Kita meyakini bahwa klas buruh adalah klas revolusioner. Suatu klas dinamakan klas revolusioner karena “tugas sejarah” yang diembannya. Secara obyektif, klas buruh mengemban tugas untuk mengakhiri kapitalisme dan membangun Sosialisme. Pertanyaannya, apakah landasan dari keyakinan ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita mempertimbangkan tiga hal: kontradiksi dalam posisi klas buruh, prinsip Sosialisme yang Sejati, dan watak eksploitatif dan kompetitif kapitalisme.
Kontradiksi dalam Posisi Klas Buruh
Dalam hubungan produksi kapitalis, perkembangan tenaga produktif berupa alat-alat produksi semakin memungkinkan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan insaniah masyarakat. Namun, karena kepemilikannya bersifat pribadi (di tangan segelintir orang, yakni burjuasi alias klas kapitalis), pemenuhan tersebut menjadi suatu kemustahilan.
Pada saat yang sama, proletariat alias klas buruh adalah tenaga produktif yang terlibat langsung dalam proses produksi. Merekalah yang secara kolektif dan terorganisir mengoperasikan alat-alat produksi, yang meski secara potensial dapat memenuhi kebutuhan masyarakat toh secara aktual ditujukan untuk menghasilkan profit bagi si kapitalis. Pada saat yang sama, klas buruh tertindas dan terhisap. Sebagian dari hasil kerja mereka tidak dibayar melainkan diambil sebagai profit si kapitalis. Kita menyebutnya nilai lebih.
Demi kepentingan ekonomi-politik burjuasi, kapitalisme telah mengkonsentrasikan kaum buruh di kota-kota besar. Kapitalisme telah menggiring mereka ke pabrik-pabrik dan kantor-kantor. Kapitalisme juga telah mendidik mereka jauh melebihi klas-klas penguasa yang sebelumnya. Akibatnya, kapitalisme telah membuat klas buruh modern menjadi suatu kekuatan yang dapat mengorganisir diri ke dalam serikat-serikat buruh, partai-partai, koperasi-koperasi, dan badan-badan lainnya. Dengan jalan itu, tumbuhlah suatu klas dari kaum terhisap yang memiliki potensi besar untuk mengambil-alih dan menjalankan masyarakat.
Dalam konteks ini, kita menyadari kontradiksi berikut. Di satu sisi, klas buruh ada dalam posisi sebagai kaum yang tertindas di bawah kapitalisme. Mereka mengalami sendiri exploitation de l’homme par l’homme, penghisapan manusia oleh manusia. Tapi pada saat yang sama, mereka adalah pencipta sejati kekayaan masyarakat. Lalu bagaimana?
Kontradiksi ini baru bisa diselesaikan bila klas buruh mengakhiri hubungan produksi kapitalis dan memulai hubungan produksi yang memungkinkan kekayaan yang mereka ciptakan memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat. Hubungan produksi yang baru ini kita namakan Sosialisme. Dalam pengertian inilah kita menegaskan bahwa klas buruh atau proletariat adalah kunci transformasi sejati masyarakat.
Sosialisme yang Sejati
Dalam Sosialisme yang sejati, ada kaitan yang tak terpisahkan antara tujuan dan jalan untuk mencapainya. Sosialisme yang sejati adalah “Sosialisme dari Bawah”, suatu proyek pembebasan kaum tertindas oleh kaum tertindas itu sendiri. Tujuan: terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis, baik secara politik maupun secara ekonomik. Itulah tatanan masyarakat yang di dalamnya produksi direncanakan dan dilakukan demi memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat, bukan demi profit (keuntungan). Itulah tatanan masyarakat yang di dalamnya tiap-tiap orang secara riil memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri dan memaknai keberadaannya sebagai manusia. Kita menyebut tatanan ini Masyarakat Sosialis.
Nah, jalan menuju Masyarakat Sosialis adalah jalan yang demokratik. Tentu saja “jalan yang demokratik” ini bukan demokrasi liberal alias demokrasi parlementer. Kita semua tahu bahwa demokrasi liberal (seperti yang sekarang berlaku di negeri kita) mengatasnamakan seluruh rakyat. Tapi kita juga tahu bahwa sesungguhnya demokrasi liberal merupakan sarana untuk melegitimasi dan mengamankan kepentingan klas kapitalis alias burjuasi. Karena itu, “jalan yang demokratik” yang kita maksud adalah demokrasi buruh.
Sifat demokrasi buruh adalah partisipatoris, integratif-kritis, dan revolusioner. Apa artinya?
– Partisipatoris: memposisikan buruh sebagai subyek atau pelaku sejarah, dan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan.
– Integratif-kritis: mengintegrasikan klas dan lapisan-lapisan rakyat pekerja lainnya (klas tani, kaum miskin kota, dan mahasiswa) ke dalam perjuangan untuk mengakhiri kapitalisme dan membangun Sosialisme di bawah kepemimpinan klas buruh. Dengan jalan ini, klas buruh memperluas jangkauan dari demokrasinya yang partisipatoris.
– Revolusioner: berorientasi pada transformasi masyarakat secara revolusioner, yang terdiri dari penggulingan kapitalisme dan pembangunan Sosialisme.
Dari sini jelas, Sosialisme yang sejati tak terpisahkan dari demokrasi yang sejati. Sebagaimana dikatakan Trotsky, demokrasi adalah oksigen bagi Sosialisme.
Berpegang pada prinsip-prinsip tersebut, kita menolak segala anjuran yang berintikan “Sosialisme dari Atas.” Baik versi Sosdem (terutama di negeri-negeri kapitalis maju di Eropa) yang justru tidak mengakhiri kapitalisme apalagi membangun sosialisme, melainkan sekadar membuat kapitalisme menjadi tampak lebih lunak, maupun versi Stalinis yang justru menempatkan rakyat pekerja di bawah kekuasaan totaliter dari birokrasi negara.
Kita menolak anggapan bahwa sekelompok kecil cendekiawan, pemimpin partai, anggota parlemen, pemimpin gerilya, bahkan seorang “juruselamat” atau “Ratu Adil”, dsb., dapat membebaskan rakyat pekerja bahkan umat manusia dari kapitalisme. Sebagaimana sejarah berulangkali menunjukkannya, manakala orang-orang itu berhasil mencapai tampuk kekuasaan, mereka menjelma menjadi tiran-tiran baru yang justru membuat rakyat pekerja hidup seperti di dalam barak-barak raksasa. Joseph Stalin, Kim Il Sung, dan dalam batas-batas tertentu Mao Tse-tung dan Fidel Castro, misalnya.
Sosialisme yang sejati hanya bisa terwujud ketika jutaan kaum buruh (baik perempuan maupun laki-laki, apapun suku bangsa, warna kulit, orientasi seksual, serta agama atau kepercayaannya) mengorganisir diri secara demokratis, bergerak mengambilalih segala bentuk kekuasaan dari klas burjuis, dan memberlakukan kekuasaan kolektif proletariat atas proses produksi dan kehidupan bermasyarakat. Di bawah kepemimpinan klas buruh, massa rakyat pekerja yang dalam tatanan kapitalis disisihkan dari pembuatan keputusan perihal hal-ihwal yang menyangkut kehidupan mereka, bersatu dan turut memberikan sumbangsih bagi perwujudan Sosialisme yang sejati.
Eksploitasi dan Kompetisi Kapitalis
Kapitalisme memadukan dua dorongan yang secara hakiki bertentangan dengan kontrol demokratik atas kehidupan sosial, ekonomik, dan politik. Keduanya adalah eksploitasi (penghisapan) dan kompetisi (persaingan). Eksploitasi adalah pengambilan yang dilakukan oleh minoritas yang berkuasa atas surplus produksi yang dihasilkan oleh mayoritas yang dikuasai. Dalam kapitalisme, surplus produksi itu berupa nilai lebih (surplus value), yang tak lain dari hasil kerja buruh yang tidak dibayar si kapitalis. Eksploitasi bersandar sepenuhnya pada hirarki dan ketiadaan demokrasi. Mari kita perhatikan: guna mempertahankan eksploitasi, burjuasi memiliki sepasukan kepala bagian, mandor, manajer, polisi, sipir penjara, bahkan tentara. Bila kita ingin menggantikan produksi yang berorientasi profit ini dengan produksi yang bertujuan memenuhi kebutuhan insaniah masyarakat, kita harus mematahkan sistem yang tidak demokratik ini dan menggantikannya dengan sistem yang di dalamnya berlaku kontrol demokratik atas alat-alat penciptaan kekayaan masyarakat.
Kompetisi membuat kapitalis berhadap-hadapan satu sama lain, baik dalam wujud perusahaan-perusahaan maupun negara-negara. Kompetisi memaksa kapitalis untuk memperbaharui alat-alat produksi, mencari pasar-pasar yang baru, meningkatkan eksploitasi, dan menemukan cara-cara baru untuk mempertahankan kekuasaan atas kaum buruh. Kompetisi juga menghasilkan sebuah dunia yang selalu dibayang-bayangi oleh krisis. Profit swasta mendominasi, sementara kepentingan umum dinomorsekiankan. Simak sajalah kenyataan bahwa kaum kapitalis tidak memiliki jalan keluar yang efektif terhadap kerusakan-kerusakan alam yang diakibatkannya. Pemanasan global dan perubahan iklim adalah contoh yang sangat mencolok mata. Sungguh, kapitalisme sedang mengancam bumi, kehidupan, dan umat manusia.
Alternatif satu-satunya bagi eksploitasi dan kompetisi kapitalis adalah perekonomian yang terencana dan demokratik. Pertimbangkanlah setidaknya satu-dua hal ini. Pertama, bagaimana manusia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan cara yang dapat menopang kelestarian bumi, kehidupan, dan umat manusia kecuali dengan memilih dan menentukan secara demokratik kebutuhan-kebutuhan itu berikut prioritas-prioritasnya?
Kedua, bagaimana rencana-rencana yang terkait dengan pembangunan ekonomi dan kehidupan sosial bisa dibuat, dilaksanakan, dievaluasi, dan diperbaiki kecuali bila massa rakyat pekerja terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang memungkinkan mereka untuk mengambil keputusan terhadap rencana-rencana tersebut?
Alternatif ini bisa terwujud manakala kaum buruh mengorganisir diri untuk merebut dunia dari tangan kapitalis dan kaki-tangan mereka, serta menempatkannya di bawah kekuasaan kolektif mereka sendiri.
Klas Dalama Dirinya dan Klas Bagi Dirinya
Demikianlah, kontradiksi dalam posisi klas buruh, prinsip Sosialisme yang sejati, dan watak eksploitatif dan kompetitif kapitalisme meniscayakan klas buruh sebagai klas yang revolusioner. Tapi, dengan melihat kondisi klas buruh atau proletariat di negeri kita, Indonesia, mungkin kita jadi bertanya-tanya: benarkah klas buruh, khususnya di Indonesia, adalah klas yang revolusioner?
Pertanyaan ini setidaknya muncul dari dua pengamatan. Pertama, terbatasnya tuntutan yang diperjuangkan kaum buruh dan serikat-serikat buruh pada umumnya. Kita lazim menyebutnya “tuntutan normatif” (kenaikan upah, perbaikan kondisi kerja, misalnya). Tuntutan mereka tidak bertransformasi menjadi tuntutan yang bersifat politis. Seakan bila upah sudah dinaikkan dan kondisi kerja diperbaiki, exploitation de l’homme par l’homme (penghisapan manusia oleh manusia) yang mereka alami sudah berakhir, dan dengan begitu berakhir pula perjuangan.
Kedua, betapa efektifnya usaha kaum kapitalis “menjinakkan” klas buruh (dan massa rakyat pekerja lainnya). Terutama melalui kapitalisme media, burjuasi berhasil membentuk “kesadaran palsu” dalam diri massa rakyat pekerja. Dengan iklan, mereka berhasil menciptakan jati diri semu rakyat pekerja (memiliki kulit “putih”, mengendarai sepeda motor merek tertentu, memiliki ponsel tertentu, dsb.). Dengan berbagai tayangan burjuasi berhasil melipur lara dan “menyegarkan kembali” rakyat pekerja, serta mengalihkan perhatian rakyat pekerja dari akar persoalan mereka yang sebenarnya – kapitalisme. Akibatnya, rakyat pekerja, termasuk kaum buruh, terblokir dari kesadaran revolusioner.
Menyikapi hal ini kita perlu mengingat pembedaan yang dibuat Marx sehubungan dengan kesadaran klas buruh. Marx membedakan antara klas dalam dirinya sendiri (class in itself) dan klas untuk dirinya sendiri (class for itself). Klas buruh adalah klas dalam dirinya sendiri, yang secara obyektif tertindas dan terhisap, namun tidak melakukan apapun (kecuali mungkin mengeluh dan mengharapkan mukjizat dari “atas”) untuk mengakhiri ketertindasan dan keterhisapan sekaligus tatanan yang menyebabkannya. Sebab, klas buruh masih dikuasai oleh kesadaran palsu, yang secara sistematis dan berkelanjutan dibangun oleh klas yang menindas dan menghisap mereka.
Klas buruh akan menjadi klas bagi dirinya sendiri manakala kesadaran progresif tumbuh pada dirinya. Kesadaran itu berkembang dari kesadaran kritis (yang mempertanyakan akar penyebab dari ketertindasan dan keterhisapannya), menjadi kesadaran klas (yang memahami dirinya sebagai sebuah klas yang berhadapan dengan klas yang lain dalam hubungan produksi yang secara hakiki menempatkan kedua klas itu dalam pertentangan kepentingan dan perjuangan klas), dan kesadaran revolusioner (yang mendorong mereka untuk bergerak, dalam aksi massa yang terorganisir, mengakhiri hubungan produksi kapitalis dan membangun hubungan produksi baru, yakni hubungan produksi sosialis).
Bila kita menggunakan kategori yang dibuat Marx, barangkali kita boleh mengatakan bahwa secara umum klas buruh di negeri kita sudah mulai menjadi klas bagi dirinya sendiri. Maraknya tuntutan-tuntutan normatif yang mereka ajukan ada indikasinya. Itu berarti kesadaran kritis sudah terlihat. Memang betul, pada saat yang sama, burjuasi terus berupaya menjinakkan mereka (hal yang justru menggarisbawahi betapa tepatnya perspektif klas yang dikemukakan Marxisme: ada perjuangan klas yang secara hakiki tak terdamaikan di antara burjuasi dan proletariat).
Kenyataan ini menjadi sinyal bagi kita tentang perlunya kerja-kerja politik yang makin intensif di kalangan buruh, yang berintikan upaya mentransformasi kesadaran kritis menjadi kesadaran klas dan kesadaran revolusioner. Dengan kata lain, membantu kaum buruh untuk “meneruskan” proses menjadi klas bagi dirinya sendiri. Kerja-kerja politik ini, yang bermuara pada pengorganisasian dan mobilisasi klas buruh dalam aksi massa yang menentukan, harus dikerjakan oleh sebuah partai pelopor revolusioner. Dalam hal ini, dengan rendah hati kita mengatakan bahwa di sinilah nilai penting dari organisasi perjuangan kita.
Di samping kerja-kerja yang intens dari partai pelopor revolusioner, kita perlu memahami bahwa krisis yang semakin parah yang melanda Indonesia akan menjadi “lokomotif kesadaran”, yang akan menyentakkan klas buruh dan rakyat pekerja lainnya dari kesadaran palsu yang ditanamkan oleh kapitalisme media dan alat-alat hegemonik burjuasi lainnya. Ketika “roti” benar-benar langka, “sirkus” (pertunjukan atau hiburan pelipur lara) tidak lagi efektif, dan rakyat tak bisa lagi “dijinakkan.”
Dengan ketekunan menggarap faktor subyektif (kerja-kerja politik di kalangan buruh dan rakyat pekerja lainnya) dan kejelian menyimak perkembangan kondisi obyektif ekonomi-politik, kita dapat membantu klas buruh untuk menjadi klas bagi dirinya sendiri. Dan bila itu terjadi, klas yang revolusioner akan benar-benar melaksanakan tugas sejarah mereka: mengakhiri kapitalisme dan membangun Sosialisme. ***
Hidup Buruh!
Hidup Pengemban Tugas Sejarah!
Hidup Klas Revolusioner!
Bekerja terus menjadikan klas buruh Indonesia benar-benar menjadi klas bagi dirinya sendiri!
Kaum Buruh Sedunia, Bersatulah!
Semarang, dinihari 21 Januari 2012