Ledakan besar dan mematikan mengguncang kota Beirut, Lebanon. Seperti yang terlihat di tayangan-tayangan video, awan hitam pekat menyelimuti pelabuhan yang telah dilalap api. Bangunan-bangunan hancur rata dengan tanah menyerupai sebuah ledakan bom nuklir. Ledakan ini begitu kuat sehingga bisa dirasakan hingga radius 200 kilometer. Mayat-mayat manusia bersama reruntuhan bangunan ada di mana-mana. Korban berjatuhan di jalanan tanpa banyak mendapatkan pertolongan karena rumah sakit yang berdekatan di lokasi kejadian juga rusak. Seperti yang dilaporkan, sampai saat ini sekitar 135 orang meninggal, dan ribuan lainnya terluka. Ini adalah ledakan terbesar di sepanjang sejarah Lebanon.
Donald Trump awalnya mengatakan bahwa “Kelihatannya seperti sebuah serangan (militer) yang mengerikan”. Pernyataan ini segera menimbulkan tanda tanya besar, siapa dalang di balik ledakan ini. Entah cuitannya ini didasarkan pada informasi intelijen di belakangnya atau tidak, jelas ini menjadi pertanyaan publik yang serius. Sebelumnya, Lebanon telah menjadi sasaran invasi Israel yang didukung AS. Tentu kita tidak mengesampingkan bahwa Israel mempunyai ambisi predatoris atas Lebanon seperti halnya juga ambisi mereka atas Palestina. Invasi Israel di masa lalu telah meninggalkan bekas permusuhan di benak rakyat miskin dan tertindas di Lebanon dan membangkitkan kecurigaan besar pada Israel.
Tapi mencoba mengarahkan kesalahan ini pada Israel jelas sangat terburu-buru. Israel sendiri telah membantah tuduhan ini dengan mengatakan bahwa mereka tidak ada hubungannya di balik ledakan itu. Bahkan penduduk setempat banyak yang menyangkal hal ini. Semua bukti hari ini mengatakan bahwa ledakan ini bersumber dari bahan mudah meledak yang telah disimpan di wilayah ini selama bertahun-tahun. Tuduhan menyalahkan pihak luar atas kesalahan ini jelas mengalihkan kita dari akar permasalahan yang sebenarnya.
Jadi bagaimana itu bisa terjadi? Seperti keterangan yang didapat, kapal kargo bermuatan 2750 ton amonium nitrat tiba di Lebanon pada September 2013. Kapal ini berlayar dari Georgia dengan tujuan ke Mozambik, tapi terpaksa berlabuh di Beirut karena masalah teknis di laut. Namun para pejabat Lebanon mencegah kapal itu berlayar, dan akhirnya, kapal itu ditinggalkan oleh pemilik dan awaknya. Bertahun-tahun kargo amonium nitrat ini menumpuk di gudang pelabuhan tanpa ada kejelasan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pelabuhan adalah sarang penyamun dimana uang negara bertahun-tahun dicuri. Suap menyuap dan penghindaran pajak impor telah menjadi pemandangan sehari-hari. Seperti yang dikatakan seorang aktivis politik di sana, “Mereka adalah penjahat dan ini mungkin merupakan kejahatan terbesar mereka sejauh ini.”
Perdana Menteri Lebanon Hassan Diab mengatakan, “Mereka yang bertanggung jawab atas bencana ini akan membayar harganya.” Tapi siapa yang salah dan siapa yang harus membayar? Seperti yang terkuak, bahwa barang berbahaya ini tersimpan bertahun-tahun tanpa protokol keselamatan. Sangat tidak mungkin para penjabat pemerintahan tidak mengetahui hal ini.
Seperti sering kali terjadi, kelas penguasa selalu mencari kambing hitam atas kesalahan mereka, tapi ini tidak akan menipu siapapun. Bila sang perdana menteri mencari di balik siapa yang salah dengan menunjukkan satu jarinya kepada orang lain, jangan lupa bahwa keempat jari yang lain menunjuk pada dirinya sendiri. Jelas kesalahan ini terletak di jantung rezim Lebanon yang korup dan busuk. Fakta ini jauh lebih dipahami rakyat Lebanon yang sebelumnya telah melancarkan demonstrasi besar menggulingkan perdana menteri lama mereka.
Jauh sebelum peristiwa ledakan ini terjadi, masalah rakyat Lebanon dengan penguasa mereka sudah mulai meruncing. Krisis hutang telah mencekik negara ini selama bertahun-tahun. Rakyat Lebanon sangat memahami bahwa utang-utang ini hanya mengalir ke kantong-kantong politisi korup, alih-alih mengalir ke perbaikan infrastruktur dan – dalam kasus ini – penanganan barang-barang berbahaya di pelabuhan. Lebanon ada di jurang kehancuran. Kehidupan kelas pekerja dan rakyat miskin tertindas di sana sedang dihancurkan tapi kelas tertindas ini jauh dari kata menyerah untuk melawan rezim penguasa.
Ketidakpuasan ini telah memuncak bulan-bulan sebelumnya dalam aksi protes besar-besaran. Meskipun pandemi mampu menurunkan eskalasi demonstrasi ini, tapi api sekam ini belumlah padam. Saat ini di atas puing-puing reruntuhan telah ada 300 ribu orang kehilangan rumah-rumah mereka. Pengangguran dan kemiskinan telah mencapai angka yang mengerikan. Kondisi ini akan dengan cepat mengekspose kebangkrutan rezim kapitalis di bawah Hassan Diab dan akan kembali memanaskan api semangat rakyat pekerja untuk berjuang menghancurkan rezim penguasa yang korup dan tidak kompeten ini.