Pada 26 Juli 2023, sekelompok tentara di Niger menyerbu kediaman Presiden Mohamed Bazoum. Kelompok tentara tersebut menahan Bazoum di kediamannya dan mendeklarasikan Abdourahamane Tchiani, staf militer yang sempat memimpin pasukan keamanan Bazoum dan menjadi rekan dekatnya, sebagai pemimpin Niger yang baru. Meski terdapat demonstrasi menolak kudeta dan junta militer, sebagian besar massa mendukung junta sebagai perlawanan terhadap Bazoum dan imperialisme Perancis yang didukungnya.
Sentimen pedas dilontarkan terhadap Perancis dan imperialisme Barat, tetapi respons dari negara tetangga jauh lebih panas. Nigeria dan negara Afrika Barat lain yang mendukung imperialisme Barat memberi ultimatum kepada Niger untuk mengembalikan pemerintahan Bazoum atau menghadapi intervensi militer. Dengan demikian, Afrika Barat menghadapi ancaman konflik hebat yang melibatkan beberapa negara secara langsung. Situasi ini menunjukkan melemahnya pengaruh imperialisme Barat di Afrika serta parahnya krisis ekonomi dan politik dunia akibat kapitalisme yang membusuk.
Kudeta dan Konflik di Sahel
Kudeta yang terjadi di Niger bukanlah hal baru. Niger terletak di daerah Sahel yang terkenal sebagai coup belt atau “sabuk kudeta”, istilah yang digunakan untuk negara-negara yang terletak pada Afrika Barat, Tengah, dan Timur yang dipenuhi oleh kudeta dan peperangan. Bersebelahan dengan Niger, kudeta oleh junta militer juga telah terjadi di Mali pada 2020 dan Burkina Faso pada 2022. Bahkan, ketika artikel ini ditulis, kudeta serupa baru meledak di Gabon minggu lalu pada 30 Agustus.
Kudeta di Sahel didasari oleh kegagalan pemerintah dalam mengatasi terorisme dari gerakan fundamentalis Islam, khususnya Boko Haram. Aksi terorisme dari grup fundamentalis Islam berkembang dengan cepat di Sahel sebagai konsekuensi dari intervensi NATO terhadap Libya pada tahun 2011. Kebencian terhadap eksploitasi imperialisme Barat, khususnya dari Perancis yang membawa Sahel pada kemiskinan ekstrem, juga menjadi motivasi kudeta.
Niger menjadi gambaran yang kuat dari kekacauan di Sahel. Meski dideskripsikan oleh media Barat sebagai negara yang relatif stabil, kenyataan justru terbalik. Niger memang menjadi eksportir uranium terbesar ketujuh di dunia dan mampu mengekspor emas dan minyak. Namun, 41% masyarakat Niger berada di bawah garis kemiskinan ekstrem. Sistem perbudakan juga masih berjalan di Niger. Financial Times juga mengatakan bahwa kurang dari seperlima dari masyarakat Niger tinggal di perkotaan.
Kemiskinan tersebut disebabkan oleh imperialisme Barat yang merampas seluruh sumber daya di Niger serta impotensi borjuasi dan pejabat Niger yang parasitik dan mengkorupsi dana bantuan dari luar. Menghadapi prospek yang kelam, banyak pemuda memendam kebencian terhadap imperialisme Perancis. Selain itu, banyak pemuda yang putus asa masuk ke dalam kelompok teroris islam fundamentalis yang menjanjikan “uang, wanita, daging, dan sepeda motor” sehingga memperparah krisis internal dalam masyarakat Niger.
Kesulitan dalam menangani terorisme dan keengganan untuk mengatasi akar masalah dari terorisme, kontradiksi muncul di dalam kelas penguasa Niger. Meski Financial Times mengatakan bahwa Presiden Bazoum memiliki pencapaian yang relatif bagus dalam melawan terorisme dan menjaga kestabilan internal, tetapi ada gemuruh besar di bawah permukaan. Bazoum semakin bergantung pada militer untuk menjaga stabilitas Niger. Menyadari situasi tersebut, junta militer merasa percaya diri, menganggap mereka lebih kompeten dalam memperbaiki situasi di Niger daripada pemerintah Bazoum yang impoten. Kudeta junta militer menjadi ungkapan dari kepercayaan diri mereka.
Dalam kondisi krisis yang kronik dan tak berkesudahan, selapisan aparatus negara, terutama militer, dapat memisahkan dirinya dari rejim yang berkuasa dan menaruh diri mereka sebagai kekuatan di atas masyarakat, menampilkan dirinya sebagai kekuatan yang akan dapat menyelesaikan kontradiksi yang ada. Inilah fenomena Bonapartisme yang kerap kita saksikan di Afrika, Amerika Latin, dan banyak negara Asia lainnya.
Melemahnya Pengaruh Imperialisme Barat
Berbeda dengan kudeta junta militer di Myanmar, kudeta Niger memperoleh dukungan dari massa. Dalam demonstrasi pro-junta, seorang demonstran dalam wawancara berkata, “Saya tidak punya pekerjaan setelah belajar di negara ini karena rezim yang didukung oleh Perancis… Semuanya harus pergi!”. Situasi ini menunjukkan puncak kebencian kaum muda di Niger dan Sahel terhadap imperialisme Perancis dan pemerintahan yang didukungnya. Sentimen tersebut juga menunjukkan kehausan akan alternatif. Kebencian terhadap imperialisme Barat ini juga dimanfaatkan dengan baik oleh junta militer, tidak hanya di Niger tetapi juga di Sahel.
Junta di Niger segera meluncurkan kebijakan anti-Perancis dengan membatalkan seluruh perjanjian militer dengan Perancis. Pembatalan perjanjian melarang pasukan Perancis untuk bertugas di Niger dan mengatur operasi perlawanan terhadap kelompok teroris. Junta militer di Burkina Faso dan Mali yang terlebih dahulu melakukan kudeta juga melakukan hal yang sama, dengan junta di Mali mengusir 2400 pasukan Perancis pada 2022 dan Burkina Faso menuntut seluruh pasukan Perancis untuk hengkang pada 2022. Mali bahkan menghapus bahasa Perancis sebagai salah satu bahasa resmi mereka.
Junta militer di Burkina Faso yang dipimpin oleh kapten muda Ibrahim Traore bahkan memanfaatkan kenangan pemimpin anti-kolonial Afrika, Thomas Sankara untuk meraih dukungan massa. Semua menteri rejim junta setuju untuk mengurangi gaji mereka sebesar 50%, sebagai respons terhadap korupsi besar pemerintahan sebelumnya. Selain itu, Perdana Menteri Burkina Faso, Apollinaire Joachim Kyélem de Tambèla, adalah tokoh “Sankaris” yang terkenal. Kebijakan dari junta Mali dan Burkina Faso jelas menginspirasi massa di Niger. Seorang demonstran pro-junta mengatakan dalam wawancara “kami menginginkan hal yang sama seperti yang terjadi di Mali dan Burkina Faso”.
Meski mengusung retorika anti-imperialis yang bersesuaian dengan mood rakyat, junta-junta ini tidak berusaha untuk melepaskan diri dari sistem kapitalisme dan masih membiarkan perusahaan multinasional yang mengeksploitasi negara mereka. Akibatnya, akar masalah dari konflik dan kemiskinan di Sahel tidak akan dapat terselesaikan. Kontradiksi kapitalisme dan perjuangan kelas masih menghantui junta militer di Sahel. Rezim junta pada akhirnya berupa rezim Bonapartis yang mencoba menyeimbangkan kepentingan rakyat pekerja dan kapitalis, sembari mempertahankan status quo kapitalisme. Pada analisa terakhir, junta militer ini melayani kepentingan kapitalis, Demi meredam luapan revolusi dari bawah, rejim akan memberikan sejumlah reforma kecil dan kosmetik pada rakyat (seperti pengusiran pasukan Prancis).
Kudeta dan aksi massa yang memiliki sentimen anti Perancis yang kuat membuat pemerintah Perancis tak berdaya. Presiden Perancis, Emmanuel Macron, memberikan peringatan keras bahwa Perancis “tidak akan mentolerir segala serangan terhadap Perancis dan kepentingannya” dan menjanjikan aksi yang “segera dan tidak berkompromi”. Meski demikian, tindakan yang telah dilakukan Perancis sejauh ini hanyalah evakuasi warga Perancis dan pembatasan bantuan finansial. Selain itu, Perdana Menteri Perancis menolak adanya niatan untuk melakukan intervensi militer. Mereka jelas tahu bahwa intervensi militer langsung dari Prancis hanya akan memperkeruh situasi dan bahkan menyebarkan gejolak ini ke negara-negara tetangga.
Pengamat borjuasi Barat turut mengakui melemahnya pengaruh Perancis di Afrika. Cameron Hudson, mantan pejabat CIA yang saat ini bekerja dalam think tank Center for Strategic International Studies mengatakan bahwa “Niger adalah domino terakhir yang runtuh”. Hudson juga menambahkan bahwa situasi di Afrika “sangat tidak menguntungkan bagi kepentingan Barat saat ini”. Peter Pham, mantan Utusan Khusus Amerika Serikat di Sahel, juga mengatakan bahwa dampak dari kudeta di Sahel sangat sulit untuk diperbaiki. Kebencian terhadap imperialis Barat sudah terlalu kuat dan pasukan Perancis di Sahel sudah mengalami demoralisasi.
Masuknya Rusia dan Tiongkok
Kemarahan massa di Afrika terhadap imperialisme Barat segera dimanfaatkan oleh Tiongkok dan Rusia. Tiongkok telah menjadi rekan dagang benua Afrika terbesar semenjak 2009. Selain itu, perdagangan antara Afrika dan Tiongkok berkembang dengan cepat pada awal tahun 2023. Meski hubungan dagang Rusia tidak sekuat Tiongkok, Rusia telah mampu melampaui Tiongkok dalam aspek militer, khususnya sebagai penyedia suplai senjata terbesar di Afrika.
Peran militer lain dari Rusia di Afrika yaitu membantu berbagai rezim di Afrika dalam membangun kekuatan militer dan menjaga keamanan melalui tentara bayaran Wagner Group. Bantuan tersebut jelaslah tidak datang secara gratis. Sebagai gantinya, pemerintah di Afrika memberikan akses bagi Wagner Group dan pemerintah Rusia akses terhadap tambang emas dan kontrak penebangan hutan. Wagner Group telah diundang oleh junta di Mali untuk membantu dalam melawan terorisme. Prigozhin, sesaat setelah kudetanya yang gagal, memuji kudeta Niger sebagai “perjuangan rakyat Niger melawan penjajah mereka” dan menawarkan jasa Wagner Group dalam melawan terorisme dengan harga tertentu.
Putin juga berusaha membangun hubungan politik dengan berbagai negara di Afrika melalui konferensi Rusia-Afrika di Moskow pada 27 dan 28 Juli 2023. Meski media Barat berfokus pada sedikitnya pemimpin negara Afrika yang hadir, yaitu hanya dari 17 negara dibanding 43 negara pada 2019, fakta bahwa 17 pemimpin negara tersebut masih hadir meski dengan ancaman dari imperialisme Barat. Ini menunjukkan menguatnya pengaruh politik Rusia di Afrika.
Dalam konferensi tersebut, Rusia memberikan perjanjian penghapusan hutang dan gandum murah bagi negara Afrika yang menjadi rekan Rusia. Putin secara sinis menggunakan sentimen anti-kolonialisme dengan mengutip Nelson Mandela dan pemimpin terkenal Afrika lain yang berjuang melawan imperialisme Barat. Sebelumnya, Putin dalam pidato pada September 2022 juga secara sinis menghubungkan perang Ukraina dengan perjuangan melawan kolonialis Barat.
Perlu ditekankan bahwa meskipun Rusia dan Tiongkok telah membangun hubungan yang erat dengan negara-negara di Afrika, tindakan tersebut tidak murni untuk gerakan pembebasan nasional di Afrika. Bahkan ketika Xi Jinping dan Putin menggunakan sentimen anti-imperialis, kepentingan Rusia dan Tiongkok sama dengan kepentingan imperialis Perancis, yaitu untuk memperluas pasar dan meraup keuntungan. Dengan ekspansi pasar dan hubungan politik dengan Afrika, Rusia dan Tiongkok mampu mempertahankan pasar mereka dan menjaga eksploitasi dari kelas penguasa terhadap kaum buruh di negara masing-masing.
Potensi Perang Afrika Barat
Imperialisme Barat yang semakin putus asa kini hanya bisa bertumpu pada ECOWAS (The Economic Community of West African States), koalisi negara di Afrika Barat yang loyal terhadap Perancis dan imperialisme Barat. ECOWAS mengambil respons yang lebih keras terhadap kudeta di Niger, dengan segera memberi sanksi ekonomi terhadap Niger. ECOWAS juga memberi ultimatum akan melakukan intervensi militer terhadap Niger pada 6 Agustus 2023 jika pemerintahan Bazoum tidak dikembalikan oleh junta militer.
Meski telah memberi ultimatum, junta Niger tidak menuruti ultimatum ECOWAS dan intervensi militer tidak terjadi setelah batas waktu yang telah ditetapkan. ECOWAS memutuskan untuk memprioritaskan perundingan diplomasi dengan junta Niger. Walau demikian, ECOWAS telah menetapkan “D-Day” sebagai batas pelaksanaan intervensi militer jika seluruh jalan diplomasi gagal.
Kemunduran ECOWAS dari ultimatum intervensi militer menunjukkan adanya kebimbangan dan perpecahan internal. Meski memberi pernyataan tegas, ada anggota-anggota ECOWAS yang meragukan penggunaan jalur militer, seperti Liberia yang hanya menentang junta secara diplomatik. Guinea bahkan mengambil langkah yang lebih jauh, dengan menentang sanksi terhadap Niger. Keputusan dari Guinea menyebabkan ECOWAS segera mengeluarkan Guinea dari keanggotaan.
Negara yang setia dengan ECOWAS turut menghadapi perpecahan internal. Senegal di bawah pemerintahan Macky Sall yang menjadi salah satu negara paling ngotot dalam intervensi militer tengah menghadapi krisis politik internal. Pemerintah Senegal memboikot partai oposisi, PASTEF, dan memenjarakan pemimpinnya dengan tuduhan provokasi kekerasan dan merencanakan insureksi. Selain itu, terdapat protes yang bermunculan semenjak Juni akibat tingginya pengangguran dan skandal korupsi dari pemerintah.
Di Nigeria, Presiden Nigeria dan ketua ECOWAS, Bola Tinubu, harus menahan malu karena menghadapi penolakan dari senat Nigeria terhadap keputusan Tinubu untuk melakukan intervensi militer terhadap Niger. Penolakan ini menunjukkan bahwa kelas penguasa Nigeria juga menghadapi perpecahan internal. Terdapat sebagian kelas penguasa yang menganggap intervensi militer tersebut tidak tepat di tengah situasi nasional yang tidak stabil. Massa Nigeria yang mayoritas terdiri dari kaum muda jelas menolak intervensi militer.
Penolakan terhadap intervensi militer dari massa Nigeria terlihat dari aksi demonstrasi harian dari pendukung junta Niger di berbagai daerah seperti Niamey dan Kano. Terlihat demonstran berteriak “Warga Niger adalah saudara kami, warga Niger adalah keluarga kami” dan “Niger milik kami, kami tidak ingin perang, perang melawan Niger adalah ketidakadilan, sebuah plot dari kekuatan Barat”. Belum lagi amarah yang tertimbun dari massa akibat kebijakan dari pemerintah Tinubu untuk memotong subsidi BBM dapat memprovokasi massa. Keraguan dan perpecahan kelas penguasa Nigeria menunjukkan ketakutan bahwa krisis Niger dapat pula terjadi di Nigeria.
Sementara itu, junta militer Mali dan Burkina Faso mengutarakan bahwa mereka bersedia memberi bantuan militer jika konflik militer memang meletus. Junta mengatakan bahwa “intervensi militer terhadap Niger serupa dengan deklarasi perang”. Dengan dukungan tersebut, Niger, Mali, dan Burkina Faso menjadi sebuah blok oposisi yang mampu mengancam kestabilan Afrika Barat dan memperbesar skala konflik.
Sosialisme atau Barbarisme?
Kudeta dan aksi massa di Niger menunjukkan habisnya kesabaran rakyat Afrika terhadap krisis kapitalisme yang diperparah oleh imperialisme Barat. Negara imperialis Barat seperti Inggris dan Perancis menjadi parasit bagi daerah tersebut, mencuri sumber daya dan menyuburkan terorisme. Belum lagi kebusukan kelas penguasa lokal yang menikmati kekayaan sementara rakyat Afrika terjebak kemiskinan ekstrem.
Dengan melihat konflik dan kemiskinan tanpa henti, dapat dipahami bahwa massa yang mayoritas terdiri oleh kaum muda di Sahel menolak intervensi Barat dan rezim yang dibangunnya. Meski demikian, mendukung dan memohon bantuan Rusia dan Tiongkok bukanlah solusi terhadap penderitaan mereka. Rusia dan Tiongkok hanyalah kubu lain dari imperialisme, sehingga campur tangan mereka hanya menahan sementara penindasan dari rakyat dan akan kembali menyiksa mereka dalam jangka panjang.
Dengan menghadapi ancaman represi junta, perang antar negara Afrika, aksi terorisme, serta kemiskinan ekstrem, rakyat Sahel dan Afrika dihadapkan dengan 2 pilihan: sosialisme atau barbarisme. Di bawah junta militer yang menolak lepas dari kapitalisme atau rezim bentukan imperialis Barat, rakyat akan terjebak pada siklus barbarisme dengan kekerasan dan kemiskinan yang tiada akhir. Satu-satunya jalan keluar dari buruh, kaum muda, dan rakyat Afrika dari siklus barbarisme tersebut adalah revolusi sosialis.
Buruh dan rakyat di Afrika harus membangun partai dan organisasi massa mereka sendiri sebagai fondasi revolusi. Revolusi ini juga harus dilakukan secara mandiri tanpa bantuan imperialis manapun. Dengan mengambil alih kontrol tambang dan pabrik ke tangan buruh, serta ekonomi terencana yang demokratis, negara di Afrika pada akhirnya dapat bersatu di bawah sosialisme. Sumber daya Afrika yang melimpah ruah pada akhirnya bisa dimanfaatkan secara langsung untuk kesejahteraan dan keamanan rakyat untuk pertama kalinya. Kaum muda pada akhirnya tidak perlu bergabung dengan kelompok teroris untuk hidup layak, sehingga akan melemahkan dan bahkan menghilangkan terorisme sepenuhnya.