem ini diperparah dengan perang berturut-turut yang menguras tenaga dan sumber daya bangsa. Problem ekonomi ini dapat direduksi menjadi pertanyaan bagaimana memasok produk pertanian ke pusat-pusat industri guna mengembangkan tenaga produktif. Para petani hanya mau memperdagangkan hasil panen mereka untuk ditukarkan dengan barang-barang konsumsi, namun kondisi industri negara sangat terpuruk sehingga mereka tidak dapat menyediakan barang-barang manufaktur tersebut. Ini menyebabkan segala macam kontradiksi. Seperti yang ditulis Trotsky dalam Revolusi yang Dikhianati:
“Di negeri yang simpanan dan cadangannya telah terkuras habis, industri tidak dapat berkembang kecuali dengan meminjam gandum dan bahan baku dari petani. Namun, ‘pinjaman paksa’ [yaitu rekuisisi] yang terlalu berat akan menghancurkan stimulus kerja petani. Bila para petani tidak lagi percaya pada masa depan yang lebih baik maka mereka akan menjawab ekspedisi pengumpulan gandum dari kota dengan mogok tanam. Di sisi lain, pengumpulan gandum dilakukan yang terlalu ringan akan membuat produksi di kota mandek.”[31]
Ketegangan ekonomi antara kota dan desa akhirnya melampaui “mogok tanam” dan meletus menjadi serangkaian pemberontakan petani dan pemberontakan Kronstadt. Trotsky menjelaskan hal ini dengan baik dalam Hingar Bingar Kronstadt:
“Selama tahun-tahun revolusi kami sering bentrok dengan kaum Cossack, kaum tani, bahkan dengan lapisan buruh tertentu (selapisan buruh tertentu dari Ural mengorganisir resimen sukarelawan untuk pasukan Kolchak!). Antagonisme antara buruh sebagai konsumen dan petani sebagai produsen dan penjual roti, pada dasarnya, merupakan akar dari konflik-konflik ini. Di bawah tekanan kebutuhan dan kemiskinan, kaum buruh sendiri kadang-kadang terpecah menjadi kelompok-kelompok yang bermusuhan, tergantung pada kuat atau lemahnya ikatan mereka dengan desa. Tentara Merah juga menemukan dirinya di bawah pengaruh desa. Selama tahun-tahun perang sipil, perlu lebih dari sekali melucuti resimen-resimen yang tidak puas. …. Pemberontakan Kronstadt hanyalah satu episode dalam sejarah hubungan antara kota proletarian dan desa borjuis-kecil.”
Penerapan kebijakan-kebijakan yang tidak populer, seperti rekuisisi gandum, larangan perdagangan bebas gandum, blokade jalan untuk mencegah spekulasi dan pasar gelap – yang diperlukan selama masa perang yang gawat – tidak dapat dilakukan tanpa semacam pembatasan dan paksaan. Intinya, Pemberontakan Kronstadt merupakan ekspresi bentrokan antara kepentingan ekonomi langsung kaum tani – dalam konteks kemiskinan dan kekurangan yang ekstrem – dengan tugas historis proletariat untuk membangun ekonomi sosialis yang terencana. Lenin dengan jelas menyoroti problem fundamental revolusi Rusia ini dalam laporannya kepada Kongres Partai Kesepuluh, yang berlangsung bersamaan dengan meletusnya pemberontakan Kronstadt:
“Lalu ada problem-problem ekonomi. Apa arti perdagangan bebas yang dituntut oleh elemen-elemen borjuis-kecil? Artinya dalam hubungan proletariat dengan petani kecil terdapat problem-problem sulit dan tugas-tugas yang belum kita selesaikan. Saya berbicara tentang hubungan antara proletariat yang menang dengan pemilik kecil ketika revolusi proletar bergulir di sebuah negeri di mana proletariat adalah minoritas, dan borjuasi kecil adalah mayoritas. Di negeri seperti ini, peran proletariat adalah mengarahkan transisi pemilik kecil ke kerja kolektif yang tersosialisasikan. Secara teoritis ini tidak dapat diperdebatkan. Kita telah menangani transisi ini dalam sejumlah undang-undang, namun kita tahu bahwa transisi ini tidak dapat dipenuhi lewat undang-undang, tetapi lewat implementasi praktis, yang, kita juga tahu, hanya bisa dijamin bila kita memiliki industri skala-besar yang sangat maju, yang mampu memberikan manfaat sedemikian rupa kepada produsen kecil sehingga ia dapat melihat keuntungannya dalam praktik.”[32]
Untuk mengurangi bentrokan terbuka antara proletariat dan pemilik kecil, setidaknya sampai perekonomian Soviet memiliki basis material untuk mengatasi problem-problem yang disebut di atas, Kebijakan Ekonomi Baru (New Economi Policy, NEP) diberlakukan, yang mewakili restorasi kapitalisme secara terbatas. NEP sesungguhnya merupakan pemenuhan keluhan utama Kronstadt – berakhirnya rekuisisi gandum dan penerapan perdagangan bebas. Berakhirnya Komunisme Perang dan penggantiannya dengan NEP meringankan sebagian besar problem ekonomi dan politik kaum tani, setidaknya untuk sementara.
Namun dari sudut pandang kelas buruh, NEP adalah sebuah langkah mundur. NEP dimaksudkan untuk menciptakan ruang bernapas hingga gelombang revolusi dunia berikutnya. Meskipun NEP menghidupkan kembali perekonomian yang hancur akibat perang berturut-turut, NEP juga menciptakan berbagai macam kontradiksi sosial. NEP tidak hanya memperkuat kulak dan NEPmen (para spekulan dan pedagang yang menjadi kaya karena kebijakan perdagangan bebas NEP), tetapi juga birokrasi. Kekuatan kelas kulak dan NEPmen menemukan ekspresinya dalam partai dan rezim muda Soviet melalui birokrasi. Dengan tumbuhnya perekonomian berkat kebijakan NEP, surplus kecil mulai tercipta dan tentu saja surplus tersebut terkonsentrasi di kota-kota dan berada di tangan birokrasi yang semakin sadar akan privilese yang dapat diperolehnya. Birokrasi yang semakin menguat ini semakin bersandar pada kulak dan NEPmen untuk menyerang kelas buruh dan tani miskin.
Selain itu, sebelum NEP, ada perbedaan upah sebesar 1 banding 4 atau bahkan 1 banding 5, dan ini dipandang oleh Lenin sebagai pengecualian, sesuatu yang terpaksa dilakukan karena kesulitan-kesulitan yang disebabkan oleh keterisolasian dan keterbelakangan ekonomi Soviet. Satu-satunya cara untuk memotivasi segelintir tenaga ahli dan insinyur yang ada adalah dengan memberi mereka upah yang lebih tinggi. Kaum proletar belum memiliki tenaga ahli yang memadai di antara mereka yang dapat mereka andalkan, sehingga memaksa kaum Bolshevik untuk bergantung bahkan pada elemen-elemen bekas Tsar dan sampah-sampah sosial lainnya. Namun dengan hadirnya NEP, proses ini dipercepat secara besar-besaran. Perbedaan upah meningkat menjadi 1 banding 80 pada tahun 1923 (yang masih sangat kecil dibandingkan dengan negeri-negeri kapitalis saat ini).[33] Lapisan tenaga ahli borjuis-kecil yang tumbuh subur di bawah NEP menjadi bagian dari basis sosial kekuatan birokrasi yang tengah bangkit itu.
Birokrasi juga menggunakan NEP dan ketidaksetaraan sementara yang disahkan oleh NEP sebagai pembenaran atas hak-hak istimewanya. Trotsky menulis di Stalin: “Hanya ketika birokrasi mulai bangkit dan berdiri di atas masyarakat berdasarkan memburuknya kontradiksi-kontradiksi sosial pada masa NEP, barulah Stalin mulai berdiri di atas partai.”[34] Ia melanjutkan: “Dalam surat Marx mengenai Program Gotha Sosial-Demokrasi Jerman, Stalin menemukan sebuah kalimat yang menyatakan bahwa selama periode pertama sosialisme [baca periode NEP] ketidaksetaraan akan tetap dipertahankan… Kutipan ini disalahartikan sebagai deklarasi hak dan privilese kaum birokrat dan lapisan-lapisan di sekeliling mereka. Dengan demikian, masa depan Uni Soviet dipisahkan dari masa depan proletariat internasional dan birokrasi diberi pembenaran teoritis atas privilese dan kekuasaan mereka atas massa buruh di Uni Soviet.”[35]
Revolusi Sosialis Internasionalis
Dalam catatan yang ditulis Rosa Luxemburg saat berada di penjara, yang tidak pernah diterbitkannya, dia memberikan penilaian awal terhadap rezim Bolshevik di tahun pertamanya. Meskipun catatan ini memiliki keterbatasan – yang menjadi alasan Rosa tidak pernah menerbitkannya, dan catatan ini di kemudian hari digunakan secara tengik oleh musuh-musuh Bolshevik – catatan ini menyediakan wawasan yang mendalam:
“Segala sesuatu yang terjadi di Rusia dapat dipahami dan mewakili rantai sebab-akibat yang tak terelakkan, titik awal dan akhirnya adalah: kegagalan proletariat Jerman dan okupasi Rusia oleh imperialisme Jerman. Kita akan menuntut sesuatu yang terlampau luar biasa dari Lenin dan kamerad-kameradnya jika kita mengharapkan dari mereka bahwa dalam keadaan seperti itu mereka harus melahirkan demokrasi yang terbaik, kediktatoran proletariat yang paling teladan dan ekonomi sosialis yang tumbuh berkembang. Dengan pendirian revolusioner mereka yang teguh, kekuatan dalam aksi mereka yang teladan, dan kesetiaan mereka yang tak tergoyahkan terhadap sosialisme internasional, mereka telah menyumbangkan apa pun yang mungkin dapat disumbangkan dalam kondisi yang teramat sulit seperti ini.”
“… Hanya secara internasional tatanan masyarakat sosialis dapat diwujudkan. Kaum Bolshevik telah menunjukkan bahwa mereka mampu melakukan segala hal yang dapat dilakukan oleh sebuah partai revolusioner sejati dalam batas-batas kemungkinan historis. Mereka tidak seharusnya melakukan mukjizat.”[36]
Keputusan-keputusan mustahil yang harus diambil oleh kaum Bolshevik – mulai dari penyitaan gandum secara paksa hingga penumpasan pemberontakan Kronstadt – mengalir dari “kegagalan [kepemimpinan] proletariat Jerman” dalam merebut kekuasaan dan mematahkan keterisolasian Revolusi Rusia. Revolusi Oktober pada kenyataannya “dikhianati oleh [kepemimpinan reformis] proletariat internasional” dan terisolasi sendirian “di bawah kondisi yang sangat sulit”. Luxemburg memahami bahwa keterisolasian Revolusi Oktober akan menimbulkan segala macam kontradiksi sosial dan ekonomi, yang termanifestasikan dalam Pemberontakan Kronstadt, dan kemudian dalam degenerasi birokratik negara buruh.
Terlebih lagi, catatan di atas ditulis pada tahun 1918. “Kondisi yang teramat sulit” yang disaksikan Luxemburg di Rusia menjadi berlipat ganda pada tahun 1921. Ini semakin mempersempit “batas-batas kemungkinan historis” di mana kaum Bolshevik dapat beroperasi. Kaum Bolshevik hanya bersalah karena memahami karakter sebenarnya dari pemberontakan tersebut dan berani mengambil tindakan yang diperlukan untuk memadamkannya sebelum mengarah pada kontra-revolusi.
Penumpasan Pemberontakan Kronstadt adalah “kebutuhan yang tragis”, seperti yang diakui Trotsky sendiri. Satu-satunya cara untuk mencegah tragedi serupa di masa depan adalah dengan memastikan kemenangan revolusi sosialis di seluruh dunia, karena tidak mungkin membangun sosialisme di satu negeri. Rosa Luxemburg, dalam salah satu surat terakhirnya sebelum dia dibunuh oleh Freikorps, menulis: “Penggunaan teror menunjukkan kelemahan besar … [dan] penggunaan teror oleh Bolshevik terutama merupakan ekspresi kelemahan proletariat Eropa.” “Kelemahan” ini hanya dapat diatasi dengan kemenangan revolusi sosialis di negeri-negeri kapitalis maju.
Lebih dari 100 tahun kemudian, prospek revolusi sosialis dunia jauh lebih baik dibandingkan tahun 1917. Di mana pun, kelas buruh merupakan lapisan masyarakat yang paling dominan dan berkuasa. Globalisasi telah melahirkan miliaran buruh di setiap negeri, yang terkonsentrasi di perkotaan. Di belahan dunia yang masih terdapat kaum tani, mayoritas telah terproletarisasi; mereka lebih seperti buruh tani dibandingkan pemilik kecil. Oleh karena itu, dalam revolusi sosialis di masa depan, kemungkinan terjadinya bentrokan kekerasan antara buruh dan tani akan lebih kecil. Kaum muda dan pekerja di semua negara semakin menjadi radikal karena peristiwa-peristiwa yang mereka alami dan saksikan di sekeliling mereka, dan sebagai akibatnya mereka mulai bergerak menuju sosialisme. Kondisi obyektif bagi revolusi sosialis internasionalis telah matang. Yang kurang adalah faktor subjektif: kepemimpinan revolusioner. Membangun kepemimpinan ini adalah tugas kaum revolusioner saat ini, tugas yang harus dipikul dengan sangat mendesak.
[1] Luxemburg, Rosa. The Russian Revolution. 1918. [Penekanan saya]
[2] Lenin, V.I. “Political Report of the Central Committee.” 7 March 1918. Lenin Collected Works, Vol. 27, Progress Publishers, 1974, hal. 95. [penekanan saya]
[3] Lenin, Vol. 27 hal. 98. [Penekanan saya]
[4] Avrich, Paul. Kronstadt 1921. 1970. Norton Library, 1974, hal. 21-22
[5] Avrich, Kronstadt 24.
[6] Avrich, Kronstadt 24.
[7] Avrich, Kronstadt 14.
[8] Avrich, Kronstadt 15.
[9] Avrich, Paul. Russian Anarchists. 1967. AK Press, 2005, hal. 229.
[10] Avrich, Kronstadt 89-90.
[11] Trotsky, Leon. Hingar Bingar Kronstadt.
[12] Avrich, Kronstadt 95. [Penekanan saya]
[13] Avrich, Kronstadt 127.
[14] Avrich, Kronstadt 127-128. [Penekanan saya]
[15] Avrich, Kronstadt 129.
[16] Avrich, Kronstadt 129.
[17] Avrich, Kronstadt 125. [Penekanan saya]
[18] Avrich, Kronstadt 134. [Penekanan saya]
[19] Avrich, Kronstadt 29.
[20] Avrich, Kronstadt 46. [Penekanan saya]
[21] Avrich, Kronstadt 179-180. [Penekanan saya]
[22] Avrich, Kronstadt 180.
[23] Avrich, Kronstadt 36.
[24] Avrich, Kronstadt 49.
[25] Avrich, Kronstadt 71.
[26] Avrich, Kronstadt 77.
[27] Avrich, Kronstadt 81.
[28] Avrich, Kronstadt 84.
[29] Avrich, Kronstadt 115-116.
[30] Avrich, Kronstadt 211.
[31] Trotsky, Leon. Revolusi yang Dikhianati.
[32] Lenin, V.I. “Report on the political work of the Central Committee of the R.C.P.(B.).” 8 March 1921. Lenin Collected Works. Vol 32. Progress Publishers, 1973. hal. 170-191.
[33] Liebman, Marcel. Leninism Under Lenin. 1973. Haymarket Books, 2016, hal. 352-353.
[34] Trotsky, Leon. Stalin. Wellred Books, 2016, hal. 546.
[35] Trotsky, Stalin 560.
[36] Luxemburg, Rosa. The Russian Revolution. 1918. [Penekanan saya]