Pada 1 September kemarin, massa buruh terutama dari KSPI, KSBSI, KSPSI, dan KPKPBI melakukan aksi di depan Istana Merdeka Jakarta. Salah satu tuntutan aksi mereka adalah menolak pekerja asing. Para pekerja asing yang diperkirakan akan segera membanjiri Indonesia setelah diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), bagi para pekerja lokal, karena skill mereka diasumsikan lebih unggul, dianggap sebagai ancaman, sebagai kompetitor yang akan menggeser posisi pekerja lokal di banyak sektor. Selain itu, berbagai berita simpang siur mengenai masuknya buruh dari Tiongkok di berbagai proyek yang didanai lewat kerja sama dengan pemerintahan Tiongkok juga menjadi perhatian banyak buruh Indonesia yang khawatir akan keamanan pekerjaan mereka. Akibatnya aksi buruh pada tanggal 1 September fokus tuntutannya mengarah ke isu tersebut. Namun tuntutan ini sama sekali belum menyentuh substansi persoalan, dan bahkan salah sasaran, sebab para pekerja yang akan bebas keluar masuk ke berbagai negara anggota ASEAN adalah hasil kebijakan turunan yang tak terelakkan dari konsep perdagangan bebas kapitalis, yang terformalkan salah satunya lewat MEA. Dengan begitu, dapat kita lihat, bahwa substansi masalahnya bukan pada keluar masuknya para pekerja asing, tetapi pada konsep ekonomi perdagangan bebas kapitalis. Sehingga tuntutan yang seharusnya diajukan pada aksi 1 September kemarin adalah mengkritik dan menolak perdagangan bebas kapitalis.
MEA atau dalam bahasa Inggris sering disebut sebagai ASEAN Economic Community (AEC), merupakan agenda para kapitalis regional ASEAN untuk mengintegrasikan bisnisnya di tingkat kawasan. Tujuan utamanya adalah: pertama, untuk meningkatkan daya saing negara-negara ASEAN dengan menjadikannya sebagai basis produksi, bukan sekedar sebagai pasar dari negara-negara maju; kedua, meningkatkan perdagangan dalam menghadapi tantangan global; dan ketiga, untuk mengurangi kemiskinan serta kesenjangan sosial antara negara-negara ASEAN melalui sejumlah kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan. Secara umum, inilah tujuan yang biasanya dipaparkan di setiap perjanjian perdagangan bebas, entah yang bersifat regional seperti MEA atau bilateral (antar dua negara).
Sebagai kelas pekerja, yang terus-menerus ditindas oleh kelas kapitalis, konsep dan strategi bisnis MEA khususnya, dan perdagangan bebas umumnya, harus kita teliti dengan sebuah pertanyaan yang berperspektif kelas: meningkatkan daya saing siapa dan kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan untuk kelas mana? MEA adalah institusi bisnis besar terintegrasi yang akan digunakan untuk mengeruk keuntungan besar dalam skala regional dengan melibatkan negara-negara anggota ASEAN sebagai administratornya. Lebih lanjut, mereka akan dapat dengan mudah untuk membuat kebijakan perburuhan dalam skala regional—yang berujung pada penindasan masif kelas pekerja. Mereka akan menindas kelas pekerja di seluruh negara-negara anggota ASEAN dengan penindasan yang tidak tanggung-tanggung: untuk menciptakan laba besar, mereka akan membuat kebijakan buruh murah di seluruh kawasan; dan untuk mendapatkan pasar atas produknya, langsung maupun tidak langsung, mereka akan menggunakan buruh sebagai konsumen terbesarnya (di tingkat regional)—karena hanya produk mereka yang bebas keluar-masuk kawasan. Artinya, MEA tidak hanya akan menyengsarakan buruh Indonesia, tetapi juga para buruh di seluruh negara-negara anggota ASEAN.
Terhubung dengan persoalan di atas, Marx, dalam Grundrisse, menulis: “Kapital dan tenaga kerja terhubung satu sama lain seperti uang dan komoditas; yang pertama adalah bentuk umum kekayaan, yang satu lagi adalah satu-satunya substansi yang dikonsumsi dengan segera”. Di masa itu, di masa di mana kapitalisme masih belum secanggih sekarang, Marx sudah memberi gambaran tentang watak kriminal dari kapitalisme: bahwa kelas pekerja tidak hanya dijadikan sebagai sebatas orang yang bekerja untuk memproduksi barang dagangan, tetapi sekaligus sebagai konsumen dari barang-barang dagangan tersebut. Dalam arti yang lebih dalam, bahwa kelas pekerja tidak lagi dipandang sebagai “manusia yang bekerja atau berkarya”, tetapi sudah menjadi bagian integral dari proses produksi, yakni sebagai komoditas. Sisi “manusia”-nya sudah hilang, sudah dilebur, secara historis, ke dalam proses produksi.
Di sini maka perdagangan bebas yang digagas melalui MEA akan membuka pasar komoditas tenaga kerja secara besar-besarnya. Seperti halnya produk komoditas lain yang akan mengalir bebas, begitu juga buruh sebagai komoditas yang diperjualbelikan akan mengalir bebas. Buruh dari satu negeri akan dipertentangkan dan dibenturkan dengan buruh dari negeri lain, untuk berlomba-lomba siapa yang bisa menjual tenaga kerjanya untuk upah yang paling rendah. Inilah esensi dari perdagangan bebas bagi buruh.
Apakah tepat kalau kelas pekerja Indonesia lantas menentang para pekerja asing? Pertama, tuntutan seperti ini berbau nasionalisme sempit yang justru memecah belah buruh. Ya, mereka sama dengan kita, yakni kelas pekerja. Dan ketika kita berada di luar negeri untuk bekerja, berarti posisi kita juga sama dengan mereka, yakni sebagai pekerja asing. Ada 4-6 juta buruh Indonesia yang terpaksa merantau ke negeri orang untuk bekerja. Bagaimana nasib kaum pekerja kita (buruh migran Indonesia) yang berada di luar negeri, seperti Malaysia, Hong Kong, Taiwan, dll., jika tuntutan “tolak pekerja asing” yang kita motori ini diikuti oleh pekerja di negara-negara lain?
Kedua, tuntutan tolak pekerja asing, dalam bentuk apapun, hanya akan mengalihkan perhatian dari permasalahan yang sebenarnya: bahwa kapitalisme tidak bisa menciptakan lapangan pekerjaan yang memadai sehingga kaum buruh harus berebutan seperti binatang liar. Kita dikondisikan untuk melihat saudara-saudari buruh kita sebagai saingan dalam mendapatkan pekerjaan, apalagi kalau mereka datang dari ras yang berbeda, negeri yang berbeda, agama yang berbeda, dsb. Yang menang pada akhirnya adalah pemilik modal.
Hari ini kelas pekerja harus semakin jeli dalam melihat tipu daya kapitalisme. Kelas pekerja harus belajar dari masa lalu. Kebohongan dan bualan yang keluar dari mulut kapitalisme sudah terulang berkali-kali. Akankah kelas pekerja percaya dengan ilusi-ilusi baru yang keluar dari mulut sang pembual—yakni kapitalisme? Sejak lahirnya kelas borjuis dan kelas pekerja, kapitalisme, sebagai sebuah sistem yang digunakan oleh kelas borjuis untuk mengakumulasi kapital, tidak pernah berpihak kepada kelas pekerja. Kelas borjuis terus-menerus dan tiada henti menindas kelas pekerja. Ini fakta sejarah. Sampai kapan pun, kapitalisme adalah musuh utama kelas pekerja. Formula ekonomi dalam bentuk apapun, bukanlah untuk kemakmuran kelas pekerja, tetapi sebaliknya, untuk kepentingan dan kemakmuran kelas borjuis. Oleh sebab itu, untuk dapat membabat habis kapitalisme tidak dengan cara memotong ranting-ranting kecilnya, tetapi mencabut pohon hingga akar-akarnya.
Tuntutan utama dari aksi buruh 1 September kemarin belum menyentuh substansi yang kelas buruh butuhkan, yakni menolak segala jenis formula ekonomi dari kapitalisme. Tentu ini bukan kesalahan massa buruh, tetapi ketidakjelian dan ketidakmengertian para pemimpin serikat-serikat buruh mengenai karakter kapitalisme yang sesungguhnya. Selama para pemimpin buruh tidak punya perspektif untuk pecah dari kapitalisme, maka mereka harus mengikuti logika dari kapitalisme itu sendiri dan niscaya jadi pelayan kapital, secara sadar maupun tidak sadar. Yang dibutuhkan adalah perjuangan yang berperspektif kelas dan internasionalis. Alih-alih melihat buruh Tiongkok atau ASEAN sebagai saingan, kita harus melihat mereka sebagai rekan seperjuangan. Kalau kapital atau modal saja tidak memiliki kebangsaan, maka perjuangan buruh juga harus keluar dari sekat-sekat nasional.